"Hm." Tajam sorot mata Carlen memindai Anike dari ujung kepala hingga kaki. "Dapat darimana uang sebanyak itu?" tanyanya sinis.
"Tidak peduli aku dapat darimana, yang jelas aku sudah memenuhi kontrakku," tegas Anike.Carlen tak menanggapi. Dia hanya memperhatikan Anike yang juga tengah menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan."Jadi ... kau benar-benar ingin lepas dariku?" tanya Carlen tiba-tiba."Aku ...." Tenggorokan Anike serasa tercekat. Ada banyak hal yang ingin dia ungkapkan pada Carlen. Namun tak sepatah katapun yang sanggup keluar dari mulutnya."Bukankah selama ini aku hanya menyusahkan anda?" ujar Anike.Lagi-lagi Carlen terdiam. Sejak bertemu dengan Anike, gadis itu memang selalu menyusahkannya. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa hari-hari Carlen menjadi lebih berwarna."Bagus kalau kau sadar," sahut Carlen."Ya, sudah. Terimalah ini." Anike menyodorkan koper kecil tersebut pada Carlen.<"Ini tidak mungkin," desis Marten tak percaya."Apanya yang tidak mungkin?" Anike menautkan alis."Apakah Carlen sengaja mengulur-ulur waktu?" Marten mengusap dagunya sembari menerka-nerka."Untuk apa?" Anike semakin tak mengerti.Marten menoleh pada Anike. Ditatapnya paras cantik itu untuk beberapa lama. "Carlen sengaja mengulur waktu untuk berpisah denganmu, Nona Anike. Seharusnya, setelah menerima uang itu, dia langsung membatalkan perjanjian kontraknya denganmu. Namun, lihatlah yang terjadi sekarang!" ujar Marten."Dia mencegahmu pergi dengan cara yang tidak masuk akal," imbuhnya."Ah, kurasa memang sifat Tuan Carlen seperti itu. Dia senang mengerjaiku. Mungkin ini untuk yang terakhir kalinya dia memberikan tugas yang tak masuk akal sebagai kenang-kenangan, karena sebentar lagi kami akan berpisah," ucap Anike sambil menunduk dalam-dalam."Apa kau mulai jatuh cinta padanya?" tanya Marten tiba-tiba."Apa?" Anike langsung mendongak sambil menatap Marten sewot. "Mana mungkin aku jatuh
Mobil mewah yang dipinjam Marten, sudah terparkir rapi di garasi. Dua orang yang tadi memakai mobil tersebut, kini saling berbisik di depan ruang kerja Carlen."Sudahlah, Anike. Kau tenang saja. Biar aku yang menangani semuanya," tutur Marten seraya menepuk bahu Anike lembut."Tolong buka sedikit pintunya, Tuan. Supaya aku bisa mendengar percakapan kalian dengan jelas," pinta Anike."Oh, tentu." Marten kembali mengedipkan sebelah matanya. Dia menempelkan jari telunjuk di bibir, lalu mendorong Anike menjauh dari pintu.Marten mengembuskan napas sekali, sebelum melangkahkan kaki memasuki ruang kerja Carlen. Tak lupa, dia memasang senyum ceria."Sedang apa kau Carlen? Ini hari Minggu. Bersantailah sedikit," sapa Marten.Carlen yang sibuk memeriksa beberapa dokumen, sambil sesekali melirik ke layar laptop, segera menghentikan aktivitasnya. Dia menatap Marten tajam. "Apa yang kau inginkan?" "Ya, ampun. Basa-basilah sedikit." Marten tertawa melihat sang kakak yang masih menunjukkan sikap pe
"Diangkat nggak, nih?" Anike galau, antara mematikan ataukah menerima telepon Carlen."Angkat saja! Jangan sampai membuat dia curiga," saran Marten.Setelah menarik napas panjang berkali-kali, barulah Anike mengangkat teleponnya sambil mengaktifkan mode pengeras suara. "Halo," sapanya ragu-ragu."Kau di mana?" tanya Carlen."Anda di mana?" Anike balik bertanya."Aku yang lebih dulu bertanya. Jawab dulu," desak Carlen."A-aku, um, aku ...." Anike yang panik, langsung menoleh pada Marten. "Bi-lang sa-ja di ka-mar," Marten menggerakkan bibirnya tanpa mengeluarkan suara.Anike mengangguk cepat. "Aku ada di kamar, Tuan," ujarnya."Baiklah, jangan tidur dulu," ucap Carlen."Kenapa?" "Nanti aku akan mengajakmu jalan-jalan," jawab Carlen.Marten dan Anike saling pandang mendengar kalimat Carlen barusan."Jalan-jalan?" ulang Anike. "Kenapa?"
