Mike tidak tau harus bagaimana menghadapi tingkah Olivia. Mike mengeluarkan ponselnya, berencana untuk melaporkan pada Albert bahwa Olivia sudah selesai makan malam.
Olivia yang melihat Mike akan menelpon, lantas berkata "Kadukan saja pada pria sombong itu, aku tidak takut sama sekali. Kau memang anak buah yang sangat berbakti, Mike."
"Itu sudah menjadi tugasku, Nona." Mike membungkuk, kemudian pergi dari ruang makan.
Meninggalkan Olivia yang masih menggerutu karena kesal. Akhirnya Olivia kembali ke kamarnya.
"Apa yang bisa aku lakukan di sini?" Olivia bertanya pada dirinya sendiri saat sedang berbaring di atas ranjangnya.
Layar ponselnya menyala, Olivia menjangkau ponsel yang berada di atas nakas di samping tempat tidurnya.
Panggilan masuk dari sebuah daftar kontak bernama Tristan. Dengan cepat Olivia mengatur posisinya menjadi duduk. Olivia ragu-ragu namun akhirnya menggeser layar ke tombol angkat.
"Hallo.. my sweety." Sapa Tristan dengan lembut.
"Haii..." Jawab Olivia singkat.
"Kenapa sepertinya bidadariku sangat lesu? Apa kau belum makan?" Tristan menggoda Olivia.
"Aku sudah makan. Apa kau sudah makan?" Tanya Olivia pada Tristan.
"Tentu. Aku harus makan yang banyak, agar punya tenaga yang cukup untuk menahan rindu padamu." Tristan tertawa.
"Tadi siang bertemu, besok akan bertemu lagi, apa alasanmu untuk terus mengatakan rindu padaku?"
"Aku merindukanmu setiap saat. Saat bersamamu, seakan waktu tak pernah cukup!"
"Terima kasih, sayang. Sudah mencintaiku begitu besar." Olivia terharu mendengar penuturan Tristan.
"Itu memang sudah seharusnya. Olive, ada sesuatu yang ingin kutanyakan." Tristan terdengar sangat serius.
"Apa yang akan dia tanyakan? Apakah Tristan mengetahui sesuatu tentang pernikahanku?" Bathin Olivia sebelum menjawab. " Ya, apa yang ingin kau tanyakan?"
"Aku belum pernah melihat sopir yang menjemputmu tadi siang. Apakah dia sopir baru di keluargamu?" Tanya Tristan sangat penasaran.
"Oh itu... Em.. Dia memang sopir baruku. Mungkin mulai saat ini, aku akan di antar jemput oleh dia. Apa kau keberatan?" Jawab Olivia tergagap-gagap.
"Tidak. Tapi aku merasa pria itu menatapku dengan tidak tatapan tidak suka, saat kau bersamaku tadi."
"Benar kah? Aku tidak terlalu memperhatikannya tadi."
"Sudah lah. Jangan terlalu di pikirkan." Tristan menenangkan hati Olivia.
"Tristan..." Panggilnya pelan.
"Hmm... Apa yang ingin kau katakan?" Tristan seolah mengerti bahwa ada sesuatu yang ingin di sampaikan oleh Olivia.
"Kau tentu tau bukan, sebesar apa perasaanku padamu? Seperti apa aku mencintaimu. Apa kau percaya dengan perasaanku ini?" Tanya Olivia sungguh-sungguh.
"Tentu saja, sayang. Aku tidak akan pernah meragukan hal itu."
"Seandainya... Aku... Aku harus menikah dengan orang lain demi menyelamatkan perusahaan dan orang tuaku, apa kau akan membenciku?" Olivia bertanya dengan nada penuh keseriusan.
Namun, Tristan malah tertawa saat mendengarnya. Dia menganggap Olivia hanya sedang memberinya sebuah lelucon.
"Kau tidak akan bisa mengerjaiku." Ucap Tristan di sela gelak tawanya.
