Keesokan paginya, Lisa terbangun dalam keadaan yang sangat lelah dan merasakan sedikit sakit pada tubuhnya. Tadi malam, Roy baru saja menerjangnya dengan membabi buta. Lisa melihat Roy seperti orang yang sudah lama tidak bercinta dan melepaskan hasratnya habis-habisan semalam. Apalagi, Roy terlihat lebih energik dan bersemangat menggagahi tubuhnya semalam suntuk.Baru ketika jam dinding berada di angka tiga Lisa baru bisa bernapas lega karena Roy akhirnya tertidur dengan pulas setelah kelelahan berbagi gairah bersamanya. Lisa pun merasa bahwa ia memang sudah lama tidak memberikan kepuasan seperti itu pada suaminya. Sehingga Roy merasa semalam adalah waktu yang tepat untuk melampiaskan semuanya sekaligus.“Aku harus segera mandi dan berangkat ke butik yang baru. Sudah jam sembilan ternyata,” gumam Lisa dan menyeret langkahnya menuju kamar mandi.Sementara Roy masih tertidur dengan sangat pulas dan tidak menyadari bahwa Lisa sudah beranjak dari sisinya. Lisa selesai lebih cepat dari bia
Setelah Lisa pergi, Roy merasa sangat menyesal karena sudah bicara terlalu kasar padanya. Roy berpikir bahwa hati Lisa pasti sangat terluka saat ini. Wanita itu pasti sangat kecewa dengan sikap Roy yang sebelumnya memang tidak pernah seperti itu. Roy mengusap rambutnya dengan kasar dan kemudian beranjak ke kamar mandi. Ia harus segera membersihkan diri dari sisa percintaan semalam dan bergegas ke perusahaan. Sementara itu, Lisa yang mood nya sangat hancur saat ini karena ucapan Roy tadi, merasa tidak ingin untuk pergi ke butik. Ia mengambil ponselnya dan mencari nama Miranda di sana. Lisa menghubungin Miranda sambil terus mengemudikan kendaraannya. “Halo, Mir. Kamu di mana?” tanya Lisa saat panggilan itu sudah terhubung. “Aku di rumah, Lis. Kenapa?” jawab Miranda dari seberang sana dengan nada malas. “Kamu masih tidur jam segini? Abis ngapain semalam?” tanya Lisa lagi yang mendengar bahwa suara Miranda seperti suara orang yang baru bangun dari tidur. “Aku semalam bertempur sama s
Tiba-tiba saja terdengar suara sound system yang memekakkan telinga. Ternyata, Lisa sudah memesan pada pelayan untuk menyalakan alat itu. Ia ingin bernyanyi untuk meluapkan semua kesedihan dan kekecewaannya pada Roy di tempat ini. Tanpa sepengetahuan Miranda, Lisa diam-diam menghubungi manager tempat itu untuk memberikan perintah pada bawahannya. Tentu saja hal itu sangat mudah bagi Lisa. Mengingat orang sepenting dan sehebat apa dirinya saat ini. Terlebih lagi dengan statusnya yang adalah seorang istri dari pebisnis terkenal. Siapa yang tidak kenal dengan Roy di negara itu? Bahkan, semua kehidupan pribadinya saja membuat orang-orang sangat tertarik untuk menguliknya. Alasan Lisa diam-diam melakukan hal itu tentu saja juga karena Miranda. Miranda sebenarnya tidak selalu setuju jika ia berkaroke dengan berteriak-teriak seperti biasanya. Hal itu sebenarnya hanya membuat dirinya semakin buruk di mata orang lain. Tapi, lagi-lagi itu semua hanya perhatian palsu yang diberikan Miranda pad
