Hayoooo, gimana jadinya, jangan lupa vote yaa
Chalista berusaha menahan emosinya saat Rafael menekannya lebih dekat ke dinding toilet. "Tuan Rafael, biarkan aku pergi," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan marahnya yang menggelegak di dalam. “Aku bukan Chalista yang sama lagi, jika kau lupa.”Mendengar itu tatapan Rafael menggelap. Ada kilatan amarah yang membara dari tatapan matanya saat mendengar itu, seakan Chalista barusaja membangkitkan sisi tergelap pria itu.“Awhhh!” Chalista memekik dengan suara tertahan tatkala tangan kekar Rafael menarik pinggang rampingnya hingga tubuhnya menabrak tubuh tinggi janggung pria itu.HIngga kini tak ada jarak tersisa, hanya deru napas keduanya yang beradu.Tangan Chalista berusaha mendorong dada bidang Rafael agar dia bisa menghindar tapi Rafael semakin mengeratkannya seakan akan dia menyalurkan semua emosinya.Rafael kemudian menunduk, membiarkan matanya menatap manik mata Chalista dengan nyalang. Hal itu membuat wanita itu benar benar mati kutu tak bisa berkata kata.“Sekarang k
Chalista berdiri di depan cermin besar dengan perasaan campur aduk. Kru pemotretan sibuk mempersiapkan segalanya, tapi matanya terpaku pada bikini yang diletakkan di kursi sampingnya. Ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan."Maaf Tuan, tapi aku tidak akan memakai ini," katanya, suaranya tegas walau ada getaran tipis yang tak bisa ia sembunyikan.Semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rafael yang kini berjalan mendekat, wajahnya dingin. Tatapannya menusuk, membuat Chalista merasa seperti terpojok meski belum ada kata yang terucap dari bibirnya."Nona Marone," Rafael memanggil namanya dengan nada rendah namun mengancam, "Jika kau tidak memakainya, mungkin kau mau semua orang tau disini tentang status kita yang sesungguhnya?”Chalista terpaku. Kalimat itu menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kau tidak mungkin..." gumamnya, namun kata-katanya terpotong oleh tatapan tajam Rafael yang tak memberinya ruang untuk bernapas.Sial!Entah kesialan dari mana, dia harus kembali ber
Rahang Rafael sontak mengeras. Tubuh Chalista yang hanya tertutupi pakaian renang terlalu terbuka untuk pandangannya, dan yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa orang lain juga bisa melihatnya.Rafael dengan segera merogoh bungkus rokok yang ada di kantong celananya, memantik koreknya dan mengisapnya dengan kuat, matanya tak pernah beralih barang sedetikpun dari wanita itu.Hembusan asak rokok itu semakin intens saat melihat beberapa orang bahkan mengambil gambar dari foto tubuh seksi Chalista dengan seenak jidat.Rafael sungguh tak punya tenaga lagi untuk kesal, pertama Tara sekarang Chalista. Darahnya semakin mendidih saat melihat lekuk tubuh wanita itu yang menari nari diatas air seakan akan dia tak punya urusan sama sekali dengannya.“Sial!” umpat Rafael sembari mematikan rokoknya dan melemparnya asal. Rokok itu tidak membantunya sama sekali untuk merasa lebih tenang malahan sekarang sekujur tubuhnya rasanya semakin memanas.“Chalista…kau sungguh hebat. Bisa membuatku
Rafael menghela napas panjang ketika akhirnya kembali ke kamarnya setelah hari yang melelahkan. Namun, saat pandangannya mengarah ke bar hotel, ia terkejut melihat sosok Tara. Wanita itu berdiri dengan anggun di dekat meja bar, mengenakan gaun merah mencolok yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rafael tahu bahwa Tara mengenakan warna itu bukan tanpa alasan—merah adalah warna favoritnya, dan ia tahu bahwa Tara melakukan ini untuk memikatnya.Tanpa bisa menahan dirinya, pandangan Rafael tertuju pada Tara, yang sudah memperhatikannya dengan tatapan penuh makna. Rafael terdiam, pandangannya tak lepas dari sosok Tara. Ia terlihat menarik malam ini, penuh percaya diri dan sedikit menggoda. Sesaat, Rafael merasakan dorongan untuk mendekat, ingin sekali tenggelam dalam pesona Tara. Namun, bayangan Chalista muncul begitu saja di pikirannya. Chalista dengan sikapnya yang dingin dan acuh, namun selalu berhasil membuat hatinya bergejolak. Dorongan itu seakan memudar, berganti dengan kegel
