Di desa lama, suasana tampak tenang. Warga hidup seperti biasa, seolah-olah tidak pernah ada kejadian aneh yang menakutkan sebelumnya. Rina dan teman-temannya yang sudah lama pergi dari desa itu, tidak lagi menjadi bahan pembicaraan di kalangan warga. Kejadian-kejadian gaib yang pernah mengganggu mereka seolah menguap begitu saja. Warga semakin yakin bahwa semua kekacauan yang pernah terjadi sebelumnya adalah akibat kehadiran Rina dan teman-temannya. Mereka tidak tahu bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar dan berbahaya yang bersembunyi di balik ketenangan itu. Bu Marni dan Nyai Murni, dua sosok yang selama ini dihormati di desa, telah membuat perjanjian dengan roh bangsawan yang menguasai desa tersebut. Mereka meminta roh itu untuk tidak mengganggu warga desa untuk sementara waktu, demi menjaga ketenangan dan kepercayaan warga. Dengan demikian, warga semakin yakin bahwa Rina adalah sumber kekacauan. Bu Marni dan Nyai Murni memahami betul bagaimana cara memainkan situasi. Mereka
Rina duduk termenung di kamar penginapan, pikirannya sibuk memutar ulang semua kejadian yang telah terjadi sejak ia tiba di desa lama. Sosok Bu Marni dan Nyai Murni terus menghantui pikirannya. Apa yang dikatakan oleh Pak Kiai tentang mereka membuka kenyataan pahit yang menekan dada Rina. Selama ini, Rina merasa bahwa segala gangguan roh dan kekacauan di desa lama hanyalah efek dari roh bangsawan yang penuh dendam, tetapi kini ia paham bahwa ini lebih dari sekadar itu—semuanya adalah hasil manipulasi yang rapi dari Bu Marni, Nyai Murni, dan roh bangsawan itu sendiri. Rina menarik napas panjang. Ingatannya kembali pada peristiwa di rumah tua ketika ia bersama Bu Marni, Nyai Murni, dan Ki Wirya. Mereka menemukan sebuah jengglot di bawah tanah rumah tersebut, dan sepakat bahwa itu adalah sumber dari semua masalah gaib yang menimpa desa. Mereka berencana untuk menghancurkannya. Namun, tak lama setelah itu, Ki Wirya terbunuh. Semuanya berubah menjadi kacau, dan Rina merasa segalanya hancu
Setelah pertemuan yang penuh makna dengan Pak Kiai, Rina dan ketiga temannya—Lisa, Ardi, dan Siska—melangkah dengan tenang di bawah sinar rembulan yang samar. Mereka berjalan pulang menuju penginapan di desa baru, masih meresapi nasihat dan kekuatan spiritual yang diberikan oleh Pak Kiai. Namun, langkah mereka yang sebelumnya tenang tiba-tiba terasa berat ketika Rina mulai merasakan kehadiran sesuatu yang asing. Sesuatu yang gaib dan menyeramkan. Rina, yang sejak beberapa waktu terakhir telah memiliki kemampuan mata batin, merasakan pandangannya mulai berubah. Di antara bayangan pepohonan yang gelap dan rumah-rumah penduduk yang sepi, dia melihat sosok-sosok gaib. Mata batinnya yang terbuka dengan jelas menangkap sosok-sosok hitam tinggi menjulang dengan tatapan tajam yang mengawasi mereka dari kejauhan. Salah satu sosok itu berbentuk seperti bayangan besar dengan tangan yang memanjang, seakan-akan hendak menjangkau mereka. Wajahnya buram, namun terasa penuh dengan niat jahat. Yang
