Mobil kami telah sampai di depan rumah Bulek Ida yang sudah mulai ramai oleh orang. Rendi turun dan membukakan pintu untukku. Dia meminta Raka dariku. Aku berjalan beriringan dengannya. Bagi yang tak mengenal kami, pastilah mengira kami pasangan suami istri. Terlihat di depanku Mas Ikhsan duduk bersama Bapak. Aku menunduk menghindari pandangan matanya. Ternyata dia melihatku. "Naila ... ?" lirih Mas Ikhsan berkata. Untuk sesaat suamiku itu memandangku tak berkedip. Bibirnya bergetar seperti ingin bicara namun tak keluar satu patah kata pun. Kemudian dia melihat Rendi dengan tatapan bertanya. Melihat situasi ini, Rendi menyerahkan Raka dan memintaku masuk ke dalam. "Masuklah ke dalam, Nai. Ibu sudah menunggumu," ucap Rendi pandanganya tak lepas dari Mas Ikhsan. "Tunggu, Nai ...," Bapak Mertua memanggilku. "Bapak kangen sama Raka, biarkan bapak menggendongnya." pinta Bapak. Aku serahkan bayi mungilku itu kepada Bapak
Vanya datang bersama dengan Irda. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Sepertinya dia sakit. "Mas Ikhsan, tolong anterin aku ke dokter," ucap Vanya dengan wajah pucat. "Iya, Mas. Kasihan Vanya kesakitan," jelas Irda khawatir. Saat Irda melihatku, dia melengos tak menyapaku sama sekali. Bahkan dia hanya menyindirku dengan mulut pedasnya. "Udah dibuang masih aja datang," sindirnya. Aku memilih tak menanggapi ucapannya itu. "Ada yang kurang kerjaan nih, hobinya ngurusin hidup orang," sindirku balik "Ayo, Mas. Aku udah gak tahan," ucap Vanya meringis kesakitan. "Aku sedang bicara sama istriku, Van. Pergilah!" ucap Mas Ikhsan geram. AARGH!! Vanya berteriak kesakitan, keluar banyak darah dari bawah roknya. Apakah Vanya pendarahan, apa dia hamil ataukah dia keguguran. Begitu banyak pertanyaan yang melintas di dalam pikiran. Namun aku mencoba menutupi rasa penasaranku dengan bersik
Masih teringat di benakku bagaimana Mas Ikhsan begitu peduli pada Vanya. Ia tak dapat menyembunyikan wajah paniknya saat menggendong perempuan itu ke rumah sakit. Hingga tak sadar bahwa sikapnya itu kembali melukai hatiku. Kuambil ponselku dari dalam tas barangkali ada pesan penting yang masuk. Kuperiksa satu persatu dan memang ada banyak pesan dari para customerku. [Mbak, kapan orderanku bisa dikirim?] [Sis, mau pesan headpiece buat acara nikahan, minta yang cantik dan terlihat mewah] [ Mbak, kiriman bunga stoking yang kemarin sudah ludes terjual. Bisakah aku pesan 1000 pieces lagi untuk pameran bulan depan] Dan masih banyak lagi pesan-pesan lainnya yang masuk. Kubalas pesan itu satu persatu. Aku harus profesional agar tidak mengecewakan pelangganku. Bagiku kepuasan pelanggan adalah yang utama. Setelah merasa lelah dan kantuk menyerang aku pun tertidur di samping putraku.**** "Ran, pastikan orderan yang telah selesai dicek lagi lalu dikirim. Jangan biarkan mereka menunggu terl
