Hari ini dua bab, yes. Semoga suka dan jangan lupa didukung ya. Makasih buat yang sudah singgah.
“Bisa tolong berhentilah tertawa?” Bima mendesis marah. “Sorry, tapi kau lucu sekali sih.” Erika mengusap sudut matanya yang berarir dan memegangi perutnya yang kram karena kebanyakan tertawa. “Ini sama sekali tidak lucu Erika. Kau sudah melakukan ini dua kali,” Bima kembali memprotes. Erika dengan sekuat tenaga berusaha untuk berhenti tertawa. Biar bagaimana mereka sekarang sedang berada di tempat umum dan orang-orang sudah mulai memperhatikannya. Setelah mengerjai Bima tadi, Erika memang mengajak pria itu pergi ke café terdekat dengan rumahnya. Dia ingin meminta maaf karena sudah dua kali mengerjai pria itu. “Sorry. Soalnya wajahmu menggemaskan banget kalau malu-malu begitu,” balas Erika tanpa ragu. “Sama sekali gak lucu, Erika. Dan lagian hal seperti itu bukan untuk bercandaan,” Bima masih terlihat kesal. “Untung bercandanya ke aku. Kalau ke lelaki lain, mereka pasti sudah mengambil kesempatan.” Erika tidak membalas. Dia membiarkan pria di depannya itu berbicara sampai pua
Erika mengerjap pelan. Dia yang masih mengantuk, terpaksa harus bangun. Ini memang hari libur, tapi entah kenapa dia selalu terbangun sebelum sekitar jam 5 subuh. “Ugh. Aku masih lelah,” Erika mengerang pelan. Tubuh rampingnya kali ini benar-benar terasa remuk. Lebih parah dari pada masih dengan Chris dulu, padahal pria itu punya hasrat yang cukup tinggi. Oh, bukan. Erika bukan kelelahan karena bercinta dengan 4 pria sekaligus, tapi karena satu orang saja. Kaisar Arya Jayantaka. “Katanya mau mengakhiri semuanya, tapi pada kenyataannya malah ngajak,” ledek Erika pada Kaisar yang masih tertidur. Ya. Semalam pada akhirnya Erika hanya berakhir berdua dengan Kaisar. Pria itu dengan kasar mengusir semua orang pulang dan memaksa Erika melayaninya. Entah ada masalah apa, tapi sepertinya mood Kaisar sedang jelek. Setidaknya itu yang Erika rasakan semalam suntuk saat dipaksa kerja rodi. Tidak usah bertanya kerja rodi apa. Yang jelas itu membuat semua tubuh Erika terasa pegal, terutama b
“Ya, Ma.” Kaisar mengangkat teleponnya dengan kening berkerut, sangat jarang ibunya menelepon di jam kerja seperti sekarang ini. “Mama ganggu gak?” tanya Retno hanya sekedar basa-basi saja. “Hm… sedikit. Emang ada apa?” tanya Kaisar memilih untuk jujur. Dia memang sedang agak sibuk, tapi masih bisa mendengar celotehan ibu kandungnya itu. “Ck. Jujur banget sih kamu, Kai. Bohong dikit kenapa sih?” “Bohong itu gak baik loh, ma. Kan Mama yang selalu mengingatkanku untuk jadi anak baik yang selalu jujur.” Retno tergelak mendengar kalimat putra sulungnya itu. Dulu waktu anaknya kecil, dia memang sering mengajarkan hal seperti itu. Siapa yang sangka sekarang kalimat itu dikembalikan padanya. “Mama sebenarnya mau mengajakmu dan Bima makan siang. Kalian ada waktu?” tanya Retno setelah tawanya mereda. Kaisar tidak langsung menjawab. Dia terlebih dulu meminta ibunya menunggu dan menelepon Erika lewat interkom, untuk memastikan jadwalnya hari ini. Sekalian meminta perempuan itu memesan res
“Pak Kaisar ke mana ya Mel?” Erika bertanya pada rekan sekretarisnya yang lain ketika tidak menemukan atsannya di ruangan. “Tadi pergi dengan Ibu Retno dan Pak Bima,” jawab Imel santai. Semua sekretaris Kaisar memang sudah tahu soal Bima yang merupakan saudara Kaisar. Kening Erika sedikit berkerut mendengar penjelasan itu. Masih ada sekitar 30 menit lagi sampai jam makan sinag. Tidak biasanya Kaisar akan pergi sebelum waktunya, apalagi dengan meja yang masih berantakan. Dia lupa kalau keberadaannya tidak boleh terlihat. Dan Erika melihat ini sebagai peluang. Dia bisa membongkar meja Kaisar tanpa menimbulkan kecurigaan. Merapikan meja jelas sangat bisa dijadikan sebagai alasan. Jadinya dia pamit masuk ke ruangan dengan alasan membereskan beberapa berkas. “Oke, kira-kira apa yang harus kucari?” tanya Erika sedikit bingung. Dia memang perlu mencari beberapa bukti kejahatan keluarga ini, tapi sebenarnya dia sendiri tidak tahu harus mencari apa. Kemungkinannya hanya di brankas dan di
