Papa dengan sigap terus membawa tubuh lemah ku pulang. Rupanya hutan yang kami lewati tidak begitu jauh dari rumah. Mama dan Mama Rangga terlihat menunggu di rumah, bersama Om Heri juga. Mereka terlihat cemas begitu melihatku berada di punggung Papa.
"Astaga! Ines kenapa, Pah?" Mama bertanya dengan panik, dia terus menyentuh ku saat Papa membawaku masuk ke dalam.
"Ines nggak apa-apa kok, Ma. Untung cepat ketemu. Biarkan dia istirahat dulu, ya." Aku lantas dibawa ke kamar, semua orang mengerubungi dan terus menatapku iba. Aku masih sadar sampai sekarang, hanya saja terlalu lelah untuk menjelaskan apa yang aku rasakan.
"Ini ketemu di mana?!" Mama bertanya sambil menatap mereka yang tadi ikut mencari ku.
"Rangga yang nemuin dulu. Dia udah duduk aja di tanah. Mirip orang linglung," jelas Iqbal.
"Kamu ke mana saja, sayang? Untung kamu nggak kenapa-kenapa," kata Mama kembali mengelus kepalaku. D
"Serius? Nggak mau gue tunggu, Nes?" tanya Iqbal saat kami sedang dalam perjalanan ke kantor Dunia Sebelah."Iya, Bal. Takutnya lama. Soalnya gue ketemu teman-teman lama. Nanti pas balik, gue bisa pakai angkutan umum kok. Elu balik aja.""Oke deh. Kalau ada apa-apa langsung kabarin gue, Nes. Nanti gue kena omel Papa kalau elu kenapa-kenapa!""Oke, Bos!"Kami mulai masuk ke pelataran parkir sebuah gedung bertingkat. Tempat ini adalah sebuah redaksi majalah serta stasiun radio yang menjadi satu naungan, dengan tema mistis. Sebelum sampai tempat ini, aku memang sengaja membeli beberapa kotak donat sebagai buah tangan. Beberapa karyawan yang bekerja di sana, adalah kenalan ku, dan kami sudah lama tidak bertemu. Tentu aku harus membawa buah tangan untuk mereka.Kedua tangan sudah penuh oleh kotak donat dengan brand ternama. Aku masuk dengan riang seolah tidak sabar ingin segera bertemu de
"Yuk, pulang. Nggak dijemput, kan?" tanya Rangga setelah dia selesai siaran. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, namun aku baru keluar dari ruang siaran karena menemani Rangga sejak tadi. "Eum, aku belum kasih kabar Iqbal, dia juga belum telpon aku sih," sahutku sambil memeriksa gawai di tangan."Ya udah, balik sama aku saja. Sebentar aku ambil jaket. Eh, naik motor nggak apa-apa, kan?" tanyanya."Ya nggak apa-apa sih. Memangnya aku harus naik mobil terus. Gitu?""Oke. Ya kali aja, sekarang level kamu udah naik. Alergi naik motor.""Dih, apaan sih! Rese!""Ye ngambek. Manyun. Jelek banget.""Buruan ah, Rangga!""Iya, oneng!" katanya memanggil ku dengan panggilan seperti dulu. Hal ini tentu membuatku kembali merasakan bagaimana hubungan kami dulu. Bagai Dejavu yang ingin aku terus ulangi dan ulangi.
"Nah ini meja kerja kamu, Neng. Biar dekat sesama penulis, ya," kata Mpok Khusnul, merujuk pada teman samping ku, yaitu Danielo."Oke, makasih, Mpok.""Kalau ada yang nggak paham, tanya dia saja," tunjuk Mpok ke pria di samping ku. "Bantuin, Nil.""Iya, Mpok. Siap."Ini hari pertamaku bekerja di sini. Tidak menyangka akan kembali ke tempat ini, dan juga makin dekat dengan Rangga.Pria itu muncul dari lift, langsung menatapku, dan berjalan mendekat. "Ini naskahnya. Pelajari. Nanti siang, siaran sama gue!" Sebuah map dia berikan padaku."Naskah? Apa maksudnya?" tanyaku sambil membuka benda tersebut."Kita wawancara. Danielo juga kemarin beberapa kali diwawancara. Biar ganti suasana, nggak dia melulu. Gue tunggu setelah jam makan siang!" Rangga kembali berjalan ke lift dan pergi meninggalkanku yang masih sibuk dengan barisan kalimat yang ia buat."Dia buat kapan ini? Pagi-pagi udah kasih kerjaan aja."
