Di rumah, Lisa sudah berdandan dengan sangat cantik. Dandanannya terlihat sangat sederhana tapi sungguh memukau. Dengan gaun panjang yang ketat berwarna merah menyala, Lisa juga memoles bibirnya dengan lipstick warna senada. Gaunnya sangat ketat dan bahkan memiliki belah hingga ke paha atasnya. Kaki jenjangnya yang seksi terlihat sangat indah dari belahan gaun malam itu.Lisa berdiri di depan cermin dan sedikit berputar memastikan penampilannya sudah sempurna. Ia sengaja menyelesaikan pekerjaannya lebih awal agar bisa mampir terlebih dahulu ke salon. Lisa meminta hair stylist untuk menggelombangkan rambutnya dan memberi sedikit warna pirang pada ujungnya. Lisa sangat puas dengan tatanan rambut di salon langganannya itu dan segera pulang saat jam sudah menunjukkan pukul empat sore.Di rumah, Lisa segera mandi tanpa membasahi rambutnya yang baru saja ditata dengan indah. Kemudian ia mengenakan gaun yang baru saja ia ambil dari butiknya. Salah satu design terbaik di butiknya yang baru sa
“Di mana kamu, Roy? Kenapa sampai jam segini nggak ada kabar?” tanya Lisa dalam hatinya dan terus mencoba menghubungi nomor ponsel Roy.Telepon itu tersambung, akan tetapi tidak memberi respon sama sekali. Saat ini, yang ada dalam pikiran Lisa hanya lah kekhawatiran. Ia takut kalau saja Roy dalam bahaya dan tidak bisa menghubunginya atau menerima panggilan darinya. Lisa mengetahui banyak orang yang berniat buruk pada suaminya itu. Bukan hanya laki-laki yang tak lain adalah lawan bisnisnya, tetapi juga wanita yang merasa disakiti dan ditolak cintanya oleh Roy.Beberapa bulan lalu justru Roy sempat mendapat terror dari seorang wanita muda berusia dua puluh tahun. Ia meminta Roy untuk datang menemuinya di hotel dan bercinta dengannya, akan tetapi Roy menolak mentah mentah dan mengatakan bahwa ia sudah memiliki istri dan tidak akan berkhianat. Wanita itu lalu marah dan mengatakan akan membuat Roy menyesal. Setelah mencari tahu tentang identitas wanita itu, ternyata dia adalah adik kelas R
Melihat Roy berdiri di ambang pintu kamar, tentu saja menghadirkan keterkejutan di wajah Lisa dan juga Miranda. Namun, sesaat kemudian Miranda tersenyum tipis ke arah Roy. Padahal, Roy sudah menatapnya dengan tajam bagai belati yang siap menikam jantung. Meski begitu, Miranda tidak merasa takut sedikit pun pada tatapan Roy itu. Sedangkan Lisa langsung menghambur dalam pelukan Roy dan memeluknya dengan sangat erat. “Sayang … kamu ke mana aja semalaman? Aku khawatir sama keadaan kamu. Kamu nggak apa-apa kan? Kamu dapat terror dari wanita gila itu lagi?” cecar Lisa dengan berbagai pertanyaan dan langsung memeriksa semua tubuh Roy dengan intens. “A-aku nggak apa-apa kok, Sayang. Wanita itu memang sudah menjebakku semalam dan aku harus berjuang keras untuk bisa pulang ke rumah pagi ini,” jawab Roy seperti mendapat pencerahan untuk membuat alasan agar Lisa tidak mencurigainya. “Syukur lah kalau gitu. Sekarang, kita lapor polisi aja. Dia pasti ditahan dan dipenjara dalam waktu yang lama k
“Lisa! Cukup! Kamu keterlaluan!” ucap Roy dengan nada setengah berteriak dan langsung menepis tangan Lisa dengan sangat kasar. “Aku keterlaluan? Kalian berdua yang keterlaluan!” pekik Lisa dan menunjuk kedua manusia yang sudah mengkhianatinya itu dengan tangan kiri. Lisa sudah tidak mampu lagi menahan tangisnya. Sejak tadi ia sudah berusaha untuk tetap kuat dan tegar menghadapi kenyataan pahit ini. Bagaimana bisa kedua orang yang sangat dicintainya dan dipercayainya dalam hidup, menghabiskan malam bersama dalam sebuah kamar hotel. Mereka bahkan tidak memikirkan keadaan Lisa yang sedang khawatir menanti kabar di rumah. Roy justru sedang memberikan janji dan harapan pada Lisa malam itu. Seperti orang bodoh Lisa menunggu kedatangan Roy hingga penuh dengan rasa takut dan kekhawtiran hingga ia bahkan terlelap di ruang tamu dengan kondisi pintu terbuka lebar. Dan pada kenyataannya, Roy sedang asik mengerang dan mendengar desahan wanita lain yang mendesahkan Namanya di dalam kamar hotel.
