Gavriel pulang lebih dulu setelah meminta pengawalnya membereskan markas, pria itu langsung menuju rumah sakit untuk melihat kondisi istri dan ketiga anaknya."Sudah selesai?" tanya Andreas saat melihat adik iparnya sudah kembali."Sudah, Kak. Aku sudah membereskan tiga orang penyusup itu."Andreas mangut-mangut. "Kau sudah sarapan?" tanyanya lagi."Belum. Tapi nanti aku akan makan di kantin setelah melihat Azriya dan anak-anak.""Baiklah. Oh, iya, kata Dokter kondisi Adolf sudah membaik. Alat-alatnya akan dilepas dan ia sudah boleh istirahat di rumah."Gavriel mengulas senyum lebar, matanya berbinar senang mendengar kondisi putra bungsunya. "Benar, Kak?""Yeah. Keadaan Adolf yang paling ringan dari semuanya, jadi ia juga paling cepat untuk sembuh. Kau bisa menemuinya di ruangannya sekarang, tadi aku meninggalkannya karena harus piket pagi.""Baik, Kak. Terima kasih banyak karena sudah mau menjaga anak-anakku."Andreas mengangguk, setelahnya ia beranjak pergi meninggalkan Gavriel yang
Gavriel meminta izin kepada Azriya untuk menemui Naresh di gedung apartemen, wanita itu langsung setuju apalagi saat suaminya mengatakan ia akan menyelesaikan urusan dengan Steve."Aku titip istri dan anakku padamu, Zhask. Jaga mereka selama aku pergi menyelesaikan urusan ini, segera laporkan kalau ada apa-apa," titahnya.Beberapa saat lalu ia menelepon Zhask untuk datang ke rumah sakit, beruntung pria itu sedang berada di restoran tidak jauh dari rumah sakit ini."Baik, Tuan.""Aku pergi dulu kalau begitu.""Iya, Tuan. Hati-hati dan selalu jaga keselamatan Anda," ucap Zhask yang langsung diangguki oleh Gavriel.Tanpa berlama-lama lagi, Gavriel langsung memacu mobilnya ke lokasi yang telah dikirimkan oleh Naresh. Dua puluh menit kemudian, mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran gedung apartemen megah di tengah kota.Seorang pengawal meyambutnya, ia memperkenalkan diri sebagai orang suruhan Naresh yang akan mengantarnya naik ke atas. Gavriel menurut, ia mengekor di belakang pengawal
Gavriel sudah membuka mata, orang pertama yang ia lihat adalah istrinya. Bibir pucat itu mengulas senyum saat melihat Azriya menunduk sehingga tidak melihatnya yang sudah membuka mata, dengan perlahan Gavriel menggerakkan tangannya mengelus lembut pipi sang istri."Eh!" Azriya tersentak saat merasakan sentuhan itu, tetapi sejurus kemudian ia menggenggam tangan Gavriel dan meletakkan kembali ke ranjang. "Jangan diangkat, nanti nyeri kalau darahnya naik," ucapnya.Gavriel masih mempertahankan senyumnya. "Kamu barusan ngapain?""Aku berdoa supaya kamu cepat sadar, saking fokusnya aku merem jadi nggak lihat kalau kamu sudah bangun. Maaf, ya.""Kamu nggak bersalah, Baby. Aku malah berterimakasih karena kamu sudah mendoakan."Azriya mengangguk. "Tapi aku tetap minta maaf karena tadi pagi lupa nggak ingetin sarapan, jadinya kamu seperti ini. Sekarang masih perih nggak perutnya? Ada mual?""Sudah nggak perih, kalau mual masih kerasa sedikit. Tapi nggak papa, ini juga salahku sendiri karena te
Setelah Adolf menjelaskan alasan sang Daddy menyembunyikan kondisi Aurell dan Austin, Azriya langsung merasa tertampar. Ia yang dari kemarin terus mengeluh dan merasa paling terluka, ia yang dari kemarin merasa paling merana karena kehilangan calon anaknya, nyatanya masih ada dua anaknya yang mengalami luka lebih parah, tetapi lebih tegar dan tidak seheboh dirinya dalam mengekspresikan rasa sakit."Mom, kami tidak apa-apa, kok. Jangan sedih lagi, ya," ucap Austin."Kalau Mom sedih, kami juga ikut sedih," timpal Aurell.Lihatlah! Lagi-lagi anak-anak itu menjadi penyemangat untuk Azriya di tengah keterpurukannya. Wanita itu mengulas senyum saat melihat wajah sayu Aurell dan Austin."Mom memang sedih, Sayang. Mom menjadi orang terkahir yang tahu keadaan kalian, seharusnya Mom orang pertama yang tahu dan Mom bisa menjaga kalian saat itu. Tapi nyatanya kecelakaan itu juga membawa luka bagi, Mom. Makanya Mom merasa sangat terpukul melihat kondisi kalian, Sayang.""Setiap luka pasti ada obatn