Kami semua diundang makan malam di sebuah cafe dekat kantor oleh Danielo. Dia mengadakan syukuran kecil-kecilan karena novelnya telah terbit dan menembus 300 eksemplar. Sebuah pencapaian terbaik sebagai seorang penulis. Dia juga akan mulai sibuk diundang ke berbagai acara, baik on air maupun off air, di seluruh Indonesia. Tentu ini sebagai salah satu ucapan selamat tinggal, karena dia akan cuti untuk beberapa bulan ke depan.Kegiatan makan bersama memang sepertinya sudah menjadi agenda rutin mereka. Sebuah bentuk kebersamaan yang aku suka. Karena kami makin dekat satu sama lain, dan waktu kami bersantai menjadi lebih menyenangkan."Zal, cewek lo mana, nggak ikut?" tanya Mey, saat tidak melihat keberadaan Nida di samping Rizal."Iya, biasanya kalian tuh ibaratnya perangko sama lem. Nempel mulu. Bucin level akut emang!" sindir Indi."Nida udah balik duluan tadi. Nggak enak badan," kata Rizal dengan tampang l
Pintu lift terbuka. Dengan kaki sedikit pincang, aku mulai memasuki ruangan besar itu. Seketika Rahma memanggilku dan membuat beberapa orang langsung menatapku dengan ekspresi terkejut."Loh, kok lo masuk? Bukannya masih harus istirahat di rumah? " tanya Indi segera mendekat dan membantuku berjalan."Nggak apa-apa kok. Cuma lecet-lecet doang. Sebentar juga sembuh, " Sahutku berusaha membuat mereka semua tidak cemas."Gimana ceritanya sih, Ros! Kok bisa elo diserang gitu sama orang? Astaga bahaya banget sih! " Kata Mey agak panik.Alhasil aku pun dikerubungi oleh mereka dengan beribu pertanyaan yang intinya mencemaskan ku. Aku berusaha menanggapi mereka seperlunya, karena tidak ada informasi apa pun yang ku punya terkait insiden semalam. Iqbal sudah melaporkannya ke pihak berwajib, semua sedang diusut. Begitulah pesan yang dia kirim tadi, saat aku dalam perjalanan ke kantor."Iya, untung Ra
Rangga terus menuntunku sampai ke kamarnya. Ini memang bukan kali pertama hal ini terjadi. Masih teringat jelas saat di Bali kemarin, dia pun pernah melakukan hal Yang sama. Tapi kali ini kondisinya lain. Karena aku belum memakai pakaian apa pun sekarang. Rasanya aku tidak mungkin bisa bergerak bebas.Tanganku dilepas, pria itu memunggungi ku sambil mengambil kaus dari tas. "Udah, tidur sini aja. Biasanya Rahma pulangnya lewat tengah malam. Acara sebelumnya juga gitu soalnya. Apalagi ini Jogja, pacarnya kan di sini, " jelasnya. "Oh, gitu. " Dengan ragu, aku lantas mendekat ke ranjang. Duduk di sana, sambil terus memperhatikan Rangga yang tidak tenang."Aku ambil minum dulu," kata Rangga, lalu membuka pintu kamarnya."Duh, gimana nih. Kalau aku ambil baju, pasti itu setan masih di sana. Mana ini udah malam," gumam ku berdiskusi dengan diri sendiri.Aku lantas mondar mandir di kamar Rangga, memikirkan hal yang harus kul
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyaku begitu Lee mendekat. Rangga membantuku berdiri dan terus memegangi tangan karena kaki kananku sedikit nyeri."Apa itu sapaan di Indonesia untuk teman lama?" tanya Lee balik, sambil terkekeh. Rupanya dia sudah lancar menggunakan bahasa Indonesia, walau logat Korea nya masih terasa kental.Aku lantas tersenyum, mengulurkan tangan padanya. "Apa kabar, Lee?"Lee menyambut nya dengan tatapan mata dalam. "Lama tidak bertemu, kemampuan mu sedikit berkurang, Ines.""Oh, jadi mereka itu musuh mu? Buktinya jauh-jauh kau datang ke Indonesia hanya untuk menangkap mereka? Kasus apa kali ini?"Lee melirik ke Rangga yang sejak tadi hanya diam. "Dia ...?" tanyanya."Oh iya, perkenalkan, dia Rangga. Rangga ini Lee, temen aku di Korea. Dia polisi," kataku pada mereka berdua, bergantian."Rangga?" tanya Lee saat mereka be
