“Senin sampai Jumat gue udah sering melihat wajah mereka berdua di kantor. Bosan gue! Akhir pekan begini gue mau sama kalian berdua aja. Oke? Gimana kalau kita binged watching aja? Gue nemu serial barat baru yang pasti kalian suka! Gue janji no drakor!” bujuk Merry penuh harap.Dawn dan Cathy saling pandang. Kemudian setelah benerapa saat, Cathy menjawab, “Lo bukannya naksir sama Ashton ya? Kalau ketemu Sabtu gini, justru bagus, dong! Lo bisa PDKT.”Merry menggeleng, “PDKT lima hari udah cukup.”Dawn akhirnya mengedikkan bahunya, “Baeklah! Kelihatan memang harus ngadain pajamas party. Di apartemen lo?” ucap Dawn sambil merangkul bahu Merry. Merry tersenyum dan diam-diam dia menarik napas lega. Ya, saat ini, dia belum siap menceritakan masalahnya pada kedua sahabatnya. Merry tahu dia bukan sahabat yang baik, karena ada banyak yang dia rahasiakan dari Dawn dan Cathy. Seperti masalah saat dia masih menjadi simpanan sang sutradara. Hanya saja, dia khawatir kalau kedua sahabatnya mengeta
Merry terbengong-bengong saat dia menginjakkan kakinya di halaman rumah yang sangat luas, penuh dengan mobil dan dilatari oleh musik yang terdengar samar dari dalam rumah mewah ini. Dia sama sekali tidak tahu dibawa Dawn ke rumah siapa. Mungkin salah satu teman tajir melintir perempuan itu. Keluarga Dawn sangat kaya, jadi tidak aneh kalau koneksi keluarganya pasti orang-orang kaya juga.“Dawn, lo bilang cuma pesta minum teh?” desis Merry di telinga perempuan berambut bob itu.Dawn menyeringai lebar, “Iya, di dalam ada tehnya, kok! Ada minuman yang lain juga. Lo tinggal pilih.”“Jeez, Dawn, teman lo lebih kaya dari lo, ya? Luas tanahnya ada kali lima kali lebih luas dari rumah lo. Sepanjang dinding tadi, masuk ke dalam rumah ini kan?” tanya Cathy dengan mata berbinar-binar.Sama seperti Merry, Cathy juga berasal dari keluarga menengah ke atas. Semuanya berkecukupan, tapi juga masih belum masuk keluarga milyuner. “Sepertinya sih, gue juga baru pertama kali ke sini,” jawab Dawn apa adan
Merry menarik tubuh Syeiley dengan panik. Dari sudut matanya dia bisa menduga kalau Liam mendengar suara Syeiley dan pria itu mendongak ke atas. Merry memutuskan untuk masuk ke salah satu kamar secara acak.“What’re you doing? Kenapa lo bersikap mencurigakan begini?” omel Syeiley, karena dia benar-benar tidak suka diperlakukan seperti tadi.“Sorry-sorry, tapi tadi gue nggak mau Liam dengar ucapan lo. Dia ada di bawah tangga lagi sama cewek lain. Gue nggak mau ganggu mereka.”“Owh!” Kelihatannya Syeiley bisa menerima alasan tersebut.Melihat perempuan itu sudah tidak marah lagi, Merry bermaksud mengintip keluar. Kelihatannya situasi aman, Liam tidak mengikuti mereka naik ke lantai atas. “Kenapa lo kelihatan takut begitu? Apa lo melakukan kesalahan sama Liam?” tanya Syeiley sambil berkacak pinggang.Merry menoleh dan mendapati wajah perempuan itu sudah curiga lagi padanya. Tiba-tiba, Merry menyadari sesuatu.“Is this your house?” tanya Merry.“What? No, I would hate living in this ugly
