"Tidak. Begini saja, kau jadi babysitter," ralat Dareen, teringat bahwa babysitter yang dipekerjakannya telah mengundurkan diri dua hari yang lalu.
"Apa? Jadi babysitter?" Arisha terperangah.
Kuliah sampai sarjana dengan niat agar dapat bekerja sesuai dengan bakat dan minatnya, kenapa tiba-tiba ditawari jadi babysitter?
Dalam mimpi pun Arisha tidak pernah berharap akan menekuni bidang pekerjaan yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi tersebut.
"K–kamu … cuma bercanda, 'kan?"
Dareen menatap lekat wajah resah Arisha. "Apa aku kelihatan sedang bercanda?"
"Tidak sih," jawab Arisha ragu.
Mau tidak mau Arisha harus mengakui bahwa Dareen terlihat sangat serius dengan kata-katanya.
"Kuberi kamu waktu untuk memikirkannya sampai makan malam nanti," tegas Dareen. "Kalau kamu menerima tawaranku, bukan hanya tempat tinggal dan makanmu yang gratis di sini, kamu juga akan menerima gaji. Bahkan, jauh lebih tinggi dari karyawan biasa yang bekerja di perusahaan."
"Kalau aku … tidak mau?"
"Silakan angkat kaki dari sini! Rumahku bukan panti sosial, yang bersedia menampung sembarang orang."
Hati Arisha kecut mendengar ultimatum dari Dareen. Lelaki itu telah berlalu meninggalkan kamarnya.
Haruskah ia menerima tawaran dari lelaki asing yang telah menolongnya itu?
Seumur hidup dia belum pernah mengasuh anak kecil. Dia tidak punya adik. Bahkan, semenjak orangtuanya meninggal dunia, dia hidup bersama tantenya yang merupakan janda tanpa anak.
"Ya Tuhan, aku meninggalkan tante tanpa pesan," bisik Arisha, merasa bersalah lantaran kabur begitu saja.
Tantenya pasti kalang kabut mencari keberadaannya.
Buru-buru Arisha mencari ponselnya. Dia harus menghubungi tantenya sebelum wanita itu melapor ke polisi dan menyebar berita di dunia maya tentang dirinya, yang menghilang tanpa jejak.
Namun, ketika dia sadar bahwa sang tante telah mengusir dirinya, Arisha menyimpan kembali ponselnya. Tidak mungkin seseorang yang menginginkan kepergiannya mencemaskan dirinya.
Setidaknya ia merasa lega sekarang, karena telah berhasil selamat dari kebusukan Hanna dan memiliki tempat bernaung, walau hanya untuk sementara.
Brak!
"Nggak mau! Nggak mau! Daddy! Daddy!"
Suara barang dibanting serta jeritan seorang bocah perempuan mengusik ketenangan Arisha, yang tenggelam dalam pemikirannya tentang tawaran Dareen.
Perlahan Arisha beranjak turun dari ranjang sambil menajamkan telinga, menyimak lengkingan kemarahan dari seorang bocah yang lagi tantrum.
Arisha berjalan mengendap-endap keluar dari kamar, mengikuti suara berisik, yang diselingi raungan tangis.
"Non, sudah dong nangisnya," bujuk seorang wanita dewasa. "Non sarapan ya, bibi suapi."
Arisha mengenali suara itu. Ya, tidak salah lagi. Itu adalah suara wanita paruh baya yang mengantarkan makanan untuknya ke kamar.
"Nggak mau! Bibi Nah, Silla mau sama daddy!"
"Iya. Nanti Bibi Minah antar Non ketemu daddy ya, tapi … Non makan dulu …."
"Huuu … daddy … Silla mau daddy … huhuuu …."
Arisha merasa terenyuh mendengar isak tangis bocah bernama Silla itu. Naluri keibuannya seketika muncul. Menuntun jemarinya, bergerak untuk mendorong pelan daun pintu kamar bocah itu.
