Rosie belum memutuskan pulang, wanita itu masih aktif di dalam ruang kerjanya. Kesepuluh jari lentik Rosie aktif menari di atas keyboard laptop. Analisis pemasarannya tertunda hanya karena berita di koran yang menyert produk Youth Serum. Sementara, dari jendela ruangan Rosie, langit Kota G sudah menggelap. Rosie melepas kacamata, mengerjap-ngerjapkan mata yang sudah mulai perih dan berair. Sesekali, dia memandang ke luar, menyeimbangkan efek akomodasi mata dengn bulu lentik itu. Drrrt! Drrrt! Drrrt! Dering smartphone mengalihkan pandangannya, terpampang nama Ethan di dalam layar. [Kakak, belum pulang juga?] Suara di seberang sana masuk ke gendang telinga begitu dia menempelkan benda pipih itu di telinga. [Aku sibuk!] jawabnya. [Pulang jam berapa?] [Jangan mengkhawatirkanku!] Rosie membentak kemudian menutup telefon sebelum Ethan menyelesaikan kalimatnya. “Anak itu gangguin aja!” gumam Rosie. Rosie kembali ke laptopnya, menutup lembar kerja Microsoft Excel lalu membu
Flashback Rosie melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah jam setengah delapan malam. Dia cukup lelah hari ini memikirkan masalah yang terjadi hari ini. Menutup laptop kemudian tidak mengambil tas tangan. Meninggalkan ruang kerja. Disambut sepi ketika melewati ruang kerja departemen pemasaran. Hanya suara heels di kaki Rosie yang beradu dengan permukaan lantai memecah keheningan. Tidak ada kawan atau rekan kerja di perusahaan tersebut menjadi teman lemburnya sampai dia tiba di depan pintu lift. “Baru pulang juga?” suara yang dia kenal membuat Rosie bergidik. Dia menoleh ke belakang, tampak sosok seorang pria yang menabraknya secara tidak sengaja. “Anda!” Rosie membeliak, memandang sosok di depannya. Ting! Pintu lift terbuka, pria itu tersenyum mengangukkan kepala tanda mempersilakan Rosie agar masuk ke dalam lift terlebih dahulu. Rosie melangkah masuk ke dalam lift, disusul oleh pria berwajah khas Korea itu. Pintu pun tertutup. Berdua di dalam li
“Ethan!” panggil Rosie pada adiknya yang sedang asik rebahan di sofa sambil bermain smartphone. “Hmm,” jawab Ethan cuek. Bahkan, Ethan tidak menoleh ke arah kakaknya. “Kakaknya datang bukannya disapa, kek!” Rosie mulai kesal. Ethan yang sedang mengorek hidung dengan jari masih sibuk dengan smartphonenya. Kesal dengan tingkah adiknya, Rosie merebut smartphone dari tangan Ethan. “Tadaima, Rosie neechan!” Ethan menurunkan kaki, menegakkan badannya. “Puas?” imbuhnya kemudian. “Kak Ros sendiri yang bilang agar gak mengkhawatirkan dirimu. Giliran pulang gak disapa malah marah-marah,” ucap Ethan. Tangannya berusaha menggapai smartphone dari tangan Rosie, tapi Rosie dengan segera mengangkat benda pipih itu ke atas. “Gini, nih! Kebiasaan kalau sensitifnya kumat!” keluh Ethan. “Bosen aku lihat kamu di rumah!” Rosie mengulurkan smartphone ke arah Ethan. “Emangnya, kapan Kak Ros lihat aku kecuali pagi sama baru pulang kerja aja?” Ethan menyandarkan badannya di daun sofa, mengembuskan
Rosie membuka perlahan kelopak mata sesuai jam biologis tubuhnya. Menegakkan badan kemudian kembali bersandar pada daun ranjang. Melepas sisa kantuknya dengan menguap. Beberapa saat kemudian, dia menurunkan kaki jenjangnya ke lantai lantas bangun. Rosie mengalungkan handuk di leher. Sejak Ethan tinggal di apartemennya, pemandangan yang ditangkap oleh mata Rosie setiap pagi saat melewati ruang tamu untuk ke kamar mandi hanyalah Ethan sedang terbalut selimut seperti kepompong di atas sofa. Namun, karena Rosie tidak ingin merusak mood pagi-pagi dengan membangunkan Ethan, Rosie membiarkan adiknya yang pengangguran itu dalam tidurnya. Sesaat setelah Rosie masuk ke kamar mandi, Ethan membuka mata, menegakkan badan. Ethan menguap sembari mengangkat tangan tinggi-tinggi, melemaskan otot-otot di tubuhnya. “Hooaaaahem!” Setelah menguap, Ethan mengerjap-ngerjapkan matanya seiring dengan kedua tangan yang diturunkan. Setelah mengumpulkan semua nyawanya dari alam bawah sadar, pemuda itu
Sebelum mendatangi kantor Nature Chemical untuk meminta klarifikasi, tiag orang manajer sepakat mengadakan briefing hari ini di ruangan rapat Absolute Beauty Chemical. Bu Diar, dari departemen pengembangan, Pak Haes dari departemen produksi dan Mario juga ikut sebagai asisten. Mereka bertiga sedang menunggu Rosie yang belum datang dengan obrolan santai. “Bisa-bisanya Nature Chemical nyari masalah.” Bu Diar memulai pembicaraan seraya membuka map warna marun berisi lembar resume dan list karyawan yang telah resign dari Absolute Beauty Chemical. Resume itu Bu Diar dapatkan dari HRD sebagai referensi yang mungkin akan berguna untuk mengungkap siapa yang membocorkan formula produk Yout serum. “Yah, perusahaan itu memang senang cari masalah, sih!” Pak Haes menimpali. Rosie masuk ke ruang rapat, bergabung bersama mereka yang sudah menunggu. “Pagi, Bu Rosie!” sapa Bu Diar. “Pagi!” sahut Rosie sembari menutup pintu. “Pagi Bu Manajer!” sapa Pak Haes bersamaan dengan Mario. “Ya, Pagi!