Pagi menjelang siang, bak mimpi di siang bolong. Ibu mertua datang dengan naik ojek. Bukan mertuaku namanya kalau tidak memasang tampang judes setiap ketemu. "Eh Naila ... Dasar mantu licik. Diam-diam kau peras anakku," geramnya Aku yang saat itu memang sedang bersantai menggendong Raka di teras rumah masih kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba. "Ibu bisa bicara baik-baik,'kan? Malu didengar tetangga, Bu," kataku. " Gak peduli! Gara-gara kamu uang bulananku berkurang. Aku gak mau tahu, kembalikan uang Ikhsan sekarang," teriaknya. Aku baru paham maksudnya, ternyata dia mempersalahkan uang yang Mas Ikhsan beri kemarin. "Mas Ikhsan memberikan uang itu tanpa aku minta, Bu. Dan aku masih berhak karena aku masih istri sahnya," balasku. "Kamu sudah keluar dari rumah, jadi kau sudah tak punya hak apapun lagi atas Ikhsan," teriaknya hingga menimbulkan kegaduhan. Beberapa tetangga mulai keluar melihat kami. "Ibu Sukma, ngapain ke
Seperti hari-hari biasanya, Naila selalu disibukkan dengan pekerjaan crafternya. Semakin banyak variasi produk yang ia hasilkan bersama teamnya. Raka tumbuh menjadi bayi yang sehat dan aktif. Tak mau terlalu merepotkan orangtuanya, Naila membayar seseorang untuk menjaga putranya itu, Mbak Lika tetangganya. Tentu dengan pengawasan Ibu dan dirinya. "Assalammualaikum ...," "Wa'alaikumussalam. Cari siapa ya?" tanya Bu Rima, Ibu dari Naila "Apa benar ini rumahnya Naila?" tanya seseorang itu. Naila yang mendengar namanya disebut bergegas keluar menemui orang itu."Saya Naila, ada apa ya, Mas? tanyanya pada pria yang kini berdiri di depannya. "Perkenalkan saya Arya, kakak dari Vanya," ucap Arya. Merasa seperti ada hal penting yang mau pria itu sampaikan, Naila mempersilakannya masuk ke dalam rumah. "Sebelumnya saya meminta maaf kepada Mbak Naila atas sikap adik saya," ucap Arya. "Saat ini Vanya sedang sakit. Dari hari ke h
Pulang dari acara pemakaman Vanya, Ikhsan mampir ke rumah Naila bersama Ayah dan Ibunya. Tentu saja hal ini membuat orangtua Naila bertanya-tanya apa maksud kedatangan mereka. "Bu Rima, saya datang mau menengok cucu saya, kangen sekali udah lama gak ketemu," ucap Bu Sukma. Raka yang baru dimandikan oleh Bu Rima masih terbalut handuk, digendong begitu saja oleh Bu Sukma. Dipangkunya bayi gembul itu. Sesaat kemudian dia merasakan ada yang basah pada roknya, Raka mengompol dan spontan Bu Sukma berteriak,"Dasar bayi gembul, baru digendong udah ngompol," teriak Bu Sukma dengan wajah ketus. Semua yang ada di sana melongo melihat sikap Bu Sukma. Tapi sesaat kemudian Naila bisa menguasai diri, diambilnya Raka dari Mertuanya itu. "Raka ikut Mama dulu ya, sayang," Naila membawa anaknya masuk ke dalam untuk dibersihkan dan dipakaikan baju. Sementara Bu Rima membuatkan minum untuk tamunya, Bu Sukma mengamati beberapa karyawan Naila yang masih belum p
Bu Sukma senang akhirnya Ikhsan dan Naila bisa bersama lagi. Dia menceritakan kepada semua orang yang ditemuinya bahwa menantunya kini telah sukses. Bahkan dia bilang ke semua orang jika kesuksesan Naila juga berkat campur tangan Ikhsan anaknya. Rendi dan Ibunya juga telah mengetahui tentang itu. Bahkan Rendi terlihat murung, Ibunya senantiasa memberikan semangat agar bisa move on dari Naila. "Ren, sampai kapan kamu gak bisa melupakan Naila," ucap Bu Ida. "Sampai kapan pun, aku gak bakal bisa lupain Naila, Bu." Rendi menjawab ucapan Ibunya. "Di luar sana masih banyak gadis baik seperti Naila, Nak," jelas Bu Ida. " Jika aku mau, dari dulu sudah menikah, Bu. Aku cuma mau Naila," lirih Rendi. "Naila istri orang, Nak. Kamu harus mendoakan yang terbaik untuk rumah tangganya," Bu Ida menasehati putranya. "Aku pasti bakal bisa dapetin dia," gumam Rendi dan Ibunya hanya bisa geleng-geleng melihatnya. Rendi seringkali beru