"Tris... Aku-aku serius." Olivia memberanikan diri untuk mengatakan hal ini pada Tristan.
Tapi tetap saja Tristan tidak menanggapi hal itu dengan serius. Ia mengira, Olivia sengaja memberinya sebuah prank. Karena, dua hari lagi adalah hari jadi mereka yang ke empat tahun.
"Aku percaya, tidak akan pernah terjadi hal gila semacam itu. Sekarang, tidur lah lebih awal. Mungkin kau terlalu lelah. Besok aku akan menunggumu di perpustakaan kampus. Oke?" Tristan enggan membicarakan hal yang menurutnya sangat konyol itu.
Olivia tidak punya pilihan lain. Dia berharap, besok bisa memberi tau Tristan tentang kebenaran ini. Meski sejujurnya hatinya sangat berat. Bagaimana pun, dia sangat mencintai Tristan.
"Baik lah. Aku akan tidur. Sampai bertemu besok, hunny. Selamat malam."
"Selamat malam, bidadariku." Balas Tristan lalu menutup panggilan itu.
Olivia berbaring menatap langit-langit kamarnya. Desain kamar ini sangat indah dan megah. Tentu saja, mansion sebesar ini pasti harus di desain dengan sangat indah dan megah agar terlihat kemewahannya.
Tok.. tok.. tok...
Terdengar suara ketukan di pintu kamar Olivia. Dengan cepat Olivia menutup badannya dengan selimut, ia berbaring di kasur dan pura-pura tidur.
Pintu terbuka, Mike berjalan masuk dan mendekat ke arah ranjang tempat Olivia berbaring.
"Sepertinya, Nona Muda sudah tidur, Tuan. Apa aku harus membangunkannya?" Terdengar suara Mike berbicara di telepon.
"Nona Muda sangat sopan dan menurut hari ini. Dia tidak membuat keributan apa-apa."
"Baik, Tuan Muda. Besok pagi aku akan menyampaikannya pada Nona Muda."
"Baik. Selamat malam, Tuan Muda."
Entah apa yang mereka bicarakan, yang di dengar Olivia hanya apa yang di katakan oleh Mike saja.
Olive masih berpura-pura tidur saat Mike mengatakan sesuatu yang membuat jantung Olivia seakan ingin meloncat keluar saat mendengarnya.
"Mungkin, Nona Muda memang jodoh yang tepat untuk Tuan Muda. Meski menjadi isteri kedua, tapi semua yang Nona Muda dapatkan adalah yang pertama. Bahkan Ny. Monic tidak pernah mendapat perlakuan istimewa dari Tuan Muda." Setelah selesai mengatakan itu, terdengar langkah Mike menjauh dan pintu kamar kembali tertutup.
Deeeg..
"Isteri kedua? Ny. Monic? Apa maksud semua perkataan Mike barusan? Apa yang tidak aku ketahui?" Olivia merasa ada sesuatu yang tidak dia ketahui. Sesuatu yang sangat besar. Dia harus menemukan jawabannya besok.
Olivia akhirnya memutuskan untuk tidur. Banyak hal yang harus dia tanyakan pada Mike besok pagi. Mike harus menjelaskan apa maksud perkataannya itu.
