"Maaf, siapa Anda dan mengapa menampar seenaknya?" tanya Gendis sambil mendekap tubuhku."Apa pedulimu, wanita dalam dekapan kamu itu masih istri sahku secara hukum negara. Jadi aku berhak atas tubuhnya!" kata Mas Jasen dengan mata menatap tajam."Apa jika Bapak berhak atas tubuh wanita ini, lalu juga berhak membuatnya malu? Ini wilayah umum, dihadapan semua orang, Anda sudah turun drajat sebagai seorang suami!" ucap Gendis dengan berani, tangannya mengenggam erat jemarikuTubuhku bergetar dalam pelukan Gendis, tetapi gadis itu masih berani menatap nyalang pada Mas Jasen. Mantan suamiku itu hanya diam membisu. Bibirnya bergetar hebat, sepertinya dia sedang menahan amarah yang mulai merasuki jiwa."Siapa kamu, berani sekali ikut campur dalam urusan keluarga kami?" tanya Mas Jasen masih dengan emosi yang tertahan."Jika tidak ada urusan lagi, segeralah Bapak Jasen terhormat keluar dari warung ini!" hentak Gendis yang begitu berani.Aku hanya membisu membiarkan Gendis menguasai keadaan,
"Katakan dengan jelas padaku, Ann!" kata Irene padaku dengantatapan tajamnya.Aku tertunduk lesu, napasku kian tipis. akhirnya kuberanikan diri untuk bercerita awal mula kejadian hingga Mas Jasen datang menampar pipiku."Mengapa maslah sudah melebar seperti ini kamu baru bercerita padajku, Ann? tanya Irene dengan tatapan menghunus ke arahku.Aku menanggapi dengan cengiran seolah tidak terjadi apa-apa dengan hatiku. Irene mulai menurunkan kadar tatapan matanya, kini netranya beralih pada tampilan pipiku yang entah seperti apa aku pun tidak tahu pasti."Jadi ini hasil tamparan tangan lelaki kurang ajar itu?" tanya Irene sambil mengusap pipiku pelan.Meski usapan itu pelan aku masih merasakan perih bila tersentuh kulit yang lain."Au!" ucapku kala usapan Irene semakin intens."Maaf, maaf, tunggu di sini akan aku pintakan es batu pada Bu Ani!" kata Irene lalu gadis itu beranjak dari duduknya meninggalkanku bersama Gendis.Kupandang punggung Irene yang mulai menjauh, gadis itu sangat perha
Hari yang aku tunggu akhirnya datang juga, hari ini aku harus berkunjung ke rumah mantan mertuaku, Mama Zakia. Beliau sudah meneleponku berulang kali kapan waktuku bisa berkunjung ke sana. Aku hanya menyanggupi hari ini dengan jam selepas istirahat, karena hanya waktu itu yang sudah kosong."Hallo, Ann!" sapa Irene dari sambungan antar ruang di kantor kami."Iya, ada apa?" jawabku."Jam berapa kamu berkunjung ke rumah Mama Zakia?" tanya Irene padaku." Selepas istirahat, sekitar jam satu siang," balasku lirih."Baik, aku akan ikut denganmu!" kata Irene.Setelah menyampaikan maksudnya sambungan itu pun terputus dari pihak Irene. Akhirnya aku melanjutkan membuat desain ruang bertema princes. Ada pelanggan baru yang menginginkan desain ala princes yang sedang di tengah hutan."Huft, akhirnya selesai juga," lirihku sambil melemaskan otot leherku yang terasa kaku."Wah Ibu Ann sepertinya sudah selesai, ya?" celetuk Gendis sambil menatap lembut ke arahku."Huum. Semoga pelanggan baru itu su