Bibi Minah dan Silla serentak menoleh ke pintu.
Arisha tersenyum. "Hai, Cantik! Boleh kakak masuk?" tanyanya, di sela degup jantungnya yang tak keruan. Menyadari kenekatannya untuk mendekati gadis kecil itu.
"Wah, lampunya keren ya?" imbuh Arisha, melempar pandang pada lampu kristal berukuran kecil yang menggantung pada langit-langit kamar.
Silla mendongak. Isak tangisnya seketika reda.
Tak sia-sia Arisha membaca artikel yang pernah melintas di beranda media sosialnya, tentang salah satu cara mengatasi anak menangis.
Filosofi seseorang yang sedang bersedih cenderung menunduk, maka untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan hal yang berlawanan.
Bi Minah tersenyum samar menyadari efek positif dari keberadaan gadis asing yang dibawa pulang oleh tuannya.
"Kelihatannya, makanannya enak nih," komentar Arisha yang telah mendekat pada Silla dan Bi Minah. "Boleh kakak cicip? Kakak juga lapar."
Arisha mengusap perutnya sembari menjilat bibir, seolah-olah dia sungguh tergoda dengan makanan yang ada di depan matanya.
Silla yang terpesona dengan kecantikan dan keramahan Arisha mengangguk ringan.
Arisha mengerling kepada Bi Minah. Wanita paruh baya itu lantas menyerahkan piring berisi nasi goreng di tangannya kepada Arisha.
"Putri kecil, apakah Tuan Putri mau makan bersamaku?" rayu Arisha. "Aku kesepian. Rasanya tidak enak sekali kalau makan sendirian."
Arisha berusaha membujuk Silla dengan suara yang sengaja dibuat memelas dan tatapan mengiba.
Silla masih bergeming.
"Oh, ayolah, Tuan Putri … dikiiit aja. Mau ya?"
Arisha menyendok nasi goreng, kemudian mengangkatnya ke udara bak sebuah pesawat yang sedang melakukan atraksi udara.
"Pesawat mau mendarat. Ayo siapkan landasan! Buka mulutnya, Tuan Putri!"
"Silla mana, Bi? Apakah dia tantrum lagi hari ini?""Iya, Tuan. Seperti biasa, bibi sampai kewalahan menghadapi Nona Kecil."Dareen menghela napas panjang. "Aku juga tidak tahu lagi bagaimana menghadapinya, Bi. Tidak satu pun babysitter yang kupekerjakan mampu menarik hatinya. Aku juga jadi tidak tenang dalam bekerja. Selalu memikirkannya."Wajah letih Dareen terlihat putus asa. Setiap jam makan siang dia harus pulang untuk mengecek kondisi Silla.Tak jarang gadis itu dia dapati sedang tantrum, membanting semua barang-barang di kamarnya. Akan tetapi, siang ini, kenapa begitu tenang?Sadar akan perubahan itu, Dareen mengernyit dan bertanya dengan nada cemas, "Di mana Silla sekarang, Bi? Apa telah terjadi sesuatu yang buruk padanya?"Dareen melesat menuju tangga yang menjadi penghubung ke lantai atas.Bi Minah tersenyum santai. "Tenang saja, Tuan! Semua aman terkendali.""Maksud, Bibi?""Non Silla udah ketemu sama pawangnya, Tuan," beritahu Bi Minah setengah berbisik."Aduh, Bi … tolong