Sebuah adegan ranjang yang panas terekam sangat jelas di layar lebar itu. Meski memang wajah pemerannya tidak tampak dengan jelas saat ini, akan tetapi perasaan Miranda dan juga Roy langsung tidak karuan. Dua orang di dalam layar itu adalah mereka dan Lisa menemukan bukti tentang perselingkuhan Roy dengan sangat jelas dari video itu. “Sayang … tolong jangan percaya gitu aja sama rekaman itu. itu pasti video palsu. Aku nggak mungkin di sana sama Miranda,” ucap Roy membela diri. “Memangnya, kapan aku bilang kalau yang ada di dalam video itu adalah kamu dan Miranda?” tanya Lisa dengan menaikkan sebelah alisnya menatap sinis pada Roy. Tubuh Roy menegang saat mendengar apa yang Lisa katakan itu. Tentu saja, rasa takut sudah membuat Roy terlebih dahulu mengakui perbuatannya itu secara tidak langsung dan berniat untuk membela dirinya. Namun, perkataannya itu justru membuat dirinya semakin berada dalam masalah saat ini. “Lis, itu bisa aja video rekaan dan nggak bener. Coba kamu perhatikan
Tenggorokan Roy seperti tercekat dan kering kerontang. Tidak mampu berkata-kata ketika mendengar pertanyaan Lisa. Jika ia memberikan pilihan, sama artinya dengan ia mengakui perselingkuhan itu pada Lisa. Namun, jika ia tetap diam maka Lisa akan semakin yakin bahwa dirinya bersalah dan justru merasa ragu dalam menentukan pilihan.Roy serasa seperti memakan buah simalakama saat ini. Posisinya sungguh tidak menguntungkan dalam hal ini. Roy yang biasanya adalah seorang lelaki tegas dan dingin, menjadi tidak berkutik dan tidak bisa berbicara saat dihadapkan dengan pilihan yang diberikan oleh Lisa tadi.Di lain sisi, Miranda justru sudah merasa senang di dalam hatinya karena merasa Roy pasti sudah pasti akan memilihnya. Hal itu jelas dirasakan Miranda karena Roy sendiri mengakui bahwa Roy lebih mendapatkan kepuasan dan kenikmatan bercinta pada dirinya dari pada dengan Lisa, istri Roy yang juga sahabatnya itu.“Cukup, Roy! Waktumu sudah habis dan aku tau apa yang menjadi jawaban kamu saat in
Dokter Lukman tidak langsung menjawab pertanyaan dari Roy itu. Ia justru terlihat ragu saat ini dan seperti tidak ingin mengatakan apapun sebagai jawabannya. Mungkin, dokter Lukman tidak ingin memberitahukan rahasia pasiennya pada orang lain. Meski Roy adalah suami Lisa, mungkin saja Lisa sudah pernah membuat dokter Lukman berjanji untuk tidak memberitahukan apapun tentang kondisi tubuhnya bahkan pada Roy sekali pun.Roy masih menanti jawaban dari dokter Lukman dengan harap-harap cemas. Ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika selama ini ternyata Lisa selalu memeriksakan kandungannya sendirian tanpa ditemani Roy. Memang, Lisa pernah beberapa kali mengatakan tentang hal itu dan Roy tidak terlalu menanggapi karena ia tidak ingin membuat Lisa tertekan dan terpuruk saat nanti mengetahui tentang rahimnya yang mungkin saja tidak sehat dan membuatnya tidak bisa hamil.Sementara itu, Roy sangat yakin bahwa ia sangat subur dan bisa memiliki keturunan. Pasalnya, Roy pernah memeriksakan Kese