Papa akan kembali ke Korea pagi ini juga. Pekerjaannya di sana masih membutuhkan waktu, dan Mama juga masih ada di Korea. Bahkan Mama tidak tau kalau Papa kembali ke Indonesia kemarin. Hotel yang Papa pesan, hampir sama seperti hotel sebelumnya. Connecting room tersebut membuat kami berempat saling terhubung. Lee juga akan kembali ke Korea, karena urusannya sudah selesai. Kami akan naik pesawat untuk kembali ke Ibukota."Jadi Papa sama Mama lama lagi pulangnya?" tanyaku di tengah sarapan pagi kami."Iya, mungkin beberapa bulan lagi, baru kami bisa menetap lagi di sini. Kamu baik-baik saja, kan? Papa dengar dari Iqbal tentang pencuri di rumah kita. Papa yakin, tidak ada lagi kejadian seperti itu. Mereka hanya anak buah Woong saja.""Tapi Iqbal juga sekarang di luar pulau, Pa. Bang Haikal juga jauh. Jadi aku sendirian dong di rumah," kataku setengah protes."Hm? Bukannya ada Rangga sekarang? Papa lihat kalian makin lengket aja. Iya,
Pintu apartemen Rangga ku buka, namun dahiku langsung mengerut ketika melihat Nida berada di kursi meja makan, dengan Rangga yang berdiri di dekat kompor, sedang memegang puntung rokok di tangan kanan. Di belakangnya ada panci yang berisi air panas disertai dua cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan kantung teh bundar."Yang?" Rangga membetulkan posisi berdirinya, segera mematikan rokok yang masih menyala di meja dekat kompor. Dia lantas mendekat. "Aku tadi WA kamu loh, nelpon juga nggak di angkat. Niatnya mau tanya, aku jemput jam berapa ke rumah?" katanya dengan segala bentuk pernyataan dan pertanyaan sebelum aku melayangkan upaya ngambek melihat Nida di sini. "Terus juga kasih tau, kalau Nida di sini."Aku lantas membuka ponselku dan membuktikan kebenaran perkataan kekasihku. "Lupa aku silent. Tadi di jalan berisik, soalnya aku naik Gojek." Aku lantas meletakkan tas di ranjang. "Aku pengen mandi." Segera saja aku masuk ke kamar mandi
Rumah besar itu porak poranda seolah terkena gempa dahsyat. Kondisi Rizal sudah stabil, bahkan dia sudah berganti pakaian dan kini terbaring di kamarnya ditemani Nida yang selalu berada di sisinya."Terus nasib Gladis gimana, Bang?" tanya Indi. Sosok hitam yang menyerang kami sudah musnah karena Bang Cen, Datu, dan macan putih itu."Kita lihat saja besok."Malam semakin larut. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu Nida tetap tinggal merawat Rizal.Mey pulang di antar Asep. Itu bukan hal aneh lagi bagi kami. Indi pun sudah di jemput Raja. Bang Cen memutuskan tinggal sebentar, untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya. Entah apa lagi yang akan dia lakukan, tapi aku dan Rangga sudah lelah sekali. Kami pun pamit padanya."Mau pulang ke mana?" tanya Rangga."Eum, ke rumah aja ya. Nggak apa-apa, kan? Aku capek banget. Pengen langsung tidur.""Ya nggak apa-apa. Lagian dari sini memang lebih dekat ke rumah
