POV RENDI Naila resmi berpisah dari suaminya? Entah bagaimana perasaanku saat ini. Ada sedih, ada bahagia juga. Bagaimana aku tak bahagia, sudah lama aku menunggunya dan kesempatan kini terbuka lebar. Sedih juga sih karena melihat orang yang aku sayangi sedih dan terpuruk. Tak tega melihat Naila terbaring lemah di rumah sakit karena keguguran waktu itu. "Kamu harus bisa melepaskan dia yang tak bisa menghargaimu, Nai. Buka hatimu untuk orang yang mengharapkanmu," ucapku saat menjenguknya di rumah sakit. "Aku belum mikirin itu, Ren. Saat ini aku cuma mau fokus dengan Raka dan usahaku," sahut Naila. Aku tahu jawabannya waktu itu adalah sindiran halus untukku. Namun, aku tak akan menyerah dengan begitu mudah. Aku akan memperjuangkan seorang Naila meskipun saat ini dia selalu menghindari dan menolakku. Mungkin juga karena Rani sepupunya. Rani gadis yang manis dan baik, sayangnya sampai detik ini hatiku belum bisa menerimanya. Aku ta
"Kumohon, Nai. Berikan aku kesempatan. Aku bisa gila jika harus kehilanganmu lagi!" ucap Rendi penuh penekanan. "Apa!?" Naila dan Rendi secara bersama menoleh ke asal suara. Di belakang mereka Rani berdiri terpaku dengan bibir bergetar menahan tangis. "Apa yang aku dengar barusan benar, Mas?" tanya Rani. "Mbak Naila tolong jelaskan padaku," lanjut Rani. Melihat di ruangan itu banyak orang, Naila mengajak Rani ke ruangannya dan Rendi mengikutinya. "Ran, tolong jangan salah paham. Dengarkan dulu penjelasan Mbak," Naila memohon kepada Rani. "Yang kamu dengar tadi memang benar, Ran. Aku mencintai Naila. Sudah dari dulu aku menyayanginya tapi takdir berkata lain." jelas Rendi. "Cukup, Ren! Kamu bisa melukai Rani," geram Naila. "Biarkan saja, Mbak. Aku ingin mendengarkan yang sebenarnya. Aku kuat menerima kenyataan daripada terus-terusan dibohongi," ucap Rani parau. "Maafkan aku, Ran. Aku yang salah, aku mendekat
"Mbak Linda, apa Rani tidak bekerja hari ini?" tanya Naila pada karyawannya. "Dia gak datang, Mbak. Gak tau kenapa gak ngasih kabar juga," sahut Linda seraya membersihkan tempat kerjanya. Naila merasa khawatir pada sepupunya itu setelah kejadian tempo hari. Dia mencoba menghubungi Rani lewat sambungan telepon. "Halo, Ran? Kamu baik-baik aja, 'kan? Kenapa gak masuk hari ini?" tanya Naila beruntun. "Aku lagi gak enak badan, Mbak. Tadi udah ngirim pesan, coba liat deh, Mbak. Mungkin pesanku belum kebuka," jawab Rani. "Oh yaudah. Kamu istirahat aja dulu ya, semoga lekas baikan lagi," ucap Naila. "Iya Mbak." Naila merasa lega setidaknya Rani tak masuk kerja bukan karena dirinya. Dia tak mau hubungan yang baik menjadi renggang karena laki-laki. Saat membuka ponselnya, memang benar Rani telah mengirimkan pesan tadi pagi. Karena sibuk, Naila tak sempat membukanya. Luka di hati Rani masih basah, tak mudah baginya melupakan