“Bangun!” Seketika Merry membuka kedua matanya. Dia betul-betul terkejut sehingga untuk beberapa saat dia hanya terdiam dengan mata terbelalak, menangkap bayang wajah seorang pria yang terlihat tidak asing. Sampai akhirnya syaraf-syaraf di otaknya mulai terhubung dan kesadarannya kembali. “Pak Liam!” Merry berwajah pucat, dia sama sekali tidak mengira kalau Liam akan menemukannya di dalam kamar ini. Liam menyeringai, terlihat menyeramkan di mata Merry. “Aku nggak ngira akan secepat ini membalasmu.” “A-apa maksud bapak?” “Kali ini aku yang melihatmu masih tertidur di atas kasur.” “Apa yang~” Untuk sesaat, Merry tidak memahami maksud ucapan pria itu. Namun, melihat senyum menyebalkan di wajahnya, seketika ingatannya kembali pada hari itu. “I-itu hal yang sangat berbeda. Lagipula, bapak mau apa di sini? Apa bapak berniat melakukan hal yang tidak senonoh padaku?” Merry langsung beringsut menjauh dan menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. “Asal tahu aja, aku akan berteriak biar o
"Aku ... harus pulang!" Setelah berhasil melepaskan diri dari Liam, Merry beringsut ke sisi tempat tidur. Dalam otaknya hanya ada satu perintah, dia harus lekas menjauh dari sisi pria itu sebelum semuanya lepas kendali. Namun, tentu saja Liam tidak membiarkannya begitu saja. Pria itu menangkap pergelangan tangan Merry, "Jangan pulang!" ucapnya cepat. Tubuh Merry seketika membeku, dia menoleh untuk melihat wajah Liam kembali. Pria itu sedang menatap dirinya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. "Aku ... nggak bisa ...," lirih Merry sedikit putus asa. Ah, hormon kehamilan ternyata mulai menendang dengan kuat. Seluruh syaraf di tubuhnya sangat ingin bercinta malam ini. Dan parahnya, pria yang diinginkan oleh tubuhnya berada tepat di depannya. Untuk beberapa saat, mereka berdua berada dalam situasi yang canggung dan menegangkan. Siapa pun bisa mengambil langkah pertama untuk menebas batas di antara mereka. Dan pada saat itu terjadi, entah apa yang akan terjadi pada hubungan me
Merry bergeming, dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi di saat kedua orang itu tak lepas menatap dirinya. “Merry?” ucap Bianca yang pertama kali memecah kesunyian di antara mereka. “Lo ngapain di sini?” “Eh, ng, gue lagi nunggu jemputan. Kalian lanjutin aja obrolan kalian. Ng, gue nunggu di pos satpam aja deh!” ucap Merry gugup. Dia membungkuk untuk mengambil ponselnya, kemudian berpura-pura menelepon, “Halo, Benny? Oh, lo udah sampai? Sebentar kakak ke gerbang, lo tunggu aja di sana.” Merry melangkah cepat menjauhi Liam dan Bianca. Bianca bermaksud mencegah, tapi langkah Merry terlalu cepat sehingga dalam beberapa detik saja, Merry sudah jauh dari posisi mereka. Sementara itu, Liam diam saja seolah tidak terganggu sama sekali. “Sebaiknya kamu pergi juga dari sini! You’re not welcomed here!” Setelah mengucapkan itu, Liam lekas masuk kembali ke dalam rumah. Bianca bermaksud protes tentu saja, namun Liam lekas menambahkan, “Kalau kamu memaksa masuk, aku akan perintahkan satpam unt
Suasana permainan berlangsung dengan meriah. Suara pekik dan tawa tumpang tindih. Semua peserta menikmati permainan, walau ada saja yang emosi karena gagal bertahan di dalam permainan. "Merry! Sit! Now!" perintah Cathy. Secara refleks Merry menghempaskan pantatnya ke atas kursi terdekat dengannya, di mana hanya berbeda satu detik kemudian seorang perempuan menghempaskan pantatnya di pangkuan Merry. Merry meringis, bukan karena kesakitan, tapi lebih karena kaget dan mengkhawatirkan kondisi perutnya. "Damn!" maki perempuan itu merasa kesal karena gagal mendapatkan kursi, sehingga dia tereliminasi. Merry menarik napas lega karena berhasil bertahan. Semua itu tentu saja sebagian besar karena petunjuk Cathy yang selalu memerintah tepat waktu. Setelah sepuluh menit berlalu, peserta yang tersisa tinggal lima belas orang lagi, termasuk Merry, Benny dan Cathy. Dawn tereliminasi dua lagu sebelumnya, dia salah memprediksi kursi yang harus dia rebut. "Tinggal kita bertiga. Salah satu dari k
