"Apakah ada sesuatu yang seharusnya aku ketahui tentang Silla?" tanya Arisha, menuntut penjelasan Dareen setelah Silla jatuh tertidur.Aldo mengharuskan Silla untuk menginap barang semalam agar ia dapat memantau perkembangan mental gadis itu."Apa yang ingin kamu ketahui?" balas Dareen, tanpa mengalihkan perhatiannya dari tablet di tangannya kepada Arisha.Arisha diam. Merasa dongkol setengah mati lantaran Dareen mengabaikan dirinya.Lelaki itu masih saja asyik bergelut dengan benda penyebar radiasi itu, padahal saat ini mereka berada dalam ruang perawatan kelas VIP.Merasa tak mendapatkan respons balik dari Arisha, Dareen akhirnya menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh pada Arisha."Apa yang ingin kamu ketahui?" ulang Dareen, memaku tatap pada manik mata biru milik Arisha."Lupakan! Pertanyaanku tidak penting!" Arisha bangkit dari sofa yang didudukinya. Beranjak menuju ranjang, tempat di mana Silla terlelap.Dareen tegak dan mengadang langkah Arisha. "Kamu … marah?"Arisha memasang wa
"Selamat pagi!" sapa Aldo, memasuki ruang parawatan Silla dengan senyumnya yang menawan.Arisha yang baru saja selesai membersihkan badan Silla terpesona melihat lesung pipi Aldo. Namun, cepat-cepat ia menggeleng, mengusir kekaguman itu agar tak tumbuh menjadi perasaan yang lain suatu hari nanti."Silakan, Dok! Silla sudah bersih dan wangi." Arisha menepi dan menaruh baskom berisi air hangat, yang digunakannya untuk membersihkan badan Silla, di atas nakas.Aldo mendekati Silla, masih dengan senyumnya yang hangat."Bagaimana kabarmu pagi ini, Putri kecil?" tanya Aldo seraya meraba kening Silla. Suhu tubuh gadis itu terasa normal."Silla mau pulang, Om," rengek Silla. "Di sini nggak enak.""Iya. Boleh, tapi om periksa dulu ya? Kalau Silla sudah tidak takut lagi, Silla boleh pulang.""Silla udah nggak takut kok, Om!""Benarkah? Tidur Silla nyenyak?""Ho oh.""Tidak mimpi buruk?""Enggak."Aldo merasa lega. Berarti kondisi mental Silla tidak terlalu mengkhawatirkan."Om periksa dulu ya?"
"Yeaaay! Pulaaang!" Silla berseru riang seraya mengulurkan kedua tangan pada Arisha, minta digendong.Arisha menjatuhkan tas travel kecil, yang berisi pakaian kotor Silla, ke lantai."Biar aku aja yang menggendong Silla!" cegah Dareen, mendahului langkah Arisha. "Kamu bawa tas itu aja."Dareen berdiri di hadapan Silla, merentangkan kedua tangan. "Ayo, Sayang! Pulang sama daddy!"Silla menggeleng kuat. Matanya berkaca-kaca, memandang ke arah Arisha.Arisha beringsut maju. Saat ia mengulurkan tangan, Silla langsung bangkit.Dalam sekejap, gadis kecil itu telah melingkarkan lengan pada leher Arisha.Dareen mematung, menatap punggung Arisha yang kian menjauh bersama Silla."Waaah, kau kalah saing dari nona aneh itu!" bisik James, memanas-manasi Dareen. "Silla makin lengket dengannya. Ck! Ck! Ck! Sungguh calon istri idaman dan ibu yang baik."Dareen menatap James garang, kemudian mengayun langkah untuk menyusul Arisha dan Silla."Bawa semua barang-barang Silla!" titah Dareen sambil terus b
"Tidak semua hal harus kuceritakan padamu. Ada batasan yang hanya pantas untuk disimpan sendiri." Dareen masih bersikeras untuk bungkam tentang masa lalu Silla. Arisha tak langsung menyanggah. Ia menatap lekat pada Dareen dengan emosi campur aduk. "Baiklah. Jika menurut Anda, saya tak pantas mengetahui sesuatu yang penting tentang Silla, silakan Anda rahasiakan untuk selamanya." Kening Dareen mengerut. Tumben sekali Arisha bersedia berkompromi tanpa menunjukkan sisi pembangkangnya. "Baguslah kalau kamu menyadari batasanmu." "Anda benar, Tuan. Sekarang saya sangat menyadari batasan saya. Oleh karena itu, saya mengundurkan diri sebagai pengasuh Silla. Saya tidak sanggup melindungi keselamatan putri Anda dalam keadaan saya yang buta. "Terima kasih atas kebaikan Anda selama saya tinggal di rumah ini. Saya janji akan melunasi utang-utang saya secepatnya." Arisha membungkuk hormat, kemudian meninggalkan kamar Silla. Dareen bengong. "Apa dia … baru saja menentangku?" Entah pada siap
