“Aku tahu kau sudah menyelesaikan acara mandimu dan menguping pembicaraanku dengan Avan. Mengapa tidak keluar juga?”
Tak berapa lama, sosok itu muncul dari kamar mandi yang berada di dalam kamarnya dengan pakaian yang telah berganti menjadi piyama. Apa yang Farrin ucapkan memang benar adanya, Vian telah menyelesaikan urusan mandinya dan menguping pembicaraan mereka. Bukan maksud Vian seperti itu, hanya saja untuk berendam rasanya sangat tidak menyenangkan dan hanya mengupinglah cara satu-satunya yang bisa ia pikirkan. Terdengar tak sopan, ya. Akan tetapi, apa ada hal lain selain itu? Ia tak memiliki pilihan lain.
“Aku tak tahu jika kau begitu peka akan sesuatu yang ada di sekitarmu,” ujar Vian. Jika itu orang lain, entah ia bisa mendengar ucapan itu atau tidak mengingat kamar mandinya yang semi-kedap suara. Sangat sedikit suara yang bisa ditangkap dari sana dan ia tak yakin Farrin bisa mengalihkan konsentrasinya ke suara di dalam k
“Kau ingat anak lelaki yang kau tolong dari para perusuh di taman bermain dulu? Kau yang berlagak sok pahlawan ingin menghajar mereka tetapi salah satu dari mereka malah memukulmu. Untung saja saat itu ada orang dewasa yang melihat dan menolong, jika tidak, mungkin kau juga akan berakhir babak belur sepertiku saat itu.” Vian terkekeh kecil. Ia begitu menyimpan memori itu dengan baik hingga ia bisa mengingatnya bertahun-tahun. Padahal, hal itu terjadi saat dirinya dan Farrin masih sama-sama menjadi murid sekolah dasar.“Kau?”“Ya! Aku anak yang kau tolong waktu itu. Kau mungkin tidak mengenali karena keadaanku yang begitu buruk. Namun, percayalah! Aku selalu mengingat dan menyimpan dengan baik sapu tangan pemberianmu saat itu. Beberapa kali aku berpapasan denganmu, tapi aku sama sekali tak bisa menyapamu. Kau seperti jauh dan sangat sulit untuk kugapai. Apa lagi dengan keadaanmu yang menjadi juniorku. Puncaknya, saat Avan mengenalkanmu pada
Seolah benar-benar pasangan muda yang baru saja menikah dan ingin segera bulan madu sebelumnya, keyakinan mereka berdua sama sekali tak tergoyahkan. Bujukan dan rayuan dari Nazilla, sang ibu mertua, tak membuahkan hasil sedikit pun. Rencananya ia dan sang menantu akan menjadikan hari ini sebagai hari untuk mereka berdua saling dekat sebagai pasangan mertua-menantu. Namun, sepertinya bayangan Nazilla akan hal itu harus kandas dan berakhir karena Farrin beserta Vian mengatakan untuk pindah ke apartement yang Vian miliki.Tentu saja tanpa bantuan bujukan dari Vian. Karena pemuda itu yakin jika bujukan mereka tak akan mempan sama sekali jika menghadapi si kepala batu.Jadi tanpa memaksa lagi, Nazilla mengiyakan saja kepindahan mereka dengan catatan untuk mereka berdua agar lebih sering mengunjungi single parent tersebut. Farrin dan Avan mengiyakan saja, toh tak ada gunanya lagi untuk memperdebatkan segala sesuatu saat ini. Yang penting bagi mereka adalah sar
Avan memegang sebuah buku tebal diiringi dengan tatapan kosong sambil terduduk di kursi ayunan taman mansion milik keluarganya itu. Sebenarnya, ia tadi ingin menghabiskan waktu liburnya untuk membaca sebuah novel romantis yang dibeli di luar negeri dan akan ia hadiahkan untuk Farrin di malam pertama mereka. Kegagalan dalam prosesi pemberkatan membuat rencananya total hancur berantakan. Tak akan ada sarapan pagi romantis seperti bayangannya. Tak ada malam pertama yang indah. Juga, tak akan ada siluet Farrin yang hilir mudik setiap hari seperti yang selalu ia bayangkan sedari dulu. Semuanya berantakan. Semuanya hilang. Avan menyadari jika karena ia sendirilah yang membuat Farrin hilang dari jangkauannya. Ia telah meremehkan tentang semua yang orang lain perintahkan untuk mencabut keputusannya saat ia meninggalkan kota ini dua bulan yang lalu. Sikap kekanakan mendominasi dan membuat ia besar kepala akan sikap pemaaf Farrin padanya selama ini. Ia pikir, F