Merry duduk dengan tenang di salah satu kursi sementara menunggu giliran dirinya diperiksa oleh petugas polisi. Dia yakin akan lolos dari pemeriksaan, karena dia sama sekali tidak menyentuh alkohol apalagi obat-obatan terlarang, seperti laporan polisi tersebut. "Shit, gue tadi minum cukup banyak, bakalan masalah nggak ya?" keluh Dawn. "Mereka mencari obat-obatan terlarang. Minuman kayaknya nggak termasuk," balas Cathy. Sementara kedua temannya mengobrol, Merry mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Suasana yang tadinya berlangsung dengan meriah, berganti dengan kesuraman dan umpatan. "I knew this would happen. Pesta pribadi itu beresiko seperti ini! Lo harusnya nurut sama gue buat dugem di Ambience aja," umpat perempuan yang berada di sebelah Syeiley. "Just shut up! Kita nggak akan kena masalah apa-apa," omel Syeiley wajahnya terlihat jelas merasa terganggu dengan keluhan temannya itu. Polisi sedang memeriksa para tamu lelaki, setelah itu mereka dipisahkan dalam dua kelo
Seringkali apa yang kita rencanakan tidak berjalan seperti seharusnya. Seringkali kita kecewa dengan hasil yang kita dapatkan. Padahal mungkin, Tuhan bukannya tidak mengabulkan harapan kita. Melainkan Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. Seumur hidupnya, Merry tidak pernah menginginkan hal yang terlalu muluk. Dia tidak menginginkan pacaran dengan anak orang kaya, kemudian mereka menikah dan tinggal di sebuah rumah yang mirip dengan istana. Hidup nyaman dengan bergelimang harta memang sangat menggiurkan, namun bukan hal yang mutlak untuk dimiliki. Melihat pernikahan kedua orang tuanya, Merry selalu berharap kalau dia akan bertemu dengan seorang pria yang baik, bertanggung jawab dan menghargai semua pendapatnya. Namun yang paling penting, pria itu akan terus bersamanya sampai dengan masa tua mereka. Sehingga dia tidak akan merasa kesepian seperti ibunya. Almarhum ayahnya merupakan pria yang baik, malah teramat baik. Namun sepertinya memang benar pepatah yang mengatakan orang baik umurny
Para orang tua selalu mengatakan, perjalanan menjadi dewasa melalui sebuah rangkaian proses yang panjang. Manusia melakukan kesalahan, tapi kemudian mereka akan memperbaikinya. Itulah yang membuat seseorang berkembang dan menjadi lebih dewasa dan bijaksana. Terdengar mudah, namun pada saat menjalaninya, Merry tidak tahu kalau kesalahan yang akan dilakukannya akan begitu menguras seluruh emosi dan fisiknya. Kalau saja mesin waktu ada, Merry akan memilih untuk kembali di saat dia kehilangan peran utama pertama kali yang berhasil didapatnya. Dia akan mengatakan pada versi dirinya yang lebih muda agar menerima keputusan saat peran tersebut dicabut darinya. Bukan berarti dia akan membiarkan versi dirinya yang lebih muda menjadi kurang ambisius, dia hanya akan melarang dirinya yang dulu agar tidak memasuki pintu ruangan tersebut. "Mer, kita sudah boleh pulang," tegur Cathy saat dia melihat Merry yang hanya duduk terdiam di atas ranjang IGD. “Benny,” begitu tersadar Merry lekas meraih ta