"Baiklah. Diam berarti Anda tak keberatan dengan kepergian saya," pungkas Arisha, kembali menggunakan bahasa formal. Gadis itu beranjak menuju lemari, bersiap untuk memindahkan lagi pakaian yang sempat disimpan oleh Dareen. Grep! Dareen mencengkal lengan Arisha. Keduanya beradu pandang dalam diam. Setelah cukup lama menunggu, tapi Dareen tak jua kunjung bicara, Arisha akhirnya buka suara, "Tuan Dareen yang terhormat, bukanlah suatu hal yang memalukan bila Anda berterus terang bahwa Anda membutuhkan bantuan orang lain. "Anda bukan manusia super yang segalanya bisa dilakukan sendiri. Bahkan, pahlawan super pun punya kelemahan dan tak jarang mendapat pertolongan dari orang lain. "Percayalah, harga diri Anda tidak akan serta merta lenyap bila Anda membutuhkan bantuan. Sebagai makhluk sosial, itu sangat manusiawi." Dareen merasa tersentil. Selama ini ia hidup dalam kungkungan ego yang tinggi. Dia merasa hebat dan tak pernah ingin terlihat lemah di mata orang lain. "Sudah kubilang,
"Daddyyy! Kak Sha mana?" rengek Silla, menyambut Dareen, yang masuk ke kamarnya. Bersamaan dengan Bi Minah yang melangkah keluar. Dareen celingukan. Dia tak menemukan tanda-tanda keberadaan Arisha di kamar itu. "Kak Sha belum ke sini?" Silla menggeleng. Dareen tercenung. 'Bukankah dia sudah berjanji untuk tidak akan pergi?' "Daddy … Silla mau ketemu sama Kak Sha!" Rengekan Silla mengembalikan jiwa Dareen ke dunia nyata. Walau hatinya terasa kecut, bibirnya tetap tersenyum kala membujuk Silla, "Silla tunggu di sini ya? Daddy akan panggilkan. Mungkin Kak Sha belum selesai mandi." "Tapi, Daddy jangan lama ya?" "Iya." "Janji?" "Janji!" Dareen bangkit, bergegas menyusul Bi Minah. "Bi! Bi Minah! Tunggu, Bi!" seru Dareen, menghentikan langkah Bi Minah yang nyaris mencapai bibir tangga. "Ya, Tuan?" "Um, Arisha mana? Kok Bi Minah yang melayani Silla?" Saat masuk ke kamar Silla di pagi hari, lelaki itu mendapati Bi Minah baru saja selesai menyuapi Silla sarapannya. "Tadi Non Ari
"Kak Sha!" Teriakan Silla mengalihkan perhatian Arisha dan Dareen dari sekumpulan Koi yang berenang di dalam kolam. "Sayang, kenapa ke sini?" Arisha menyerahkan makanan ikan di tangannya kepada Dareen, lalu melangkah cepat, menyongsong Silla. "Di sini dingin, Sayang." "Maaf, Non Arisha. Non Silla ngotot mau ketemu sama Non. Bibi nggak bisa cegah," lirih Bi Minah, merasa bersalah. Arisha segera menggendong Silla. "Ayo kembali ke kamar, Sayang!" Dareen termangu memandangi kotak berisi pakan ikan yang telah berpindah ke tangannya. "Ya, Tuhan! Aku justru seperti orang asing di hadapan keponakan sendiri." Dareen menertawakan dirinya yang kalah pamor dari Arisha di hati Silla. Nyaris ia meluapkan kekesalannya dengan melempar kotak makanan ikan tersebut, tetapi diurungkannya. Detik berikutnya ia justru mengelus permukaan kotak tersebut dengan bibir yang menyunggingkan senyum. "Wow! Sekarang apa pun yang pernah disentuh si nona aneh menjadi sangat berharga, heh?" "Dasar jailangkung!"
"Dari awal, si bebek jelek memang udah menetas sebagai angsa, Sayang. Dia hanya berada di tempat yang salah." "Aih, Silla tambah bingung deh!" Silla mengetuk-ngetuk pipinya dengan jari telunjuk, seakan-akan ia sedang memeras otak untuk mencari jalan keluar dari kebingungannya. "Begini lho, Sayang. Bebek itu menetas dari telur, nah … angsa juga dari telur—" "Aah, Silla ngerti sekarang," seru Silla bersemangat. "Telur angsanya ada yang mindahin ke telur bebek?" "Pintar!" Senyum lebar Arisha lenyap ketika melihat wajah murung Silla, padahal ia baru saja memuji gadis itu. "Kenapa Silla sedih lagi? Kan bebek jeleknya udah jadi cantik?" "Kasihan, Kak Sha! Dia nggak punya mommy, sama kayak Silla." Arisha merasa terenyuh. Segera ia mendekap Silla. "Tidak apa-apa. Sama seperti Silla, angsa malang itu telah menemukan keluarga baru yang menyayanginya." "Dia bahagia?" "Menurut Silla gimana?" Silla mengangguk mantap. "Dia pasti bahagia, sama seperti Silla setelah ketemu sama Kak Sha." "