"Kamu mau membunuh Silla?" Dareen berkata dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan. Jemari panjangnya mencekal pergelangan tangan Arisha dan menjauhkan tangan gadis itu dari dada Silla. Arisha meringis. "Lepas! Kamu menyakitiku." "Katakan! Apa yang kamu lakukan pada Silla?" "Memangnya apa yang aku lakukan? Aku hanya mendoakannya," sahut Arisha seraya berusaha bangkit. Kening Dareen mengerut. "Jangan coba-coba menipuku, Arisha!" bisik Dareen, menyeret Arisha menjauh dari Silla. "Aku tidak buta. Aku lihat kamu menekan dada Silla." "Astagfirullah! Kamu salah paham. Aku tidak berniat menyakiti Silla. Aku justru sedang berusaha mengetuk pintu langit, berharap Allah akan melembutkan hatinya." Dareen menyipitkan mata, curiga. "Aku tidak bodoh, Arisha!" "Ya, ya. Kamu tidak bodoh, tapi juga tidak cukup pintar untuk membesarkan seorang anak," sindir Arisha dengan bibir mencebik sinis. "Dengar, Tuan Sok Pintar! Jangan cuma bisa membuat anak, tapi pelajari juga cara mendidiknya! Hanya den
"Kakaaak! Kakak Nggak boleh tinggalkan Silla!" jerit Silla, berlari menuruni tangga. Rambutnya yang sepinggang berkibar-kibar dan terlihat kusut. "Aakh!" Silla terjatuh kala kaki mungilnya tersandung pinggiran karpet. Mengabaikan rasa sakitnya, Silla bergegas bangkit, kembali memburu Arisha. Melihat pemandangan yang menyentuh hati itu, pegangan tangan Arisha pada kenop pintu terlepas. Ia berjongkok, mengimbangi ketinggian Silla. Gadis mungil itu menghambur ke dalam pelukan Arisha dan memagut lehernya dengan erat. "Silla … Silla mau sama Kak Sha," lirih gadis itu, terbata-bata. Ia mulai sesenggukan. Arisha dilema. Sungguh tak ada keinginan dalam hatinya untuk tetap tinggal serumah dengan Dareen. Lelaki yang menurutnya sangat arogan dan menyebalkan. Akan tetapi, melihat betapa Silla mulai bergantung kepadanya, rasa tak tega menyeruak dalam hatinya. Menyapa dengan bisikan-bisikan yang meluluhkan jiwa. "Sayang, kok tidur siangnya sebentar sekali?" tanya Arisha, menyembunyikan ras
"Bi Minah, Silla mana? Kenapa dia tidak ada di kamarnya?" Pagi-pagi Dareen heboh sembari memasang wajah panik. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk mengecup kening sang keponakan tercinta sebelum berangkat kerja. Namun, pagi ini, kamar gadis mungil itu kosong. Prasangka buruk mulai merasuki pikirannya. "Bi, kenapa diam saja?" sungutnya, menyadari sang asisten rumah tangga hanya tersenyum simpul. Tangan wanita paruh baya itu masih menggenggam kemoceng yang ia pakai untuk mengikis debu pada kaca lukisan, penghias dinding koridor menuju bibir tangga. "Bukankah bagus jam segini nona cilik tidak lagi tidur, Tuan?" Sebelah alis Dareen terangkat. "Maksud, Bibi? Silla bukan dibawa kabur, tapi memang sudah bangun?" "Ya ampun, Tuan! Siapa yang berani membawa kabur nona cilik?" timpal Bi Minah. "Nona cilik bersama Non Arisha." "Huh? Sepagi ini?" Dareen masih tak percaya keponakannya itu mau melepaskan diri dari belitan selimut hangatnya saat matahari baru sepenggalan naik. Bi Minah men
"Dasar cowok gila! Dia yang menahanku, dia juga yang selalu curiga," omel Arisha, merasa dongkol dengan kata-kata Dareen yang terus terngiang di telinganya. Sementara tangannya sibuk mengaduk susu yang disiapkannya untuk Silla. "Laki-laki memang egois! Giliran ada maunya baik banget, tapi cuma kedok doang. Aslinya penipu! Habis manis sepah dibuang!" Arisha terus mengomel, mengeluarkan unek-uneknya. Bukan hanya tentang Dareen, melainkan juga dongkol setengah mati pada sosok