“Mama ….”“Apa?!”Nazilla mendelik, mengapa sih, putranya ini begitu keras kepala? Jika ia tak mau menghubungi Rizuki, ya, sudah! Biarkan saja. Lagi pula, mengapa Avan selalu menghindari atau melempar pembahasan saat ia suruh menghubungi wanita itu? Apakah ada masalah?“Tidak ada masalah, Ma. Aku hanya enggan mendengar omelannya yang bisa sepanjang jalan kenangan itu. Apa lagi jika harus menceritakan batalnya pernikahanku dengan Farrin. Pasti omelannya bertambah panjang saja. Bisa-bisa pecah gendang telingaku mendengar ocehan dan omelannya, belum ditambah dengan umpatan kasarnya!”“Rizuki mengumpat? Jangan bercanda!”Avan cengo, engapa ibunya sama sekali tak mempercayai perkataannya? Sebegitu hebatkah pengaruh Rizuki untuk ibunya?“Aku mengatakan yang sebenarnya, Ma. Rizuki sering mengumpatiku. Mama hanya tak tahu saja jika wanita itu sangat kasar tentang perilaku dan ucapannya!&rd
“Hey, kau istriku sekarang. Tidakkah kita bisa memulai hubungan ini dengan tidur dalam satu kamar?” tanya Vian. Farrin gugup hingga rona merah menjalar ke telinganya. Tentu saja ia gugup, ia yang sudah bersiap tidur di sofa bed depan televisi langsung menghentikan langkah begitu Vian mengatakan hal itu. “Ku-kupikir aku akan lebih baik untuk tidur di ruang santai saja. Lagi pula, kan kau yang memiliki apartmen ini, jadi, aku tak enak jika harus menempati kamarmu,” jawab Farrin. Vian menghampiri dan mencoba mengambil alih selimut yang Farrin seret dan membawanya menuju kamar. Farrin terdiam, dan hanya bisa melongo tak bisa mengeluarkan suara lagi hanya untuk sekedar mencegah tindakan Vian. “Aku tidak tahu bagaimana cara berpikirmu. Menurutku, karena kamu adalah istriku untuk saat ini, maka, kita harus berbagi kamar yang sama. Berbagi satu ruangan untuk privasi, dan berbagi ranjang untuk ditiduri setiap malam. Atau, kau ingin kita menempati apartmen dengan
“Sebenarnya, Farrin. Apa maksudmu? Apa sebelum ini kau sama sekali tidak menyukai kakakku?” tanya Vian. Ia ingin memastikan bagaimana perasaan mantan pacar kakaknya itu. jangan lupa, kini mantan kekasih kakaknya itu telah menyandang status istri baginya. Jadi, ia harus memastikan pada siapa hati wanita itu berlabuh. Atau paling tidak, bagaimana keadaan hati wanita itu.“Bukan begitu. Hanya saja aku tidak menyesal sama sekali melepas Avan. Aku merasa lega. Aku juga merasa jika hatiku terasa lebih ringan.”Vian menatap wanita yang duduk di sebelahnya itu dengan padangan menyelidik. Bagaimana bisa berpisah dengan orang yang mengisi hari-harinya selama bertahun-tahun itu malah membuat hatinya terasa lapang? Apakah ada hal yang tak bisa dijelaskan di sini? Atau belum terjelaskan?“Apa maksudmu?” tanya Vian.Farrin menatap lelaki itu dengan malu-malu dan berucap, “Aku tak tahu harus menceritakan dari bagian mana. Intiny