ANAKKU JUGA CUCUMU, BU# PART33(43) "Naila ... a-aku cuma ingin melihat Raka," ucap Ikhsan terbata. Dia takut jika Naila akan marah atau menolak kedatangannya. Naila melihat situasi sekitarnya, suasana sore banyak tetangga yang bermain di luar rumah. Di depan juga ada Bapak-Bapak yang ngobrol santai. Rasa takutnya hilang seketika, setidaknya pria itu tidak akan berani berbuat nekad. "Baiklah, Mas. Kamu boleh melihat Raka sebentar, tapi tetap di sini." sahut Naila. Ikhsan lega akhirnya Naila mengijinkannya. Dia meraih bocah gembul itu lalu memeluk dan menciuminya. Raka yang semula berontak akhirnya bisa beradaptasi lagi. Lama tak bertemu ayah kandungnya, tak membuat anak itu merasa seperti orang asing. Dalam hitungan menit, bocah itu bisa bercanda ria dengan Sang Ayah. Ikhsan senang sekali, anaknya kini sudah semakin besar dan mengerti perkataannya. Setelah puas bermain, dia ingin berpamitan kepada Naila untuk kembali."Nai, makasih udah
"Ka-kamu?" ucap Arya kaget pada seorang perempuan yang ada di hadapannya. "Iya, Mas. Ini aku Renata. Jadi sekarang kamu tinggal di kota ini juga?" tanya seorang perempuan yang ternyata bernama Renata. "Iya, aku pindah ke sini dan tinggal sama Mama aku," ucap Arya seraya memalingkan wajahnya dari Renata. "Dan ini Naila calon istriku," lanjut Arya lagi. Naila menutup mulutnya terkejut. Tak menyangka Arya akan mengatakan itu. Belum berhenti rasa terkejutnya, Arya tiba-tiba saja merangkulnya mesra. Terlihat sekali ada gurat kecewa di wajah manis Renata." Ja-jadi kamu sudah mau menikah?" "Iya, seperti yang aku bilang tadi" sahut Arya. Wajahnya yang biasa ramah kini berubah menjadi dingin tanpa ekspresi. "Ayo, sayang. Kita cari tempat makan lain yang lebih nyaman," ucap Arya seraya menggandeng tangan Naila. Naila yang masih bingung dengan situasi ini, menurut saja saat Arya menggandengnya keluar dari restoran. Sepanja
Aarrgh!! "Mas Ikhsan, tolong aku," teriak Amanda. Bu Sukma dan Pak Jaka keluar dari dalam kamar mendengar keributan di rumahnya. Pak Jaka berusaha menghentikan Irda yang masih terus menyerang menantunya itu. "Sudah Irda, hentikan! teriak Pak Jaka. "Biarin, Pak. Perempuan gak punya malu ini memang harus diberi pelajaran!" hardik Irda dengan nafas terengah-engah. "Pasti kamu yang buat gara-gara dulu sama Irda, 'kan?" Bu Sukma membela anaknya. "Kalian semua emang keluarga toxic!! Awas aja aku bakal aduin ke Mas Ikhsan!" teriak Amanda lalu berlari masuk ke dalam kamarnya. Sementara Ikhsan kini lebih sering menghabiskan waktu di luar bareng temannya. Pria itu bahkan betah berjam-jam nongkrong di warung untuk sekedar minum kopi. Suasana rumah yang dulu sering dirindukannya, kini hanya menjadi tempat numpang tidur saja. Tak ada kedamaian ia temukan di dalamnya.**** "Mas, aku udah gak betah tinggal di sini," ucap Amanda ketika suaminya baru pulang dari nongkrong di warung. "Ada apa
Di tikungan tajam, ada mobil yang berjalan dengan kecepatan penuh juga. Rendi berusaha menghindari mobil itu dan sedikit oleng. Dia banting stir ke kanan dan .... BRAK!! Mobil Rendi menabrak pohon yang ada di pinggir jalan. Kepala mobil remuk dan Rendi tak sadarkan diri. Beberapa orang yang berada di sekitar tempat kejadian berlari menghampiri. Ada yang berusaha menolong, ada yang menelpon untuk segera mendapatkan pertolongan.**** Rani mondar-mandir menunggu kedatangan Rendi. Dia merasa mungkin Rendi ada masalah hingga lama menunggu tak datang juga. Ingin menelponnya tapi takut mengganggu Rendi yang sedang menyetir. Karena lama tak datang juga, akhirnya dia tak sabar mengambil ponsel untuk menghubungi pria itu. Rani mencoba menghubungi nomer Rendi, ada yang mengangkat."Halo?" Rani merasa itu bukan suara Rendi."Halo, dengan Rendi, bukan?" tanya Rani penasaran. "Mas Rendi, baru saja kecelakaan, Mbak. Ini sedang dibawa ke Rumah Sak