Alfian. "Tidak semua laki-laki begitu, Non—" "Eh, Bi Minah!" Arisha menoleh kaget. "Sejak kapan Bibi berdiri di situ?" Wajah Arisha sedikit beriak resah. Gawat kalau Bi Minah mendengar semua ocehannya. Bagaimana kalau Bi Minah mengadu pada Dareen? Ah, bisa keluar tanduk dari kepala Dareen. Arisha mengutuki kebiasaannya yang suka berbicara sendiri, sebagai salah satu cara untuk meluapkan emosi. "Sudah lumayan lama, Non," sahut Bi Minah, tersenyum tipis seraya melangkah mendekati Arisha. "Bibi … mendengar semu
Dua tatapan saling mengunci. Arisha dengan kilat tak suka berbalut canggung. Dareen dengan binar mata tak terbaca. "Silla, Sayang. Silla hanya boleh memilih salah satu. Mau sama kakak atau Daddy?" Arisha memecah hening setelah berhasil menguasai situasi. "Silla mau ditemani Kak Sha sama Daddy." "Nggak boleh, Sayang." "Kenapa nggak boleh?" Wajah Silla murung. Arisha kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan alasannya kepada Silla. "Sayang, nanti setelah Silla besar, Silla akan paham." "Ehem!" Dareen mendeham kikuk tanpa berani menatap langsung pada Arisha. Permintaan Silla memantik perasaan aneh dalam hatinya. Ia sendiri tidak yakin itu perasaan apa. Yang jelas, pipinya terasa memanas. "Tidurlah! Daddy tidak akan pergi. Da—" "Daddy akan tidur sama Silla dan Kak Sha?" potong Silla dengan wajah berbinar cerah. Arisha melotot pada Dareen. Tatapan tajamnya melayangkan ancaman. Dareen mengulum senyum, perlahan mulai mengayun langkah. Melihat aksi nekat Dareen,
"Astagfirullah!" Arisha tergesa-gesa membuka mukena. Bayangan Silla terjatuh dari ranjang membentot langkahnya menuju pintu. "Silla? Kenapa, Sayang?" Ternyata gadis kecil itu telah berada di depan pintu, tersedu sedan dalam gendongan Dareen. Kedua tangan mungilnya terulur dan gemetar. Arisha mengambil Silla dari gendongan Dareen. Ia berbisik menenangkan Silla seraya mengelus punggungnya. "Cup, cuuup … Silla kenapa nangis, Sayang?" Silla menelan tangisnya, menyisakan sedan di ujung bibir yang bergetar. "Silla, Silla mimpi buruk." "Oh ya? Mimpi apa?" Arisha membawa Silla kembali ke kamarnya. "Silla, Silla mimpi Kak Sha ninggalin Silla," jawab Silla seraya mempererat belitan lengannya pada leher Arisha. Rupanya sedekat itu ikatan batin Silla dengan Arisha walaupun perkenalan mereka masih hitungan hari. "Kakak hanya pergi sebentar untuk salat Subuh, Sayang." "Salat?" Mata Silla yang berkaca-kaca memancarkan rasa penasaran. Pun Arisha merasa heran. Anak seusia Silla seharusnya
"Silla, nanti kalau besar, jangan biasakan menguping pembicaraan orang lain, ya? Itu tidak baik." "Silla nggak nguping, Kak Sha. Kan Kak Sha ngomong sama Silla. Gimana sih?" Alis Silla terangkat sebelah, merasa bingung dengan perkataan Arisha. Jelas-jelas dia sedang menyimak materi yang diajarkan Arisha, eh, malah dikatakan menguping. Arisha tersenyum tipis, mengerling pada pintu kamar Silla yang sedikit renggang. Dareen bergeser ke sisi kanan. Merasa malu karena ketahuan mencuri dengar ilmu yang diajarkan Arisha pada Silla. Arisha dan Silla saling lempar pandang, lalu kompak mengangguk. Seakan paham dengan kode masing-masing, keduanya berjinjit menuju pintu. Dareen yang tak lagi mendengar suara dari dalam kamar merasa heran. Penasaran, ia pun kembali mengintip. "Hayyyooo … ketahuan Daddy suka ngintip! Ish! Ish! Ish!" Silla membuka pintu secara tiba-tiba dan berseru mengejek. "Itu … ti-dak baik!" Silla mengulang kata-kata yang diucapkan Arisha dengan mimik serius dan penuh p
