Farrin memandang teduh wajah cantik nan gembul milik gadis kecil di tempat duduk seberang meja. Gadis itu, gadis yang sekilas terlihat bahagia. Namun, Farrin yakin jika wajah bahagia bukan cerminan hidupnya. Gadis kecil itu sudah banyak melalui hal yang tak dilalui gadis seusianya.
Ayahnya hanya hidup berdua dengan seorang adik laki-laki yang masih duduk di bangku kuliah dan menjaganya secara bergantian. Mereka juga tak mempekerjakan seorang pengasuh bayi karena keterbatasan ekonomi. Saat ini, paman yang biasa menjaganya tengah sibuk mengerjakan tugas akhir untuk persiapan wisuda hingga tak ada waktu untuk menjaga. Beruntung, ayah gadis kecil itu mendapat informasi dari rekan kerja jika ada sekolah yang menerima penitipan juga. Gadis kecil itu juga telah cukup usia untuk masuk sekolah hingga mereka bisa menitipkan di sana hingga jam kerja ayahnya berakhir.
Setelah sampai di café, Farrin bisa melihat betapa antusias gadis kecil itu saat Farrin menjelaskan satu persatu nama menu yang belum pernah ia dengar, hingga ia bisa memutuskan makanan apa yang perlu dipesan. Tentu saja, Farrin tak melupakan pesanan Vian juga. Lalu tak lama setelah itu, Vian telah muncul dengan setelan kantor yang telah kusut di beberapa bagian.
“Kau datang lebih cepat dari waktu yang kuperkirakan," ujar Farrin.
Vian mengernyit heran. Seingatnya, ia malah merasa jika ia akan terlambat dan membuat Farrin menunggu. Namun, pesanan mereka bahkan belum selesai. Mungkin Farrin benar, ia datang lebih cepat.
“Kakak ini ini siapa, Kak Farrin? Mengapa dia duduk semeja dengan kita?” tanya gadis kecil itu.
Farrin tersenyum kecil. Wajar jika gadis kecil itu bertanya. Ia ingat bahkan ia belum pernah mempertemukan mereka berdua dalam satu waktu. Apalagi naluri anak kecil memang memiliki rasa penasaran yang tinggi. Jadi, ia maklum.
“Kakak ini adalah tunangan Kak Farrin, Areum sayang. Namanya Kak Vian.”
“Tunangan?” Beo gadis kecil itu.
Ah, Farrin hampir menepuk kepalanya sendiri jika ia tak ingat kalau mereka sedang berada di tempat ramai seperti sekarang ini. Tentu saja gadis itu bingung. Di usia yang sekarang pastilah belum tahu apa arti tunangan.
“Maksudnya, kakak ini adalah orang yang akan kakak nikahi sebentar lagi. Begitu. Areum mengerti?”
“Apakah tunangan itu adalah orang yang harus kita nikahi?” tanya Areum polos.
Farrin bingung, sebenarnya ia ingin menjelaskan hal ini sesederhana mungkin. Tapi, bagaimana? Ia juga masih berusaha mencari kosa kata mudah yang bisa menjelaskan kepada Areum. Kalian tahu, penjelasan yang terlalu rumit bisa membuat diri sendiri bingung nantinya.
“Tunangan itu tidak harus orang yang akan kita nikahi, Reum. Tapi tunangan itu adalah orang dekat dengan kita dan terhubung satu sama lain. Begitu, gadis kecil.” Vian yang mulanya hanya diam kini mulai membuka suaranya setelah dirasa Farrin sedang mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan gadis kecil di sebelahnya itu.
“Jadi seperti ayah dan paman? Mereka juga dekat dengan Reum dan biasanya terhubung dengan Reum.”
Tentu saja, terhubung yang dimaksud gadis kecil itu adalah hubungan melalui alat komunikasi.
“Bukan seperti itu, Reum. Tunangan dekat dan terhubung. Namun, sebelumnya mereka bukan keluarga seperti Reum, ayah dan paman Reum. Mereka bukan keluarga, dan akan menjadi keluarga jika mereka berlanjut dan memutuskan untuk menikah,” jelas Vian.
Gadis kecil itu nampaknya mengerti dengan mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Akan tetapi, siapa yang tahu jika gadis itu benar-benar mengerti atau bukan?
“Jadi kalau ayah punya tunangan dan mereka menikah, lalu tunangan ayah juga akan menjadi keluargaku juga, begitu?”
