Chandra mencium tangan kedua perempuan itu dengan takzim. Tanpa disuruh, gadis itu langsung membantu membawakan belanjaan Bik Mar tetapi malah direbut oleh Farida.
“Sini biar aku yang bawain, gak usah sok imut deh,” kata Farida ketus lalu dia mendorong tubuh Chandra hingga gadis itu terjatuh.
Bik Marsinah yang melihat Farida memperlakukan Chandra dengan kasar langsung membentak Farida. “Taruh saja di situ, gak usah dibawa masuk.” Bik Marsinah membawa belanjaannya sendiri ke dalam pondok, mulutnya tak henti menggerutu.
Sementara Ibu Agil melihat Farida sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jadi perempuan jangan begar, bersikaplah manis biar disukai orang,” tegurnya pada Farida lembut.
Dia lalu mendekati Chandra. “Apa kamu tidak apa apa cah ayu?” tanya Ibu Agil khawatir. “Ayo masuk, panas banget di luar,” ajaknya dengan sayang.
Mirna duduk di sebuah bar yang masih sepi. Bartender sekaligus pemiliknya, Frans sedang meramu minuman cocktail buat tamu spesialnya itu. Lelaki berbadan tegap dan berkepala plontos itu ekor matanya sesekali mencuri-curi pandang pada perempuan cantik yang duduk dengan anggun di depannya.Frans tak bisa menyembunyikan perasaan kagum dan cinta dalam tatapan matanya. Matanya berbinar bahagia. “Aku selalu menunggumu duduk di sini,” katanya. Dia memperhatikan Mirna yang tampak gelisah dari tadi. “Ada masalah apa cantik?” tanya Frans lembut sambil menyodorkan cocktail classy ke Mirna. Mirna mencicipinya. “Mmm negroni… enak! Sweet dan strong,” kata Mirna memuji. Dia menyesapnya lagi dan termenung sambil memainkan gelas di tangann
“Tidakkah kamu ingin sembuh Lilian? Aku mau membawamu ke rumah sakit. Soal biaya jangan khawatir aku mau menanggung semua biayanya,” bujuk Mirna. Berulang kali Lilian meremas-remas tangannya. Kegetiran jelas tersirat dari sorot matanya. Wajahnya tampak pasrah, ia menggeleng pelan. “Tidak, aku tidak mau ke mana-mana. Biarkan aku di sini dengan keadaanku sekarang. Aku tidak mau merepotkan kamu,” jawabnya. Ujung hidungnya mulai memerah dan genangan air mata sedikit lagi jebol. Mirna menarik napas panjang. “Kamu sakit, kamu perlu perawatan dokter. Lagipula aku tak bisa membiarkan kamu menderita begini. Bukankah kita berteman lama? Ayolah Lilian, ini demi kesembuhan kamu,” ucap Mirna meyakinkan Lilian.&n
Mirna mengamati dokter cantik berkulit bersih dan segar itu dengan mata menyelidik. Ia mencoba mengingat wajah Bidan Santi. Ada keraguan merayap di hatinya. Ia seorang wanita yang memiliki trust issue, tak mudah baginya untuk mempercayai perkataan seseorang sebelum ada bukti. Rupanya, Dokter Kartika menangkap ketidakpercayaan di mata Mirna. “Apakah Anda meragukan kalau saya anaknya Bidan Santi?” Mirna mengiyakan. Mau tidak mau Dokter Kartika membuka galeri ponselnya, dia memperlihatkan foto keluarga pada Mirna. “Wajah saya mirip dengan Papa. Apakah Anda percaya sekarang kalau saya adalah putri Bidan Santi?”&n
Mirna menggigil menahan kemarahannya, hatinya hancur berkeping-keping mendengar pengakuan Lilian. Ribuan sumpah serapah hendak ia lontarkan tapi tercekat di ujung lidah. Dia sadar percuma juga dia berteriak mencaci maki Lilian, karena temannya itu telah terbujur kaku dan takkan pernah meresponnya. Frans memeluk erat seraya mengusap punggung Mirna. “Aku tahu ini sangat berat bagimu Mir. Akan tetapi memendam dendam pada orang yang sudah meninggal juga tak ada manfaatnya. Maafkanlah Lilian, supaya jalannya tenang, kamu juga tenang.” “Bagaimana aku bisa memaafkan Lilian Frans, dia jahat! Dia telah mengambil anakku dan aku tidak tahu bagaimana keadaanya sekarang?” isak Mirna, benteng kokoh yang ia pertahankan rontok mengalir bersama dengan air mat