ANAKKU JUGA CUCUMU, BU# PART36(47) Setibanya di rumah, Naila makan bersama dengan Raka. Bu Rima duduk menemani mereka makan. "Ibu udah makan?" tanya Naila. "Udah, Nai. Jadi sekarang gimana keadaan Rendi?" tanya Bu Rima. "Keadaannya tadi masih kritis waktu aku pulang, Bu. Semoga saja dia lekas sadar," ucap Naila. "Aamiin," sahut Bu Rima. Ponsel Naila berdering tanda ada panggilan masuk. Ternyata Arya yang menelponnya. "Halo, Nai? Tadi aku mengirimi kamu pesan namun tak kamu balas," ucap Arya. "Oh iyakah? Maaf aku baru sempat buka ponselku, tadi di rumah sakit," ucap Naila seraya menyendokkan nasi ke mulut Raka, anaknya. "Siapa yang sakit, Nai? Kamu baik-baik aja, 'kan?" teriak Arya spontan. Suaranya terdengar melengking di telinga Naila. "Hadew ... jangan teriak dong, aku gak budek. Rendi yang kecelakaan, sekarang kondisinya kritis," jelas Naila. Arya bernafas lega. Setidaknya tidak terjadi hal yang buruk
Amanda diusir dari tempat kost di mana ia tinggal bersama Anton. Ia kedapatan bermain serong dengan suami pemilik kost itu. Bukan hanya diusir, tapi juga dipermalukan di tempat umum karena mereka kepergok bermesraan di dalam kamar. Sedangkan Anton memilih tak peduli lagi dengan nasib perempuan itu. Karena sebenarnya dia juga hanya main-main dengannya, apalagi perempuan itu ternyata mudah sekali menjual harga dirinya. Anton berusaha menemui Irda untuk minta maaf, tapi Irda tak mau menerima suaminya itu kembali. Irda berpikir lebih baik bercerai dari pada menghabiskan seumur hidupnya untuk lelaki pengkhianat. Akhirnya Anton memilih pulang kampung ke tempat asal orangtuanya. Meskipun di sana dia sudah tidak ada orangtua setidaknya dia masih punya saudara yang mau menampungnya. Irda untuk saat ini hanya memikirkan mencari nafkah untuk anak semata wayangnya. Ia ingin menghidupi anak dan Ibunya dengan jerih payahnya sendiri. Takdir kehidupan membua
Renata melihat kedua bocah itu bermain sendirian."Bim, ini waktu yang tepat. Cepat bawa paksa anak Naila sekarang juga!" Bimo, lelaki sewaan Renata menuruti perintah Bosnya. Dia berjalan santai ke arah dua bocah itu bermain. Sementara Naila merasa perasaannya tak tenang. Dia keluar mencoba melihat keadaan putranya. "Kamu mau kemana, Nai? tanya Arya yang sedang mencoba baju pengantinnya ketika melihat Naila keluar. "Bentar, Mas. Aku lihat anak-anak dulu." sahut Naila. Sekar masih asyik bermain dengan ponselnya. Dia tak menyadari bahaya mengintai buah hatinya. Bimo, lelaki sewaan Renata telah berada di hadapan Hazel dan Raka. Karena panik melihat Naila berjalan keluar, dia lantas menarik paksa salah satu bocah itu. Raka menangis dan Hazel berteriak meminta tolong, Naila yang mendengar teriakan minta tolong dan suara tangisan anaknya segera berlari. Dia melihat seorang lelaki menarik paksa Hazelia dan menggendongnya. Naila me