Acara pensi berlangsung dengan sukses. Acara sekolah mereka diliput oleh salah satu kanal televisi nasional. Merry, Cathy dan Dawn berjoget bersama di depan panggung untuk merayakan keberhasilan acara, sementara band tamu sedang tampil di atas panggung. Beberapa panitia yang lain pun ikut terjun merayakan. “Acara kita berhasil, Mer!” pekik Cathy memeluk Merry dengan erat. Tentu saja dia satu tim dengan Merry dan mereka berhasil mendapatkan banyak sponsor. “Dawn, bilang makasih sama bokap lo ya, karena udah mau jadi sponsor utama!” ucap Merry setengah berteriak dan merangkul bahu Dawn. Akhirnya mereka bertiga saling berangkulan sambil berjoget.“No problem! Win win, kok! Kata bokap, bagus juga buat promosi produk perusahaan!” balas Dawn.“Gue seneng banget! I love you, guys! Mulai saat ini, kita sahabatan sampai maut memisahkan, ya!” teriak Cathy.Cathy dan Dawn memang sudah sahabatan sejak SMP, namun Merry baru empat bulan ini bergabung bersama mereka. “Okay!” balas Merry dan Dawn
Sebelum menggeluti dunia akting, Merry terjun ke dunia modeling terlebih dahulu. Dia keluar sebagai juara satu pemilihan model di sebuah majalah remaja saat masih SMP. Setelah itu, dia mendapatkan banyak tawaran sebagai bintang iklan. Merry tidak mengambil pekerjaan selain modeling untuk membagi waktunya dengan jadwal sekolah. Karena iklan yang menggunakan wajahnya cukup banyak, Merry pun mendapatkan popularitas di kalangan remaja. Saat dia masuk SMA, Merry mulai mendapatkan tawaran sebagai pemeran pendukung di sebuah film. Hanya peran kecil, namun dari sana bakat akting Merry mulai dikenal. "Itu Sifabella Hadiprana yang jadi Dona, kan? Aktingnya keren banget pas adegan berantem. Badannya bagus sih, tinggi atletis." Begitu obrolan para siswa yang melihat dirinya di sekolah. Merry memang memakai nama belakang dan nama almarhum ayahnya untuk karir keartisan. "Wah, dia masuk ke sekolah kita? Berarti dia pintar juga anaknya, ya?" "Atau mungkin dia masuk dari jalur prestasi." "Prestasi
Wajah Merry masih terasa panas saat akhirnya dia sudah tiba di IGD rumah sakit terdekat. Kompleks apartemennya memang cukup dekat dengan rumah sakit, hanya perlu menyebrang, dan dia sudah sampai di halaman rumah sakit. Dan sepanjang jalan itu, sang Budi terus membopongnya. Benar-benar otot pria itu bukan kaleng-kaleng. "Apa yang sakit, mbak?" tanya perawat yang bertugas memeriksanya. "Ka-kaki saya, sus," jawab Merry. Sesekali matanya melirik ke tubuh sang Budi yang sedang berbicara dengan petugas administrasi di ruangan sebelah. Kebetulan lokasi tempat tidurnya bisa melihat ke ruangan itu. "Yang ini?" perawat itu memencet pergelengan kaki kanan Merry. "AAW!" Merry berteriak kaget karena dia sedang fokus mengintip. "Pelan-pelan, sus," ucap Merry meringis kesakitan. "Maaf, Mbak, lalu mana lagi yang sakit?" Mau tidak mau, Merry terpaksa berhenti mengintip dan fokus memberitahu perawat mana saja dirasa sakit olehnya. "Ada apa lagi lo ke sini, Bud?" Tiba-tiba Merry mendengar suara
Mereka bertiga berjalan bersama ke mall setelah mandi dan berganti pakaian. Mereka memutuskan untuk makan di foodcourt sehingga mereka bergantian membeli makanan. Saat Merry sedang berkeliling membeli makanan, Cathy dan Dawn duduk berdua saja sambil sesekali sibuk memeriksa ponsel mereka.Cathy tertawa membaca pesan dari Jason, cowok yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu. Tentu saja Jason mengajaknya untuk jalan hanya berdua di lain waktu, dan Cathy membalasnya dengan senang hati. Lumayan buat mengisi rasa bosan.Namun kemudian dia menyadari kalau Dawn diam saja sejak mereka berada di kolam renang. Padahal Dawn biasanya tidak berbeda jauh darinya kalau sedang berkenalan dengan cowok, agak centil dan banyak melempar candaan. "Oke, ada apa, Dawn?" tanya Cathy meletakkan ponsel di atas meja.Dawn terkejut karena Cathy tiba-tiba bertanya padanya, padahal perempuan itu sedetik sebelumnya terlihat asyik menatap layar ponselnya."Hah, oh ... gue ... nggak apa-apa, kok!" jawab Dawn se
