Malam telah menyelimuti rumah itu dalam keheningan yang semu. Lampu-lampu di koridor menyala temaram, mengantar Egar menuju kamar Gana yang sudah mulai mengantuk sejak mereka pulang dari perjalanan ke taman tadi.Setelah memastikan putranya tertidur dengan nyaman, ia melangkah perlahan ke ruang tengah. Tapi pikirannya tak bisa diam.Sejak Dion menyebut bahwa ada seseorang yang membocorkan keberadaan mereka ke media, kegelisahan merayap pelan-pelan di benaknya. Terlebih ketika disebutkan bahwa beberapa wartawan mulai berani menghubungi langsung—dan yang lebih mengejutkan, mereka semua mengontak satu alamat email: email milik ibunya, Nyonya Bira.Egar menggertakkan rahangnya. Ada sesuatu yang mengganjal. Dan ia harus memastikan.Sesampainya di ruang tengah, ia mendap
Langit malam menggantung suram di atas kediaman Egar dan Ilona. Udara terasa berat, seolah menyerap semua ketegangan yang menggumpal di dalam rumah itu. Ketika Egar kembali ke ruang tamu setelah menidurkan Gana, pikirannya tak berhenti berputar. Ia sudah lama menahan curiga, menimbang-nimbang, dan akhirnya memilih untuk bertanya langsung pada orang yang ia anggap paling mungkin—ibunya sendiri, Nyonya Bira.Dan sekarang, ia menyesal… tapi bukan karena bertanya. Melainkan karena kebenaran yang ia temukan jauh lebih menyakitkan dari dugaannya.Tamparan ibunya masih terasa panas di pipinya. Namun, bukan itu yang membuat hatinya sakit. Yang menyakitkan adalah kenyataan bahwa sang ibu memilih menyembunyikan kebenaran… dan bahkan menyerang Ilona tanpa ampun.“Kau memang anak durhaka!” bentak
Pagi itu, langit tampak bersahabat. Mentari menyelinap masuk dari sela-sela tirai, memberikan kehangatan yang kontras dengan hati Egar yang mulai terasa berat. Ia berdiri di depan jendela kamar, memandangi halaman rumah yang tenang. Di belakangnya, Ilona masih duduk di sisi tempat tidur, menyisir rambutnya perlahan.Egar membalikkan badan. “Kamu gapapa aku tinggal sebentar hari ini?” tanyanya lembut.Ilona menoleh, menatap suaminya yang kini mulai gelisah sejak semua terbuka ke publik. Ia tahu, Egar bukan tipe pria yang bisa tinggal diam. Meskipun berasal dari keluarga berada, ia tetap memilih membangun usahanya dari nol, berdiri di atas kakinya sendiri, setelah hidup bersama Ilona.“Iya, aku gapapa kok, kamu tenang saja. Kita gak seharusnya jadi terkurung, kan?” jawab Ilona sambil tersenyum tipis.Egar mendekat, duduk di sampingnya dan menggenggam tangan Ilona. “Kalau ada wartawan datang ke rumah, jangan temui mereka, ya? Biarkan Dion dan Roy yang menghadapi mereka.”“Kamu perginya a
Hari itu, langit tampak kelabu. Awan menggantung berat seakan menyimpan beban yang tak kasat mata. Di ruang keluarga yang hangat dan tertata rapi, Ilona duduk bersandar di sofa. Cangkir teh di tangannya sudah mendingin sejak tadi, tak sempat ia hirup karena pikirannya terlalu sibuk menebak arah pembicaraan ibunya—Anita—yang baru saja datang membawa kabar yang belum sepenuhnya dijelaskan.Anita duduk di seberangnya. Perempuan paruh baya itu tampak lebih tenang hari ini. Meski garis wajahnya menunjukkan ketegasan, namun ada gurat kelelahan yang tak bisa disembunyikan.Ilona menarik napas dalam, lalu bertanya dengan suara pelan namun menembus tajam, “Apa yang mereka inginkan?”Anita menoleh, tersentak dari lamunannya. Ia tahu siapa yang dimaksud dengan "mereka" — keluarga besar Ilma, keluarga tempat ia berasal dan tempat yang selama ini Ilona bahkan tidak pernah tahu menjadi bagian dari dirinya.“Hanya ingin kenalan,” jawab Anita berusaha tenang, meskipun nada bicaranya terdengar menggan