Aku terpaku pada kata pelakor yang terucap dari bibir Amel, sebuah kata yang menjadi momok bagiku. Bibirku bungkam, tetapi pikiranku melayang pada masa enam bulan yang lalu. Iya kini aku sudah bekerja selama enam bulan masa yang sangat cepat."Mbak!" panggil Gendis sambil menoel lenganku."Jangan perdulikan pertanyaan Amel, gadis itu memang agak selebor mulutnya," lanjut Gendis sambil melotot ka Amel, gadis itu hanya nyengir di depanku."Hehe, maaf Ibu Ann. Jujur aku jadi ikut trauma dengan kisah, Ibu!" kata Amel dengan menangkupkan tangannya di dada.Aku pun mengulas senyum tipis, meski hati ini terasa perih tetapi Amel tidak ada salah. Ku usap kepala gadis itu, dan kubisikkan kata maaf."Ibu Ann tidak salah," jawabnya."Kamu gadis baik, pasti mendapatkan jodoh yang baik pula," kataku memberi dia semangat."Jangan terpaku pada kisahku, Sayang. Kamu harus maju dan raih bahagia itu, sekarang, nanti hingga akhir hayat," lanjutku memberi Amel semangat dalam menjemput mimpinya bersama pan
Hanya satu kata yang kuucapkan saat melihat wajah Amelia, cantik. Anak perempuan kecil itu terlihat cantik dan segar. Aroma minyak kayu putih masih menguar dari tubuhnya. Anak itu masih memandangku dan Irene bergantian lalu senyumnya mulai mengembang saat kami keluar dari mobil."Nenek, ada tamu," teriak Amel memanggil neneknya.Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah megah tersebut dengan penampilan elegan dan masih ada sisa kecantikan."Mari, mari!" ajak wanita tersebut."Mau minum apa, tante sekalian?" ucap Amel.Hatiku terasa sakit, baru beberapa minggu berpisah, anak itu memanggilku dengan tante. Sakit, anak di depan mata tetapi tangan susah terulur untuk mendekapnya."Apa saja boleh adik cantik!" ucap Irene."Mah ...." suaraku tercekat menatap punggung kecil itu berlalu masuk ke dalam."Maafkan, mama Ann. Bukan maksud mama memperlihatkan semua padamu. Amelia bak seorang robot bila ada rubah betina itu, tetapi bila si rubah pergi maka keceriannya kembali hadir. Mama juga mera
Hari semakin berganti, dan hari yang aku tunggu telah tiba. Saat di mana aku mulai mendesain angan Amelia kecil dalam kamar pribadi di rumah neneknya. Kuawali hari dengan basmallah dan senyum indah terukir jelas di wajahku yang mulai beranjak senja.Sengaja aku bangun lebih pagi untuk membuat bekal yang akan kubawa ke rumah Mama Zakia. Aku berharap Amelku sudah ada disana saat aku datang mulai mendesain kamarnya. Aku pun ijin terlebih dahulu pada Irene untuk datang terlambat karena harus pergi ke rumah Mama Zakia untuk merancang sebuah desain baru."Hallo, Ire!" sapaku dalam sambungan telepon dengan Irene."Iya, Ann, ada yang bisa saya bantu untukmu hari ini?" tanya Irene dari seberang sana."Aku ijin tidak masuk ya, sengaja ini aku lakukan untuk memulai desain kamarAmelia. Bagaimana?" tanyaku."Iya silahkan, bujkankah ini juga kerja meski di luar ruangan, Ann?" tanya balik Irene."Iya, baiklah terima kasih!" balasku lalu sambungan terputus dari pihak Irene.Setelah sambungan terputu
"Ada apa, Cint?" tanyaku.Cintya hanya diam, netranya menyapu setiap ruang yang kami tempati. Perempuan itu seperti mencari seseorang yang mungkin ada di sekitarnya."Tadi saya merasakan ada seseorang yang ikut datang bersama Kak Ann, jadi saya mencarinya," jawab Cintya."Tetapi aku datang sendiri, lho. Bagaimana bisa kamu merasa saya bersama dengan yang lain?" tanyaku lagi."Entahlah, Kak. Mungkin hanya perasaanku saja, ayo masuk lebih dalam!" ajaknya.Aku pun mengikuti langkah Cintya melihat semua ruang yang ada dalam rumah itu. Rumah yang cukup besar berlantai satu dengan kamar depan berjumlah empat dan dua kamar belakang menghadap taman."Tamannya indah, pasti hasil karya mama Kia, benar 'kan Cintya?" tanyaku."Apakah hasil taman seperti ini selalu karya Mama, Kak Ann?" tanya Cintya yang seakan dia protes."Menurutku hanya mama yang bisa mengatur tanaman hidup seperti ini, Cint!" balasku."Ini hasil karya Yoga, dibantu oleh Amel, Kak." Cintya menjelaskan semua tata letak bunga dan