Pak Andre dan Bu Hera berbicara kepada Arya soal rencana pernikahannya yang akan dipercepat. "Gimana, Arya? Kamu setuju kan jika pernikahanmu segera dilaksanakan?" tanya Bu Hera kepada putranya. "Iya, Ma. Aku sih setuju saja. Tinggal nanti minta tanggapan Naila dan keluarganya bagaimana." jawab Arya. "Rencananya jika kalian sudah menikah nanti, maka butik akan Mama serahkan kepadamu dan Naila. Sekar sudah sibuk dengan pekerjaannya jadi dia menolak mengelolah butik itu." Bu Hera menjelaskan. "Apakah Mama akan ikut Papa ke luar negeri?" tanya Arya. "Iya, Sayang. Lagian kamu juga sudah ada Naila, 'kan? Biar Mama dan Papa bisa bulan madu lagi di sana," sahut Pak Andre sambil melirik istrinya. Arya tersenyum mendengar perkataan Sang Papa. Dia berharap kelak bisa mengikuti jejak kedua orangtuanya. Tetap mesra meskipun usia sudah menua.**** Sekar telah mengetahui rencana pernikahan adiknya akan dipercepat. Mamanya sendiri yang telah me
Sekar diam tak berani membantah lagi. Renata menatap Arya dengan wajah pias. Berharap sekali saja pria itu akan membelanya. Sedangkan Arya melengos ketika pandangan matanya tak sengaja bertabrakan dengannya. "Om, beri aku kesempatan sekali saja. Aku benar-benar tak bisa melupan Arya. Dia lelaki terbaik yang pernah hadir di hidupku." Renata memohon memasang wajah sedihnya. Pak Andre tidak lagi mengindahkan Renata. Dia teringat tujuan utamanya untuk makan malam kali ini. Dia lalu memandang Naila yang duduk di samping Arya. "Arya, diakah yang bernama Naila?" tanya Pak Andre. "Iya, Pa. Dia Naila, wanita yang aku cintai saat ini." ucap Arya dengan jantung berdebar. Pak Andre mengamati Naila lama. Tatapan matanya tajam memindai wanita itu. Naila mengangkat wajahnya ke arah pria yang memandangnya sedemikian rupa. Seketika timbul senyum di bibir manisnya. "Pak, Bapak yang di restoran waktu itu, 'kan? Terima kasih sudah membayar pesanan saya waktu itu," ucap Naila dengan senyum ramahnya.
"Gak apa-apa dong, Mas. Nanti kita temui ayah kamu. Trus kenapa itu muka jadi kusut begitu?" tanya Naila mengajak Arya becanda. "Aku takut, Nai. Ayahku orang yang perfeksionis. Dia tak mudah menerima orang lain dalam keluarga kami. Aku takut kamu mundur jika dia mengatakan sesuatu yang tidak kita harapkan." Arya menjelaskan. Naila memandang mata kekasihnya. Digenggamnya tangan lelaki yang ada dihapannya saat ini. Dia mencoba meyakinkan pria itu akan kesungguhan hatinya. "Mas, selama kamu bersamaku dan memperjuangkan cinta kita, maka aku akan berjuang bersamamu." ucap Naila yakin. Arya tersenyum lega mendengar penuturan kekasihnya itu. Setidaknya Naila akan selalu bersamanya dalam situasi sulit sekali pun. "Oh iya, Nai. Ini ada titipan gamis dari Mama. Gunakan nanti saat makan malam ya," ucap Arya. Naila menerima gamis pemberian Bu Hera dengan senang hati."Iya, Mas. Terima kasih."**** Malam itu Naila sudah berpamitan kepada kedua
Rani tersenyum memandangi cincin pemberian Rendi yang terpasang di jari manisnya. Gadis itu masih tak percaya bisa sampai di tahap ini. "Eh, senyum-senyum sendiri. Ada kabar bahagia nih kayaknya," goda Naila pada sepupunya. "Mbak, liat ini cincin pemberian Mas Rendi." Rani menjawab seraya menunjukkan jari manisnya. "Cantik banget! Jadi dia sudah melamarmu?" tanya Naila turut bahagia. "Iya, Mbak. Mas Rendi gak mau lama-lama pacaran. Rencananya, minggu-minggu ini dia akan datang ke rumah bersama keluarganya untuk lamaran secara resmi," ujar Rani dengan mata berbinar. "Selamat ya, Ran. Semoga bisa sampai ke pelaminan," sahut Naila mendoakan. "Aamiin ... Semoga Mbak Naila bisa segera menyusul juga," sahut Rani balik mendoakan Naila. Kedua perempuan yang masih saudara sepupu itu saling berpelukan. Saling memberikan doa dan semangat untuk mencapai kebahagiaan.**** Rendi dan keluarganya datang ke rumah Rani untuk melamar secara