“A-apa maksudmu, Lisa? Jangan membuat pertanyaan yang ambigu!” tegas Miranda dengan wajah tidak Sukanya. Melihat ekspresi Miranda dan mendengar jawaban sahabatnya itu, membuat Lisa tertawa terbahak-bahak. Ia tidak menyangka bahwa Miranda akan merespon dengan sangat serius pertanyaannya itu. Padahal, jelas-jelas Lisa hanya bercanda dan tahu pasti bahwa Roy tidak memiliki rahasia apapun di belakangnya. Jika memang pun Miranda mengetahui hal penting tentang Roy, Lisa sangat yakin bahwa sahabatnya itu pasti akan memberitahukan padanya tanpa ia meminta dan bertanya seperti itu. Sebesar itu kepercayaan Lisa pada Miranda selama ini. Bahkan ia sangat yakin bahwa Miranda akan selalu menjadi sahabat terbaiknya dan setia dalam segala keadaan. “Kenapa kau malah tertawa?” tanya Miranda tidak suka dengan sikap Lisa. Menurutnya, sekarang Lisa semakin menjadi-jadi dan semena-mena padanya. Bahkan Lisa sudah tidak lagi menghargai perasaannya. Jika berbicara, Lisa tidak pernah memikirkan perasaan Mi
Setelah pertemuannya dengan Miranda tadi, Lisa memutuskan untuk langsung pulang lagi dan tidak jadi pergi ke butik. Lisa merasa bahwa ia sangat lelah dan akan lebih nyaman jika beristirahat di rumah. Lagi pula, hari sudah mulai gelap dan ia yakin bahwa Roy sudah di rumah saat ini. Biasanya, meski mereka bertengkar ringan, Roy tidak pernah tidak pulang. Namun, betapa terkejutnya Lisa saat sampai di rumah dan ternyata mobil Roy tida ada di garasi rumah mereka itu. Lisa benar-benar tidak menyangka bahwa pertengkarannya kali ini dengan Roy ternyata adalah sebuah pertengkaran yang besar dan tidak bisa mereka selesaikan dalam sehari itu saja. Bukannya mereka tidak pernah bertengkar sebelumnya, akan tetapi selalu hanya hitungan jam bahkan pernah hanya dalam hitungan menit saja. Lisa memasuki rumah dengan hati yang kembali terasa hampa dan kosong. Tidak pernah sebelumnya hal ini terjadi pada diri Lisa. apalagi, Roy yang tiba-tiba berubah kasar seperti tadi pagi itu. Padahal, Lisa sangat tah
Lisa sudah tak kuasa lagi menahan desahan dan rasa nikmat yang menjalar di sekujur tubuhnya. Ia selalu tahu bahwa sentuhan Roy memang tak pernah bisa ia tahan. Lisa akan selalu luluh saat lelaki itu memberikan sentuhan-sentuhan yang memancing birahi padanya. Dengan gerakannya yang mulai memberikan celah pada Roy, Lisa kemudian menggulung rambut basahnya dan mengikatnya dengan rambut itu sendiri sehingga menyerupai sebuah sanggul. Ia ingin memberikan tempat untuk lidah Roy bermain dan memberikannya kepuasan. Tentu saja, hanya dengan mengecup dan menjilati bagian bahu, tengkuk, dan leher Lisa saja Roy sudah bisa menebak bahwa nantinya wanita itu akan mengalami oragasme pertamanya. Dan memang pemikiran Roy tidak meleset jauh. Ketika Roy sedang asik memberikan kecupan-kecupan basah pada leher Lisa dari belakang, wanita itu melenguh penuh gairah. “Hmmpp … Oughh … yeah! Roy …,” desah Lisa yang sudah tak bisa lagi menahan sesak pipisnya. “Keluarkan, Sayang,” bisik Roy dan mengecup cuping
Di tengah kenikmatan yang sedang mereka rasakan saat ini, tiba-tiba saja Lisa menghentikan kegiatannya itu. Tentu saja hal itu menyakiti perasaan Roy yang sedang berjuang keras untuk mencapai puncak kenikmatan. Lisa yang mendadak menggeser tubuhnya sehingga benda panjang dan keras itu keluar dari lubang kenikmatannya, menatap Roy dengan tatapan meminta maaf.“Ada apa, Sayang? Kenapa kamu berhenti?” tanya Roy yang takut bahwa rudalnya akan merajuk dan tertidur kembali. Jika itu terjadi, maka akan sangat sulit membangunkannya kembali. Butuh usaha dan perjuangan ekstra tentunya.“Pakai pengamanmu, Roy!” pinta Lisa dengan tegas.“Kenapa? Bukan kah kita suami istri? Kita juga mendambakan seorang anak. Bagaimana kau bisa hamil kalau aku memakai pengaman?” tanya Roy dengan nada ketus dan jelas tidak suka dengan permintaan Lisa itu.“Aku tidak bisa memberitahukan alasannya padamu untuk saat ini. Tapi, percaya lah padaku bahwa ini untuk dan demi kebaikan kita berdua. Aku mohon kali ini saja, R