Wanita itu datang lagi. Pikir Agil, saat melihat Farida memarkir sepeda motor di depan pondok. Agil tak bisa menghindar, sebab gadis itu sudah melihantnya. Maka ia meletakkan laptopnya di meja dan tersenyum tipis pada Farida yang melambaikan tangan kepadanya. “Pagi Mas Agil, Farida apa gak ganggu nih?” ucapnya kenes. Dia hari ini memakai kaos katun warna pink dengan belahan dada agak turun serta legging ketat warna senada. Sementara rambutnya dibiarkan terurai. Farida mengecat rambutnya pastel pink, kontras sekali dengan kulitnya yang gelap.Penampilan Farida semakin lama semakin seksi tiap datang ke pondok. Lelaki itu paham Farida sedang ingin menarik perhatiannya, akan tetapi Agil tidak terpengaruh. Sikapnya tetap dingin. Dia tak memberikan respon apapun dengan yang dilakukan Farida.Farida tanpa sungkan langsung dud
“Serius kamu Le?” tanya Ibu senang. Ia menyeka setitik air bening di sudut matanya yang mulai mengeriput. Ada rasa bahagia yang mengalir di hatinya, saat anak semata wayang memberitahu tentang pernikahan. Agil mengangguk. Keputusan untuk menikahi Chandra sebenarnya bukan keputusan mendadak. Ia telah memikirkannya selama beberapa hari, dan semakin bulat setelah melihat sikap Farida yang terlalu agresif kepadanya. Ia mau melindungi Ibu dan Chandra dari gossip.Tiba-tiba hujan membungkus Desa Curah Urip dan membawa suasana syahdu.Pemuda itu menoleh pada Chandra yang masih berdiri mematung, ia memegang jemari Chandra. “Maaf jika aku membuatmu terkejut. Maukah kamu menikah dengan lelaki yang telmi ini? Aku serius sebab aku mau membahagiakan kamu,” ucap Agil, hatinya berdebar tak karuan.Ibu dan
Agil mendongak, dia terkesiap melihat sosok hitam berbulu dan tinggi besar telah berada di sampingnya. Kepalanya bergoyang ke kiri dan kanan. Matanya bulat sebesar donat, meski tampak menakutkan dia tampak ramah. Agil mengira-gira sosok mahluk itu tingginya sekitar 3 meter.“Tolong selamatkan kekasih saya,” pinta Agil memohon dengan mata berkaca-kaca. Sosok hitam itu diam hanya suara dengusan napasnya yang terdengar berat. GRRRRRRR… GRRRRRRKemudian tanpa berbicara sosok hitam itu membungkuk tangannya yang besar membawa Agil, Chandra serta tas mereka ke dalam pelukannya. Tubuh Agil hangat, dia merasa seperti bayi yang meringkuk di dalam selimut berbulu tebal. Beberapa saat kemudian dirinya seperti di bawa terbang melayang, hembusan a
Sudah 3 hari Chandra belum sadar dari koma. Selama itu Agil setia menemaninya. Ia hanya beranjak ketika waktu sholat dan makan. Meski lelah dan kurang tidur, Agil tabah menghadapinya. “Bangunlah Chandra, aku kangen mendengar suaramu.” Agil membelai lembut pipi Chandra, lalu dia merapikan rambut panjang gadis itu. “Aku makan dulu ya, tunggu aku,” pamit Agil. “Istirahatlah Gil, Tante sudah memesan kamar di hotel untukmu, biar Tante dan Ibu Muji yang menjaga Chandra,” kata Mirna. Dia kasihan melihat Agil yang terlihat capek. Hari itu dia datang dengan Ibu Muji. Tanpa diduga, kecelakaan yang Chandra alami membuat hubungan mereka akrab.Mirna seperti menemukan saudara kandung. Sikap Ibu Muji bertolak belakang dari Mirna, Pemikirannya
Dokter Samuel membuka plester dan kain kasa yang menutupi kedua mata Chandra. “Chandra bukalah mata pelan-pelan,” suaranya sangat tenang dan hangat. Chandra membuka matanya pelan-pelan lalu mengerjap- ngerjapkan mata sebelum melihat ke sekeliling. Semua yang ada di kamar itu menahan napas. Senyum Chandra mengembang lebar ketika melihat satu persatu orang yang disayanginya berada di sisinya. Ia menyebutnya satu persatu. “Agil, Tante, Emak, Bapak, Bik Mar.” Chandra terdiam saat melihat lelaki paruh baya berada di samping Bik Mar. “Dia siapa Gil? Apakah itu suami Bik Mar” “Alhamdulillah! Chandra bisa melihat lagi,” seru Agil kemudian dia sujud syukur. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih Dokter!” Agil menyalami Dokter Samuel yang terlihat lega operasinya berhasil. “Sama-sama,” kata Dokter Samuel. Kemudian dia pamit. Ibu, Emak dan Bik Mar serentak menangis memeluk Chandra.
