Mahendra terus menatapku, aku terus menunduk tidak berani memandangnya. Entah mengapa orang ini selalu membuat jantungku tak menentu."Kakek aku izin pulang, ini sudah menjelang magrib," pamitku ke kakeknya Mahendra."Biar pulang bersama ...." Kakeknya bicara langsung dipotong oleh Mahendra." Bersamaku, Rania.""Kita belum sah, aku tak ingin membuat orang jadi berfikiran yang tidak-tidak," jawabku cepat.Dia hanya diam."Maksud kakek pulang sama asisten kakek," timpal kakeknya lagi."Jangan sembarangan kakek, aku tidak akan membiarkan Rania bersama laki-laki lain," jawab si Mahendra. Benar-benar itu orang.Aku segera undur diri. Lagi dia dengan tegas berucap."Tunggu besok jam sembilan, aku akan menjemputmu menjadi istriku!"Astaga itu orang benar-benar meresahkan. Sekarang aku yang diam, nyaliku benar-benar ciut dibuat. Apa benar kami akan menikah besok pagi. Sekarang aku yang panik.Aku berdiri lalu dengan takzim mencium tangan kakeknya. "Hati-hati, kita buktikan apakah cucu saya
Malam tiba entah mengapa aku gelisah. Perasaanku tak menentu. Sampai shalat isya aku masih duduk di atas sajadah. "Rania ada Dini mencarimu," panggil ibu. Aku memang meminta Dini untuk ke rumah. Bergegas aku keluar untuk menemui Dini. Dia ternyata datang bersama abangnya. Sekarang aku yang malu berada di dekat mereka. Dalam keadaan apa pun mereka masih tetap setia menemuiku."Kok wajahnya ditekuk begitu," sapa Dini."Sepertinya aura pengantin mulai terasa," sambung Abang Noval. "Hehe ... abang bisa saja," jawabku."Kenapa memaksaku kesini, sayangku," ucap Dini membuat aku dan bang Noval tertawa."Sayang, sayang, makanya kamu jangan jomblo saja," ucap Abang Noval sambil mencubit hidung adiknya. Mereka memang sangat akrab sekali."Bang, gak apa-apa 'kan aku kembalikan motor ini," jelasku dengan pelan."Apa kamu sudah menerima lamaran Mahendra?" Tanya Abang Noval.Aku diam. Namun, hatiku m
Dia mengulurkan tangannya dengan wajah yang terus tersenyum. Aku mengambil tangannya lalu menciumnya dengan takdzim. Dia begitu khusyu' hingga aku mencubit tangannya. Dia melotot."Jangan terlalu ber drama jadi orang, tuan. Aku bukan lawan mainmu." Dia melotot. Baru tau 'kan Rania Fitriana bukan lawan main.Setelah itu pemberian mahar, dia memberiku dengan penuh senyuman. Dipikiran orang lain kami begitu bahagia. Entah mengapa fia terus tersenyum di depan banyak orang seperti sangat menginginkan pernikahan ini. "Aku menerima dengan baik maharnya tuan. Jangan lupa isi wasiat kakek lebih banyak lagi," bisikku. Dia menaikkan alisnya."Ekhem ... pengantin baru. Kayaknya Rania sudah tidak sabaran," ucap salah satu tamu undangan. Astagfirullah aku bahkan lupa jika ada yang memerhatikan kami."Sabar pengantin, ciyee ...." Eh, si Mahen senyum-senyum tidak jelas. Dia langsung menarikku dalam rangkulannya."Iya, ini om istri saya ternyata tidak sabaran." Astaga ini orang, bisa-bisanya dia mem