Hari ini adalah hari penting bagi Roy dan Lisa karena hari ini bertepatan dengan anniversary pernikahan mereka yang ke empat tahun. Waktu memang terasa sangat cepat berlalu. Meski begitu, mereka masih tetap berdua. Sama seperti saat mereka pertama menikah dan hidup bersama dulu. Tidak ada yang berubah atau mungkin bertambah. Misalnya, kehadiran seorang anak yang melengkapi kebahagiaan mereka berdua.“Sayang, jangan lupa nanti sore aku akan menjemputmu lebih awal. Bersiap lah dan dandan yang cantik.” Roy berkata sebelum berangkat ke kantor pagi ini.“Memangnya, kau ingin membawaku ke mana, Roy?” tanya Lisa penasaran dan membuat Roy tersenyum cool.“Aku akan membawamu ke tempat yang sangat indah dan tak akan pernah bisa kau lupakan,” jawab Roy singkat dan mengecup kening Lisa dengan sangat manis.“Baik lah kalau begitu, Roy. Akan aku usahakan agar jadwalku tidak terlalu padat hari ini.”“Jangan diusahakan. Tapi harus! Kau tidak akan mendapatkan hari seperti ini lagi dalam hidupmu jika k
“Mami ….”Suara igauan dari Ane menyadarakan Lukman pada khayalannya tentang Lisa. Ia tidak tahu apakah Lita marah dan tersinggung pada ucapannya tadi atau tidak.“Maaf. Aku … aku tiba-tiba teringat istriku,” ucap Lukman penuh nada sesal.“I-iya. Nggak apa-apa. Makasih udah anterin aku sampai depan hotel. Kalau gitu aku permisi.” Lita menjawab dengan sedikit gugup juga.“Sama-sama. Btw, apa kamu jadi test DNA besok?” tanya Lukman sebelum Lita benar-benar turun dari dalam mobilnya.“Jadi. Aku juga penasaran dengan kebenarang itu. Setidaknya, dengan hasil test DNA itu nanti semuanya akan sangat jelas. Iya atau tidaknya informasi yang aku kantongi saat ini.”“Kamu benar. Yang penting semuanya diperiksa dulu, kan?”“Iya. Tapi ….”“Tapi apa?”“Aku kan baru di kota ini. Jadi … aku nggak tau ke mana harus pergi untuk melakukan test itu nanti. Eh, bukannya kamu dokter? Tadi, anak kembarmu itu bilang gitu. Gimana kalau di rumah sakit tempat kamu kerja aja?” tanya Lita kemudian dengan suara yan
Lita masih tertegun tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut anak seusia Ane. Anak itu terdengar sangat dewasa dan pembawannya juga tenang ketika mengatakan semua itu. Bahkan, Lita menjadi ragu bahwa ia adalah anak yang baru berusia sekita enam atau tujuh tahunan.“Maafkan anakku, Nona. Dia masih anak-anak dan nggak ngerti dengan apa yang baru aja dia katakan,” ucap Lukman segera ketika melihat perubahan pada raut wajah Lita.Ia mengira mungkin saja Lita tersinggung dengan ucapan bocah itu. Karena tentu saja, itu adalah hal yang seharusnya diucapkan oleh orang dewasa dan makna dari kalimat itu tentu sangat besar. Tidak main-main tentunya.“Nggak masalah. Aku nggak apa-apa dengan hal itu. Tapi … apa yang membuat Lisa bisa meninggal secepat ini? Aku nggak memiliki Riwayat penyakit dalam yang parah, seharusnya Lisa juga gitu. Karena dia adalah kembaranku. Setidaknya, itu yang aku dengar dan ketahui tentang hubungan kami yang bahkan belum pernah bertemu satu sama yang
Lukman tidak dapat mempercayai penglihatannya saat ini. Di depannya jelas ada wanita yang tampak sangat mirip dengan Lisa – istri tercinta yang sudah tiada dan bahkan sekarang ia dan ketiga anaknya sedang berada di makam Lisa.“Papi … itu bukannya Mami?” tanya Ane dengan suara nyaring pada Lukman dan tak lupa telunjuknya menunjuk kepada wanita itu.“Sayang … jangan asal bicara. Nanti tantenya tersinggung,” gumam Lukman dengan suara yang sedikit ia keraskan agar Ane bisa mendengarnya dengan jelas.“Iya. Meski pun memang mirip, aku rasa dia bukan Mami. Mami jelas udah ada di syurga saat ini,” sela Andi pula dengan pemikirannya yang bak orang dewasa.“Aku setuju dengan Andi. Mereka hanya mirip dan memang di dunia ada tujuh orang yang saling mirip satu sama yang lainnya bukan?” Ana pun ikut menimpali percakapan itu.Sementara, wanita yang sedang mereka bicarakan sudah berada di depan makam Lisa dan menatap ketiga anak Lukman itu dengan senyum yang mengambang. Ia tampak menyukai anak-anak