Rendi mengajak Rani dinner di sebuah restoran. Malam itu Rendi ingin membicarakan tentang sesuatu hal kepada kekasihnya. "Tempatnya asyik ya, Mas." ucap Rani. "Iya aku sengaja memesan tempat ini untuk berbicara hal penting sama kamu, Ran." jawab Rendi memasang wajah dingin di hadapan Rani. "Emang ada hal penting apa, Mas?" tanya Rani yang melihat ada perubahan di mimik wajah kekasihnya. "Ran, maafkan aku." Rendi berkata dengan menunduk menghindari tatapan dari perempuan di hadapannya. Rani merasa ada hal buruk yang akan disampaikan oleh pria di depannya itu."Ada apa, Mas?" "Aku-aku gak bisa lagi berpacaran denganmu, Ran ...." lirih Rendi sedih. Mata Rani mulai berembun,"kenapa, Mas? Apa ada orang lain di hati kamu?" "Aku gak bisa lagi menjadikanmu pacar karena aku ingin menjadikanmu istriku, Ran," ucap Rendi dengan senyum manisnya. Rani menangis mendengar ucapan Rendi. Air mata meluncur dari mata sendunya. Rendi gel
Arya berjalan bolak-balik di depan teras rumah. Tangannya memegang ponsel untuk menelpon Naila berkali-kali namun tak tersambung. Dia telah bertanya pada tetangga sebelah rumah Naila. Katanya Naila bersama kedua orangtuanya pergi ke rumah Ikhsan, mantan suami Naila. Hal itu tentu saja membuat Arya khawatir. Dia takut pikiran Naila berubah dan akan kembali lagi ke suaminya. Tak lama mobil Naila memasuki halaman rumah. Arya tersenyum ramah pada Bu Rima dan Pak Ahmad. Dia juga menyempatkan diri menyapa Raka. Kedua orangtua Naila langsung masuk ke dalam membawa Raka cucunya. Mereka ingin membersihkan diri dulu. "Mas Arya, udah lama di sini?" tanya Naila. Arya dengan wajah dinginnya menyahut pertanyaan Naila," Iya sampai kering aku di sini," Naila menatap kekasihnya itu. Dia merasa sikap Arya tak seperti biasanya. "Masuk dulu, Mas. Kamu mau minum apa?" tanya Naila. "Air es aja biar dingin hatiku," sahut Arya cuek tanpa m
Pak Jaka terlihat semakin pucat. Tangannya tak lepas memegang dadanya yang terasa sakit. Dia mencoba berbicara namun tak bisa. Tangannya mengisyaratkan minta tolong pada istrinya yang menangis sedih dengan kelakuan menantunya. "Bu ... Bu, to-" BUGH!! Pak Jaka jatuh terjerembab. Bu Sukma terlonjak kaget. Wanita itu menjerit histeris mendapati suaminya tak sadarkan diri. "Irda, tolongin Bapakmu, Nak!" seru Bu Sukma. Irda dan Anton menghambur ke arah Bu Sukma. Mereka menggoncang tubuh Pak Jaka. Namun, tak ada reaksi darinya. Ikhsan keluar karena suara ribut-ribut di depan kamarnya. Disusul Amanda di belakangnya. "Akhirnya keluar juga kamu, Mas," seru Irda dengan berurai air mata. "Ada apa ini, Bu? Irda? Kenapa sama Bapak?" tanya Ikhsan. "Ini semua karena ulah mereka, Mas," Irda menatap nyalang pada Amanda dan Anton. Anton menunduk takut di depan Ikhsan, sedangkan Amanda masih bingung dengan apa yang terjadi.