Malam itu, langit di atas desa lama terlihat lebih gelap dari biasanya. Bintang-bintang yang biasanya menghiasi malam tampak seolah-olah menghilang, tertelan oleh awan gelap yang tebal. Angin dingin berhembus lembut, menyapu pepohonan dan membawa kesunyian yang mencekam. Jam menunjukkan tengah malam, waktu di mana banyak orang percaya bahwa dunia gaib menjadi lebih kuat dan hadir di sekitar mereka. Di desa yang kini sebagian besar penghuninya telah pindah ke desa baru, ada sebuah rumah tua yang sudah lama ditinggalkan. Rumah tersebut masih berdiri megah meski dindingnya sudah mulai lapuk dimakan waktu. Namun, rumah itu tidak sepenuhnya sepi. Malam itu, dua sosok perempuan berjalan mendekati pintu rumah dengan langkah pasti dan penuh kewaspadaan—Bu Marni dan Nyai Murni. Mereka adalah dua orang yang memiliki hubungan misterius dengan kekuatan gelap yang menguasai rumah tua itu. Bu Marni membuka pintu rumah tua itu dengan kunci yang ia simpan dengan hati-hati. Derit pintu tua tersebut
Pagi hari itu, desa yang biasanya tenang berubah menjadi penuh ketegangan. Warga-warga yang semalam diteror oleh gangguan gaib kini merasa semakin takut dan bingung. Beberapa dari mereka, yang telah mengalaminya secara langsung, mulai berkumpul dan membicarakan hal-hal aneh yang terjadi. Suara-suara hantu, sosok-sosok misterius, serta perabotan yang bergerak sendiri membuat mereka cemas. Akhirnya, beberapa orang memutuskan untuk mendatangi Nyai Murni, yang selama ini dikenal sebagai orang bijak di desa itu, berharap dia bisa memberikan jawaban atas segala hal yang mereka alami. Di rumah Nyai Murni, pagi itu terasa tenang. Nyai Murni dan Bu Marni sedang duduk bersama, membicarakan rencana mereka yang tampaknya berjalan mulus. Mereka tahu, hari ini akan ada warga yang datang meminta pertolongan, dan saat itu mereka harus memainkan peran mereka dengan sempurna. Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu. Seperti yang telah diduga, beberapa perwakilan warga desa datang dengan wajah c
Setelah beberapa hari berlalu, gangguan gaib di desa lama semakin tak terkendali. Gangguan itu bukan lagi hanya suara-suara aneh atau bayangan yang melintas cepat di sudut mata. Kali ini, makhluk-makhluk menakutkan mulai muncul secara terang-terangan di tengah malam. Jeritan terdengar dari berbagai rumah setiap malam, dan warga yang awalnya masih sanggup mengabaikan mulai merasakan ketakutan yang mendalam. Suatu malam, seorang warga, Pak Samin, yang dikenal sebagai orang yang tak mudah percaya pada hal-hal mistis, mengalami hal yang mengejutkan. Ketika ia sedang berjalan pulang dari sawah, sebuah bayangan besar melintas di depannya. Makhluk itu, dengan mata merah menyala, menatapnya dengan tajam. Pak Samin langsung jatuh ketakutan dan mencoba berlari, namun ia tergelincir di tanah basah. Ketika ia terbangun, tubuhnya gemetar dan tak sanggup berbicara selama beberapa jam. Gangguan ini semakin menakutkan. Masyarakat yang sudah lama tinggal di desa tersebut mulai kehilangan akal sehat.