Erika menopang dagunya dengan wajah tertekuk. Dia memandang pria tua buncit di depannya dengan tatapan kesal, sementara pria itu malah tertawa dan mengoceh tidak jelas. Suasana mewah restoran ini, jadi terkesan hambar. Padahal Erika berniat mengorek beberapa informasi dari pria tua ini, tapi dia malah sibuk mengoceh tidak jelas. Erika bahkan nyaris tidak diberi kesempatan untuk berbicara. “Maaf, Pak. Apa kita akan terus mengobrol di sini?” tanya Erika dengan nada malas-malasan. “Oh, apa sudah mau pindah tempat?” Pak Yoga si direktur keuangan bertanya dengan senyum mesumnya. “Mau ke hotel mana? Atau mau ke apartemenku yang kosong saja?” “Penthouse gak ada?” “Penthouse? Kau mau dibelikan penthouse?” tanya Yoga dengan kening berkerut. “Kalau hanya sekedar unit apartement mewah saya sudah punya, Pak. Saya inginnya penthouse super mewah,” jawab Erika dengan senyum merekah. Yoga menaikkan sebelah alisnya. Erika menemukan kalau pria tua itu antara percaya dan tidak percaya soal apar
Entah sudah berapa kali Erika menghembuskan napas kesal. Padahal ini adalah rapat bulanan para direksi, tapi si tua Yoga terus-terusan melirik ke arahnya. Biasanya juga begitu sih, tapi kali ini lebih terang-terangan. Padahal tempat Erika duduk ada di sudut ruangan, merapat ke tembok di sebelah kanan Kaisar. Jauh, tapi berseberangan dengan pria itu. “Pak Yoga?” Kaisar memanggil bahkan tanpa melihat orangnya. “Ada yang ingin disampaikan?” “Oh, tidak ada Pak.” Yoga tiba-tiba saja gugup ketika semua orang melihatnya. “Kalau begitu tolong fokus pada rapatnya, bukan jelalatan melihat sekretarisku,” tambah Kaisar enggan menutupi apa pun. Toh, semua orang juga menyadari dan tahu sifat mesum Yoga. Yoga pun segera menunduk dalam. Dia sungguh malu, apalagi rekan sesama direksinya terdengar cekikikan. “Setelah rapat selesai, datang ke ruanganku,” Kaisar segera menambahkan, membuat Yoga makin pucat. Setelah itu, rapat kembali berjalan dengan lancar. Tapi setelah selesai, Kaisar tidak bisa
Erika mengetuk mejanya dengan ujung jari, sambil melihat pintu ruangan bosnya yang masih menutup. Kaisar memang sudah membereska masalah soal Pak Yoga, tapi mendatangkan masalah baru. Semua orang kini mengira Erika benar-benar keluarga Flora. Dan gosip itu menyebar dengan cepat. Dalam setengah hari saja, semua orang mulai bersikap sopan padanya. Dan Erika tidak suka itu. Erika ingin berbaur dengan semua orang. Ini akan lebih memudahkannya bertanya banyak hal, tanpa membuat orang curiga. Kalau begini kan orang-orang bisa saja sungkan buka mulut karena dia keluarga bos. “Tapi apa yang harus kulakukan dengan pria sialan ini,” gumam Erika yang tinggal seorang diri di ruangannya. Dia dan Kaisar sedang lembur. “Haruskah aku berterima kasih soal Pak Yoga atau aku harus kesal karena urusan Bu Flora?” Erika kembali bergumam. “Erika? Kau belum pulang?” tiba-tiba saja Bima muncul entah dari mana. “Belum, Pak. Saya harus lembur menemani Pak Kaisar.” Erika tersenyum ketika menjawab pertany
Tadinya Retno tidak ada keinginan untuk keluar rumah. Tapi setelah dia menelepon Bima dan mendengar kalau Kaisar lembur, entah mengapa dia merasa harus keluar. “Mau ke mana malam-malam begini?” tanya Seno ketika melihat istrinya sudah rapi. “Aku mau mampir sebentar ke tempat Bima. Sekalian kalau sempat jengukin Kaisar, aku sudah agak lama tidak melihat anakku,” jawab Retno berusaha tenang. “Gimana anaknya mau dapat jodoh kalau ibunya selalu nempelin. Heran deh.” Seno menggeleng, tapi tetap mengizinkan istrinya pergi. Dan pada akhirnya, di sinilah Retno berada. Di gedung yang sempat didatanginya dulu. Tempat yang katanya sering dikunjungi Kaisar, bahkan sampai menginap. Retno duduk gelisah dibalik kemudi. Dia yang malam ini sengaja menyetir sendiri, jadi gelisah. Takut menemukan Kaisar menghancurkan rumah tangganya sendiri. Dia yang parkir di seberang jalan, menatap area drop off dengan tatapan kalut. “Aduh, Retno kau kenapa sih?” gumam wanita paruh baya itu pelan. “Kan kau se