Pagi ini, Olivia bangun lebih awal. Dia ingin memasak sendiri sarapan yang ingin dia makan. Meski para pelayan dan para koki sudah melarangnya, bukan Olivia namanya jika menyerah. Akhirnya para pelayan dan koki hanya mengawasi saja apa yang di lakukan Olivia. Sesekali Olivia akan meminta mereka untuk membantu mengerjakan sesuatu. Jam setengah tujuh pagi, sarapan telah tersaji di meja makan. Olivia sengaja membuat dua piring sarapan. Dia ingin memberikannya untuk Mike sebagai sogokan pagi ini. Ada informasi yang harus dia ketahui dari Mike. Setelah Olivia selesai mandi dan berpakaian rapi, dia kembali turun dan langsung menuju meja makan. Dia duduk dan mencium aroma masakannya sendiri. "Hhmmm.. aromanya sangat menggoda. Masakanku memang selalu tak tertandingi." Ucap Olivia lalu menyuap satu sendok bubur yang terbuat dari tepung beras dan di siram gula merah di atasnya. Aroma pandannya sangat kuat. Hingga Mike pun bisa mencium aroma bubur itu dari
Di dalam jet, saat perjalanan pulang, Albert tak henti-henti menatap jarum yang bergerak di jam tangannya. "Dasar, gadis manja. Kali ini, apa lagi yang membuatnya bertingkah." Albert menggeram pelan, namun kata-kata itu masih terdengar dengan jelas di telinga Lucy. "Siapa yang di maksud oleh Tuan Muda? Itu tidak mungkin Ny. Monic kan? Jika itu Ny. Monic, Tuan tidak akan meninggalkan rapat penting seperti tadi hanya demi menemuinya. Siapa gadis yang Tuan maksud? Aku harus mencari tau informasinya nanti." Lucy begitu penasaran dengan ucapan Albert. Lucy merasa saingannya bertambah satu orang lagi, setelah Monica. Karena cuaca bagus pagi ini, mereka sampai dengan cepat. Seorang sopir sudah menunggu di bandara. "Lucy, kembali lah ke perusahaan menggunakan taxi. Aku akan pulang ke mansion terlebih dahulu." Titah Albert lantas segera masuk ke mobil, tanpa perlu menunggu jawaban dari Lucy. "Pulang ke mansion? Apakah gadis yang Tuan Muda sebut t
Olivia tidak bersemangat lagi hari ini. Bahkan, ia tidak mengikuti satu pun kelasnya hari ini. Olivia merenungi apa saja yang telah terjadi pagi tadi, semua terasa begitu cepat. "Bagaimana dia bisa menganggap itu seakan bukan lah hal yang penting untuk kuketahui?" Olivia berbicara pada bayangannya di cermin. Setelah kejadian menggemparkan pagi tadi, Albert memutuskan untuk kembali ke kantor pusat. Di kantor, para karyawan sudah biasa melihat wajah kaku dan dingin Albert. Meskti tidak pernah dijawab, para pekerja akan tetap menyapa atau memberi hormat saat mereka melihat Albert. "Lucy, apa kau sudah membereskan masalah di London pagi ini? Jangan lupa, beri tau mereka kembali bahwa aku mengundang mereka dalam peresmian cabang hotel yang akan di laksanakan dua hari lagi. Sebagai permintaan maafku atas kejadian pagi ini, segera kau kirim undangan beserta sebotol anggur tahun 1940." Albert memerintahkan Lucy untuk menyelasaikan urusan itu. "B
Diam-diam, Mike merekam momen itu. Lalu mengirimnya kepada Albert. Semenit kemudian, Albert mengirim pesan. "Untuk apa kau mengirimiku video itu? Aku tidak peduli apa yang di kerjakannya, aku lebih peduli pada dapurku. Jangan sampai dia membuat dapur atau mansionku hancur, Mike." Balasan dari Albert membuat Mike tertawa pelan. "Tuan, aku yakin anda sangat peduli pada Nona Muda. Jika tidak, anda tidak akan mengirimiku pesan seperti ini." Bathin Mike sambil terus memperhatikan gerak gerik Olivia dari kejauahan. "Mike, kemari lah." Panggil Olivia, membuat Mike sedikit terkejut. "I-iya, Nona." Jawabnya gugup. "Kenapa kau hanya berdiri di sana sejak tadi? Apa yang kau pikirkan?" Tanya Olivia saat Mike sudah berada di depannya. "Maaf, Nona. Saya hanya mengawasi anda. Karena dapur adalah salah satu tempat yang berbahaya untuk anda." Ucap Mike, membuat Olivia sedikit heran. "Berbahaya? Bagaimana dapur bisa di sebut berbahaya? Ini hanya tempat