Pagi yang dingin, kabut masih menyelimuti pondok. Titik-titik embun yang menempel di daun kersen sesekali jatuh membasahi sepasang anak manusia yang bersenda gurau di bawahnya. Mereka duduk di amben. “Kita main tebak-tebakkan, yuk,” kata Agil dengan hati senang melihat Chandra ada bersamanya. Chandra menelengkan mukanya, beberapa hari tinggal di pondok membuat mukanya kian cantik berseri. “Mmmm… sepertinya menyenangkan. Kita main tebak-tebakan apa?” “Dalam permainan tebak-tebakan ini, aku ingin menguji indra penciuman dan pengecapmu. Setelah itu kamu mengatakannya kepadaku apa rasa makanan
“Kenapa tak kau tanyakan saja pada Silvia!” bentak Agil. “Sekarang aku bertanya kepadamu? Untuk apa kamu membakar rumahku, Dil?!! Untuk apa juga kamu membayar orang untuk membunuhku dan Chandra!!” dengusnya kesal. Mata Fadil terbelalak. Dia tak menyangka Agil mengetahui apa yang dia lakukan. Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Agil. Giginya gemeretuk menahan marah. “Aku ingin melenyapkanmu karena kamu tahu terlalu banyak. Bukankah sudah kukatakan jangan turut campur dengan kematian Bulan. Sayangnya kamu mengabaikan nasehatku.” Matanya menatap penuh kebencian pada Agil. “Bukankan tugas kamu sebagai penegak hukum? Kenapa kamu justru melarangku? Aku hanya mau membantunya mencari keadilan!”
“Tidak!” Jawaban singkat yang terucap dari bibir Mirna yang menyilet hati Arif. Lelaki itu mendorong pelan tubuh Mirna ke dinding. Tatapan kecewa tampak jelas dari sorot matanya.“Bukankah dulu kita saling mencintai sayang? Aku tahu kamu masih menungguku. Jika tidak kamu pasti sudah merubah password apartemen ini,” tuduh laki-laki itu membela diri. Suara Arif mulai meninggi, wajahnya menegang. Dia tetap teguh dengan keputusan ingin menikahi perempuan pujaannya itu. Mirna memejamkan mata, dan mengeluarkan napas perlahan. “Maafkan aku. Sayangnya kamu salah! Cintaku kepadamu tak sebesar cintaku pada papamu, selama ini aku hanya memanfaatkan kamu untuk mengobati rasa rinduku padanya,” kata Mirna dengan suara serak. Sepahit apap
Siang yang begitu terik, matahari semakin garang memancarkan panasnya.Mirna pasrah, saat dirinya diikat dengan rantai dan diseret seperti sebuah mainan. Seluruh badannya lebam dan luka terkena batu-batu kerikil yang tajam. Kemudian tanpa ampun perempuan bercadar itu melemparkan tubuh Mirna di atas bantalan rel kereta api dan menindih pahanya dengan sebuah batu besar. Dia tak bisa bergerak dan membiarkan kulitnya melepuh terkena panasnya landasan besi kereta api. Perempuan bercadar itu berjongkok di samping Mirna, tangannya memegang wajah Mirna dengan kasar. “Kali ini kamu pasti mampus. Sebentar lagi kereta api datang dan mencincang tubuh seksimu!” Perempuan itu tertawa terbahak-bahak lalu menangis pilu. “Sudah lama sekali aku ingin membunuhmu, tapi baru kali aku berani.” Dia mengambil jeda. “Aku sangat benc