“Sampai detik ini aku masih mencintai kamu, Lisa! Aku hanya dijebak sama Miranda. Asal kamu tau aja!” ucap Roy dengan nada tinggi dan berhasil mengalihkan perhatian Lisa.“Dijebak?” tanya Lisa penuh rasa penasaran saat memandang lekat pada kedua bola mata Roy seakan meminta penjelasan dan kepastian atas apa yang baru saja pria itu katakan.“Iya, Sayang. Kamu nggak tau betapa liciknya Miranda selama ini kan? Aku benar-benar udah terjebak sama bujuk rayunya untuk datang ke hotel dengan alasan ada hal penting yang akan dia beritahu tentang kamu!” ungkap Roy dengan tatapan serius pada Lisa.“Memangnya, apa yang dia bilang? Informasi apa yang mau dia kasih tau ke kamu tentang aku?” tanya Lisa semakin penasaran pada Roy.Seakan sudah melupakan rasa sakit hatinya atas pengkhianatan yang dilakukan oleh Roy dan Miranda tadi, Lisa terlihat sangat bersemangat untuk mendengar alasan dari Roy tentang pernyataannya yang mengatakan bahwa Miranda sudah menjebaknya. Bagi Lisa, selama ini Miranda adala
“Mami ….”Suara igauan dari Ane menyadarakan Lukman pada khayalannya tentang Lisa. Ia tidak tahu apakah Lita marah dan tersinggung pada ucapannya tadi atau tidak.“Maaf. Aku … aku tiba-tiba teringat istriku,” ucap Lukman penuh nada sesal.“I-iya. Nggak apa-apa. Makasih udah anterin aku sampai depan hotel. Kalau gitu aku permisi.” Lita menjawab dengan sedikit gugup juga.“Sama-sama. Btw, apa kamu jadi test DNA besok?” tanya Lukman sebelum Lita benar-benar turun dari dalam mobilnya.“Jadi. Aku juga penasaran dengan kebenarang itu. Setidaknya, dengan hasil test DNA itu nanti semuanya akan sangat jelas. Iya atau tidaknya informasi yang aku kantongi saat ini.”“Kamu benar. Yang penting semuanya diperiksa dulu, kan?”“Iya. Tapi ….”“Tapi apa?”“Aku kan baru di kota ini. Jadi … aku nggak tau ke mana harus pergi untuk melakukan test itu nanti. Eh, bukannya kamu dokter? Tadi, anak kembarmu itu bilang gitu. Gimana kalau di rumah sakit tempat kamu kerja aja?” tanya Lita kemudian dengan suara yan
Lita masih tertegun tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut anak seusia Ane. Anak itu terdengar sangat dewasa dan pembawannya juga tenang ketika mengatakan semua itu. Bahkan, Lita menjadi ragu bahwa ia adalah anak yang baru berusia sekita enam atau tujuh tahunan.“Maafkan anakku, Nona. Dia masih anak-anak dan nggak ngerti dengan apa yang baru aja dia katakan,” ucap Lukman segera ketika melihat perubahan pada raut wajah Lita.Ia mengira mungkin saja Lita tersinggung dengan ucapan bocah itu. Karena tentu saja, itu adalah hal yang seharusnya diucapkan oleh orang dewasa dan makna dari kalimat itu tentu sangat besar. Tidak main-main tentunya.“Nggak masalah. Aku nggak apa-apa dengan hal itu. Tapi … apa yang membuat Lisa bisa meninggal secepat ini? Aku nggak memiliki Riwayat penyakit dalam yang parah, seharusnya Lisa juga gitu. Karena dia adalah kembaranku. Setidaknya, itu yang aku dengar dan ketahui tentang hubungan kami yang bahkan belum pernah bertemu satu sama yang
Lukman tidak dapat mempercayai penglihatannya saat ini. Di depannya jelas ada wanita yang tampak sangat mirip dengan Lisa – istri tercinta yang sudah tiada dan bahkan sekarang ia dan ketiga anaknya sedang berada di makam Lisa.“Papi … itu bukannya Mami?” tanya Ane dengan suara nyaring pada Lukman dan tak lupa telunjuknya menunjuk kepada wanita itu.“Sayang … jangan asal bicara. Nanti tantenya tersinggung,” gumam Lukman dengan suara yang sedikit ia keraskan agar Ane bisa mendengarnya dengan jelas.“Iya. Meski pun memang mirip, aku rasa dia bukan Mami. Mami jelas udah ada di syurga saat ini,” sela Andi pula dengan pemikirannya yang bak orang dewasa.“Aku setuju dengan Andi. Mereka hanya mirip dan memang di dunia ada tujuh orang yang saling mirip satu sama yang lainnya bukan?” Ana pun ikut menimpali percakapan itu.Sementara, wanita yang sedang mereka bicarakan sudah berada di depan makam Lisa dan menatap ketiga anak Lukman itu dengan senyum yang mengambang. Ia tampak menyukai anak-anak