Senja menyelimuti langit dengan semburat jingga yang menenangkan. Di ruang keluarga yang sederhana namun nyaman itu, Ilona duduk di sisi Anita dengan pikiran yang sedikit tidak tenang.Aroma melati dari teh memenuhi ruangan, namun tidak cukup kuat untuk mengalihkan perhatian Ilona dari berita yang baru saja disampaikan ibunya.“Ini adalah hal yang Mama tunggu. Tapi, sekaligus yang Mama takutkan,” ucap Anita lirih.Ilona mengernyit, memandang ibunya dengan penuh tanda tanya. Ada kekhawatiran yang tergurat jelas di wajah Anita, seperti seseorang yang ingin memberi kabar bahagia tapi takut akan badai yang bisa menyusul kemudian.“Adik-adikmu sudah datang. Hari ini… mereka sedang dalam perjalanan ke kota ini. Mereka datang lebih cepat dari yang Mama kira,” sambung Anita.Kalimat itu membuat hati Ilona bergetar. Ia memang telah tahu dirinya bukan anak tunggal dari Anita, ada dua orang lainnya yang lahir dari rahim yang sama. Hanya saja, mereka berbeda nasib. Kehidupan adik-adiknya berbandi
Dapur rumah itu sederhana, namun hangat oleh aroma bumbu dan suara air yang mengalir. Ilona berdiri di depan wastafel, tangannya cekatan membersihkan cumi yang tadi dibawa Egar dari gudang. Di sampingnya, Anita duduk di kursi kecil, mengamati anak perempuannya dengan mata yang tak lelah mengagumi. Sejak kedatangannya ke rumah ini, Anita merasa hatinya mulai disembuhkan—perlahan tapi pasti.“Sejak kapan Egar bisnis hasil laut?” tanya Anita, suaranya ringan namun menyimpan keingintahuan yang dalam.“Sejak sekitar tiga tahun lalu, Ma,” jawab Ilona sambil tetap memfokuskan perhatian pada potongan cumi di tangannya. “Waktu kami pindah ke kota ini, Egar memutuskan untuk membuka usaha sendiri.”Anita mengangguk pelan. “Sebelumnya Egar bekerja di perusahaan ibunya, ya?”“Iya, Ma. Dulu dia menjabat sebagai salah satu pemimpin di perusahaan keluarganya. Tapi itu sebelum kami menikah.”Ada sedikit jeda, sebelum Anita mengajukan pertanyaan berikutnya. “Kalian berdua memang sudah kenal sejak kamu
Rumah itu terasa sedikit lebih sepi dari biasanya, meskipun anak-anak Egar dan Ilona sedang bermain di ruang keluarga. Ketegangan menggantung di udara seperti kabut tipis yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Ilona berdiri di samping Egar, mencoba menenangkan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.Egar berdiri sambil menggendong Gana yang sedang mengunyah biskuit dengan tenang, sementara Yumi duduk di karpet, menggambar bunga dengan pensil warna. Tapi fokus mereka semua kini tertuju pada dua sosok yang baru saja tiba di depan pintu: Kezio dan Xello.Mereka tinggi, tampan, dan membawa aura kota besar dalam gaya berpakaian mereka. Tapi yang paling mencolok adalah ekspresi wajah keduanya. Datar, dingin, dan nyaris tanpa emosi. Jojo, sopir pribadi Anita yang menjemput mereka dari bandara, hanya tersenyum canggung sebelum segera pamit dan meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.Anita mengambil langkah pertama. Ia tahu ini akan sulit. Tapi ini adalah pilihan yang sudah ia amb