Olivia bergerak dengan malas dari posisi tidurnya. Tapi, kenapa ia merasa ada benda berbulu di tangannya. Dengan cepat Olivia membuka mata. "Oh My God. Kenapa aku bisa tidur dengan pria sombong ini?" Olivia berkata dalam hatinya dengan perasaan kaget yang tidak terbayangkan. Perlahan-lahan Olivia mengangkat sebelah tangannya yang bersandar indah di atas dada Albert. Setelah berhasil, ia memukul tangan itu dengan tangannya yang lain. Kepalanya masih menyuruk di bawah ketiak Albert. Olivia mencoba bergerak pelan, berusaha turun dari kasur sebelum Albert bangun. Saat kaki Olivia menyentuh lantai, suara bariton Albert membuatnya terkejut dan terdiam bagai patung pada posisinya. "Mau kemana kau, isteri kecilku?" Tanya Albert yang ternyata sudah bangun sejak tadi. Dia sengaja diam dan memperhatikan tindakan Olivia yang konyol. "A-aku.. aku akan mandi. Aku ada kelas pagi ini." Jawabnya terbata-bata. Lalu dengan cepat berlari masuk ke kamar mandi.
Albert menanggalkan handuk yang melingkar di pinggangnya sejak tadi, sehingga benda panjang yang mengeras itu terasa berada di paha Olivia. Dengan gelengan, Olivia masih berusaha untuk menolak. Kedua tangannya di satukan di atas kepala dan di tahan Albert dengan sebelah tangannya. Albert dengan ganas mencumbu Olivia. Antara penolakan dan menerima, entah mana yang kini di berikan oleh tubuh mungil Olivia. Dengan satu tangannya, Albert mengarahkan terong jumbo miliknya ke sela pangkal paha Olive. Menggesek-gesek benda tumpul itu di sana. Setelah merasakan sesuatu yang mulai basah di sana, Albert memasukkan terong jumbo miliknya dengan sekali hentakan keras. "Aaakkkhh.." pekik Olive tak tertahankan. Seiringi dengan mengalirnya air mata di sudut pipinya. "Sial. Ternyata gadis ini benar-benar masih perawan." Albert merutuk dalam hatinya, setelah menyadari ia baru saja merobek paksa keperawanan Olivia. "Jangan menangis. Nikmati saja, itu han
Setelah selesai sarapan, dengan sedikit drama akhirnya Olivia berangkat ke kampus diantar oleh Mike dan tentu ada Albert juga di dalamnya. Selama perjalanan, mereka memasang aksi diam. "Ingat, ini hari ketiga. Apa kau sudah mengakhiri hubunganmu dengan kekasihmu itu?" Albert memecah keheningan. Olivia mendadak teringat akan hal itu. Dia terlihat gelisah sekarang. Olivia sibuk dengan pikirannya sendiri, hingga lupa menjawab pertanyaan Albert. "Apa kau tuli?" Teriak Albert dengan wajah yang kesal. "Em.. apa boleh aku meminta waktu lagi? Aku belum sempat memberi tau Tristan. Bagaimana kalau sampai akhir pekan ini?" Olivia memasang wajah memelasnya di depan Albert. "Jangan pernah menyebut nama pria lain saat sedang bersamaku. Ingat itu!" Albert marah saat mendengar Olivia menyebut nama Tristan dengan sangat lembut. "Tapi, aku hanya menyebut nama Tristan karena... Hhmmmpp.. Hmmpp..." Belum sempat Olivia menyelesaikan kalimatnya, bibir Alber