Lukman membawa ketiga bayi besarnya itu menuju ke sebuah pemakaman elite yang terlihat sangat indah dan rapi tentunya. Di sana adalah makam Lisa yang sudah meninggalkan dirinya lima tahun yang lalu. Lukman tidak pernah merasa kesepian karena Lisa sudah meninggalkan ketiga anak bayi besar itu untuk ia rawat, jaga, dan sayangi sepanjang hidupnya.Ana, Ane, dan Andi tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Andi duduk di kursi penumpang di sebelah kemudi Lukman. Sementara Ana dan Ane duduk di kursi belakang yang sedang asik dengan tablet mereka masing-masing.“Apa yang sedang kalian lakukan? Main game?” tanya Lukman dan melirik kedua gadisnya itu melalui kaca tengah.“Bukan, Pi. Aku sedang melihat style penyanyi luar negeri ini, yang terbaru. Aku mau melukisnya nanti." Ana menyahut dan menampilkan layar tabletnya ke arah Lukman dan tentu saja tidak dapat diliat dengan jelas oleh lelaki itu.“Bagus banget, Sayang. Kamu mau jadi desaigner, ya?” tanya Lukman lagi kepada Ana dengan nad
Lima tahun setelah kepergian Lisa ….“Papi … Ane mana?” Sebuah suara bocah terdengar memanggil ke arah Lukman.“Papi nggak tau, Sayang. Tadi ada di sini. Kenapa?” sahut Lukman pada gadis kecil berusia enam tahun itu.“Dia pinjam buku cerita aku, tapi robek. Liat nih!” jawab gadis bernama Ana itu dengan menunjukkan sebuah buku dongeng yang sampulnya sudah robek setengah kepada Lukman.Lukman menghela napasnya dengan berat. Ia tahu bahwa Ane tidak akan pernah bisa menjaga barangnya dengan baik. Berbeda memang dengan Ana yang selalu perfect dalam segala hal. Meski pun mereka masih terbilang sangat kecil, Ana sudah memperlihatkan sisi kedewasaannya pada saudaranya yang lain.Ia selalu menjadi yang paling unggul di antara kedua saudara kembarnya yang lain. Ana selalu sempurna dalam segala hal dan tidak suka ada kesalahan atau kekurangan sedikit pun pada benda-benda yang dimilikinya. Namun, Ane yang selalu menjadi biang rusuh akan selalu merusak segalanya dan membuat Ana marah.“Nanti Papi
Dua tahun sudah berlalu sejak pernikahan Lisa dan Lukman. Kini mereka sudah tinggal di sebuah rumah yang sederhana tetapi punya lahan yang cukup luas. Ketika membuka jendela kamar, maka hamparan laut biru membentang di pelupuk mata. Lisa selalu suka memandang ke luar jendelanya baik di pagi hari, siang, sore, apalagi malam hari. Sementara Lukman membuka sebuah klinik Kesehatan yang selalu ramai dikunjungi pasien. Meski pun ia tidak pernah menetapkan harga untuk biaya pengobatannya, Lukman sudah cukup merasa bahagia dengan kehidupannya sekarang. Baginya, asalkan Lisa bisa bahagia maka dia juga akan merasa bahagia untuk hal itu. Siang ini, tumben sekali tidak ada pasien yang datang berkunjung ke kliniknya itu. Jadi, Lukman memutuskan untuk segera pulang dan makan masakan istri tercinta. Sudah lama sejak mereka makan siang bersama di rumah bersama tiga orang anak yang berusia sama. Mereka seperti kembar tiga yang selalu ada di mana pun Lisa berada. “Sayang … di mana Ane, Ana, dan Andi?