“Xello!” bentak Kezio dengan suara tinggi, membuat suasana di ruang keluarga sontak tegang. Nada suaranya bagaikan cambuk yang mencabik-cabik udara sore itu.Dia marah kepada adiknya yang begitu mudah menerima Ilona masuk ke dalam keluarga mereka. Dia tidak merasa memiliki ikatan dengan Ilona, seharusnya Xello juga merasakan hal yang sama, bukan malah menikmati tempat ini.Xello, yang tengah duduk santai sambil menikmati pemandangan halaman belakang dari balik kaca besar, hanya menoleh dan tersenyum ke arah sang kakak.“Come on, brother,” sahutnya dengan nada tenang yang kontras. “Untuk apa marah-marah? Mami terlihat lebih bahagia di sini. Dan juga... cepat atau lambat, semua akan saling meninggalkan. Buktinya kamu sendiri sudah keluar dari rumah dan tinggal di apartemen, bukan? So, di rumah juga hanya aku, Papi jarang ada di rumah.”Kalimat itu menghujam, bukan karena kasar, tapi karena menyentuh titik yang tak ingin Kezio akui. Ia terdiam, namun sorot matanya masih menusuk.Anita, y
Suasana hangat perlahan mengisi ruang tamu. Xello duduk di lantai, bersila, dikelilingi oleh Yumi dan Gana yang tak henti tertawa mendengarkan dongeng yang ia bacakan. Tangan Xello bergerak dramatis, suaranya naik turun menirukan suara naga, ratu jahat, dan pahlawan kecil.Anita duduk di sofa, matanya berbinar melihat kebahagiaan terpancar dari wajah anaknya. Dalam hati, ia bangga melihat Xello yang sangat menyayangi Yumi dan Gana, meskipun mereka baru bertemu.“Selama di kota ini, Mami tinggal di hotel,” jawab Anita tiba-tiba, memecah keheningan antara mereka berdua. Menjawab pertanyaan Xello tadi.Xello menoleh, memutar badan menatap ibunya. Matanya membulat. “Serius? Selama ini Mami gak pernah nginap di rumah Kak Ilona?”Anita mengangguk. &ldqu
Kezio baru saja pergi. Suara mobil yang membawanya masih terdengar samar dari halaman depan, meninggalkan keheningan yang cukup menusuk di dalam rumah Ilona.Anita berdiri mematung di depan pintu, menatap kosong ke arah jalan yang kini lengang. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha tidak menangis. Tak mau terlihat rapuh di depan anak bungsunya, Xello.“Sudahlah, Mi. Jangan pikirkan, dia sudah besar,” ujar Xello pelan, berdiri di samping ibunya. Suaranya tenang, tapi mengandung simpati yang dalam.Anita hanya mengangguk perlahan. Hatinya remuk melihat Kezio pergi dalam amarah, tapi juga hangat karena Xello tetap tinggal.“Terima kasih, Xello,” ucap Anita lirih, matanya menatap anak lelakinya dengan penuh rasa syukur. Tak pernah ia duga, Xello yang
“Mami mengkhianati Papi!”Kalimat itu seperti belati, menancap tajam ke dada Anita. Anaknya masih bersikeras.Wanita paruh baya itu hanya menggeleng pelan, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia menatap Kezio, anak sulungnya, dengan sorot lembut namun penuh luka.“Tidak, sama sekali tidak,” jawab Anita dengan suara serak, nyaris berbisik. “Tapi… bolehkah Mami bahagia sebentar saja… sebelum Mami meninggal, Nak?”Seisi ruangan seketika menjadi senyap. Keheningan merambat pelan seperti kabut, menyelimuti semua yang ada di sana. Kata-kata itu bukan hanya menyayat hati, tapi juga memukul kesadaran semua orang. Bahkan Xello yang biasanya cerewet, kali ini hanya mampu menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.Kezio terpaku. Nafasnya tertahan. Urat di lehernya masih menegang, tapi kata-kata Anita baru saja mengguncang dinding-dinding egonya. Dia seolah tersadar kalau ibu mereka memang menderita sakit sejak lama, dan kapanpun bisa meninggal.“Mi…” gumamnya lirih, namun ke