Lalu di tempat lain Rina terbaring di atas kasurnya, mencoba menikmati ketenangan setelah beberapa hari terakhir hidup dalam tekanan dan ketakutan. Dzikir yang dia lakukan bersama Lisa, Ardi, dan Siska di bawah bimbingan Pak Kiai telah memberikan ketenangan dalam batinnya. Ketenangan itu kini mengalir dalam setiap tarikan napasnya. Namun, di balik ketenangan yang baru ia rasakan, malam ini, mimpi yang berbeda datang menyergap. Di tengah malam, Rina terjatuh ke dalam mimpi yang begitu nyata. Dalam mimpinya, ia kembali ke desa lama, tempat ia dan teman-temannya pernah tinggal. Namun, suasana desa itu terasa berbeda kali ini. Udara terasa berat dan suram, seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi setiap langkahnya. Langit di atas desa itu tampak kelabu, tak ada matahari, hanya awan hitam pekat yang menggelayut di langit, menambah keangkeran suasana. Rina berjalan perlahan di jalan desa yang sepi, namun di kejauhan ia mulai mendengar suara rintihan dan jeritan. Ketika dia mendekat, pemanda
Keesokan harinya, Rina dan ketiga temannya—Lisa, Ardi, dan Siska—berangkat menuju rumah Pak Kiai. Meskipun mereka merasa cemas, namun ada harapan bahwa Pak Kiai bisa memberikan petunjuk atau solusi untuk masalah yang mereka hadapi. Udara pagi yang sejuk di desa baru tersebut sedikit memberikan ketenangan, namun di hati mereka semua masih tersimpan rasa khawatir akan apa yang sedang terjadi di desa lama. Setibanya di rumah Pak Kiai, mereka disambut dengan senyum ramah sang istri yang sudah mengenal Rina dan teman-temannya. Setelah berbasa-basi sejenak, mereka langsung diarahkan menuju ke ruangan tempat Pak Kiai biasanya menyambut tamu. Pak Kiai, seorang pria tua dengan wajah bijaksana, duduk di kursi kayu sambil merapikan sorbannya. Beliau mempersilakan mereka duduk, dan setelah mereka semua duduk, Rina memulai pembicaraan. “Pak Kiai, kami datang ke sini karena ada hal penting yang ingin kami ceritakan,” kata Rina, suaranya sedikit bergetar. “Semalam, saya mengalami mimpi yang sanga
Setelah Rina, Siska, Ardi, dan Lisa berhasil menyelesaikan ritual pemutusan perjanjian roh bangsawan dengan iblis, mereka semua merasakan beban yang terangkat dari hati mereka. Ketenangan yang jarang mereka rasakan kini menyelimuti hati masing-masing. Pa Kiai mengucapkan selamat kepada mereka, memuji kekuatan dan kesabaran mereka dalam menghadapi ujian berat ini. "Kalian telah berhasil melawan kegelapan dengan cahaya iman. Semoga hidup kalian setelah ini penuh dengan keberkahan," ucap Pa Kiai dengan bijaksana. Mereka meninggalkan rumah Pa Kiai dan kembali ke penginapan untuk beristirahat. Rina dan ketiga temannya tidur dengan nyenyak malam itu, tanpa diganggu oleh mimpi buruk atau kehadiran roh-roh jahat. Setelah perjuangan yang panjang dan penuh tantangan, mereka akhirnya bisa merasa aman. Keesokan paginya, sinar matahari pagi yang hangat membangunkan mereka dari tidur. Setelah bersiap-siap, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa memutuskan untuk pergi ke desa lama, tempat mereka pernah meng
Setelah berhasil keluar dari goa yang telah runtuh, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa merasa kelegaan yang luar biasa. Meskipun mereka telah menghadapi berbagai rintangan dan gangguan roh bangsawan, mereka berhasil menyelesaikan tugas mengubur jengglot seperti yang diperintahkan oleh Pa Kiai. Namun, perjalanan mereka belum selesai. Mereka masih harus kembali ke rumah Pa Kiai untuk memastikan bahwa roh bangsawan tersebut benar-benar dihentikan. Dengan langkah yang mantap, meskipun rasa lelah mulai terasa, mereka berjalan kembali menuju rumah Pa Kiai. Jalan yang mereka lalui terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meskipun masih ada bayangan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Namun, dengan keyakinan bahwa mereka telah menjalankan perintah Pa Kiai dengan benar, mereka merasa optimis bahwa langkah-langkah terakhir ini akan berhasil. Setelah beberapa jam berjalan, akhirnya mereka sampai di rumah Pa Kiai. Rumah itu tampak tenang, dengan cahaya remang-remang di teras depan.