Vian terkekeh kecil, sepertinya gadis kecil ini telah menangkap penjelasannya tadi. “Iya. Selain itu juga jika ayahmu menikahi tunangannya, wanita yang menjadi tunangan ayahmu nanti akan menjadi ibumu,” jawabnya. Vian tak bisa menahan gemas kala melihat binar bahagia di mata gadis kecil itu. Ia jadi membayangkan, apakah nanti ketika ia menikahi seorang gadis dan memiliki anak perempuan akan semenggemaskan gadis kecil di hadapannya ini? Ah, tapi hatinya menjerit pilu. Memang siapa gadis yang mau dengan ia yang gila kerja ini? Ada yang tertarik dengannya saja ia merasa beruntung.
Tak tahu saja jika di perusahaan tempat Vian bekerja, tak sedikit wanita yang menaruh hati padanya dan tidak berani mengungkapkan perasaan mereka karena terhalang sikap dingin Vian. mereka enggan mendekat begitu menyadari Vian tak mau didekati siapa pun. Mereka sungkan dan juga enggan mendengar penolakan dari pria tampan berambut undercut itu.
“Kalau begitu Kak Vian jangan jadi tunangan Kak Farrin. Biar Kak Farrin menjadi tunangan ayah saja dan mereka menikah lalu Kak Farrin menjadi ibu Reum,” celetuk Areum.
Farrin ternganga kecil, tak menyangka jika gadis kecil itu bisa mengeluarkan ucapan yang sebegini gamblangnya. Sedang Vian, ia merasa terpojokkan oleh ucapan dan penjelasannya sendiri kepada gadis itu.
Hey, mana bisa begitu?
Kalaupun dia bisa memutus pertunangan Farrin, maka ia akan melakukannya dan membuat Farrin benar-benar bertungan dengannya dari pada menjadi tunangan sang kakak meski secara sembunyi-sembunyi seperti ini.
Vian tidak terima, sungguh!
Vian tak akan mampu melihat ayah gadis kecil itu mempersunting Farrin. Di sudut hati Vian, ia mematenkan Farrin hanya boleh menjadi menantu ibunya. Entah itu untuk Avan, atau dirinya. Tak boleh untuk pria lain. Apa lagi pria yang sudah memiliki anak seperti ayah gadis kecil itu.
Ia tak akan sudi.
Ada yang merasa keberatan dengan keputusan Vian?
Setelah makan siang yang cukup membuat hati seorang Vian menjadi jengkel, Vian memutuskan untuk tidak kembali ke kantornya. Ia telah melayangkan izin lewat pesan singkat pada sang atasan. Atasannya pun tak mempermasalahkan hal itu karena selama ini Vian belum pernah meminta izin sama sekali.Vian menggunakan waktu izinnya itu untuk menemani Farrin selama jam kerjanya. Dalam hatinya, sejujurnya ia tak ingin kecolongan untuk hal yang satu ini. Meski nyatanya wanita yang ada di dekatnya saat ini adalah tunangan kakaknya, ia tetap tak bisa membiarkan hal ini terjadi begitu saja. Mungkin bisa dikatakan jika dirinya posesif, tapi biarlah. Ia akan tetap melindungi wanita disisinya itu bagaimanapun kondisinya dari segala sesuatu yang berpotensi untuk direbut pria lain.Dengan dalih ingin menemani Farrin dan melihat kesibukannya bekerja sebagai pengasuh dan pengajar, Vian dapat dengan mudah menjadikan dirinya sosok yang kini menemani Farrin dalam mengurus beberapa anak. Tak dip
Vian pernah membayangkan jika kelak ia kencan, ia akan berpenampilan menarik dan terlihat menawan di hadapan pasangan kencannya. Saat ini, di kencan pertamanya, ia justru terlihat buruk karena penampilan setelah berkerja tak ia benahi. Tak ada baju rapi dan badan segar, yang ada hanya wajah dan baju yang kusut disertai dengan badan kumal tanpa mandi.Menyedihkan, ya.Namun, yang sama sekali tak ia sesali adalah bagaimana cara Farrin menjalankan kencan pertama mereka yang melebihi ekspektasi yang Vian inginkan. Farrin masih terlihat begitu menawan meski ia sama sepertinya yang kusut karena seharian bekerja. Melalui temaram lampu cafetaria di pinggir pantai itu, diam-diam Vian mengagumi paras Farrin. Ah, tidak. Ia memang selalu mengagumi paras Farrin. Lalu untuk malam ini, ia lebih mengaguminya.Farrin menjadi sosok sempurna dalam bayangannya. Tak ada kesalahan dalam kencan mereka, dan Vian sama sekali tak menyesal karena telah mengikuti ajakan Farrin untuk kencan