"Sayang, kamu kembali? Aku mencemaskanmu." Dareen melesat menyongsong Arisha begitu mendengar derit pintu dibuka. "Jangan menyentuhku!" Arisha menepis tangan Dareen yang ingin memeluknya. "Ya Allah, Sayang … aku sudah mandi lho …." Arisha mendelik. "Mandi sana! Atau kamu tidur di sofa!" Dareen garuk-garuk kepala. Wanita kalau cemburu, semua jadi salah. "Ini sudah malam banget, Sayang. Nanti kalau aku masuk angin, bagaimana?" Arisha menulikan telinga. Ia naik ke atas kasur, lalu bersandar di kepala ranjang sambil bersedekap tangan. Tatapan tajamnya menembus manik kelabu milik Dareen. Dareen merasa semakin serba salah. "Serius … aku harus mandi lagi nih?" "Terserah. Aku nggak maksa." Dareen tersenyum lebar. Mudah sekali membujuk Arisha. "Terima kasih, Sayang!" "Tidur di sofa!" Arisha melempar bantal. Senyum Dareen lenyap. Terlalu cepat ia melakukan selebrasi. Ah, ternyata dia salah memahami makna kata terserah yang terucap dari bibir Arisha. "Ya, ya. Aku mandi lagi." Dareen
"Heh, siapa yang menggoda suamimu? Della? Tidak mungkin. Dia bukan wanita murahan dan bodoh seperti kamu!"Ratih tak terima putri semata wayangnya dianggap sebagai wanita penggoda."Oh ya? Terus apa namanya kalau perempuan masuk ke kamar orang lain dan memeluk laki-laki yang bukan suaminya? Perempuan terhormat tidak akan menyerahkan diri pada laki-laki yang baru dikenal, Tante." Arisha menyeringai sinis. "Dia bahkan dengan tak tahu malu memanggil suamiku sayang. Apa begini hasil didikan, Tante?"Ratih mengeritkan gigi. Kesal lantaran Arisha kini berani melawan kata-katanya."Setelah meninggalkan hotel ini besok, Tante, terutama putri kesayangan Tante ini, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!""Sombong kamu sekarang ya! Kamu lupa siapa yang merawat dan membesarkanmu selama ini? Kalau bukan karena tante yang menampungmu, kamu sudah jadi gembel di jalanan."Arisha mencebik. "Tentu aku tidak pernah lupa, Tante. A—""Bagus kalau kamu sadar. Pikirkan juga bagaimana caranya kamu membalas
"K–kamu mengusir kami? Keluarga istri kamu sendiri?"Kenyataan yang terjadi tak semanis impian Ratih. Sungguh ia tak percaya Dareen akan mengusir dirinya dan Della."Saya rasa apa yang saya katakan sangat jelas. Ayo!" Dareen bangkit dan mulai mengayun langkah menuju pintu."Ma, bagaimana ini? Masa kita balik lagi ke kampung?" rengek Della, berbisik resah di telinga Ratih."Sudah. Ikuti saja dulu! Rencana selanjutnya bisa kita pikirkan nanti."Meski enggan, Ratih dan Della tak punya pilihan selain mengikuti Dareen ke hotel."Wah, Ma … akhirnya kita bisa merasakan tidur di hotel." Della tersenyum semringah, duduk mengempas-empaskan pantatnya pada permukaan kasur."Iya, tapi cuma malam ini," keluh Ratih dengan muka ditekuk masam. "Pasti anak pembawa sial itu menjelek-jelekkan kita di hadapan suaminya. Kalau tidak, mana mungkin suaminya itu mengusir kita. Argh, padahal mama sudah membayangkan hidup enak jadi nyonya besar."Ratih menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kasur. "Eh, benaran empuk