Olivia tidak memiliki teman di kampus ini. Karena ia terkenal tomboy, dia tidak terlalu suka bergaul dengan teman wanita. Di kampus ini, hanya Tristan satu-satunya yang dekat dengannya. Selama kelas berlangsung, Olivia sama sekali tidak fokus mendengar materi yang di berikan Dosen. Pikirannya terbang entah kemana. Banyak hal yang di pikirkannya saat ini. Salah satunya, bagaimana cara memberi tau Tristan untuk menyudahi hubungan mereka. Olivia tidak ingin memberi tau pernikahannya dengan Albert. Setidaknya, bukan untuk saat ini. Tristan terus mengamati sikap Olivia. Dia yakin, ada sesuatu yang Olivia sembunyikan dari dirinya. Tapi sepertinya, Olivia belum siap untuk memberi tau padanya hal apa itu. Setelah kelas berakhir, tak terasa sudah jam satu siang. Kelas Olivia sudah selesai untuk hari ini. Jadi, dia berniat untuk langsung pulang ke mansion. Dia masih belum menemukan bagaiman cara untuk memberi tau Tristan. "Mike, jemput aku sekarang." Ol
“King! Aku yakin dia bisa membawamu ke jalan yang seharusnya kau tempuh,” jawab Zahra dengan keyakinan penuh.“Jangan konyol, Moms. Dia tidak sebanding denganku! Aku ini kakaknya, meski kami tidak sedarah. Aku tidak akan pernah tertarik dengan bocah ingusan seperti dia,” bantah Dayana dengan sangat tegas di depan Zahra dan wajahnya tampak sangat kesal.Dia segera pergi dari hadapan Zahra dan tidak ingin lagi membahas masalah yang sensitif itu. Bagaimanapun juga, Dayana menyadari bahwa dia sudah salah jalan. Namun, dia juga tidak meminta dirinya menjadi seperti itu. Semuanya terjadi dan mengalir apa adanya tanpa diminta dan dipaksa. Jadi, apa yang harus dia lakukan selain pasrah dan menerima semua keadaan itu dengan hati luas?Dayana memang gadis yang berasal dari keluarga terpandang dan bisa dikatakan semua yang dia lakukan pasti akan menjadi konsumsi publik. Akan tetapi, dia juga tidak bisa berpura-pura demi membuat orang lain senang dan puas. Dia ingin tetap menjadi dirinya sendiri,
Zahra tidak bisa berkata-kata saat baru saja mendengar pengakuan dari putrinya itu. Dadanya terasa penuh dan sangat sesak sehingga tidak bisa bernapas dengan baik. Dia tidak menduga bahwa Dayana akan mengakui hal besar dan sangat mengejutkan itu padanya dan Gerald.Saat ini Zahra bisa melihat perubahan warna pada wajah Gerald. Pria itu jelas sedang marah besar pada Dayana dan dia masih diam saja berusaha menahannya. Hal itu tentu saja mengingat bahwa Dayana adalah putri mereka satu-satunya.“Sayang ... tolong ralat lagi kata-katamu itu. Katakan padaku kalau kau hanya bercanda dan semua itu mungkin hanya sebuah prank atau kejutan untuk kami. Kau ingin membuat daddy marah seperti saat Mami marah ketika kalian bersekongkol membuatku cemburu dan marah besar saat itu kan?” tanya Zahra dengan menguatkan hati dan mencoba tetap tenang.“Tidak. Kali ini aku sangat serius dan aku memiliki pacar wanita. Dia adalah Jeslyn yang sering datang ke sini dan aku sering menginap di apartemennya,” jawab
Zahra kembali ke kediamannya dengan perasaan yang bercampur aduk. Dia baru saja mengunjungi pemakaman keluarganya dan kemudian mendapati fakta bahwa King menaruh hati pada Dayana. Dia tidak akan mempermasalahkan hal itu jika memang sudah begitu takdirnya.“Ada apa, Sayang? Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” tanya Gerald yang menatap istrinya dengan pandangan heran.“Bukan apa-apa, Sayang. Aku hanya merasa lucu saat seorang pria menyukai gadis, tapi mereka selalu bertengkar tiap kali bertemu,” jawab Zahra kepada Gerald.“Siapa yang kau maksud? Apakah itu kisah kita dulu?” tanya Gerald dan langsung melingkarkan tangannya di pinggang Dayana.“Tidak. Aku mengatakan tentang King. Eh ... tapi, ternyata kisah kita juga hampir sama seperti itu. Dulu aku dan kau juga selalu saja berdebat dan bertengkar tiap kali bertemu.”“Kau benar, Sayang. Kau tahu? Semua itu membuatku senang dan hidupku menjadi lebih berwarna.”“Jadi, kau suka bertengkar denganku?”“Hem ... sepertinya aku lebih suka berteng