Kejutan luar biasa! “Tapi… bagaimana bisa dan kenapa Silvia ingin membunuh Bik Eha?” tanya Agil tak mengerti. Tak mudah bagi Agil untuk mempercayai penjelasan Bik Eha. Semua terlihat tak masuk akal. Bagaimana mungkin Bik Eha dapat memerankan aktingnya, berpura-pura gila begitu sempurna selama belasan tahun? Bik Eha tertawa kecil. “Bisa saja Mas, karena tidak ada yang peduli dengan orang gila.” Penyamaran jenius! Agil manggut-manggut mengagumi Bik Eha dalam mempertahankan hidupnya. Bik Ehan benar. Siapa yang perduli dengan orang gila. Sebagian besar masyarakat menganggap orang gila negatif, bukan hanya dikucilkan mereka juga dijauhi. Agil menelan kekecewaan sekaligus ke
Atas persetujuan Dokter Runi, Agil membawa Bik Eha berlibur. Pagi-pagi sekali dia sudah berada di RSJ Kenanga. Dari jauh Agil melihat Bik Eha duduk di depan kamarnya, dia memakai celana kulot hitam dan kaos warna ungu. Rambutnya diikat satu. “Pagi, Bibik apa sudah sarapan?”“Sudah.” Bik Eha kelihatan senang sekali, matanya berpendar indah saat melihat Agil datang.“Hari ini Agil mau mengajak Bik Eha bersenang-senang. Kita ke salon, beli baju, makan dan jalan-jalan sepuasnya. Bik Eha sudah siap kan?” tanya Agil.“He-eh.” Bik Eha girang, dia langsung mengamit tangan Agil.Agil membukakan pintu mobil untuk Bik Eha, dan membantu mengenakan seat belt untuknya. Perempuan itu duduk anteng di sebelah Agil.Pemuda itu mengetik pesan di messanger sebelum naik ke mobil. &ld
Jam 4 sore Agil menemui Frans di rumahnya yang asri. Di sana sudah ada AKP Ajun yang hari itu memakai kaos polo warna tosca dan jeans hitam. Dia kelihatan santai sambil menikmati wine dan kue keju. Menilik dari bentuk dan aromanya, Agil bisa menebak kue keju itu kiriman dari Tante Mirna. Frans baru selesai mandi ketika Agil datang. Rambutnya masih basah dan wangi sabun menyeruak dari badannya. “Duduklah dulu, kamu minum apa? Kopi atau wine? “Air putih saja, Om,” jawab Agil. Dia tidak terbiasa minum wine. AKP Ajun tertawa, “Ayolah man, apa salahnya mencicipi sedikit wine, supaya badan hangat dikit.” Dia menepuk bahu Agil.
Seminggu berlalu dengan lambat. Setelah urusan kantor selesai, Agil bergegas pergi menemui Chandra di apartemen Tante Mirna. Rasa kangennya pada gadis itu membuncah. Agil mampir ke toko bunga yang berdampingan dengan toko coklat membelikan Chandra bunga lavender serta sekotak coklat kesukaannya. Pria itu berjalan riang naik lift menuju tempat tinggal Tante Mirna. Imajinasinya melayang Chandra akan menyambutnya hangat. Tante Mirna membuka pintu, apron yang dipakainya belepotan tepung, dia mengajak Agil masuk. Rupanya Tante Mirna sedang membuat. Aroma harum menyebar membuat pria itu penasaran apa yang dibuat oleh Tante Mirna. Penampilan perempuan itu kini berubah drastis. Yang dulunya suka pake baju ketat, kini lebih suka memakai daster bila di rumah. Ia juga amat sabar mer