Dua minggu kemudian, Arisha baru saja selesai dirias."Waah, Non Arisha cantik banget," puji Bi Minah dengan pupil yang membesar. "Tuan bakal makin klepek-klepek ini mah.""Apaan sih, Bi. Nggak jelas banget." Pipi Arisha merona merah jambu."Ho oh, Mommy. Mommy kayak princess. Sumpah!" Silla ikut mengacungkan dua jempol."Apakah pengantin wanita sudah siap keluar?" Seorang wanita masuk ke ruangan itu. "Acara akan segera dimulai.""Siap! Siap! Aman!" sahut sang penata rias.Arisha melangkah pelan dengan kepala tertunduk malu ketika MC memanggil dirinya dan Dareen untuk keluar dan naik ke pelaminan."Angkat kepalamu! Saatnya kamu bangga dengan diri sendiri," bisik Dareen, menghadirkan rasa geli di telinga Arisha. "Kamu wanita hebatku. I love you!"Tiga kata terakhir dari Dareen mampu memantik rasa percaya diri Arisha yang sempat tenggelam dilindas hinaan dan cacian oleh orang-orang di sekitarnya.Senyum lebar merekah di bibir Dareen. Menyaksikan Arisha mulai menerima diri sendiri sunggu
"Sayang, Silla anak yang kuat. Silla akan sembuh." "Tapi … Mommy kok nangis? Semua orang juga pada nangis. Silla takut mati, Mommy." Arisha memeluk Silla dengan sebelah tangannya yang bisa bergerak bebas. "Cup, cup. Silla salah paham, Sayang. Mommy … dan semua yang ada di sini nangis, itu … karena terharu Silla akhirnya sadar dan akan segera sembuh." "Benarkah?" Silla memandangi wajah orang yang mengelilinginya satu per satu. Mereka kompak mengangguk tanpa sanggup mengucapkan kata-kata. Arisha mengambil gelang di tangan Dareen. "Lihat! Mommy punya dua gelang. Satu untuk mommy, satu untuk Silla. Silla mau?" "Mau, mau!" Silla menjawab antusias, lupa akan kesedihannya barusan. Sejenak Arisha memilah gelang mana yang akan diberikannya pada Silla. Akhirnya, ia memakaikan gelang bernama Arisha Ayuningtyas kepada Silla. "Di balik gelang ini, terukir nama mommy. Nanti, walaupun Silla nggak bisa melihat mommy karena terhalang jarak dan waktu, percayalah … mommy selalu ada di dekat Sil
"Silla takut." Silla menarik tangan Dareen. Sementara matanya tertuju pada Bian. "Lho, kenapa takut, Sayang? Om itu bukan orang jahat kok. Justru Om itu telah mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan Silla." Dareen mengelus lembut punggung jangan Silla. "Benarkah?" "Iya. Om itu saudara mommy." Silla kembali tenang dan memberanikan diri untuk membalas senyum Bian. "T–terima kasih, Om," ujar Silla, sedikit gugup. "Iya. Anak manis. Cepat sembuh ya …." Bola mata Bian terus bergerak memindai wajah Silla dan Arisha. Otaknya berpikir keras. Tidak mungkin ada begitu banyak kebetulan tentang kemiripan Silla dan Arisha. "Tuan Hart, bisakah kita bicara empat mata?" "Tentu. Mari kita ngobrol sambil minum kopi, tapi … tunggu sampai omaku tiba di sini. Tidak mungkin kita meninggalkan mereka berdua, bukan?" "Oh. Oke." Sepuluh menit berselang, Nyonya Hart datang dengan langkah tergesa-gesa. "Silla, Sayang. Oma senang kamu akhirnya sadar. Terima kasih. Kamu anak yang kuat!" Nyonya Hart men