Di tengah perjalanan menuju mulut goa, Rina, Ardi, Siska, dan Lisa merasakan perubahan yang tidak biasa. Udara yang tadinya dingin berubah menjadi semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menekan mereka dari segala arah. Kemudian, tanpa peringatan, asap tebal mulai menyelimuti mereka. Asap itu berwarna kelabu gelap, menyelimuti lingkungan sekitar sehingga mereka tak bisa melihat apa-apa. "Asap ini... dari mana datangnya?" bisik Siska dengan panik, matanya bergerak liar mencari tanda-tanda bahaya. "Ayo, kita tetap fokus! Jangan berhenti berdzikir!" ujar Rina, memperingatkan teman-temannya. Dia bisa merasakan bahwa asap ini bukanlah sesuatu yang alami—ini adalah bentuk serangan gaib dari roh bangsawan yang ingin menghentikan mereka. Namun, sebelum Rina bisa mengatakan lebih banyak, mereka semua merasakan sesuatu yang aneh. Perlahan-lahan, asap itu tampak mengubah pemandangan di sekitar mereka. Hutan yang tadinya gelap dan menakutkan menghilang, digantikan oleh bayan
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa akhirnya tiba di rumah Pak Kiai setelah perjalanan yang panjang dan penuh ketegangan. Napas mereka masih terengah-engah, tapi mereka tahu ini bukan saatnya untuk beristirahat. Mereka berdiri di depan pintu rumah Pak Kiai, sebuah bangunan sederhana namun terasa penuh energi spiritual. Rina mengetuk pintu dengan gemetar, perasaan was-was masih menyelimuti hatinya. "Assalamualaikum," ucap Rina dengan suara yang bergetar. Tak lama setelah itu, pintu terbuka. Pak Kiai berdiri di sana, menatap mereka dengan tajam, seakan bisa melihat langsung ke dalam jiwa mereka. Matanya yang berkilau menunjukkan kebijaksanaan dan kewaspadaan. "Awas, jangan sampai putus dzikir kalian," ucapnya serius. "Jika kalian berhenti berdzikir, itu akan sangat berbahaya. Roh bangsawan itu terus memperhatikan kalian, siap menyerang kapan saja. Jangan pernah lengah." Mendengar itu, mereka semua langsung memperkuat dzikir dalam hati masing-masing. Tahu bahwa sedikit saja kelengahan bisa me
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa bergegas meninggalkan desa lama, berusaha membawa jengglot yang baru saja mereka temukan di bawah tengkorak gadis yang dikorbankan. Tujuan mereka adalah kembali ke desa baru tempat Pak Kiai berada, untuk meminta petunjuk selanjutnya sebelum membawa jengglot ke gua terlarang. Namun, ketegangan semakin memuncak ketika mereka mendekati gerbang desa. "Semakin cepat kita keluar dari desa ini, semakin baik," kata Rina sambil mempercepat langkahnya. Di tangan kirinya, ia memegang tasbih pemberian Pak Kiai erat-erat, dzikir tidak lepas dari bibirnya. Udara di sekitar mereka semakin dingin, dan suasana desa yang hening membuat jantung mereka berdebar lebih keras. Tiba-tiba, suara angin kencang terdengar, membuat langkah mereka terhenti. Dari arah rumah tua di sudut jalan, sosok roh bangsawan melesat keluar dengan kecepatan mengerikan. Tubuhnya melayang, mengelilingi mereka dalam lingkaran besar, seperti badai yang terus-menerus mengelilingi mereka. "Ini buruk...