Avan dan Vian memang kembar. Namun, sikap mereka lebih sering bertolak belakang. Avan seperti seorang adik, yang memiliki sikap manja pada ibu mereka dan kekanakan dalam beberapa hal. Juga, tubuhnya yang lebih kecil dari Vian. Mungkin, hal itu dikarenakan ia sedari kecil mendapat pembelajaran yang lebih berat dari Vian. Jika mereka berjalan berdampingan, banyak orang akan mengira jika yang menjadi kakak di sini adalah Vian, bukan Avan.“Aku tidak yakin jika yang menjadi kakak di sini adalah Avan, bukan kau, Vi.”Vian mengangguk membenarkan ucapan Farrin. Sebelum ini, bukan hanya Farrin yang berpikir seperti itu. Ada banyak orang yang telah mengatakan hal ini padanya. Mereka berdua tak pernah mempermasalahkannya. Bagi mereka, hidup akur tanpa banyak hal pengusik saja sudah lebih dari cukup.“Kami sudah biasa mendapat perlakuan itu. Tak sedikit yang mengira aku adalah yang lahir pertama dan Avan yang selanjutnya. Mungkin, hal ini karena ayah yang
Tok! Tok! Tok! Suara ketukan pintu di apartmen Vian membuat dua pasang mata yang tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing itu kini mengalihkan atensinya. Vian yang sebelumnya membantu Farrin memotong sayur harus rela menghentikan gerakannya. Pun begitu juga dengan Farin yang awalnya mengaduk kuah sup yang hampir masak, berhenti. “Siapa yang bertamu pagi-pagi?” tanya Farrin. Vian mengendikkan bahunya acuh, enggan tahu siapa orang di balik pintu yang mengganggu pagi pertamanya dengan sang istri. “Coba kau lihat, siapa tahu orang yang memiliki kepentingan mendesak,” tambah Farrin. Dengan langkah enggan, Vian melangkah ke pintu utama. Seingatnya, tak banyak yang mengetahui lokasi apartmen-nya ini. Mungkin benar kata Farrin, bahwa yang datang adlaah orang dengan kepentingan mendesak. Clek! “Kau!” vian terperanjat kala ia mengetahui siapa orang jahil di balik pintu itu. “Hallo, Adik! Kakak datang untuk berkunjung ke tempat tinggal
“Van?” bisik Farrin seakan tak mempercayai pandangannya. Matanya tak berkedip untuk beberapa saat, kala ia mengagumi sosok yang pernah ia tolak di altar. “Ini aku, Fa. Aku datang untuk menjemputmu,” ujar Avan. Pria serupa Vian itu tersenyum lembut dan berjalan pelan menuju tempat Farrin berdiri termagu. Ia ingin tertawa, menertawakan wanita yang telah menolaknya itu dan terlihat rapuh untuk saat ini. “Berkediplah! Aku bukan fatamorgana atau ilusi semata. Aku nyata dan bisa kau rengkuh dalam pelukanmu, Mon Amour.” Ah, panggilan yang Farrin rindukan. Hancur sudah pertahanan Farrin dan ketika ia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Ia tak menyangka jika setlah semua ini, ia baru menyadari bahwa ia butuh Avan untuk bersandar, bukan Vian atau dirinya sendiri seperti yang pernah ia katakan. Hatinya terlalu pongah untuk mengakui jika ia masih membutuhkan bahu pria untuk bersandar. Ia pikir, mungkin akan lebih baik untuk berdiri sendiri seperti yang dulu
Farrin menerima kenyataan jika Avan tak akan menerimanya karena ia sekarang sudah menjadi bekas sang adik. Dengan perlahan, ia kembali menatap kolam dan mengusap lembut perut datarnya. Tempat di mana nyawa lain kini tengah bersemayam dan menunggu untuk bertumbuh. “Avan dengan senang akan mengakui bahwa ia adalah ayah dari anak yang kau kandung,” ujar Rizuki. Ia memahami apa yang membuat Farrin murung. “Apakah bisa? Aku takut jika ....” “Jika dia akan lebih menyayangi anak kandungnya nanti jika kau memutuskan bersamanya?” Farrin mengangguk. Sudah Rizuki duga jika Farrin akan berpikir seperti itu. Sebelum ini, keduanya sudah membahas bahwa ia tak akan mempermasalahkan jika Farrin ingin kembali bersama Avan. Wanita berdarah Jepang itu juga mengatakan bahwa Avan sama sekali tak tahu menahu tentang apa yang sudah ia lakukan pada mantan kekasihnya itu. Avan murni pergi tanpa mengetahui apa pun tentang keberadaan Farrin. Awalnya, Farrin memutuskan un