Tanganku bergerak bebas melukiskan sebuah keindahan pantai saat sore hari. Dalam lukisan tersebut terlihat bocah kecil berlarian mengejar matahari. "Indah, sangat indah. Amel suka, Nek!" Terdengar suara gadis kecilku yang memuji hasil desainku. Segera aku berpaling menghadapnya, gadis itu berdiri terdiam menatap ke arahku dan Cintya bergantian."Nenek bilang hanya Tante Cintya yang melukis buatku, mengapa sekarang ada Bunda Ann?" Sebuah tanya Amel yang ditujukan pada Zakia, neneknya."Ini kejutan untuk Amelia. Bukankah Amel sangat rindu pada Bunda Ann?" balas mama mertuaku dulu."Bukankah Nenek mengerti bagaimana jika Amel merindukan bunda? Apakah Nenek ijinkan jika Amel merinduinya?" Gadis itu terus bertanya pada Nenekbya tanpa melihat lagi ke arahku.Dalam setiap pertanyaannya selalu mengandung kesedihan juga kepedihan hati. Gadis sekecil itu sudah bisa memilah sebuah kata indah agar aku tidak terluka."Nenek, bolehkan jika Amel memeluk Bunda Ann? Tidak adakah yang akan melihat?"
"Bunda?" Aku langsung terhenyak kala mendengar panggilan Amelia, segera kuanggukkan kepala tanda membenarkan pertanyaannya. Sungguh saat melihat anggukan kepalaku, putriku itu seketika menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan abangnya. Sementara Quinsa sedikit merapat pada palukan Yoga. Kepalanya menelusup pada dada abangnya.Pandangan matanya terlihat ketakutan pada Amelia, aku semakin heran dengan perilaku Quinsa. Beberapa kali kudengar Yoga bersenandung islami untuk menenangkan emosi adik tirinya tersebut. Dahiku langsung mengernyit kala mengenal senandung itu. "Yoga, tolong jelaskan pada bunda, apa yang terjadi dengan adik kamu itu!" desakku."Sini, Sayang. Quinsa ikut kak Amel dulu. Biarkan Abang ngobrol sama Bunda, ya. Ayo!" ajak Amelia lembut.Perlahan pelukan Quinsa mengurai dan mulai mengendur, tatapannya menatap sendu pada Yoga. Begitu ada anggukan dari putraku, barulah Quinsa mau turun dari pangkuan sang abang. Amelia segera melebarkan senyumnya agar adik tirinya mau
Setelah menghabiskan satu roll roti gulung, Quinsa tertidur di sofa. Aku hanya memandang kasian pada anak tersebut. Sedangkan Yoga masih terlelap di pangkuanku. Sangat terlihat jika aura di wajahnya begitu lelah. Kusurai rambutnya yang sedikit panjang, jariku menelusuri setiap lekuk wajah putraku tersebut."Sungguh indah pahatan ini, satu kata untuk mengambarkan seluruhnya. Tampan!" lirihku."Tampan saja tidak akan cukup untuk menatap dunia, Bunda!" kata Yoga dengan mata masih terpejam.Seketika kutarik ujung jariku yang sudah menyusuri hidungnya yang tinggi. Sungguh hampir kesemua permukaan wajahnya menirukan Jasen. Mungkin hanya bentuk hidung dan bibir yang membedakan mereka. "Lalu dengan apa kamu tatap duniamu, Sayang?" tanyaku."Dengan agama dan ilmu, Bunda. Seperti yang selalu Bunda ajarkan pada kami," jawab Yoga sambil mencoba bangkit dan duduk.Mata cokelat terang yang indah itu kini menatapku sendu, aku hanya mampu membalas tatapannya penuh tanya. Kemudian kudengar napas pan