“Tu-tuan? Anda sudah pulang?” tanya Anike terbata. Dia gemetar, menatap sosok tinggi tegap yang memandangnya dengan sorot berbeda.“Aku baru kembali dari mengantarkan Diana ke rumahnya,” sahut Carlen tanpa melepaskan pandangan.“Bagaimana? Apakah kencan butanya lancar?” tanya Anike lagi. Tak lupa dia memasang tampang ceria, meskipun hatinya tak karuan.“Apa kau yang mengatur semua rencana tadi?” Carlen malah balik bertanya.“Rencana apa?”“Jangan pura-pura.” Carlen mendekatkan wajah sembari menyentuh pipi mulus Anike. “Apa kau sudah tidak sabar untuk segera keluar dari rumahku?”Anike tak menjawab. Dia terlalu sibuk mengatur napas yang tak beraturan. Jantungnya seolah tak berfungsi normal, sehingga Anike harus meremas dada untuk menahan rasa yang hampir meledak.“Kenapa diam saja?” tanya Carlen lagi. Suaranya terdengar begitu dalam dan lemb
“Apa?” Anike segera mendongakkan wajah dan menatap tak percaya ke arah Carlen. “Seperti yang kau inginkan tadi. Aku memberimu kebebasan. Jalanilah hidupmu dengan sebaik-baiknya.” Carlen tersenyum kalem. Tak terlihat penyesalan atau sedikitpun kesedihan di wajah tampannya. Kalimat Carlen bagaikan pisau tajam yang menghujam jantung Anike. Terlebih raut suami kontraknya itu seakan tanpa beban, membuat batin Anike semakin tersiksa. Dia membalikkan badan dan tidur membelakangi Carlen. “Selamat tidur, Tuan,” ucapnya lirih. Sebisa mungkin dia memejamkan mata. Barangkali tidur dapat menyembuhkan luka hatinya. Carlen tak membalas ucapan itu. Namun, dia beringsut mendekat dan memeluk Anike dari belakang. Tak membutuhkan waktu lama bagi Carlen untuk terlelap. Dengkuran halus terdengar, menggelitik telinga Anike yang nyatanya tak bisa tidur sama sekali. Air mata menetes, membasahi pipi mulusnya. “Tak ada lagi yang tersisa,” gumam Anike pelan. Malam itu, dia kehilangan harga diri dan kehormatan
Carlen terbangun saat seseorang memercikkan air ke wajahnya. Sambil memicingkan mata, samar-samar dia melihat sosok seorang gadis sedang membawa segelas air. “Anike? Kau sudah bangun?” tanyanya dengan suara parau.“Aku Lula,” jawab sosok itu.“Lula?” Carlen bangkit, lau mengucek-ucek matanya. “Di mana Anike?”“Justru itu yang ingin kutanyakan padamu. Aku kemari hendak mencarinya, tapi malah kamu yang tidur di kamar Anike,” ujar Lula. Dia memperhatikan setiap sudut ruangan, lalu kembali fokus pada Carlen. “Bajumu berserakan di mana-mana. Apa tadi malam kalian berdua ….”“Begitulah,” balas Carlen malas.“Ya, ampun! Senangnya aku!” Lula bersorak sorai, sampai lupa kalau dirinya sedang membawa gelas. “Lantas, di mana Anike sekarang?”“Ck, kau lihat kan, kalau aku baru bangun tidur,” gerutu Carlen. “Berbaliklah dulu
“Lula?” Anike menelan ludah saat adik bungsu Carlen sudah berdiri anggun di hadapannya.“Kenapa kau pergi dari rumah? Carlen khawatir setengah mati,” ujar Lula tanpa basa-basi.“Untuk apa dia khawatir? Toh, tadi malam kakakmu sudah mengatakan kalau kami akan berpisah hari ini.” Anike memalingkan muka. Tak berani menatap ke arah Lula sama sekali.“Benarkah?” Lula maju selangkah. Bola mata hazelnya lekat menatap Anike sambil berusaha memahami apa yang baru saja Anike ucapkan.“Kalau memang Carlen berniat untuk berpisah, kenapa pagi ini dia terlihat sedih dan gusar?” Lula memicingkan matanya. “Dengar ya, Anike. Aku mengenal kakakku sejak kecil. Dia memang aneh dan galak, tapi aku bisa menilai bahwa kepanikannya saat kamu menghilang itu nyata. Dia benar-benar khawatir padamu,” imbuhnya.“Aku ….”“Siapa tamunya, Ke?” sela Tiara, yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Anike. “Siapa dia?” Tiara menatap Lula curiga.“Adik bungsu Tuan Carlen,” jawab Anike pelan.“Oh, jadi ini yang merusak hid
“Oh, tidak bisa! Anda tidak bisa seenaknya membawa pergi adik saya. Sekarang, tinggalkan tempat ini sebelum saya melaporkan anda pada polisi! Saya tidak takut meskipun anda kaya raya dan berkuasa sekalipun!” ancam Tiara tak gentar.Carlen tak menanggapi. Dia hanya memandang Tiara dengan sorot tenang, tanpa mengucapkan sepatah katapun. “Jangan membuat segala sesuatunya menjadi sulit, Nona. Aku tidak ingin membuat keributan,” ujarnya kalem.“Apa anda mengancam saya?” Intonasi Tiara semakin meninggi.“Bukankah anda yang lebih dulu mengancam saya?” balas Carlen santai.Kedua tangan Tiara terkepal. Jikalau bisa, ingin rasanya dia memukul wajah tampan pria di hadapannya itu. Akan tetapi, Tiara mengurungkannya karena membayangkan berapa jumlah ganti rugi yang harus dia berikan untuk Carlen, andai pria bule itu menuntutnya.“Kalau memang anda peduli pada Anike, tolong tinggalkan dia dan biarkan adik saya hidup bahagia.” Nada bicara Tiara melunak.“Darimana anda tahu jika dia akan hidup bahagi
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar