Evan mencari keberadaan istri keduanya dengan kening berkerut. Bukankah tadi wanita itu berada di mobil? Apakah Ajeng pergi karena cemburu setelah melihat interaksinya dengan Ella?Kedua sudut bibirnya terangkat. Rasa bahagia membuatnya terus tersenyum, bahkan ketika ia melihat tingkah laku Ajeng yang aneh. Wanita itu mengintip Pak Asep dan Rudi yang tengah berbincang di taman samping rumah, sementara Bi Diah menepuk pundak Ajeng.Ingin sekali dia tertawa ketika wanita itu terlonjak karena kaget. Tiba-tiba saja Ajeng berlari sambil berjinjit. "Kenapa kamu bisa berada di sini?"Ajeng benar-benar melompat ke belakang sambil memegang dada kirinya. Mata wanita itu membelalak, membuatnya merasa gemas.Selama 28 tahun hidupnya, Evan tidak pernah mengumbar senyum hanya karena melihat tingkah laku perempuan. Termasuk Ella. "Mas Evan! Aku takut!" Wanita itu langsung memeluknya dengan erat. Tentu saja senyumnya semakin lebar. Ia menggunakan kesempatan itu untuk membalas pelukan wanita itu da
Ajeng tahu, dia sudah bersikap seperti seorang pelakor. Menuntut perhatian Evan hanya untuknya. Padahal seharusnya dia tidak memonopoli Evan. Biar bagaimanapun, tetap Ella yang lebih berhak atas Evan.Dia hanyalah istri sementara yang bertugas untuk merawat suami Ella dan anak mereka. Tidak lebih. Awalnya, dia merasa tidak masalah. Tapi sekarang semuanya menjadi rumit, karena Ajeng melibatkan perasaan."Seharusnya aku nggak perlu jatuh cinta," gumamnya sambil terus berjalan menuju keluar dari kompleks perumahan Evan.Setelah mendapatkan donor sumsum tulang belakang, kemungkinan besar Ella akan sembuh. Butuh waktu satu atau dua bulan untuk pemulihan pasca operasi. Dan saat itu terjadi, sudah pasti Evan akan menceraikannya. "Mulai sekarang, aku harus bersikap biasa saja. Aku akan menganggap bahwa Evan sedang berpura-pura karena Ella melarangnya untuk menyakitiku."Ya, Ella memang sesayang itu pada Ajeng. Karena wanita itu adalah anak tunggal, Ella merasa kesepian. Ketika berkenalan den
"Kamu kenapa ikut masuk ke rumah sakit?" tanya Ajeng heran.Tadi dia terpaksa membatalkan pesanan taksi online karena sudah diantar oleh Bayu terlebih dulu. Namun, pria itu malah ikut masuk ke rumah sakit."Aku juga mau menjenguk temanku yang sakit kok," jawab Bayu.Ajeng mengedikkan bahu dan kembali berjalan menuju ke ruangan di mana Ella menjalankan kemoterapi."Ngomong-ngomong, kamu kerja di Deca Group ya?" tanya Bayu."Kok kamu tahu?" tanya Ajeng balik dengan sorot mata curiga.Bayu langsung mengangkat kedua tangan. "Kita nggak sengaja bertemu lagi di depan lift lantai paling atas. Kamu nggak ingat?"Ajeng begitu payah jika berhubungan dengan orang yang tidak dia kenal, jadi dia hanya menggeleng. Tidak tahu akan reaksi Bayu yang terlihat kecewa."Ya sudah. Aku belok ke lorong ini. Nanti kalau kamu mau pulang, cari aku aja," pamit Bayu.Ajeng hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu dia kembali melanjutkan langkahnya. Seharusnya Ella sudah selesai kemoterapi dan sedang beristirahat.