ANAKKU JUGA CUCUMU, BU# PART 17(20) Naila melihat kondisi rumah barunya bersama Sang Suami. Proses pembangunan sudah selesai, tinggal dibersihkan saja. "Nai, mumpung aku libur. Ayo kita bersihkan rumah ini. Besok barang-barang sudah bisa dimasukkan," usul Ikhsan. "Oke siap, Bos," jawab Naila. "Di sini kamu bosnya bukan aku, malahan aku sekarang minder," ucap Ikhsan. "Jangan ngomong gitu, Mas. Aku menerima kamu apa adanya. Dan kamu juga menerimaku sebelum aku jadi seperti sekarang ini. Dalam rumah tangga, kamu tetap jadi imamnya," hibur Naila pada Sang suami. "Tapi-"Ikhsan tak sempat melanjutkan ucapannya. Sang istri malahan menggelitik pinggangnya hingga dia tertawa kegelian. "Cukup ... cukup, Nai," ucap Ikhsan menyerah. "Makanya gak usah ngomong aneh-aneh. Ayo langsung dibersihkan aja biar cepat kelar," sambung Naila. Mereka berdua kompak membersihkan setiap bagian rumah. Bahkan kaca jendela pun tak luput dari sentuhan t
Amanda diusir dari tempat kost di mana ia tinggal bersama Anton. Ia kedapatan bermain serong dengan suami pemilik kost itu. Bukan hanya diusir, tapi juga dipermalukan di tempat umum karena mereka kepergok bermesraan di dalam kamar. Sedangkan Anton memilih tak peduli lagi dengan nasib perempuan itu. Karena sebenarnya dia juga hanya main-main dengannya, apalagi perempuan itu ternyata mudah sekali menjual harga dirinya. Anton berusaha menemui Irda untuk minta maaf, tapi Irda tak mau menerima suaminya itu kembali. Irda berpikir lebih baik bercerai dari pada menghabiskan seumur hidupnya untuk lelaki pengkhianat. Akhirnya Anton memilih pulang kampung ke tempat asal orangtuanya. Meskipun di sana dia sudah tidak ada orangtua setidaknya dia masih punya saudara yang mau menampungnya. Irda untuk saat ini hanya memikirkan mencari nafkah untuk anak semata wayangnya. Ia ingin menghidupi anak dan Ibunya dengan jerih payahnya sendiri. Takdir kehidupan membua
Renata melihat kedua bocah itu bermain sendirian."Bim, ini waktu yang tepat. Cepat bawa paksa anak Naila sekarang juga!" Bimo, lelaki sewaan Renata menuruti perintah Bosnya. Dia berjalan santai ke arah dua bocah itu bermain. Sementara Naila merasa perasaannya tak tenang. Dia keluar mencoba melihat keadaan putranya. "Kamu mau kemana, Nai? tanya Arya yang sedang mencoba baju pengantinnya ketika melihat Naila keluar. "Bentar, Mas. Aku lihat anak-anak dulu." sahut Naila. Sekar masih asyik bermain dengan ponselnya. Dia tak menyadari bahaya mengintai buah hatinya. Bimo, lelaki sewaan Renata telah berada di hadapan Hazel dan Raka. Karena panik melihat Naila berjalan keluar, dia lantas menarik paksa salah satu bocah itu. Raka menangis dan Hazel berteriak meminta tolong, Naila yang mendengar teriakan minta tolong dan suara tangisan anaknya segera berlari. Dia melihat seorang lelaki menarik paksa Hazelia dan menggendongnya. Naila me