Kami memasuki kawasan elit. Mahendra hanya diam disampingku setelah kejadian tak terduga tadi. Rumah yang asri dengan tanaman yang begitu tertata rapi membuat rumah ini sangat nyaman. Dari awal masuk pos penjagaan begitu ketat. Selain itu, konsep rumah ini memang seperti villa yang dibangun untuk yang ingin hidupnya lebih privasi.Aku terpukau melihat rumah ini yang menawarkan pemandangan sawah yang indah, juga keindahan taman asri di sekelilingnya. Arsitekturnya dibuat modern, ada kolam renang pribadi yang membuat sensansinya sangat menyegarkan.Ayah dan ibu beserta Rini lebih duluan sampai, Mahendra membukakanku pintu layaknya suami istri. Romantis sekali."Akak ... ngiri aku," bisik Rini."Namanya juga pengantin baru, dik," balasku berbisik. Si Rini hanya nyengir."Bisik apaan, sayang." Mahendra memegang tanganku membuatku berdesir. Astaga ini orang bisa-bisanya selalu mengejutkan.Masuk ke rumahnya kami dijamu layaknya tamu penting, baru kutahu Mahendra orangnya super bersih menga
Dia duduk santai sambil memainkan ponselnya. Jam menunjukkan pukul delapan malam. Apa dia tidak makan malam? Sementara kebiasaanku selalu makan malam bersama setelah isya dengan ayah, ibu dan Rini. "Kenapa?" "Apa di rumah ini tidak ada makan malam?" tanyaku yang polos. Sudah jadi suami istri mau jaim seperti apa tetap saja akan bersama. Lebih baik jujur apa adanya. "Oh ... sebentar." Dia berjalan lalu menekan tombol yang terletak di dalam kamarnya. "Bu Sukma ... bawakan istri saya makan malam." Dia langsung mematikan. "Aku tidak pernah makan malam," ucapnya. "Lalu?" "Aku kalau makan sebelum magrib," jawabnya. Ribet sekali pokoknya orang kaya ini. Aturannya banyak sekali. Selain semprot seluruh badan makan juga harus diatur porsinya. Tak lama kemudian bu Sukma datang membawa nampan berisi makanan. Lengkap dengan makanan penutup yang ada buahnya. Mahendra duduk menemaniku. Duh, ini orang kenapa dia tidak ke tempat lain saja. Jantung ini tak bisa dikondisikan ji
"Biasa banyak fans dimana-mana," ucapku, dia melotot. Ingin kugerakkan badanku rasanya ingin rebahan melihat bintang-bintang dari kamar ini. Namun, dia langsung didekatku. "Setalah makan tidak boleh rebahan tunggu beberapa menit lagi." Ya ampun ribet sekali hidupnya orang kaya satu ini. Dan hebatnya aku nurut saja dengan duduk menatap bintang-bintang itu. Aku menyukai kamar ini, rasanya setelah sekian lama hidup ini terasa lebih berwana. Apalagi melihat ciptaan Tuhan yang luar biasa sedang duduk santai membaca majalah. Seperti kata Rini dia benar-benar mirip artis korea. Sekarang aku bingung mau tidur dimana. "Santai saja aku tidak memakanmu, sini tidur," ucapnya menunjuk bed yang dia tempati. Duh, tapi jangan begitu kali menatapnya. Bisa habis oksigen di dalam tubuh ini. "Jangan takut aku belum niat sampai ke arah sana." Diih, ini orang.