Lukman membawa ketiga bayi besarnya itu menuju ke sebuah pemakaman elite yang terlihat sangat indah dan rapi tentunya. Di sana adalah makam Lisa yang sudah meninggalkan dirinya lima tahun yang lalu. Lukman tidak pernah merasa kesepian karena Lisa sudah meninggalkan ketiga anak bayi besar itu untuk ia rawat, jaga, dan sayangi sepanjang hidupnya.Ana, Ane, dan Andi tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Andi duduk di kursi penumpang di sebelah kemudi Lukman. Sementara Ana dan Ane duduk di kursi belakang yang sedang asik dengan tablet mereka masing-masing.“Apa yang sedang kalian lakukan? Main game?” tanya Lukman dan melirik kedua gadisnya itu melalui kaca tengah.“Bukan, Pi. Aku sedang melihat style penyanyi luar negeri ini, yang terbaru. Aku mau melukisnya nanti." Ana menyahut dan menampilkan layar tabletnya ke arah Lukman dan tentu saja tidak dapat diliat dengan jelas oleh lelaki itu.“Bagus banget, Sayang. Kamu mau jadi desaigner, ya?” tanya Lukman lagi kepada Ana dengan nad
Lima tahun setelah kepergian Lisa ….“Papi … Ane mana?” Sebuah suara bocah terdengar memanggil ke arah Lukman.“Papi nggak tau, Sayang. Tadi ada di sini. Kenapa?” sahut Lukman pada gadis kecil berusia enam tahun itu.“Dia pinjam buku cerita aku, tapi robek. Liat nih!” jawab gadis bernama Ana itu dengan menunjukkan sebuah buku dongeng yang sampulnya sudah robek setengah kepada Lukman.Lukman menghela napasnya dengan berat. Ia tahu bahwa Ane tidak akan pernah bisa menjaga barangnya dengan baik. Berbeda memang dengan Ana yang selalu perfect dalam segala hal. Meski pun mereka masih terbilang sangat kecil, Ana sudah memperlihatkan sisi kedewasaannya pada saudaranya yang lain.Ia selalu menjadi yang paling unggul di antara kedua saudara kembarnya yang lain. Ana selalu sempurna dalam segala hal dan tidak suka ada kesalahan atau kekurangan sedikit pun pada benda-benda yang dimilikinya. Namun, Ane yang selalu menjadi biang rusuh akan selalu merusak segalanya dan membuat Ana marah.“Nanti Papi
Dua tahun sudah berlalu sejak pernikahan Lisa dan Lukman. Kini mereka sudah tinggal di sebuah rumah yang sederhana tetapi punya lahan yang cukup luas. Ketika membuka jendela kamar, maka hamparan laut biru membentang di pelupuk mata. Lisa selalu suka memandang ke luar jendelanya baik di pagi hari, siang, sore, apalagi malam hari. Sementara Lukman membuka sebuah klinik Kesehatan yang selalu ramai dikunjungi pasien. Meski pun ia tidak pernah menetapkan harga untuk biaya pengobatannya, Lukman sudah cukup merasa bahagia dengan kehidupannya sekarang. Baginya, asalkan Lisa bisa bahagia maka dia juga akan merasa bahagia untuk hal itu. Siang ini, tumben sekali tidak ada pasien yang datang berkunjung ke kliniknya itu. Jadi, Lukman memutuskan untuk segera pulang dan makan masakan istri tercinta. Sudah lama sejak mereka makan siang bersama di rumah bersama tiga orang anak yang berusia sama. Mereka seperti kembar tiga yang selalu ada di mana pun Lisa berada. “Sayang … di mana Ane, Ana, dan Andi?