Pak Andre dan Bu Hera berbicara kepada Arya soal rencana pernikahannya yang akan dipercepat. "Gimana, Arya? Kamu setuju kan jika pernikahanmu segera dilaksanakan?" tanya Bu Hera kepada putranya. "Iya, Ma. Aku sih setuju saja. Tinggal nanti minta tanggapan Naila dan keluarganya bagaimana." jawab Arya. "Rencananya jika kalian sudah menikah nanti, maka butik akan Mama serahkan kepadamu dan Naila. Sekar sudah sibuk dengan pekerjaannya jadi dia menolak mengelolah butik itu." Bu Hera menjelaskan. "Apakah Mama akan ikut Papa ke luar negeri?" tanya Arya. "Iya, Sayang. Lagian kamu juga sudah ada Naila, 'kan? Biar Mama dan Papa bisa bulan madu lagi di sana," sahut Pak Andre sambil melirik istrinya. Arya tersenyum mendengar perkataan Sang Papa. Dia berharap kelak bisa mengikuti jejak kedua orangtuanya. Tetap mesra meskipun usia sudah menua.**** Sekar telah mengetahui rencana pernikahan adiknya akan dipercepat. Mamanya sendiri yang telah me
Sekar diam tak berani membantah lagi. Renata menatap Arya dengan wajah pias. Berharap sekali saja pria itu akan membelanya. Sedangkan Arya melengos ketika pandangan matanya tak sengaja bertabrakan dengannya. "Om, beri aku kesempatan sekali saja. Aku benar-benar tak bisa melupan Arya. Dia lelaki terbaik yang pernah hadir di hidupku." Renata memohon memasang wajah sedihnya. Pak Andre tidak lagi mengindahkan Renata. Dia teringat tujuan utamanya untuk makan malam kali ini. Dia lalu memandang Naila yang duduk di samping Arya. "Arya, diakah yang bernama Naila?" tanya Pak Andre. "Iya, Pa. Dia Naila, wanita yang aku cintai saat ini." ucap Arya dengan jantung berdebar. Pak Andre mengamati Naila lama. Tatapan matanya tajam memindai wanita itu. Naila mengangkat wajahnya ke arah pria yang memandangnya sedemikian rupa. Seketika timbul senyum di bibir manisnya. "Pak, Bapak yang di restoran waktu itu, 'kan? Terima kasih sudah membayar pesanan saya waktu itu," ucap Naila dengan senyum ramahnya.
"Gak apa-apa dong, Mas. Nanti kita temui ayah kamu. Trus kenapa itu muka jadi kusut begitu?" tanya Naila mengajak Arya becanda. "Aku takut, Nai. Ayahku orang yang perfeksionis. Dia tak mudah menerima orang lain dalam keluarga kami. Aku takut kamu mundur jika dia mengatakan sesuatu yang tidak kita harapkan." Arya menjelaskan. Naila memandang mata kekasihnya. Digenggamnya tangan lelaki yang ada dihapannya saat ini. Dia mencoba meyakinkan pria itu akan kesungguhan hatinya. "Mas, selama kamu bersamaku dan memperjuangkan cinta kita, maka aku akan berjuang bersamamu." ucap Naila yakin. Arya tersenyum lega mendengar penuturan kekasihnya itu. Setidaknya Naila akan selalu bersamanya dalam situasi sulit sekali pun. "Oh iya, Nai. Ini ada titipan gamis dari Mama. Gunakan nanti saat makan malam ya," ucap Arya. Naila menerima gamis pemberian Bu Hera dengan senang hati."Iya, Mas. Terima kasih."**** Malam itu Naila sudah berpamitan kepada kedua
Rani tersenyum memandangi cincin pemberian Rendi yang terpasang di jari manisnya. Gadis itu masih tak percaya bisa sampai di tahap ini. "Eh, senyum-senyum sendiri. Ada kabar bahagia nih kayaknya," goda Naila pada sepupunya. "Mbak, liat ini cincin pemberian Mas Rendi." Rani menjawab seraya menunjukkan jari manisnya. "Cantik banget! Jadi dia sudah melamarmu?" tanya Naila turut bahagia. "Iya, Mbak. Mas Rendi gak mau lama-lama pacaran. Rencananya, minggu-minggu ini dia akan datang ke rumah bersama keluarganya untuk lamaran secara resmi," ujar Rani dengan mata berbinar. "Selamat ya, Ran. Semoga bisa sampai ke pelaminan," sahut Naila mendoakan. "Aamiin ... Semoga Mbak Naila bisa segera menyusul juga," sahut Rani balik mendoakan Naila. Kedua perempuan yang masih saudara sepupu itu saling berpelukan. Saling memberikan doa dan semangat untuk mencapai kebahagiaan.**** Rendi dan keluarganya datang ke rumah Rani untuk melamar secara