Dia masuk langsung duduk di sofa ruang tamu. Dengan gaya soknya seperti menjadi nyonya di rumah ini. Mahendra turun dan terhenti melihat mantan pacarnya duduk dengan santai."Sayang ...." Dia ingin berhamburan memeluk Mahendra, tapi Mahendra langsung mundur dan mengalihkan diri yang membuat Sisca terlihat marah. "Kok gitu, sih. Jangan bilang kamu sudah jatuh cinta dengan istrimu yang kumal kampungan itu," ucap Sisca dengan sinis. Benar-benar tidak ada malunya.Mahendra santai duduk sembari menggandeng tanganku."Jika iya, kenapa Sisca?" Mahendra bertanya sambil duduk disampingku. Dia memegang tanganku membuat Sisca semakin marah."Apa kamu lupa jika menikah dengannya hanya karena harta kakekmu." Dia terus memojokkanku membuat dada ini panas. Namun, aku bukan tipe wanita yang langsung melabrak atau bar-bar. Kecuali dengan si Arham tak ada guna itu."Itu dulu, sekarang dia adalah masa depanku.""Sayang!" Sisca berteriak."Hargai istriku Sisca, kamu yang menginginkan aku menikah dengann
Aku termangu duduk meratapi nasibku yang unik. Lagi, aku melihat aksi nekat Sisca mantan kekasihnya Mahendra. Hingga malam menjelang tidak ada tanda -tanda dia kembali. Apakah dia jadi menikah dengan Sisca? Mengingat Mahendra tidak ingin di cap sebagai pembunuh.Rasanya selera makanku ikut berubah mengingat Mahendra akan menikah lagi. Baiklah ... mungkin sudah jalan takdir yang kulalui, ditinggal mantan lalu menyisakan hutang sekarang pun suami yang baru satu hari mengikrarkan diri kembali ke mantannya. Takdir yang begitu indah."Non, ini makan malamnya." Bu Sukma membawakan nampan berisi makanan yang begitu menggiurkan selera."Terima kasih, bu Sukma." Aku mengambil nampan makanan yang diberikan bu Sukma. Daripada pusing lebih baik aku makan makanan ini. Meski hatiku tak menentu dibuat oleh si tuan Mahendra. Namun, tetap saja makanan ini tak bisa masuk sedikit pun.Waktu terus berjalan. Mahendra tak kunjung pulang. Sampai pagi menjelang dia tak kunjung datang. Aku harus menyiapkan r
Entahlah, ini dinner macam apa. Sepertinya mereka sengaja membuatku frustasi di sini. Kakeknya terlihat lebih mendukung setiap ucapan Mahendra karena ada relasi bersama kami.“Rania, kan hanya pekerja kantoran jadi tidak paham mega proyek seperti apa.” Kakeknya mulai menunjukkan taring sebenarnya.“Iya, istri saya memang hanya pekerja kantoran, tapi dari segi kelimuwan dia pasti paham. Dia dulu lulusan terbaik ketika di kampus.” Aku terenyuh mendengar Mahendra membelaku.Ini ternyata alasan ada relasi yang ikut dinner bersama kami. Tujuannya agar Mahendra tidak perlu persetujuan untuk kedua kali. Selain itu, dia ingin menunjukkan bahwa dia bisa selangkah lebih maju dari kakek palsu.“Aku membatalkan proyek dengan Sisca dan meminta untuk bersama istriku.”Semua diam, bahkan tanganku gemetar, berada di sini benar-benar panas. Kakek Hadinata alias kakek palsunya Mahendra nampak terkejut, tapi masih tetap menjaga sikapnya.“Gimana, Kek? Aku mau bersama Rania-istriku pada kerjasama ini,” s
Dia berjalan lebih cepat, lebih mengejutkan dia membukakan aku pintu.“Masuklah, istriku.” Eh, ini tidak salah kan? Dia pasti hanya akting belaka.Setelah aku masuk, dia juga ikut masuk.“Jangan tegang, santai saja. Ingat ada aku di sampingmu,” ucapnya menyakinkanku.Andika berada di depan di samping supir. Mahendra terus menatapku membuatku salah tingkah. Selain, itu aku hanya menunduk bingung mau bicara apa.“Apa kamu tidak bisa bicara, Nona?” tanyanya.“Aku bingung mau bicara apa denganmu.” Mahendra justru tertawa. Duuh, mau ditaruh dimana ini muka!“Aku suamimu, harusnya bersikap wajar, layaknya seperti istri.” Dia benar, tapi jujur aku sendiri tegang hanya berada di sampingnya.“Kita tidak terlalu akrab, aku juga harus pintar memposisikan diri,” balasku spontan. Darimana juga aku bisa mengeluarkan kata-kata itu.“Justru karena aku suamimu, jangan ada yang disembunyikan.”“Aku mau seperti itu, tapi kenapa begitu sulit,” balasku lagi. Dia terus menatapku, bahhkan tanganku turut dig