Selama hidupnya, Ajeng yakin bahwa setiap manusia memiliki sisi gelap. Sisi yang selalu dirahasiakan untuk menjaga nama baik di depan manusia lain. Meskipun beberapa ada yang menunjukkannya secara terang-terangan, tapi kebanyakan manusia akan memilih untuk menyimpannya rapat-rapat, karena sanksi sosial itu lebih mengerikan."Berarti mereka berdua punya affair."Bukan itu yang ingin didengar oleh Ajeng. Bukan kalimat itu yang diharapkannya keluar dari mulut Bayu. Dia ingin diberikan kata-kata bohong, agar semuanya tetap berjalan sebagaimana mestinya."Bisa jadi anak yang dikandung oleh wanita itu adalah anak si laki-laki, bukan anak suami si wanita."Ajeng menggeleng-geleng. Menolak keras perkataan Bayu. Mana mungkin Ella seperti itu? Sahabatnya itu sangat baik...Tapi sahabat baik tidak akan menjebaknya atau memaksanya untuk menjadi istri kedua.Mendadak Ajeng merasa takut. Berbagai asumsi mulai berkeliaran di otaknya. Mencoba menghubungkannya dengan paksaan Ella untuk menjadi istri
"Sayang, tahan dulu," tegurnya ketika Ajeng berusaha untuk melepaskan kancing kemeja Evan.Tangannya menahan wanita itu yang kini sudah menggerayangi dadanya, sedangkan tangan lainnya malah meremas bagian bawah tubuh Evan yang sudah mengeras sepenuhnya."Ajeng!" Istrinya malah kini duduk di pangkuannya dan menggoyangkan pinggul dengan liar. Sialan! Evan tidak bisa berpikir jernih."Pak, bawa kami ke hotel terdekat," perintah Evan pada Pak Adi.Sopir pribadinya mengangguk, sama sekali tidak berani untuk sekedar mengintip mereka melalui spion atas."Mas...sentuh aku," rengek Ajeng sebelum kembali mendesah."Iya, iya. Sabar ya. Jangan di mobil. Kita cari hotel du..."Wanita itu membungkam mulutnya dan berusaha untuk menurunkan resleting celananya, namun kembali dia tahan. Ajeng benar-benar liar dan tak terkendali, sampai-sampai Evan kewalahan karena sejak tadi terus menahan pergerakan wanita itu."Sudah sampai, Den," lapor Pak Adi."Tolong booking satu kamar," pintanya sambil menyerahka
Sudah cukup Evan menahan diri setiap kali gadis itu berbuat ulah. Hanya demi menjaga perasaan Ella dan ibu mertuanya. Dua tahun menikah dengan Ella, Nadia terus saja merecoki rumah tangganya dengan berpura-pura mengunjungi sepupu.Tapi kali ini, gadis itu sudah melewati batas. Hanya karena kecemburuannya terhadap Ajeng, Nadia sampai bertindak sejauh itu bahkan membawa polisi untuk menggrebek mereka."Maaf, apakah ada bukti bahwa bapak dan wanita di dalam itu adalah suami istri?" tanya polisi wanita dengan sedikit takut.Evan mendengkus sinis melihat sikap mereka. Kalau dia tidak memiliki uang dan kekuasaan, mungkin ketiga polisi itu akan langsung menyerobot masuk dan dengan bebas mempermalukan dia dan Ajeng dengan mempublikasikannya di media. Seperti yang biasa mereka lakukan pada rakyat kecil."Sekarang saya tanya kalian. Kenapa kalian langsung percaya pada laporan dia? Atas dasar apa perempuan ini membuat laporan ke polisi dan membuat tuduhan?" tanya Evan sambil menatap Nadia tajam.
Ajeng berusaha untuk bangkit, tapi tubuhnya benar-benar lemas sekali. Seolah-olah dia baru saja mendaki gunung dan langsung turun. Ingatan terakhirnya adalah ketika dia hampir menghabiskan minuman yang dipesannya sambil mengobrol dengan Bayu."Aku beneran lapar," keluhnya."Aku pesenin makanan. Kamu mau makan apa?" tanya Evan.Untuk memulihkan tenaga, dia ingin yang manis-manis. "Nasi goreng telor aja. Minumnya yang manis."Evan mengangkat gagang telepon dan berbicara pada operator untuk memesan makanan pesanan Ajeng, setelah itu duduk di sebelahnya."Siapa yang ngasih aku obat perangsang? Aku kan pesan minumannya di kafe, bukan di diskotik." Apalagi waktunya sore hari. Tidak mungkin tempat seperti itu orang akan nekat untuk menjebaknya."Mantan suami kamu.""Apa?""Kamu nggak tahu dia udah mantau kamu? Nggak, lebih tepatnya, dia ngikutin kamu. Waktu kamu keluar dari kompleks perumahanku, dia mengikuti kamu. Kalau saja kamu nggak sama Bayu, mungkin dia udah menculik kamu sejak dari si
Ajeng menggertakkan rahangnya dan mengepalkan kedua tangan dengan geram."Kalian jangan asal bicara. Apa buktinya kalau aku menjadi simpanan Mr. Evan? Apa begini kualitas lulusan sarjana di negeri ini?"Perempuan yang tadi menghinanya maju untuk menunjukkan layar ponsel yang menampilkan foto. Ajeng melihat foto itu dan tubuhnya langsung membeku. Foto dirinya yang tengah digendong oleh Evan di depan resepsionis hotel. Celakanya, dia tengah mencium leher Evan, dan sisi samping wajahnya begitu jelas."Masih mau mengelak lagi?" Perempuan itu melihat kalung berlian di lehernya dengan sinis. "Pantesan bisa beli kalung dan cincin berlian mahal. Ternyata menjadi simpenan big boss.""Jaga mulut kamu ya! Kamu nggak tahu apa yang akan menimpa kamu gara-gara mulut lemes kamu ini," hardik Ajeng kesal.Selama tiga tahun bekerja di Deca, dia selalu diam saja ketika para karyawan mulai mengatainya macam-macam hanya karena dia bercerai dari Dimas dan belum punya anak. Tapi sekarang, mereka sudah keter