Ruangan makan sore itu terasa lebih dingin dari biasanya, bukan karena AC yang terlalu dingin, tapi karena emosi yang menegang di antara keluarga yang sedang bergolak.“Kenapa aku mesti diam? Aku bertanya, berikan aku jawaban,” suara Xello terdengar lantang, memecah keheningan yang membatu.Semua mata tertuju padanya. Xello berdiri, tubuhnya tegak, suaranya mantap meski sorot matanya mengandung kekecewaan.Kezio memalingkan wajah, rahangnya mengeras. Ia tidak suka ditantang—apalagi oleh adik sendiri. “Kau masih kecil. Kau tidak mengerti apa-apa,” jawabnya dingin, nadanya meremehkan.Xello tertawa kecil, sinis, lalu melangkah maju dan berdiri tepat di depan Kezio. Meskipun selisih usia mereka lima tahun, kini Xello sudah hampir menyamai tinggi tubuh sang kakak.“Aku sudah hampir delapan belas tahun,” katanya dengan tenang namun tegas. “Aku sudah besar. Dan aku cukup mengerti dengan semua kepentingan kalian. Please, Kezio, support Mami…”Anita yang duduk di ujung meja langsung berdiri.
“Xello!” bentak Kezio dengan suara tinggi, membuat suasana di ruang keluarga sontak tegang. Nada suaranya bagaikan cambuk yang mencabik-cabik udara sore itu.Dia marah kepada adiknya yang begitu mudah menerima Ilona masuk ke dalam keluarga mereka. Dia tidak merasa memiliki ikatan dengan Ilona, seharusnya Xello juga merasakan hal yang sama, bukan malah menikmati tempat ini.Xello, yang tengah duduk santai sambil menikmati pemandangan halaman belakang dari balik kaca besar, hanya menoleh dan tersenyum ke arah sang kakak.“Come on, brother,” sahutnya dengan nada tenang yang kontras. “Untuk apa marah-marah? Mami terlihat lebih bahagia di sini. Dan juga... cepat atau lambat, semua akan saling meninggalkan. Buktinya kamu sendiri sudah keluar dari rumah dan tinggal di apartemen, bukan? So, di rumah juga hanya aku, Papi jarang ada di rumah.”Kalimat itu menghujam, bukan karena kasar, tapi karena menyentuh titik yang tak ingin Kezio akui. Ia terdiam, namun sorot matanya masih menusuk.Anita, y
Rumah itu terasa sedikit lebih sepi dari biasanya, meskipun anak-anak Egar dan Ilona sedang bermain di ruang keluarga. Ketegangan menggantung di udara seperti kabut tipis yang tak terlihat namun bisa dirasakan. Ilona berdiri di samping Egar, mencoba menenangkan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.Egar berdiri sambil menggendong Gana yang sedang mengunyah biskuit dengan tenang, sementara Yumi duduk di karpet, menggambar bunga dengan pensil warna. Tapi fokus mereka semua kini tertuju pada dua sosok yang baru saja tiba di depan pintu: Kezio dan Xello.Mereka tinggi, tampan, dan membawa aura kota besar dalam gaya berpakaian mereka. Tapi yang paling mencolok adalah ekspresi wajah keduanya. Datar, dingin, dan nyaris tanpa emosi. Jojo, sopir pribadi Anita yang menjemput mereka dari bandara, hanya tersenyum canggung sebelum segera pamit dan meninggalkan mereka dalam keheningan yang mencekam.Anita mengambil langkah pertama. Ia tahu ini akan sulit. Tapi ini adalah pilihan yang sudah ia amb