Sesuai dengan janji pada Nyonya Sophie, hari ini Ashton akan memberikan Brittany kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Minggu ini mereka janjian untuk makan siang bersama di sebuah restoran.Ashton masih mengendarai mobilnya saat dia mendapatkan telepon dari Liam.“Yes, Bro?” jawab Ashton.“Lo di rumah?”“Nope, gue udah di jalan. Hari ini Brittany ngajak gue ketemuan.”“Oh, jadi sudah dimulai?”“Yep! Nyonya Sophie memang tidak pernah menunda waktu.”“Nyonya Sophie bukan nyokap lo, tapi lo nurut?”Ashton tertawa mendengar ucapan Liam yang penuh dengan nada sindiran.“Njirr, Nyonya Sophie juga bos gue keleus. Gue kerja di perusahaannya.”“Nyonya Sophie bukan satu-satunya pemilik. Masih ada gue dan bokap.”Ashton mendesah, memang sangat menyebalkan kalau dia harus selalu diingatkan masalah pada siapa dia sedang bekerja saat ini. Sebenarnya setelah menikahi Brittany, hal pertama yang akan dia lakukan adalah membuka perusahaan sendiri. Tentu saja dengan meminjam uang mertua. Tapi ka
"Ah, maafkan saya tidak sengaja menyenggol piring dan mengganggu perbincangan kalian," ucap Liam dingin walau masih terdengar sopan. Nyonya Sophie tersenyum, "Tidak masalah, Nak. Parmi, tolong bereskan piring yang pecah dan ganti yang baru," perintah beliau. Tanpa perlu diperintah dua kali, seorang pelayan sudah sigap membersihkan pecahan piring itu. Kemudian satu orang pelayan lainnya sudah membawakan piring yang baru di hadapan Liam. "Terima kasih karena sudah memakluminya, Nyonya Sophie," ucap Liam dengan sengaja mengubah panggilan ke ibunya dengan menggunakan nama. Nyonya Sophie menyadari perubahan intonasi suara dan panggilan yang diberikan Liam padanya. Beliau tidak terlalu terkejut, Liam pasti akan merasa keberatan, namun Nyonya Sophie sudah mempersiapkan rencananya dengan matang. "Tidak masalah, Liam. Piring yang pecah masih bisa digantikan. Namun, hati seorang ibu yang pecah dan terluka akan sulit untuk diobati. Bukan begitu?" balas Nyonya Sophie dengan nada bercanda na
Merry duduk dengan gelisah di kursi sambil sarapan. Berkali-kali matanya menatap ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sebelas siang. Benny tidak pulang dari malam, anak lelaki itu bahkan tidak menjawab pesan dan telepon darinya.“Berani-beraninya dia tidak acuh saat aku telepon,” Merry menggeram kesal. Namun, kekesalannya cepat berubah menjadi rasa khawatir. Merry tentu saja khawatir di mana adiknya tidur tadi malam, dan makan apa dia pagi ini. Merry meraih ponsel dan mengusap layar untuk membuka kunci. Ada banyak telepon tidak terjawab dan pesan yang belum dibacanya, salah satunya dari kekasihnya, Liam. Dia sedang tidak bersemangat mengecek pesan dari siapa pun. Namun, untuk mengalihkan pikirannya, dia mulai membuka semua pesan-pesan yang masuk. [Merry, kenapa kamu belum membaca pesan dariku? Kamu nggak apa-apa?] Begitu isi pesan dari Liam. Merry terus menelusuri pesan yang masuk dari Liam. Dan akhirnya dia sampai pada bagian saat Liam membicarakan Benny. [Benny tidur d