Siluet tubuhnya masih aku ingat, tetapi ini mengapa dia membawa seorang anak perempuan? Mungkinkah dia anaknya dengan Rowena, jika kuhitung usia anak itu saat ini berkisar di usia sepuluh tahun. Apakah itu sosok Quinsa, bayi imut yang dulu sempat aku timang.Oh, Tuhan. Kuatkan hatiku, cobaan apa lagi yang Engkau hadirkan dalam hidupku kali ini. Sekuat apapun hati ini, jika bersangkutan dengan Mas Jasen pasti akan membawa luka. Meskipun terkadang rasa sepi melandaku tetapi jika dia datang bersama dengan yang lain, sakit itu kian terasa. Apakah ini maksud mimpiku beberpa hari yang lalu. Untuk apa Mas Jasen datang lagi dalam hidupku setelah sepuluh tahun tidak berhubungan dan apa maksudnya membawa Quinsa. Kemana Rowena? Berbagai pertanyaan muncul di otak kasarku. Sungguh rasanya aku tidak sanggup Tuhan."Bunda!" sapa lembut suara Quinsa.Naluriku sebagai ibu tidak dapat mengindahkan panggilan itu. Bagiku yang salah bukan anaknya melainkan kedua orang tuanya. Para karyawanku akhirnya pam
Sore semilir angin menerpa wajahku. Bayangan Jupri bersama Halimah masih nyata di pelupuk mata. Entah mengapa hati ini terasa sakit dan kecewa. Apakah aku sempat jatuh hati pada Jupri? Sejak mula semua rasa ini aku tolak. Namun, saat kulihat lelaki itu datang ke toko dengan membawa wanita hamil, hatiku sakit. Aku sendiri juga bingung dengan rasaku ini. Bagaimana bisa aku memupuk rasa yang belum tentu ada pada diri Jupri. Saat itu memang dia tidak ada cerita sedang dekat dengan seorang wanita manapun. Namun, pernah satu kali lelaki itu kelepasan bertanya mode baju syari terbaik dan berapa harganya. Hal ini sempat membuatku penasaran. Mungkin aku harus berusaha menepis segala rasa pada lelaki itu. Sejak kunjungan pertama Jupri dam istri menjadi sering datang dengan alasan Halimah susah makan nasi jadi dia lebih memilih kue basah ataupun roti bolu. "Aku harus segera pupus rasa ini dan lupakan semua. Kamu sudah mendapatkan bidadari yang terbaik, Jupri. Selamat!" batinku saat kulihat se
"Tadi Gibran sudah bilang lho, Nenek. Hanya itu Onty Dahlia," jawab Gibran."Iya, Sayang. Onty kan lama tidak jumpa Adik. Mungkin dia lebih senang menggoda, jadi maafkan Onty nya dong?" kataku pada Gibran sambil kuangkat dia ke pangkuanku.Namun, lelaki kecil menggeleng tanda dia tidak mau memaafkan Dahlia. Aku tersenyum melihat tingkah cucuku itu, dia sangat menggemaskan apalagi jika pipinya menggembung dengan bola mata yang berputar. Pasti bikin semua yang ada di sana ingin mencubit pipinya."Nenek, besok jika onty Dahlia pulang tidak usah dimasakin opor ayam, Ya. Biar tahu rasa!" dengusnya geram.Kulihat sejak tadi Dahlia hanya diam menatap Gibran, wanita muda itu menahan tawanya agar tidak terdengar oleh ponakannya yang lucu itu. Sementara Andin sejak tadi hanya berdiri, kini dia berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian Andin sudah kembali dengan membawa piring berisi nasi opor ayam. "Ayo turun dari pangkuan nenek, Adik makan dulu!" ajak Andin."Lho Adik belum makan, sini bi
Dahlia dan Amelia terlihat semakin kompak dan solid. Aku sangat bahagia melihat perkembangan mereka berdua. Setelah makan siang aku pun ngobrol dengan keduanya untuk sesaat sebelum aku kembali lagi ke toko. O ya, toko kue ku sekarang sudah maju pesat dan dikenal oleh berbagai kalangan. Bahkan setiap Dahlia pulang, ada saja temannya yang nitip buat oleh-oleh.Sedangkan Amelia, dia terkadang ikut membantu di toko bila sedang senggang. Aku juga sangat bahagia karena sudah di panggil nenek oleh anaknya si Andin. Gadis itu sekarang sudah bukan gadis lagi melainkan sudah menjadi seorang ibu muda dengan anak satu."Bund, si ucrit bagaimana kabarnya?" tanya Dahlia."Jangan bilang ucrit, anak itu punya nama, Lho! Nanti jika Mbak kamu tiba-tiba dengar kamu yang akan kena omelannya," kataku."Hehe, iya ini Mbak Lia parah!" kelakar Amelia.Aku geleng kepala melihat keakraban mereka berdua. Aku dan kedua putriku selalu berbincang akrab seperti ini dalam menunggu waktu untuk memulai aktifitas kemba