“S-siapa....” Chalista menegang ketika melihat siluet seorang yang tertimpa cahaya bulan di pojok kamarnya. Suaranya gemetar tanpa bisa ditahan.Wanita berusia 23 tahun itu baru saja pulang dari Indonesia malam ini dan langsung masuk ke dalam kamarnya di lantai 3 untuk merebahkan diri. Ia tidak peduli dengan lampu kamar yang tidak mau menyala.Namun, apa yang ada di kamarnya itu? Hantu? Atau pencuri?Ting!Chalista semakin menegang ketika mendengar suara dentingan gelas, atau botol? Yang jelas, itu suara benda terbuat dari kaca. Napas berat seseorang pun terdengar samar-samar.Dengan gerakan cepat, Chalista hendak berlari keluar ruangan dan berteriak sekencang mungkin, tapi dirinya terlambat. Sosok itu, yang diketahui Chalista sebagai seorang pria, sudah menarik tangannya lebih dulu.“Tol—"Brak!“AKHH!!!”Pria itu menghimpit Chalista tepat di ambang pintu hingga pintu itu tertutup rapat kembali. Napas gadis itu menjadi tidak teratur dan jantungnya hampir copot.“Akhirnya kamu datang,
“Raf, kamu di dalem, kan? Udah siang, bangun!” mamanya kembali memanggil dari balik pintu. “Kamu harus fitting baju sama Monika hari ini, inget kan?”Rafael menoleh ke arah Chalista sejenak.“Kamu tunggu dulu, jangan ke mana-mana,” Rafael berucap sambil memakai bajunya yang berserakan di lantai. “Kita akan membahas ini lagi setelah aku mengurus Mama. Aku janji.”Saat Rafael berjalan menuju pintu, saat itulah Chalista melihat noda darah di kasur berseprai abu-abu milik Rafael. Itu… darah keperawanannya.‘Aku benar-benar sudah dinodai kakak angkatku sendiri… terlebih dia yang memaksaku.’ Chalista menutup mulutnya sambil terisak, khawatir sang mama mendengar suaranya dari luar.“KAMU MABUK LAGI, IYA KAN?!” suara bentakan khas Mayang, mama tirinya terdengar sampai ke dalam kamar. “Sudah berapa kali Mama bilang, berhenti melakukan kebiasaan buruk kamu itu!”Calista kembali menegang, takut tiba-tiba wanita paruh baya itu menerobos masuk ke dalam. Namun, mendengar suara tenang Rafael setelah
Dua hari berlalu.Hari ini adalah pernikahan Rafael, tapi pria itu tak mengatakan apa pun semenjak kejadian itu. Chalista juga selalu menghindar ketika Mayang menyuruhnya untuk kumpul dengan alasan jet lag.Setelah semua anggota keluarga siap, mereka pun berangkat ke hotel tempat acara berlangsung. Untungnya, Chalista tidak perlu semobil dengan Rafael. Jadi, ia tidak perlu pura-pura melupakan kejadian malam itu.Chalista tak tau bagaimana harus mendeskripsikan perasaannya hari ini. Semuanya terasa campur aduk, entah sedih, kecewa, atau bahagia.Prosesi pernikahan berjalan lancar. Rafael sekarang resmi menjadi suami Monika Wardana, putri cantik dari keluarga konglomerat itu. Setelah acara resepsi tersebut, kedua keluarga memutuskan untuk makan malam yang lebih private. Dan sekarang di sinilah Chalista, duduk dengan perasaan terpaksa di seberang Rafael dan Monika, yang tampak seperti raja dan ratu malam itu.‘Bagaimana bisa aku menggantikan Kak Monika yang elegan itu?’ lirih Chalista d
Setelah makan malam yang sangat menguras tenaga itu, Chalista langsung bergegas menuju ke kamar hotel yang telah di pesan untuknya. Dia bersumpah tidak akan ikut lagi jika ada acara keluarga seperti itu. Namun, saat Chalista hendak membuka pintu kamar hotelnya, sebuah suara berat dari pria membuatnya berhenti. “Chalista!”Gadis itu langsung berbalik badan saat suara berat yang agak serak itu memanggilnya. Ia melihat papa angkatnya datang dari arah berlawanan. Bukankah tadi dia di bawah?“Iya, Pa?” jawab Chalista sambil tersenyum, sebisa mungkin menyembunyikan kekhawatirannya.“Ikut saya,” titah Abimanyu tanpa menunggu jawaban Chalista.Pria paruh baya itu langsung berjalan mendahului Chalista, ke sebuah kamar hotel suite yang ada di lantai yang sama. Seorang sekretaris pria menunggu di belakang Chalista, seolah memperingatkannya untuk tidak kabur.Wanita itu meremas ujung kebaya yang dia pakai karena tegang. Ini akan menjadi kali pertamanya dia berbicara dengan papa angkatnya setel