“Dia tuanku.” Hanya jawaban itu yang bisa Farrin dengar dari bibir Natsu dan membuat wanita yang masih hamil muda itu mendengus kesal. Tentu saja, siapa pun di rumah ini pasti tahu kedudukan pria itu bagi Natsu. Namun, bukan jawaban itu yang Farrin butuhkan. Ia ingin jawaban yang lebih bagus dan spesifik dari hal itu. Alhasil, Farrin mendiamkan Natsu dan sama sekali tak menyentuh apa pun yang Natsu siapkan untuknya. Ia merasa jika selama ini idirinya menjadi boneka yang bisa dipermainkan oleh semua orang. Setelah permainan Avan dan Vian, disusul Rizuki, lalu kini Natsu. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu istri dari pria misterius yang mendatanginya kemarin dan mencari jawaban darinya. Tanpa disadari, waktu sudah berjalan cepat dan hari telah berganti. Meninggalkan Farrin yang masih enggan memasukkan apa pun ke mulutnya karena rasa kesal. Alex bahkan Natsu menyerah untuk membujuknya, bahkan ketika Natsu membujuk dengan jiwa yang Farrin bawa bersamanya pun, Far
“Kau, siapa?” tanya Farrin. Ekspektasinya akan Avan menghilang begitu saja kala ia mendapati sosok pria yang tak ia kenal sama sekali. Pria berbadan tegap, memiliki mata sipit khas Jepang, dan kulit kuning kecoklatan yang dibalut dengan tuxedo. Dari yang ia fahami, pria itu bukan orang sembarangan yang bisa ia singgung dengan mudah.“Konnichiwa (selamat siang),” ujar pria itu sambil memberi salam khas Jepang. “Boku no nawae wa Daisuke desu, yoroshiku. (Namaku Daisuke, salam kenal)”Farrin hanya bisa mematung dan menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa dimengerti oleh Alex yang berdiri seolah tengah mengawal pria itu. Mungkin, Farrin sedikit syok atau tidak mengerti apa yang diucap oleh pria itu.“Ah, Rin-chan. Maksud Tuan, beliau sedang memperkenalkan diri.” Natsu tiba dan berusaha menjelaskan siapa pria yang sedang duduk itu. Natsu mengerti, Farrin pasti tidak paham dengan ucapan pria yang memperkenalkan diriny
Setelah Farrin meminta sarapan di waktu dini hari dan Alex serta Natsu mencurigai sesuatu, keduanya sepakat untuk melakukan serangkaian tes dan pertanyaan hingga mereka mengambil kesimplan bahwa Farrin memang membawa nyawa lain di tubuhnya. Bahkan, untuk menegaskan kesimpulannya, Alex sengaja pergi mencari apotek saat matahari telah terbit dan membeli alat tes kehamilan instan. Alex maupun Natsu sudah menduga jika hasilnya akan berakhir positif, tetapi tidak dengan Farrin. Ia masih merasa tidak percaya. Kegagalannya beberapa waktu lalu untuk melihat dua tanda garis pada alat itu membuat ia berkecil hati dan enggan berharap lebih. Memang, apa yang bisa Farrin harapkan? Sedangkan meski ia positif pun, keputusan perceraiannya dengan Vian sudah mencapai tahap final. Jadi, ia merasa jika lebih baik untuk menyembunyikannya saja. Toh, meski Vian tahu pun, ia tak bisa memberi keluarga yang baik untuk calon anaknya kelak. Vian sudah memiliki Lena di sampingnya dan akan memili