Sial!Vian telah kecolongan. Ia yakin jika ia tak akan bisa menepati janjinya beberapa waktu yang lalu tentang ia yang ingin membawa Farrin untuk berkunjung ke pantai setiap hari.Baiklah, ia akan meralat permintaannya yang itu. Setelah ini, mungkin ia akan berhati-hati dengan permintaannya.“Maafkan aku. Aku hanya ingin menikmati bagaimana angin pantai membelai rambut dan tubuhku. Bagaimana aku bisa mencium aroma laut dari jarak sedekat ini tidak seperti biasanya yang hanya bisa aku nikmati di balik kaca mobil. Aku tahu hal itu kekanakan. Tapi, sungguh! Aku hanya ingin menenangkan hatiku dengan memandang laut,” ujar Farrin.Vian memandang wajah Farrin. “Mengapa harus pantai?” tanyanya.Farrin menolehkan wajahnya dan memandang Vian dengan pandangan keheranan. “Maksudku ada pilihan lain untuk menenangkan diri selain pantai, ‘kan? Jika kau suka akan kesunyian dari hiruk pikuk manusia, bukankah ada gunung atau hutan
“Jadi, apakah lelaki itu yang membuatmu murung seperti ini? Apa perlu kita kembali dan membiarkanku memberikan beberapa pukulan di wajahnya karena membuat seorang wanita menjadi murung karena kedatangannya?” tanya Vian. Ia merasa amat tidak nyaman ketika mendapati Farrin tengah berwajah muram seperti ini. “Untuk apa? Tidak akan ada gunanya. Kau hanya akan melukai dirimu sendiri nantinya. Aku tak mau hal itu terjadi karena aku yakin semua hanya sia-sia semata,” jawab Farrin. Vian ingin sekali membalas ucapannya. Namun, seakan hal itu hanya bisa berhenti di mulut dan tak boleh mengeluarkan kata sama sekali. Menang benar, mungkin semua kaan menjadi sia-sia saja jika Vian kembali dan membalas perlakuan pria tadi karena secara tak langsung kedatangannya membuat wanita itu murung. Sedangkan Farrin, wanita itu merasa jika dirinya bersalah dalam hal ini. Vian, meski nyatanya mereka baru bersama dalam waktu dekat ini, ia bisa merasakan jika ada suatu perasaan yang men
Vian masih setia duduk dan diam memperhatikan Farrin yang masih sesenggukan. Jika saja bisa, ia ingin memeluk dan menyalurkan sebuah dukungan untuk wanita itu. ia ingin mengatakan berhenti. Namun, hal itu tak akan membuatnya lega karena cerita belum selesai.“Aku sama sekali tak tahu mengapa aku selalu berada di posisi seperti ini. Karena yang kutahu, aku ingin membahagiakan pasanganku. Aku ingin menjalani hidup dengan baik dan aku ingin aku tidak menyesal jika suatu saat aku kembali ditinggalkan. Hatiku seolah mengatakan jika aku harus melakukan hal itu atau hanya penyesalan yang ku dapat nantinya. Tapi sepertinya hidup tidak berjalan sesuai apa yang kita inginkan, ya? Nyatanya selalu ada penyesalan di setiap keputusan yang aku ambil.”Tangis Farrin makin deras. Vian mengerti, Farrin hanya mencoba untuk menjalani hidupnya dengan baik dan menginginkan sebuah hubungan yang baik pula. Ia kini merutuki kakak kembarnya yang bersikap semaunya sendiri itu. Bagaim
Saat ini, Farrin merasa jengah.Tentu saja.Karena pria yang beberapa hari lalu ia temui di pantai itu kini tak henti-hentinya menganggu semua hal yang berhubungan dengan Farrin saat wanita itu tidak dalam keadaan mengajar. Seperti saat ini, ia duduk di kursi yang terletak di taman sekolah tempat Farrin mengajar. Pria itu juga mengambil tempat yang berada di hadapan Farrin.Sebenanya, Farrin enggan menemui pria dari masa lalunya itu. Namun, mendapat tatapan tak mengenakkan dari kepala sekolah karena mengabaikan tamu membuatnya mengurungkan niatnya untuk kembali tak menganggap kedatangan lelaki itu. Karena bagi kepala sekolah, seorang tamu harus menjadi prioritas dan di perlakukan dengan baik. Kepala sekolah sama sekali tak mau tahu akan apapun yang terjadi di antara mereka berdua. Yang terpenting, Naru harus memperlakukan tamu dengan baik, itu poin utamanya.“Aku tahu aku yang salah di sini. Tapi, bisakah kita berbicara berdua? Aku ingin mengakui be