Dapur rumah itu sederhana, namun hangat oleh aroma bumbu dan suara air yang mengalir. Ilona berdiri di depan wastafel, tangannya cekatan membersihkan cumi yang tadi dibawa Egar dari gudang. Di sampingnya, Anita duduk di kursi kecil, mengamati anak perempuannya dengan mata yang tak lelah mengagumi. Sejak kedatangannya ke rumah ini, Anita merasa hatinya mulai disembuhkan—perlahan tapi pasti.“Sejak kapan Egar bisnis hasil laut?” tanya Anita, suaranya ringan namun menyimpan keingintahuan yang dalam.“Sejak sekitar tiga tahun lalu, Ma,” jawab Ilona sambil tetap memfokuskan perhatian pada potongan cumi di tangannya. “Waktu kami pindah ke kota ini, Egar memutuskan untuk membuka usaha sendiri.”Anita mengangguk pelan. “Sebelumnya Egar bekerja di perusahaan ibunya, ya?”“Iya, Ma. Dulu dia menjabat sebagai salah satu pemimpin di perusahaan keluarganya. Tapi itu sebelum kami menikah.”Ada sedikit jeda, sebelum Anita mengajukan pertanyaan berikutnya. “Kalian berdua memang sudah kenal sejak kamu
Senja menyelimuti langit dengan semburat jingga yang menenangkan. Di ruang keluarga yang sederhana namun nyaman itu, Ilona duduk di sisi Anita dengan pikiran yang sedikit tidak tenang.Aroma melati dari teh memenuhi ruangan, namun tidak cukup kuat untuk mengalihkan perhatian Ilona dari berita yang baru saja disampaikan ibunya.“Ini adalah hal yang Mama tunggu. Tapi, sekaligus yang Mama takutkan,” ucap Anita lirih.Ilona mengernyit, memandang ibunya dengan penuh tanda tanya. Ada kekhawatiran yang tergurat jelas di wajah Anita, seperti seseorang yang ingin memberi kabar bahagia tapi takut akan badai yang bisa menyusul kemudian.“Adik-adikmu sudah datang. Hari ini… mereka sedang dalam perjalanan ke kota ini. Mereka datang lebih cepat dari yang Mama kira,” sambung Anita.Kalimat itu membuat hati Ilona bergetar. Ia memang telah tahu dirinya bukan anak tunggal dari Anita, ada dua orang lainnya yang lahir dari rahim yang sama. Hanya saja, mereka berbeda nasib. Kehidupan adik-adiknya berbandi
Hari itu, langit tampak kelabu. Awan menggantung berat seakan menyimpan beban yang tak kasat mata. Di ruang keluarga yang hangat dan tertata rapi, Ilona duduk bersandar di sofa. Cangkir teh di tangannya sudah mendingin sejak tadi, tak sempat ia hirup karena pikirannya terlalu sibuk menebak arah pembicaraan ibunya—Anita—yang baru saja datang membawa kabar yang belum sepenuhnya dijelaskan.Anita duduk di seberangnya. Perempuan paruh baya itu tampak lebih tenang hari ini. Meski garis wajahnya menunjukkan ketegasan, namun ada gurat kelelahan yang tak bisa disembunyikan.Ilona menarik napas dalam, lalu bertanya dengan suara pelan namun menembus tajam, “Apa yang mereka inginkan?”Anita menoleh, tersentak dari lamunannya. Ia tahu siapa yang dimaksud dengan "mereka" — keluarga besar Ilma, keluarga tempat ia berasal dan tempat yang selama ini Ilona bahkan tidak pernah tahu menjadi bagian dari dirinya.“Hanya ingin kenalan,” jawab Anita berusaha tenang, meskipun nada bicaranya terdengar menggan