Benar saja asisten Mahendra memanggil MUA. Mereka begitu sigap melayaniku, menanyakan riasan seperti apa.“Aku mau yang minimalis saja, sederhana, tapi berkesan.” Mereka paham tanpa perlu aku jelaskan lebih detail lagi.“Jangan gugup gitu, Nyonya.” Asisten Mahendra memang sama jahilnya dengan tuannya.“Apa tuanmu tahu aku akan dirias?”“Aman, tenang saja.” Aman. aman, paling juga dia sudah bocorin.“Aku sebelumnya tidak pernah melihatmu, apa kamu asisten baru?” tanyaku penasaran.“Sudah lama aku kerja di keluarga tuan, tapi aku baru saja menyelesaikan kuliahku makanya aktif kembali.” Aku hanya ber oh ria mendengarnya.Bahkan memilih asisten pun Mahendra begitu teliti, mirip paspampres yang aku lihat di televisi. Tinggi dan tampan tentunya.“Namaku Andika,” sambungnya lagi. Aku hanya mendengar, tanpa membalas perkenalannya.“Beneran aman, kan? tuanmu tidak tahu.” Aku harus memastikan, takutnya Mahendra menertawaiku. Eh, si Andika justru tertawa, dengan entengnya dia berlalu begitu saja
"Terus Siska bagaimana?" tanyaku penasaran."Aku dekat dengannya karena Siska bisa membantuku.""Keluarga yang aneh!""Dia bagian dari kakek, makanya aku memilihmu karena aku tahu kakek belum memberi konsekuensi padamu."Semakin pusing aku dibuat, penuh misteri. Lalu Aku menikah dengannya untuk apa?"Harusnya jika kamu tidak mencintaiku, kita tak berhubungan suami istri. Bagaimana jika aku hamil dan ternyata kamu memilih kakek palsumu itu.""Justru aku ingin kamu hamil.""Aku merasa dipermainkan," balasku."Karena jika kamu hamil, anak kita yang akan memiliki semuanya." Mendengarnya kenapa terasa sakit. "Aku merasa tertipu dengan kalian.""Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya, aku akan menjadi suami dan ayah yang baik," jawabnya serius."Kalian sungguh membuat kepala ini semakin pusing," balasku yang langsung bangkit. "Mau kemana, Aku ingin bersamamu," ucapnya lagi. Dia memaksaku duduk dan kembalii lagi dia tidur dipangkuanku.Cukup lama kami berdiam diri, tak ada pembicaraan di
"Kakek pulang saja," usir Mahendra yang Masih bisa kudengar.Aku masih menempel di tembok takut ketahuan. Keluarga yang aneh menurutku."Sudah berani ngusir kakek, ya, jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta dengan Rania.""Yang jelas Aku tidak menjadikan pernikahan itu mainan," balas Mahendra yang terlihat sebal. Walau jujur aku menyukai sifatnya yang tidak berubah mempertahankan pernikahan ini.Aku segera mundur, kembalii ke kamar agar tidak terlihat oleh mereka mengintip. Dengan mengendap aku kembali ke kamar. "Kakek tunggu keputusanmu, Mahendra!" tegas kakeknya. Ternyata kakeknya sangat menyeramkan, benar-benar jauh dari ekspetasiku. Kakek yang penyanyang yang kuanggap seperti ayah.Sesampai kamar, aku langsung pura-pura merebahkan diri. Berpikir keras apa yang akan terjadi pada nasib pernikahanku. Sudah pernah dibuang mantan, dan sekarang dipermainkan oleh orang yang lebih berkuasa. Seharusnya dari awal aku sadar diri, bahwa Mahendra denganku bagai langit dan bumi."Sudah bangun?