“Tapi jangan berharap lebih padaku. Aku memang menerima maafmu karena tugasku adalah memaafkan mereka yang meminta maaf. Namun, aku sama sekali tidak bisa mengubah pendirianku untuk kembali padamu seperti yang tempo hari kau minta padaku. Aku akan tetap melanjutkan apa yang ada di depanku tanpa menoleh lagi kebelakang. Juga, aku akan tetap melanjutkan pertunanganku dan tidak akan mengubah apapun bahkan jika kau terus meminta untuk mengakhirinya,” lanjut Farrin.Bak petir di siang bolong, kalimat itu mengusik hati Kiandra yang sebelumnya terasa bahagia karena Farrin memaafkannya.“Itu berarti kau belum memaafkanku.” Kiandra menunduk. Ia merasa kecewa atas penolakan Farrin dan membuatnya berkecil hati karena keputusan wanita itu. Bagi Kiandra, jika Farrin memaafkannya, bukankah itu berarti dia bisa kembali lagi seperti semula?Naif.Segalanya tak seringan itu untuk dipikirkan apalagi menyangkut hati. Seseorang bisa terluka hati
Setelah pertemuannya dengan Kiandra di café yang membuat banyak emosinya terkuras, kini Farrin tengah berada di butik langganan ibu dari Vian untuk fitting baju pengantinnya. Tentunya bersama sang calon ibu mertua dan Vian tentu saja. Namun yang Farrin bingungkan, Vian hanya lebih banyak diam dan terlihat sama sekali tidak antusias untuk mencoba pakaian yang akan mereka gunakan saat pernikahan nanti. Ia bahkan hanya bisa melihat Vian mencoba tuxedonya sekali lalu setelah itu berkaca sebentar dan melepasnya kembali. Apakah sebegitu tak inginnya Vian atas pernikahan mereka?Padahal, tak tahukah Farrin jika sebenarnya Vian bermuram karena ia mengingat kenyataan yang akan ia hadapi? Ia benci jika dirinya harus memakai baju yang akan ia gunakan untuk menghadiri pernikahan orang yang dia cintai dan tak bisa ia miliki. Ia juga tak ingin mengakui jika ia hanya akan menjadi pendamping orang yang menjadi pengantin sesungguhnya. Apa lagi saat melihat dengan jelas bahwa p
“Van?” bisik Farrin seakan tak mempercayai pandangannya. Matanya tak berkedip untuk beberapa saat, kala ia mengagumi sosok yang pernah ia tolak di altar. “Ini aku, Fa. Aku datang untuk menjemputmu,” ujar Avan. Pria serupa Vian itu tersenyum lembut dan berjalan pelan menuju tempat Farrin berdiri termagu. Ia ingin tertawa, menertawakan wanita yang telah menolaknya itu dan terlihat rapuh untuk saat ini. “Berkediplah! Aku bukan fatamorgana atau ilusi semata. Aku nyata dan bisa kau rengkuh dalam pelukanmu, Mon Amour.” Ah, panggilan yang Farrin rindukan. Hancur sudah pertahanan Farrin dan ketika ia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Ia tak menyangka jika setlah semua ini, ia baru menyadari bahwa ia butuh Avan untuk bersandar, bukan Vian atau dirinya sendiri seperti yang pernah ia katakan. Hatinya terlalu pongah untuk mengakui jika ia masih membutuhkan bahu pria untuk bersandar. Ia pikir, mungkin akan lebih baik untuk berdiri sendiri seperti yang dulu