"Permisi!" sapa Rosie kepada seorang respsionis wanita. "Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya. "Kami dari Absolute Beauty Chemical. Ingin bertemu Presdir atau mungkin manajer yang menaungi hal produk," jawab Rosie. Resepsionis itu memandang empat orang di depannya secara bergantian. "Apa sudah ada janji?" tanyanya. "Tidak. Belum, kami hanya datang langsung." "Baiklah, tunggu sebentar." Resepsionis pun mengangkat gagang telepon lalu berbicara pada seseorang di seberang sana. Beberapa menit kemudian, resepsionis itu meletakkan gagang telepon dan berkata, "Silakan tunggu sebentar di lobi, ya." "Baik." "Nunggu lagi nih, kita," komentar Pak Haes. Mereka berempat mengambil tempat di sofa yang ada di lobi dan menunggu seseorang menyambut mereka. Siapapun nati yang datang menyambut, mereka hanya ingin sebuah klarifikasi. "Saya mau ke toilet sebentar," ucap Rosie. "Iya, silakan!" ucap Bu Diar, Rosie melewati meja resepsionis. Saat Rosie berbelok di ujung lorong, Ros
Tidak terima diusir begitu, Rosie menggebrak meja. Kekesalannya tumpah di ruangan itu. "Sabar, Manajer Rosie!" Pak Haes mencekal tangan Rosie, mencoba menenangkan rekan kerjanya itu. “Kami belum dapat jawaban tentang klaim kalian!” pekik Rosie. Akan tetapi, Pak Karta melenggang keluar begitu saja. Kemudian, pria yang membukakan mereka pintu saat tiba di ruang meeting berkata,”Maaf, Pak, Bu. Mohon untuk tinggalkan ruangan ini karena akan digunakan lagi!” perintahnya halus. Keempat orang itu dengan wajah kesal bangun dari tempat duduk. Membuat gesekan kaki kursi dengan permukaan meja hingga menimbulkan suara berderit. Keluar dari ruangan itu tanpa rasa puas dan jawaban yang mereka inginkan. “Sial, sia-sia saja kita datang!” cecar Pak Haes. Keempat orang itu berjalan di loby kantor dengan raut kecewa di wajah mereka. Sia-sia saja mereka datang ke sini. Klarifikasi tidak mereka dapatkan dan terlebih lagi buang-buang waktu saja. "Tuh kan, mereka berkilah dan menghindar!" B
Keempat orang itu naik ke mobil operasional, tidak ada yang meracau tentang masalah ini setelah terkena asupan kafein. Mesin mobil pun menderu, dinyalakan oleh Sang Driver. Kemudian, melaju perlahan keluar dari area parkir Nature Chemical. Di jalan besar, kendaraan melaju dengan kecepatan sedang. “Ngomong-omong, apa maksud Pak Karta tadi tentang Bu Rosie?” Bu Diar melirik rekannya itu. “Tidak usah dipikirkan!” jawab Rosie, tatapannya lurus ke depan. “Jangan-jangan Bu Rosie in-,” Kriiit! Tiba-tiba saja Sang Driver mengerem secara mendadak, nyaris membuat badan penumpangnya terjungkal ke depan. “Kenapa, Pak?” tanya Mario pada Sang Driver yang duduk di belakang kemudi tepat di depannya. “Maaf, saya kaget. Sepertinya ada kecelakaan di depan,” jawab Sang Driver. Kesepuluh pasang mata di dalam mobil itu tertuju pada kemacetan di depannya. Sesaat kemudian, suara sirine ambulan terdengan mendekat, melintas di samping kendaraan operasional, menguarai kemacetan. “Padahal di peremp
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p