“Aku tau kalau kamu terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini, sampai kamu lupa kalau hari ini ulang tahunmu. Iya kan?” tanya Lukman dengan serius.“Hmm … sepertinya gitu. Aku benar-benar lupa kalau hari ini ulang tahunku. Kamu malah ingat dan kasih aku kejutan seperti ini. Makasih banyak, Sayang. Aku percaya kamu selalu memberikan aku kebahagiaan tak terbatas,” jawab Lisa dengan mata berkaca-kaca dan memandang lekat pada bola mata Lukman.“Aku nggak bisa menjanjikan apa pun untuk kamu. Tapi … aku bisa pastikan selama aku bisa maka aku akan memberikan segala yang terbaik untuk kamu dan kebahagiaan kamu,” ungkap Lukman sekali lagi dan membuat hati Lisa merasa tenang.“Makasih, Sayang. Akhirnya aku benar-benar bisa hidup dengan bahagia.”“Memangnya, siapa yang bilang kalau kamu nggak bisa hidup bahagia?”“Nggak ada. Itu cuma ketakutan yang sempat mengisi hati dan pikiranku dulu,” jawab Lisa dan tersenyum tipis.“Sekarang, nggak ada lagi yang harus kamu takutkan. Selama ada aku, semuanya ak
“Siapa yang datang jam segini?” tanya Lukman dan merasa heran.“Mana aku tau, Sayang. Kamu yang buka atau aku?” Lisa menaikkan bahunya lalu bertanya juga pada Lukman.“Aku aja. Kamu di sini aja, ya. Siapa tau itu mantan mertua kamu yang dalam incaran polisi,” jawab Lukman dan mulai waspada.“Apa aku telpon 116 aja sekarang?”“Jangan dulu. Kita nggak tau siapa yang berdiri di depan pintu saat ini. Jangan gegabah, Sayang.”Lukman berkata kepada Lisa karena sebenarnya sejak tadi dia juga merasa tidak nyaman dan seperti ada hal besar yang akan terjadi. Namun, karena tidak ingin membuat Lisa merasa khawatir, tentu saja Lukman tidak menyampaikan hal itu kepada sang istrinya. Apalagi Lisa sedang dalam masa pemulihannya. Hal-hal tidak penting seperti itu hanya akan memperburuk kesehatannya lagi.Lisa memperhatikan Lukman yang berjalah keluar dari kamar dan berharap semoga yang datang bukan lah orang jahat. Ia mengikuti perintah Lukman dan tetap berdiri di dalam kamar mereka dengan menahan ras
Tiga hari lamanya Lisa dirawat secara insentif di rumah sakit hingga akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan bisa melakukan pengobatan dengan rawat jalan saja. Hal itu dikarenakan kondisi Lisa yang memang benar-benar sudah memungkinkan dan mengalami kemajuan yang sangat pesat pasca perawatan di rumah sakit besar itu.Lukman membawa Lisa pulang ke apartemennya dan mereka merasa sangat lega karena akhirnya bisa kembali pulang. Hal itu juga membuat keluarga Lukman yang sudah pulang ke negaranya menjadi sangat senang. Mereka mengatakan sangat menyesal tidak bisa menemani Lisa sampai Lisa diperbolehkan untuk pulang.“Sayang … makasih kamu udah rawat aku selama aku sakit,” ucap Lisa sungguh-sungguh dengan menggenggam tangan Lukman dengan erat.“Jangan bilang makasih, dong Sayang. Itu memang udah jadi tanggung jawab aku sebagai suami kamu,” balas Lukman dengan tatapan mesra dan juga melempar senyum pada Lisa.“Kamu adalah pria terhebat dan juga suami terbaik di dunia,” ungkap Lisa dan langsu