Farrin menerima kenyataan jika Avan tak akan menerimanya karena ia sekarang sudah menjadi bekas sang adik. Dengan perlahan, ia kembali menatap kolam dan mengusap lembut perut datarnya. Tempat di mana nyawa lain kini tengah bersemayam dan menunggu untuk bertumbuh. “Avan dengan senang akan mengakui bahwa ia adalah ayah dari anak yang kau kandung,” ujar Rizuki. Ia memahami apa yang membuat Farrin murung. “Apakah bisa? Aku takut jika ....” “Jika dia akan lebih menyayangi anak kandungnya nanti jika kau memutuskan bersamanya?” Farrin mengangguk. Sudah Rizuki duga jika Farrin akan berpikir seperti itu. Sebelum ini, keduanya sudah membahas bahwa ia tak akan mempermasalahkan jika Farrin ingin kembali bersama Avan. Wanita berdarah Jepang itu juga mengatakan bahwa Avan sama sekali tak tahu menahu tentang apa yang sudah ia lakukan pada mantan kekasihnya itu. Avan murni pergi tanpa mengetahui apa pun tentang keberadaan Farrin. Awalnya, Farrin memutuskan un
“Dia tuanku.” Hanya jawaban itu yang bisa Farrin dengar dari bibir Natsu dan membuat wanita yang masih hamil muda itu mendengus kesal. Tentu saja, siapa pun di rumah ini pasti tahu kedudukan pria itu bagi Natsu. Namun, bukan jawaban itu yang Farrin butuhkan. Ia ingin jawaban yang lebih bagus dan spesifik dari hal itu. Alhasil, Farrin mendiamkan Natsu dan sama sekali tak menyentuh apa pun yang Natsu siapkan untuknya. Ia merasa jika selama ini idirinya menjadi boneka yang bisa dipermainkan oleh semua orang. Setelah permainan Avan dan Vian, disusul Rizuki, lalu kini Natsu. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu istri dari pria misterius yang mendatanginya kemarin dan mencari jawaban darinya. Tanpa disadari, waktu sudah berjalan cepat dan hari telah berganti. Meninggalkan Farrin yang masih enggan memasukkan apa pun ke mulutnya karena rasa kesal. Alex bahkan Natsu menyerah untuk membujuknya, bahkan ketika Natsu membujuk dengan jiwa yang Farrin bawa bersamanya pun, Far
“Kau, siapa?” tanya Farrin. Ekspektasinya akan Avan menghilang begitu saja kala ia mendapati sosok pria yang tak ia kenal sama sekali. Pria berbadan tegap, memiliki mata sipit khas Jepang, dan kulit kuning kecoklatan yang dibalut dengan tuxedo. Dari yang ia fahami, pria itu bukan orang sembarangan yang bisa ia singgung dengan mudah.“Konnichiwa (selamat siang),” ujar pria itu sambil memberi salam khas Jepang. “Boku no nawae wa Daisuke desu, yoroshiku. (Namaku Daisuke, salam kenal)”Farrin hanya bisa mematung dan menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa dimengerti oleh Alex yang berdiri seolah tengah mengawal pria itu. Mungkin, Farrin sedikit syok atau tidak mengerti apa yang diucap oleh pria itu.“Ah, Rin-chan. Maksud Tuan, beliau sedang memperkenalkan diri.” Natsu tiba dan berusaha menjelaskan siapa pria yang sedang duduk itu. Natsu mengerti, Farrin pasti tidak paham dengan ucapan pria yang memperkenalkan diriny
Setelah Farrin meminta sarapan di waktu dini hari dan Alex serta Natsu mencurigai sesuatu, keduanya sepakat untuk melakukan serangkaian tes dan pertanyaan hingga mereka mengambil kesimplan bahwa Farrin memang membawa nyawa lain di tubuhnya. Bahkan, untuk menegaskan kesimpulannya, Alex sengaja pergi mencari apotek saat matahari telah terbit dan membeli alat tes kehamilan instan. Alex maupun Natsu sudah menduga jika hasilnya akan berakhir positif, tetapi tidak dengan Farrin. Ia masih merasa tidak percaya. Kegagalannya beberapa waktu lalu untuk melihat dua tanda garis pada alat itu membuat ia berkecil hati dan enggan berharap lebih. Memang, apa yang bisa Farrin harapkan? Sedangkan meski ia positif pun, keputusan perceraiannya dengan Vian sudah mencapai tahap final. Jadi, ia merasa jika lebih baik untuk menyembunyikannya saja. Toh, meski Vian tahu pun, ia tak bisa memberi keluarga yang baik untuk calon anaknya kelak. Vian sudah memiliki Lena di sampingnya dan akan memili