"Kamu masih marah? Maaf, aku tidak bermaksud untuk membohongimu. Aku … hanya belum menemukan waktu yang pas untuk menceritakan semuanya." Dada Dareen terasa sesak mendapat perlakuan tak acuh dari Arisha. Semenjak kejadian di dekat ruang ICU, Arisha masih melakukan aksi tutup mulut dengannya. Sekarang saja Arisha berbaring sambil membuang muka. Gadis itu bahkan menjauhkan tangannya saat merasakan jemari Dareen menyentuh kulitnya. "Arisha, kamu boleh memakiku, tapi tolong … jangan mendiamkanku. Aku akui aku salah karena tidak jujur sejak awal." Arisha mengerti Dareen tentu memiliki alasan untuk menyimpan jati diri Silla dari dirinya. Hanya saja, ia tetap merasa kecewa. "Kalau kamu tidak bisa memercayaiku, tidak ada alasan untuk mempertahankan pernikahan ini." Akhirnya Arisha mau juga bicara. Kepercayaan terhadap pasangan merupakan salah satu pilar utama bagi kokohnya mahligai rumah tangga, selain kejujuran, saling menyayangi, dan menjaga komunikasi. "Arisha, aku belum memberitah
"James, kumpulkan karyawan yang sehat dan biasa mendonorkan darah! Silla butuh darah cepat." "Siap, Bro. Golongan darah apa?" "B negatif." "Kok bisa sama ya?" celetuk James dengan kening mengerut. "Apanya yang sama?" "Itu … golongan darah Silla. Kok sama dengan Arisha. Kebetulan yang aneh." Dareen termangu. Kenapa dia bisa lupa bahwa Arisha juga memiliki golongan darah B negatif. "Jangan ngaco! Walaupun golongan darah mereka sama, aku tidak mungkin meminta Arisha untuk mendonorkan darahnya. Dia bahkan masih dirawat." "Siapa yang butuh darah Arisha?" Dareen dan James menoleh kaget. "Tuan Bian," ucap keduanya serentak. "Ya. Aku sempat mendengar kalian menyebut nama Arisha." Bian menatap Dareen dan James bergantian. Akhirnya Dareen yang menjawab. "Putriku kritis dan butuh darah. Kebetulan golongan darahnya sama dengan Arisha." "Kalau begitu, izinkan aku membantu." "Tapi, Tuan … Anda belum lama mendonorkan darah pada Arisha." "Tidak masalah. Waktu itu cuma satu kantong. Lag
"Aku berhasil mendapatkan rekaman CCTV dari bangunan di seberang sekolah," lapor James seraya menyodorkan ponselnya pada Dareen, yang sedang sibuk di belakang meja kerjanya. "Lihat ini! Hanya saja, gambarnya tidak begitu jelas." Dareen mengambil ponsel dari tangan James. Matanya menyipit, memperhatikan setiap detail gerak yang terekam dalam potongan video tersebut. "Aku seperti mengenali postur tubuh wanita yang mendekati Silla," komentar James, terlihat berpikir. "Tapi, aku tidak yakin tebakanku benar." "Anggita!" seru Dareen, terlonjak tegak. Mukanya menegang. "Aku yakin wanita dalam rekaman ini adalah Anggita. Walaupun dia memakai seribu topeng, aku tidak akan pernah salah mengenalinya." "Ah, pantas saja aku merasa tidak asing. Eh, bukankah kalian sudah putus?" "Dia gila!" Dareen mengirimkan rekaman tersebut ke ponselnya, lalu mengembalikan gawai milik James. "Ayo, ikut aku!" "Rasanya, tidak mungkin Anggita membawa Silla ke apartemennya." James meneleng seraya menggeleng tak