"Yah Gladis itu bukan manusia. Saya sudah perhatikan lama. Ada yang aneh sama dia.""Jadi maksudnya dia itu apa, Bang?""Tubuhnya memang tubuh seorang manusia. Tapi jiwanya bukan dari pemilik tubuh itu. Bahkan kalau jiwanya keluar dari sana, saya yakin kalau jasadnya tidak sebagus apa yang kita lihat sekarang.""Jadi jiwa siapa yang masuk ke sana? Kok bisa gitu, ya?""Bisa, Neng. Bahkan saya rasa apa yang merasuki tubuh Gladis juga bukan dari kalangan manusia.""Mungkin nggak sih, kalau pemilik tubuh itu sebelumnya melakukan perjanjian dengan iblis, terus dia nggak bisa memberikan tumbal atau semacamnya, makanya jiwanya diambil, tubuhnya kosong terus diisi makhluk lain. Bisa nggak?" tanyaku."Sangat masuk akal, Neng.""Apa dia sedang mengincar Rizal untuk dijadikan tumbal?" tanya Rahma."Bukan. Bukan tumbal, justru sebagai makanan." Perkat
Pagi ini kami berangkat kantor lebih awal, karena semalam aku menginap di apartemen Rangga. Jaraknya yang dekat kantor membuat kami memiliki setidaknya 20 menit waktu luang sebelum jam kerja dimulai. Bahkan lift pun terasa lenggang saat kami memasukinya, karena hanya ada kami berdua. Untungnya tidak ada lagi sosok wanita yang biasa memasuki lift ini, atau mungkin belum waktunya dia muncul, ya. Tapi sepertinya Bang Cen telah membuat dia tersingkir dari gedung ini, karena aku tidak pernah melihatnya lagi dalam waktu yang cukup lama.Kemarin kami berdua tidak jadi mencari Rizal, karena dia memang tidak bisa ditemukan di berbagai tempat. Di rumahnya, tempat nongkrongnya, sampai ke rumah teman-temannya, Rizal tidak nampak juga. Akhirnya semalam kami akhir pencarian pukul 22.00, Nida pulang sendiri, dan aku bersama Rangga kembali ke apartemen.Pintu lift menutup, aku melingkarkan tangan ke lengan kekasihku. Dia menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" t
"Eh, kalian udah denger belum? Gosip kalau Rizal deket sama Gladis?" tanya Mey berbisik saat kami makan siang. Sudah sekitar satu bulan Gladis bekerja di kantor kami, dan dia masih menjadi topik pembicaraan yang menarik. "Serius? Kok bisa? Nida gimana?" tanya Indi penasaran. "Nah itu! Mereka break! Dan sekarang Rizal deket sama Gladis. Yah, siapa sih yang nggak mau sama Rizal, kan? Dilihat-lihat ganteng juga itu anak," cetus Mey. "Ganteng mana sama gue?" tanya Asep menanggapi. "Elu ... Tapi dilihat dari ujung monas, pakai sedotan!" "Awas lu ya. Nggak gue anterin pulang lagi!" ancam Asep. "Cie. Udah saling antar jemput. Eh, lu nunggu di mana, Mey? Nggak takut?" tanya ku sengaja mencandai mereka. "Di rumah lah. Kan yang punya body guard, dia, bukan gue. Gue mah nggak takut." "Oh iya ya. Hati-hati, takut nanti ada drama mirip di sinet
"Siapa tuh?"Seorang wanita datang bersama pria berumur sekitar 40 tahunan. Memakai setelan mahal dan masuk ke ruangan Bos. Dari apa yang terlihat, sepertinya dia akan menjadi karyawan baru di kantor kami. Penampilannya terlihat seksi, dengan rok span hitam yang cukup pendek di atas lutut, kemeja putih ketat, menampilkan payudaranya yang terkesan tidak muat di dalam pakaian itu. Sepatu hak tinggi berwarna hitam, memang menjadi ciri khas seorang pekerja magang. Karena kemarin aku pun melakukan hal itu."Baru kayaknya deh. Njir, bohay banget!" kata Asep melotot sampai wanita itu menghilang di balik pintu."Wuu! Dasar mata playboy! Suka bener lihat yang montok-montok!" cetus Mey.Memang terlihat seksi dan mengundang banyak mata melihat, tapi aku merasa tidak menyukai aura yang dimiliki wanita tersebut. Entah mengapa. Terasa ada selubung gelap yang mengitarinya. Bahkan beberapa sosok mengerikan terus