“Apa benar kau tidak masalah sendirian, Nak?” tanya Zahra pada King dengan suara yang sangat lembut.“Aku tidak sendiri, Moms. Masih ada mamiku juga di sini,” jawab King saat melihat Auriel turun dari tangga.“Kakak. Kapan kau datang?” tanya Auriel yang langsung menyapa Zahra dengan sangat ramah.“Belum lama. Aku bahkan sudah mengunjungi Zacky, Mami, dan Daddy bersama King.” Zahra menjawab sopan dan kemudian keduanya bercium pipi kanan dan pipi kiri.Zahra memang sudah menerima kehadiran Auriel dan King sejak lama. Mereka sudah sangat baik satu sama yang lainnya. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk saling berselisih lagi. Lagi pula, semuanya sudah cukup jelas dan tidak ada hal besar yang harus diperdebatkan lagi.“Silakan duduk, Kak. Aku akan membuatkanmu minum,” ucap Auriel dengan sangat ramah.“Tidak perlu, Sayang. Aku tidak tamu di sini dan jangan memperlakukanku seperti tamu,” tolak Zahra dengan senyum lebar.“Tapi, tidak ada salahnya seorang adik menjamu kakaknya yang datang
“Dad, aku dan Mami datang.”“Zack! Apa kau bahagia di sana bersama Bianca? Apa kau bertemu dengan Mami dan Daddy juga? Kalian pasti bahagia sudah berkumpul di sana bukan? Kenapa kalian semua meninggalkan aku sendiri di sini? Kalian tidak ingin mengajakku? Apakah aku masih begitu menyebalkan bagi kalian?”“Moms ...,” lirih King dengan nada pilu saat mendengar Zahra bertanya beruntun seperti itu di depan makam saudara kembarnya – Zacky.“Tuan Muda Zacky yang terhormat. Apa kau liat dengan siapa aku datang hari ini? Kau pasti senang melihatnya bukan? Lihatlah, dia begitu mirip denganmu saat kau masih muda. Aku bahkan merasa seperti usiaku baru dua puluh tahun saat berada di sampingnya,” ungkap Zahra yang sengaja menghibur diri dengan berkelakar seperti itu.King hanya bisa tersenyum tipis saat mendengar candaan Zahra pada Zacky yang kini hanya bisa mereka temui dalam bentuk batu nisan yang indah dan elegan itu. Meskipun begitu, Zahra tampak sangat bahagia dan seperti dia memang sedang be
Auriel sangat bahagia saat melihat putranya sudah kembali tersenyum dan tertawa seperti itu. Sudah sejak lama dia tidak melihat tawa King yang begitu lepas, bahkan dulu dia nyaris tak pernah tersenyum sama sekali. Hal itu membuat hati Auriel merasa sedih dan juga merasa bersalah karena tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dalam hati putranya itu.“Aku berpikir, Mami akan memberikan syarat yang luar biasa dan membuatku sedikit takut,” ucap King kepada Auriel yang masih menatap putranya yang dulu kecil itu tertawa bahagia.“Aku mana mungkin memberikan syarat yang membuatmu menderita, Nak. Kau adalah sumber kebahagiaanku dan kau adalah segalanya dalam hidupku. Karena kau ada, makanya aku masih ada dan berdiri di depanmu saat ini, Sayang.” Auriel mengungkapkan isi hatinya kepada King dengan sungguh-sungguh.“Oh, Moms. Jangan bicara seperti itu lagi dan membuat aku sedih.”“No, Sayang. Kau tidak boleh lagi bersedih setelah banyaknya kesedihan yang sudah kita lalui bersama dengan hebat.