Akhirnya aku mendapatkan bis tepat di jam empat sore. Kali ini aku naik bis cepat antar kota jurusan Jogyakarta. Bis yang terkenal dengan kecepatannya melebihi bis yang lain. Bis ini paling banyak peminatnya. Aku pun merasa bahwa pelayanan kondektur bis juga sangat ramah dan sopan.Bis melaju dengan kecepatan rata-rata. Mungkin bila dilihat dari kuar kecepatan bis itu tinggi. Tetapi bagi kami para penumpang terasa nyaman, hal ini terbukti para penumpang bisa tidur dengan lelap termasuk aku. Tanpa tetasa waktu terus berjalan hingga terdengar suara kondektur memberitahukan pada kami bahwa sebentar lagi bis akan memasuki kawasan Madiun."Madiun terakhir, terminal Madiun terakhir." Terdengar wakil kondektur berteriak memberitahukan pada para penumpang agar bersiap-siap. Aku pun segera terbangun dari tidurku. Perjalanan Surabaya - Madiun hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam dengan bis antar kota."Bunda pulang, Sayang!" batinku.Sungguh aku sangat rindu dengan putriku itu. Hampir
"Andin, apakah kamu masih di sana?" tanyaku.Hening, lambat laun kudengar isak tangis lirih. Mendengar suaranya aku semakin bingung dan resah. Memangnya sedang ada apa hingga membuat Andin sampai terisak. Aku semakin penasaran."Andin, katakan pada Mbak. Apa yang terjadi pada kalian?" tanyaku."Selamat ya, Mbak Ann. Semua sudah selesai hingga sesuai dengan angannya Mbak. Dan satu lagi semua keperluan toko aman dan terkendali, Kok!" balas Andin."Lalu mengenai gaji? Dan apa yang menyebabkan kamu tadi terisak, Lho?" tanyaku beruntun."Nanti lah, tunggu Mbak pulang," balas Andin.Lama aku berbincang dengan Andin. Meski aku berusaha mengorek keterangan mengenai gaji karyawan, Andin tidak mau cerita. Dia masih kekeh menunggu kepulanganku. Karena ini aku menjadi tidak nyaman dan ingin segera pulang. Kemudian aku mendengar suara klakson sebuah mobil yang berhenti. Seketika aku tersadar dan pamit pada Andin menyudahi panggilan."Lagi asyik menelepon siapa lho, Ann?" tanya Irene saat aku sudah
Aku menoleh pada sosok itu, mataku seketika membelalak. Sebuah nama yang aku ingat pada sosok itu, Jupri. Iya dia adalah Jupri. Tetapi siapakah dua sosok itu? "Ibu Ann, maaf bisakah kita mulai sekarang?" "oh, ya. Silahkan, Pak!" jawabku."Ini surat janda dan ini semua yang menyangkut persidangan kemarin, Ibu Ann. Saya mengucapkan terima kasih atas undangan Anda," kata pengacaraku."Saya juga berterim kasih atas bantuan Bapak. Untuk fee sudah saya transfer ke rekening Anda, Pak. Saya terima kasih," kataku sambil menjabat tangan si pengacara.Akhirnya kami melanjutkan makan siang bersama. Saat di sela makan siang kulihat sekeliling mencari sosok yang tadi sempat aku lihat. Rupanya Jupri ada di sudut kanan ruangan ini pada meja nomer lima puluh. Di sana dia sedang bersama seorang Kyai dan seorang gadis yang cantik. "Apakah dia istrinya?" lirihku."Siapa yang Anda maksud, Ibu Ann?" tanya Pengacaraku."Seorang sahabat lama, Pak. Eeh, maaf, silahkan dilanjut!" ucapku.Beberapa saat kemud