Begitu selesai, Alex segera menuju dapur dan mendapati Natsu serta Farrin yang terduduk dan seperti menunggu kedatangannya. Alex tak tahu jika kehadirannya begitu ditunggu dengan antusias seperti ini. Ah, ia jadi menyesal saat ia berniat untuk mengulur waktu di kamar mandi dan berharap dua wanita yang hidup dengannya itu tak betah menunggu dan pergi tidur. “Maaf, Nona. Aku harus menyelesaikan sesuatu tadi,” jelas Alex. Ia tak ingin Farrin menuduhnya yang tidak-tidak, sedangkan yang sebenarnya memang ia tidak ada kegiatan sama sekali. Farrin menggeleng kecil dan tersenyum, lalu berkata, “Iya, tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi, ya. Jaa ... ayo masakkan aku ramennya. Dua, ya. Aku ingin makan dengan Natsu-chan juga. Ah, tiga kalau juga ingin, ya. Aku tak ingin kau hanya diam dan melihat kami makan.” Ah sial! Ingin rasanya Alex mengumpati Farrin. Natsu, kan, bisa membuatnya sendiri, mengapa ia yang harus disuruh untuk membuatkannya juga. Ia yakin, Natsu bisa membu
“Alex,” ujar Natsu. Ia menggoncang pelan tubuh Alex yang tengah terlelap di futon—kasur lantai khas Jepang, yang ada di kamarnya. Natsu mungkin merapal untuk meminta maaf untuk nanti, tetapi ia juga bersyukur karena Alex tidak mengunci pitu kamarnya.“Ada apa, Nats?” tanya Alex dengan pelan. Jika saja tuan yang memerintahkannya untuk menjaga Farrin ada di sini, sudah pasti ia akan mendapat hukuman karena menurunkan tingkat kewaspadaan. Karena bagaimanapun juga, Alex adalah seorang penjaga dan tugasnya adalah memiliki kewaspadaan yang tinggi. Dan membiarkan kamar tidak terkunci dan seseorang bisa masuk sembarangan adalah suatu kesalahan yang fatal.“Oh, tidak! Nats!” sergah Alex. Ia baru ingat jika tak mengunci kamar. Lalu, apakah ada suatu hal yang membuat wanita itu panik seperti ini?“Apa, lex?”“Aku lupa mengunci pintu dan menurunkan kewaspadaanku. Seharusnya aku tidak menuruti perkataan Farri
“Vi, hentikan pencarianmu tentang Farrin.”Dengan satu kali tombol ditekan, pesan suara yang Nazilla kirimkan kini terkirim pada ponsel Vian. Ia sudah memutuskan untuk mengalah dan membiarkan Farrin lepas dari tanggung jawabnya. Setelah ini, ia hanya bisa berharap jika wanita itu bisa menemukan bahagianya sendiri, atau setidaknya menemukan orang yang mencintainya.Bukankah dicintai lebih baik ketimbang mencintai?Sebagai orang yang sudah melewati lima dasawarsa alam hidupnya, Nazilla mengerti betapa hidup terkadang tidak bisa kita kendalikan meski ada banyak uang di tangan kita. Padahal, tak sedikit dari mereka yang mengatakan bahwa jika kau memiliki uang, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan.Mungkin mereka benar, tetapi bukan berarti harus dijadikan sebagai sebuah pembenaran.Nazilla sendiri yang mengalaminya tanpa ada bantuan cerita dari orang lain. Kini, meski uang dan kekuasaan bisa ia pegang, satu wanita untuk kebahagiaan pu
“Ap-apa maksudmu, Ri?” Badan Nazilla mengalami tremor kecil saat Rizuki menyelesaikan ucapannya. Semakin lama, Wanita paruh baya itu semakin merasa terancam saat wanita yang enggan duduk itu mengatakan banyak hal. Bahaya! Ia bisa mencium ada tanda-tanda bahaya untuk nanti.“Mama sangat tahu apa yang kumaksud, tapi masih menanyakannya padaku? Biar kuberitahu satu hal, Ma. Biarkan Avan bersama dengan Farrin dan mereka menjemput bahagianya. Putra kesayanganmu sudah bertemu dengan wanita yang pas untuknya. Wanita yang mencintainya dan memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang bisnis. Sebagai orang yang kau anggap anak juga, aku mengatakan hal yang sebenarnya dan berharap Mama bisa mengerti.”Rizuki melirik Nazilla sekilas lalu melanjutkan, “Yang Mama tuduhkan, bahwa aku tidak adil pada kedua orang itu semata-mata juga karena Mama sendiri. Perlukah aku mengatakan semua hal yang membuat Mama bisa berpikir bahwa apa yang Mama lakukan adalah sebua