“Apa kau benar-benar tidak akan datang, Sam?” tanya Queen yang saat ini masih membuka jendela kamarnya dan menunggu kedatangan sang kekasih.Dia berharap, Samuel bisa segera menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan kembali menemui dirinya. Cinta baru saja bersemi di antara mereka. Tentu saja hati berbunga bunga dan masih tetap ingin bersama lebih lama. Akan tetapi, sepertinya semua itu tidak akan terjadi malam ini dan Queen tidak bisa lebih lama menunggu.Gadis itu terlelap setelah jam dinding berada di angka satu. Dia tidak bisa lagi menahan kantuknya dan dia sadar bahwa Samuel tidak akan datang malam ini.“Selamat malam, Sayang. Apa kau menungguku datang?” tanya sebuah suara yang berbisik di telinga Queen saat ini.Perlahan, Queen membuka matanya dan wajah seorang pria tampak samar-samar di hadapannya saat ini. Pria itu tersenyum dengan sangat manis padanya dan memberikan sebuah kecupan di bibirnya. Dari kecupan itu saja, Queen tahu bahwa Samuel telah datang malam ini.“Aku menun
Charlos tidak pernah menyangka jika hidupnya akan didatangi oleh seorang gadis ingusan seperti Thabita. Dia tidak hanya menyebalkan, tapi juga sangat menganggu sehingga Charlos kehilangan waktu istirahatnya karena gadis itu terus saja mengusik ketenangannya.“Berhentilah bermain-main, Thabita. Aku tidak suka bercanda untuk masalah pernikahan!” tegur Charlos sekali lagi kepada Thabita dengan wajah yang masam.“Aku juga tidak pernah main-main soal pernikahan. Bukankah pernikahan itu adalah impian semua orang? Aku selalu bermimpi mempunyai suami yang usianya lebih tua dariku,” sahut Thabita yang tidak mau kalah.“Kalau begitu, kau carilah sugar daddy yang mau mengurusmu! Aku belum terlalu tua asal kau tahu!”“Usiamu bahkan sudah menginjak kepala 4 bukan? Apa itu belum terlalu tua namanya?” tanya Thabita dan jelas ucapan gadis itu membuat Charlos kehilangan kendalinya saat ini.Bagaimanapun juga, Charlos adalah pria biasa yang masih memiliki emosi tak terkontrol. Dia sudah biasa dilatih d
Namun, meskipun Thabita senang mendengarnya dia tentu juga merasa bingung dengan pernyataan Charlos tadi. Apakah benar pria itu akan membawanya pulang bersama rombongan tuan besarnya? Bukankah Charlos hanyalah seorang ajudan dan semua itu pasti tidak mudah baginya untuk berhasil meyakinkan bos untuk membawa wanita asing bersama mereka pulang.“Apa lagi yang kau pikirkan? Jangan banyak bergerak dan tetaplah tenang di atas ranjang ini. Aku tidak akan mengobati lukamu lagi jika kau masih tidak mendengarkan aku!” ancam Charlos pada Thabita dengan tegas dan terdengar tidak main-main.“Baiklah, Sayang. Apapun yang kau katakan,” sahut Thabita sengaja menggoda Charlos dengan sebutan sayang.Benar saja, wajah Charlos langsung memerah seperti merasa malu dan tidak bisa tenang di depan Thabita. Bagaimana bisa dia menjadi tidak konsen saat Thabita memanggilnya sayang seperti tadi? Apa yang gadis itu pikirkan dan Charlos membalikkan badan untuk membuang kecanggungannya dengan alasan akan meletakka