“Aku tau kalau kamu terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini, sampai kamu lupa kalau hari ini ulang tahunmu. Iya kan?” tanya Lukman dengan serius.“Hmm … sepertinya gitu. Aku benar-benar lupa kalau hari ini ulang tahunku. Kamu malah ingat dan kasih aku kejutan seperti ini. Makasih banyak, Sayang. Aku percaya kamu selalu memberikan aku kebahagiaan tak terbatas,” jawab Lisa dengan mata berkaca-kaca dan memandang lekat pada bola mata Lukman.“Aku nggak bisa menjanjikan apa pun untuk kamu. Tapi … aku bisa pastikan selama aku bisa maka aku akan memberikan segala yang terbaik untuk kamu dan kebahagiaan kamu,” ungkap Lukman sekali lagi dan membuat hati Lisa merasa tenang.“Makasih, Sayang. Akhirnya aku benar-benar bisa hidup dengan bahagia.”“Memangnya, siapa yang bilang kalau kamu nggak bisa hidup bahagia?”“Nggak ada. Itu cuma ketakutan yang sempat mengisi hati dan pikiranku dulu,” jawab Lisa dan tersenyum tipis.“Sekarang, nggak ada lagi yang harus kamu takutkan. Selama ada aku, semuanya ak
“Siapa yang datang jam segini?” tanya Lukman dan merasa heran.“Mana aku tau, Sayang. Kamu yang buka atau aku?” Lisa menaikkan bahunya lalu bertanya juga pada Lukman.“Aku aja. Kamu di sini aja, ya. Siapa tau itu mantan mertua kamu yang dalam incaran polisi,” jawab Lukman dan mulai waspada.“Apa aku telpon 116 aja sekarang?”“Jangan dulu. Kita nggak tau siapa yang berdiri di depan pintu saat ini. Jangan gegabah, Sayang.”Lukman berkata kepada Lisa karena sebenarnya sejak tadi dia juga merasa tidak nyaman dan seperti ada hal besar yang akan terjadi. Namun, karena tidak ingin membuat Lisa merasa khawatir, tentu saja Lukman tidak menyampaikan hal itu kepada sang istrinya. Apalagi Lisa sedang dalam masa pemulihannya. Hal-hal tidak penting seperti itu hanya akan memperburuk kesehatannya lagi.Lisa memperhatikan Lukman yang berjalah keluar dari kamar dan berharap semoga yang datang bukan lah orang jahat. Ia mengikuti perintah Lukman dan tetap berdiri di dalam kamar mereka dengan menahan ras
Tiga hari lamanya Lisa dirawat secara insentif di rumah sakit hingga akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan bisa melakukan pengobatan dengan rawat jalan saja. Hal itu dikarenakan kondisi Lisa yang memang benar-benar sudah memungkinkan dan mengalami kemajuan yang sangat pesat pasca perawatan di rumah sakit besar itu.Lukman membawa Lisa pulang ke apartemennya dan mereka merasa sangat lega karena akhirnya bisa kembali pulang. Hal itu juga membuat keluarga Lukman yang sudah pulang ke negaranya menjadi sangat senang. Mereka mengatakan sangat menyesal tidak bisa menemani Lisa sampai Lisa diperbolehkan untuk pulang.“Sayang … makasih kamu udah rawat aku selama aku sakit,” ucap Lisa sungguh-sungguh dengan menggenggam tangan Lukman dengan erat.“Jangan bilang makasih, dong Sayang. Itu memang udah jadi tanggung jawab aku sebagai suami kamu,” balas Lukman dengan tatapan mesra dan juga melempar senyum pada Lisa.“Kamu adalah pria terhebat dan juga suami terbaik di dunia,” ungkap Lisa dan langsu