Rendi mengajak Rani dinner di sebuah restoran. Malam itu Rendi ingin membicarakan tentang sesuatu hal kepada kekasihnya. "Tempatnya asyik ya, Mas." ucap Rani. "Iya aku sengaja memesan tempat ini untuk berbicara hal penting sama kamu, Ran." jawab Rendi memasang wajah dingin di hadapan Rani. "Emang ada hal penting apa, Mas?" tanya Rani yang melihat ada perubahan di mimik wajah kekasihnya. "Ran, maafkan aku." Rendi berkata dengan menunduk menghindari tatapan dari perempuan di hadapannya. Rani merasa ada hal buruk yang akan disampaikan oleh pria di depannya itu."Ada apa, Mas?" "Aku-aku gak bisa lagi berpacaran denganmu, Ran ...." lirih Rendi sedih. Mata Rani mulai berembun,"kenapa, Mas? Apa ada orang lain di hati kamu?" "Aku gak bisa lagi menjadikanmu pacar karena aku ingin menjadikanmu istriku, Ran," ucap Rendi dengan senyum manisnya. Rani menangis mendengar ucapan Rendi. Air mata meluncur dari mata sendunya. Rendi gel
Arya berjalan bolak-balik di depan teras rumah. Tangannya memegang ponsel untuk menelpon Naila berkali-kali namun tak tersambung. Dia telah bertanya pada tetangga sebelah rumah Naila. Katanya Naila bersama kedua orangtuanya pergi ke rumah Ikhsan, mantan suami Naila. Hal itu tentu saja membuat Arya khawatir. Dia takut pikiran Naila berubah dan akan kembali lagi ke suaminya. Tak lama mobil Naila memasuki halaman rumah. Arya tersenyum ramah pada Bu Rima dan Pak Ahmad. Dia juga menyempatkan diri menyapa Raka. Kedua orangtua Naila langsung masuk ke dalam membawa Raka cucunya. Mereka ingin membersihkan diri dulu. "Mas Arya, udah lama di sini?" tanya Naila. Arya dengan wajah dinginnya menyahut pertanyaan Naila," Iya sampai kering aku di sini," Naila menatap kekasihnya itu. Dia merasa sikap Arya tak seperti biasanya. "Masuk dulu, Mas. Kamu mau minum apa?" tanya Naila. "Air es aja biar dingin hatiku," sahut Arya cuek tanpa m
Pak Jaka terlihat semakin pucat. Tangannya tak lepas memegang dadanya yang terasa sakit. Dia mencoba berbicara namun tak bisa. Tangannya mengisyaratkan minta tolong pada istrinya yang menangis sedih dengan kelakuan menantunya. "Bu ... Bu, to-" BUGH!! Pak Jaka jatuh terjerembab. Bu Sukma terlonjak kaget. Wanita itu menjerit histeris mendapati suaminya tak sadarkan diri. "Irda, tolongin Bapakmu, Nak!" seru Bu Sukma. Irda dan Anton menghambur ke arah Bu Sukma. Mereka menggoncang tubuh Pak Jaka. Namun, tak ada reaksi darinya. Ikhsan keluar karena suara ribut-ribut di depan kamarnya. Disusul Amanda di belakangnya. "Akhirnya keluar juga kamu, Mas," seru Irda dengan berurai air mata. "Ada apa ini, Bu? Irda? Kenapa sama Bapak?" tanya Ikhsan. "Ini semua karena ulah mereka, Mas," Irda menatap nyalang pada Amanda dan Anton. Anton menunduk takut di depan Ikhsan, sedangkan Amanda masih bingung dengan apa yang terjadi.