Ini adalah hari pertama setelah cuti yang bisa terbilang panjang bagiku. Aku dan Rangga kembali ke kantor, memulai aktifitas kami seperti biasanya. Sejak kemarin aku memang tinggal di apartemen Rangga hingga hari ini. Namun nanti aku akan kembali pulang ke rumah, karena Iqbal sudah kembali dari luar kota. Bagaimana pun juga, dia bagai satpam Papa di rumah untuk mengawasi ku. Tapi kami berdua sama-sama saling mengawasi dan melindungi sebagai kakak adik. Sementara Bang Haikal justru terbang lebih jauh lagi ke London. Bisnisnya berkembang pesat. Kabarnya dia hendak membuka sekolah Indonesia di sana.Kami baru saja datang bersama-sama. Masuk lift yang penuh sesak, karena ini adalah jam masuk kantor, tentu banyak karyawan berdatangan. Aku dan Rangga menempati posisi tengah. Di belakang kami ada deretan karyawan dari lantai paling atas, di depan kami, campuran dari teman satu ruangan ku dan juga Rangga.Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita
Papa akan kembali ke Korea pagi ini juga. Pekerjaannya di sana masih membutuhkan waktu, dan Mama juga masih ada di Korea. Bahkan Mama tidak tau kalau Papa kembali ke Indonesia kemarin. Hotel yang Papa pesan, hampir sama seperti hotel sebelumnya. Connecting room tersebut membuat kami berempat saling terhubung. Lee juga akan kembali ke Korea, karena urusannya sudah selesai. Kami akan naik pesawat untuk kembali ke Ibukota."Jadi Papa sama Mama lama lagi pulangnya?" tanyaku di tengah sarapan pagi kami."Iya, mungkin beberapa bulan lagi, baru kami bisa menetap lagi di sini. Kamu baik-baik saja, kan? Papa dengar dari Iqbal tentang pencuri di rumah kita. Papa yakin, tidak ada lagi kejadian seperti itu. Mereka hanya anak buah Woong saja.""Tapi Iqbal juga sekarang di luar pulau, Pa. Bang Haikal juga jauh. Jadi aku sendirian dong di rumah," kataku setengah protes."Hm? Bukannya ada Rangga sekarang? Papa lihat kalian makin lengket aja. Iya,
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyaku begitu Lee mendekat. Rangga membantuku berdiri dan terus memegangi tangan karena kaki kananku sedikit nyeri."Apa itu sapaan di Indonesia untuk teman lama?" tanya Lee balik, sambil terkekeh. Rupanya dia sudah lancar menggunakan bahasa Indonesia, walau logat Korea nya masih terasa kental.Aku lantas tersenyum, mengulurkan tangan padanya. "Apa kabar, Lee?"Lee menyambut nya dengan tatapan mata dalam. "Lama tidak bertemu, kemampuan mu sedikit berkurang, Ines.""Oh, jadi mereka itu musuh mu? Buktinya jauh-jauh kau datang ke Indonesia hanya untuk menangkap mereka? Kasus apa kali ini?"Lee melirik ke Rangga yang sejak tadi hanya diam. "Dia ...?" tanyanya."Oh iya, perkenalkan, dia Rangga. Rangga ini Lee, temen aku di Korea. Dia polisi," kataku pada mereka berdua, bergantian."Rangga?" tanya Lee saat mereka be