Begitu selesai, Alex segera menuju dapur dan mendapati Natsu serta Farrin yang terduduk dan seperti menunggu kedatangannya. Alex tak tahu jika kehadirannya begitu ditunggu dengan antusias seperti ini. Ah, ia jadi menyesal saat ia berniat untuk mengulur waktu di kamar mandi dan berharap dua wanita yang hidup dengannya itu tak betah menunggu dan pergi tidur. “Maaf, Nona. Aku harus menyelesaikan sesuatu tadi,” jelas Alex. Ia tak ingin Farrin menuduhnya yang tidak-tidak, sedangkan yang sebenarnya memang ia tidak ada kegiatan sama sekali. Farrin menggeleng kecil dan tersenyum, lalu berkata, “Iya, tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi, ya. Jaa ... ayo masakkan aku ramennya. Dua, ya. Aku ingin makan dengan Natsu-chan juga. Ah, tiga kalau juga ingin, ya. Aku tak ingin kau hanya diam dan melihat kami makan.” Ah sial! Ingin rasanya Alex mengumpati Farrin. Natsu, kan, bisa membuatnya sendiri, mengapa ia yang harus disuruh untuk membuatkannya juga. Ia yakin, Natsu bisa membu
“Alex,” ujar Natsu. Ia menggoncang pelan tubuh Alex yang tengah terlelap di futon—kasur lantai khas Jepang, yang ada di kamarnya. Natsu mungkin merapal untuk meminta maaf untuk nanti, tetapi ia juga bersyukur karena Alex tidak mengunci pitu kamarnya.“Ada apa, Nats?” tanya Alex dengan pelan. Jika saja tuan yang memerintahkannya untuk menjaga Farrin ada di sini, sudah pasti ia akan mendapat hukuman karena menurunkan tingkat kewaspadaan. Karena bagaimanapun juga, Alex adalah seorang penjaga dan tugasnya adalah memiliki kewaspadaan yang tinggi. Dan membiarkan kamar tidak terkunci dan seseorang bisa masuk sembarangan adalah suatu kesalahan yang fatal.“Oh, tidak! Nats!” sergah Alex. Ia baru ingat jika tak mengunci kamar. Lalu, apakah ada suatu hal yang membuat wanita itu panik seperti ini?“Apa, lex?”“Aku lupa mengunci pintu dan menurunkan kewaspadaanku. Seharusnya aku tidak menuruti perkataan Farri
“Vi, hentikan pencarianmu tentang Farrin.”Dengan satu kali tombol ditekan, pesan suara yang Nazilla kirimkan kini terkirim pada ponsel Vian. Ia sudah memutuskan untuk mengalah dan membiarkan Farrin lepas dari tanggung jawabnya. Setelah ini, ia hanya bisa berharap jika wanita itu bisa menemukan bahagianya sendiri, atau setidaknya menemukan orang yang mencintainya.Bukankah dicintai lebih baik ketimbang mencintai?Sebagai orang yang sudah melewati lima dasawarsa alam hidupnya, Nazilla mengerti betapa hidup terkadang tidak bisa kita kendalikan meski ada banyak uang di tangan kita. Padahal, tak sedikit dari mereka yang mengatakan bahwa jika kau memiliki uang, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan.Mungkin mereka benar, tetapi bukan berarti harus dijadikan sebagai sebuah pembenaran.Nazilla sendiri yang mengalaminya tanpa ada bantuan cerita dari orang lain. Kini, meski uang dan kekuasaan bisa ia pegang, satu wanita untuk kebahagiaan pu
“Ap-apa maksudmu, Ri?” Badan Nazilla mengalami tremor kecil saat Rizuki menyelesaikan ucapannya. Semakin lama, Wanita paruh baya itu semakin merasa terancam saat wanita yang enggan duduk itu mengatakan banyak hal. Bahaya! Ia bisa mencium ada tanda-tanda bahaya untuk nanti.“Mama sangat tahu apa yang kumaksud, tapi masih menanyakannya padaku? Biar kuberitahu satu hal, Ma. Biarkan Avan bersama dengan Farrin dan mereka menjemput bahagianya. Putra kesayanganmu sudah bertemu dengan wanita yang pas untuknya. Wanita yang mencintainya dan memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang bisnis. Sebagai orang yang kau anggap anak juga, aku mengatakan hal yang sebenarnya dan berharap Mama bisa mengerti.”Rizuki melirik Nazilla sekilas lalu melanjutkan, “Yang Mama tuduhkan, bahwa aku tidak adil pada kedua orang itu semata-mata juga karena Mama sendiri. Perlukah aku mengatakan semua hal yang membuat Mama bisa berpikir bahwa apa yang Mama lakukan adalah sebua