Di tempat lain, di rumah Nyai Murni, suasana tegang menyelimuti. Nyai Murni sedang melakukan ritual penyerangan terhadap Rina dan ketiga temannya. Ruangan dipenuhi asap kemenyan, lilin-lilin menyala redup di sekitar meja ritual yang dipenuhi peralatan persembahan. Nyai Murni memejamkan matanya, merapal mantra-mantra kuno yang ia yakini akan menyerang Rina dan teman-temannya di dunia gaib. Ia menggenggam boneka kecil yang disimbolkan sebagai sosok Rina, menusukkan jarum dengan gerakan tajam, namun tiba-tiba, terjadi ledakan kecil. "Boom!" Peralatan yang ada di atas meja ritual meledak tanpa peringatan. Asap tebal mengepul memenuhi ruangan, lilin-lilin padam seketika. Bu Marni, yang duduk di dekatnya, terkejut dan melompat dari kursinya. "Apa yang terjadi lagi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya gemetar ketakutan. Nyai Murni, yang masih berdiri terpaku di tempatnya, tampak goyah. Dari sudut bibirnya, sedikit darah kental mengalir perlahan. Ia menyeka darah itu dengan lengan b
Malam semakin larut, angin dingin bertiup kencang, menciptakan suasana yang semakin mencekam di sekitar kuburan tua desa itu. Di bawah cahaya bulan yang samar, Rina, Lisa, Ardi, dan Siska terus melangkah, mencari kuburan gadis yang dikorbankan dengan tekad kuat. Namun, pencarian mereka tidak mudah. Setiap sudut penuh dengan kuburan tua yang usianya tampak ratusan tahun. Batu-batu nisan yang retak dan tertutup lumut membuat segalanya tampak sama, tak memberikan petunjuk apapun. "Kita sudah mengelilingi tempat ini berkali-kali," gumam Ardi dengan nada frustrasi. "Bagaimana kita bisa tahu yang mana kuburan gadis itu?" Lisa mengusap dahinya yang berkeringat meskipun udara begitu dingin. "Kita harus terus mencari. Aku yakin, ada tanda yang bisa kita temukan." Namun, saat mereka melangkah lebih jauh, suasana menjadi semakin aneh. Rina mulai merasakan kehadiran sesuatu yang tidak kasat mata. Hawa dingin yang aneh tiba-tiba menyelimuti mereka. Seketika, mereka melihat sosok-sosok samar mun
Di tempat lain, jauh dari makam tua yang sedang didatangi Rina dan teman-temannya, suasana di rumah Nyai Murni mendadak mencekam. Nyai Murni dan Bu Marni sedang sibuk dengan ritual rutin mereka—menyiapkan sesajen dan alat-alat persembahan untuk roh bangsawan yang telah lama mereka sembah. Sesajen itu tersusun rapi di atas meja kayu tua yang penuh ukiran mistis, sementara asap dupa memenuhi ruangan, menebarkan aroma mistis yang kental. Namun tiba-tiba, tanpa peringatan, alat-alat ritual dan sesajen yang disusun Nyai Murni meledak dengan keras. Gelas-gelas berisi air suci pecah, dupa beterbangan ke udara, dan makanan persembahan hancur seketika. Ledakan itu menggema di seluruh ruangan, membuat Bu Marni menjerit kaget dan mundur beberapa langkah. Nyai Murni, yang awalnya berdiri dengan tenang, terhuyung ke belakang karena ledakan itu, wajahnya berubah muram. "Apa yang terjadi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya bergetar. Nyai Murni terdiam sesaat, wajahnya mengeras dan matanya meny
Rina berdiri di depan gerbang rumah tua itu, menghadap bangunan yang tampak lebih mencekam dari sebelumnya. Angin malam berembus dingin, membawa suara berdesir seolah ada sesuatu yang bersembunyi di kegelapan. Di belakangnya, ketiga temannya menggigil ketakutan, wajah mereka pucat. Mereka enggan melangkah lebih jauh, tetapi Rina tidak bisa membiarkan rasa takut menghentikannya. "Aku harus masuk sendiri," kata Rina dengan nada tegas, meski di dalam hatinya juga ada sedikit keraguan. "Kalian tunggu di sini." Ketiga temannya tidak membantah. Mereka terlalu takut untuk berdebat, dan hanya bisa menonton ketika Rina melangkah lebih dekat ke pintu rumah tua itu. Tasbih pemberian Pak Kiai tergenggam erat di tangannya, dan alunan dzikir terus bergema dalam hatinya, memberikan kekuatan dan ketenangan yang sangat dibutuhkannya di saat seperti ini. Saat pintu rumah tua itu terbuka dengan derit yang memekakkan telinga, Rina merasakan hawa dingin yang jauh lebih menusuk tulang. Ruangan di dal