Rasanya begitu perih, tapi Mahendra tersenyum puas di dekatku. Ini pertama kalinya dalam hidupku, aku pun tak menyangka bisa merasakan ini lebih cepat bersamanya."Terima kasih, tidak salah aku memilihmu." Tingkahnya semakin aneh, sempat-sempatnya dia memelukku seperti bayi. Baru aku bangkit, aw, rasanya begitu perih. Ternyata benar kata orang kalau malam pertama itu, jika baru pertama kali terasa nyeri. "Kenapa sayang?" tanyanya. Sayang? Apa dia tidak salah ini orang memanggilku sayang?"Katanya kalau pertama kali sakit," sambungnya lagi. Tak lupa senyumannya begitu lebar. Diih ..."Kamu seperti paham dengan gadis perawan atau tidak!" ketusku. "Aku tidak bodoh, Sayang. Aku juga belajar sebelum kita melangsungkan akad nikah," katanya. Berarti dia memang berpikir sampai sejauh ini.Aku hanya diam, segera bangun untuk membersihkan diri. Namun, Mahendra mengamit tanganku."Jika sakit aku tuntun," ucapnya lagi. "Gak perlu, aku bisa sendiri." Sikapnya benar-benar aneh, tapi lagi-lagi
Abang Noval mundur, aku pun tak ingin memperpanjang masalah dengan Sultan Mahendra tidak jelas ini."Aku akan memberimu peringatan jika berani mendekati istriku," katanya menunjuk abang Noval."Aku juga akam memberi tuan peringatan jika membuat Rania menangis," balas abang Noval tak mau kalah.Mahendra tidak terima dia langsung menarikku paksa dalam rangkulannya. Situasi macam apa ini, benar-benar aneh."Dia istri sah-ku dimata hukum dan agama, jadi kuperingatkan kamu dokter Noval!" teriaknya tak kalah sengit.Ini tidak salah mereka memperebutkanku? Giliran istrinya dilirik, baru dia sadar. Sisca sampai mengeluarkan air mata karena tidak percaya mereka memperebutkanku. Tanpa pamit, dia terus merangkulku keluar."Biasa saja, Tuan Mahendra. Jika anda ingin dihargai, Maka belajarlah menghargai orang lain," jawabku yang langsung melepas diri dari rangkulannya.Bukan berarti kita orang lemah, kita seenaknya ditindas oleh mereka yang merasa kuat. Harusnya sejak awal, aku harus siap menerima
"Mengapa lama sekali?" tanya Mahendra yang masih memelukku. Apakah ini mimpi? Rasanya aneh dia memelukku dengan erat.“Aku mencarimu kemana-mana,” ujar Mahendra sambil memelukku.Tak ingin kepede-an aku langsung melepas pelukan Mahendra. Apa ini yang dinamakan trauma, takut kedua kalinya terluka lagi.“Maafkan aku, tadi cari udara segar,” jawabku datar.kembali hening lagi, pikiranku sudah tak percaya lagi dengan sikap Mahendra. Kadang baik, kadang juga bikin hati kesal dibuat olehnya.Rasanya raga ini mulai lelah, kukira menikah dengannya bisa mengubah semua jalan hidupku, jalan hidupku yang setahun ini kurasa begitu rumit. Namun, ternyata aku keliru."Mau kemana?" tanyanya sambil menarik tanganku lagi. Dia sangat aneh."Tetaplah di sampingku," sambungnya lagi.Sikapnya yang seperti ini, jujur membuat siapa saja berpikir jika dia menyukaiku, tapi sepertinya itu hanyalah khayalan semata.Aku hanya mengiyakan, sudah kepalang basah mau bagaimana lagi, aku sudah sah menjadi istri Sulta
Mahendra terlihat lebih sehat, meski kami tak sehangat kemarin, iya, itu karena pertengkaran kemarin. Aku pun mulai memposisikan diriku untuk tidak berekspetasi tinggi."Aku lapar," katanya merajuk. Kadang, aku bingung melihatnya yang seperti membutuhkanku, aku dibuat dilema dengan perasaanku sendiri, tapi yang jelas melihatnya sehat ada kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan.Aku membuka nampan yang diberikan rumah sakit."Apa kamu malas bicara? Bukannya kamu sudah memaafkanku?" Dia memang pintar menyerang.Dia membuka mulut, lalu aku menyuapinya. Persis seperti anak kecil yang disuapi ibunya."Aku mau masakan istriku," ucapnya lagi, tapi aku hanya diam."Kamu bisa masak?" tanyanya basa basi."Bisa sedikit," jawabku. Aku yang enggan menjawab akhirnya menjawab."Apa kamu sudah makan?" tanyanya lembut. Jangankan makan, yang kupikirkan hanya dia."Belum."Mahendra diam. Dia langsung mengambil ponsel di sampingnya. "Bawakan makanan yang paling enak," ucapnya tegas lalu memutus telponny