Usai berbicara dengan Adolf, Naresh langsung menggandeng Gavriel keluar ruangan. Di luar Naresh mengatakan kalau dirinya akan membawa Adolf sekarang, pasalnya di usia enam tahun saja anak laki-laki itu sudah menunjukkan tanda kesiapan."Kenapa tidak menunggu dulu? Enam bulan lagi dia genap tujuh tahun, Naresh.""Putramu sudah siap, Gav. Kenapa harus menunggu lagi?""Lalu bagaimana dengan sekolahnya?""Dia akan tetap sekolah seperti Aurell dan Austin, hanya saja dia berangkat dari mansion ku, bukan mansion mu. Karena dia akan tinggal bersamaku."Deg! Gavriel terdiam. Ia masih berat melepaskan putra bungsunya, tetapi sayang sekali kalau kemampuan Adolf tidak diasah di tangan yang tepat."Bagaimana aku mengatakannya kepada Azriya dan dua anakku yang lain?""Aku yang akan bilang kepada mereka, karena aku yang akan membawa Adolf," sahut Naresh.Gavriel tampak menimbang-nimbang beberapa saat, hingga akhirnya pria itu mengangguk dan mengantar Naresh kembali masuk ke dalam ruang rawat anaknya
Adolf sampai di Mansion Mahendra dan langsung diantar Clara menuju kamar yang sudah disiapkan. Anak laki-laki itu menata barang-barangnya sementara Clara kembali ke depan menemui sang suami.Tidak lama kemudian Adolf sudah selesai, ia lantas bergabung dengan pasangan itu di ruang tamu. Di sana juga ada si cantik Vessia, anak itu asyik bermain boneka dan setiap pergerakannya tidak luput dari pengawasan Adolf."Setelah makan siang Uncle akan membawamu ke ruang bawah tanah. Kamu bisa melihat-lihat dulu bagaimana para pengawal mengeksekusi tawanan, baru besok kamu bisa latihan bersama Uncle," ucap Naresh."Iya, Uncle.""Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk bilang kepada kami, ya, Nak. Anggap lah kami sebagai orang tua kamu di sini, dan jangan pernah merasa segan," timpal Clara yang langsung membuat Adolf menarik pandangannya dari Naresh.Adolf mengangguk dengan seutas senyum tipis di bibirnya. "Iya, Aunty. Terima kasih," jawabnya.Clara mengulas senyum, ia suka dengan sikap santun dan d
Gavriel bangkit dari duduknya, pria itu menendang kuat tubuh tawanan di bawahnya hingga tubuh gempal itu terbalik telentang. Kemudian tanpa rasa kasihan, Gavriel menginjak kuat tepat pada ulu hati pria itu."Aaargh!" Ronald memekik dengan kedua bola mata membelalak lebar saat merasakan ngilu yang tiada tara."Ini balasan karena kalian sudah menggagalkan kerja kerasku di perusahaan selama ini! Sekaligus bayaran karena kalian mengabdi kepada Mommy dan menjaga Matthew! Padahal siapa yang memberikan gaji kepada kalian setiap bulan, hah?! Aku! Aku yang menggaji kalian meskipun kalian menandatangani kontrak dengan Mommy!"Gavriel kembali mengarahkan kakinya pada ulu hati pria yang sudah tidak berdaya itu, ia menekan kuat sepatunya hingga Ronald memuntahkan darah kental dari mulutnya.Bukannya iba, Gavriel malah merogoh saku celana dan mengambil pistol glock miliknya yang terselip di sana. Tanpa aba-aba, ia mengarahkan moncong pistol tepat pada kening Ronald dan lantas menarik pelatuknya."A
"Kenapa dimatikan teleponnya, Kak?" tanya Vessia saat tiba-tiba Adolf memutuskan sambungan telepon secara sepihak."Tidak apa-apa, Ve. Sebentar lagi 'kan kita makan siang, Kak Aurell dan Kak Austin juga mau makan siang. Nanti lagi kalau senggang kita video call," sahut Adolf seraya memasukkan ponsel ke dalam saku celana.Vessia menganggukkan kepala. "Oh, begitu. Baiklah, Kak, kalau begitu ayo kita ke ruang makan." Gadis kecil itu langsung menggenggam jemari Adolf dengan tangan mungilnya."Yeah," jawab Adolf, singkat. Anak laki-laki itu langsung bangkit, ia dan Vessia berjalan beriringan menuju ruang makan dengan bergandengan tangan. Sampai di sana ternyata Naresh dan Clara sudah menunggu.Adolf membantu Vessia untuk duduk, Clara yang melihatnya hanya mampu mengulum senyum. Kalau biasanya Vessia akan manja kepadanya atau Naresh, sekarang gadis kecil itu bersikap manja kepada Adolf.•Usai makan siang, Naresh mengajak Adolf ke ruang bawah tanah. Keduanya disambut dengan suara cambuk ya
Azriya membawa tubuh Aurell masuk ke dalam pelukannya, wanita cantik itu mengusap lembut rambut hitam putri kecilnya. Pedih.Yeah! Aurell hanya gadis kecil yang sudah kehilangan orang tuanya dan sekarang harus kehilangan sang Grandma, ditambah ia baru tahu fakta ini."Kenapa Grandma menyiapkan ini semua untukku, Mom? Aku tidak mau. Apa itu semua bisa ditukar agar Grandma bisa kembali lagi?" tanyanya di sela-sela isak tangis."Grandma menyerahkan itu kepada kamu, karena Grandma percaya kamu bisa menjaganya, Nak. Jangan berpikir seperti itu, ya. Nanti Grandma sedih. Aurell tidak mau 'kan Grandma sedih di sana?" Gadis cantik itu menggelengkan kepala, meskipun hatinya masih perih dengan kejadian ini, tetapi ia harus kuat demi Grandma nya. Azriya menyugar pelukan, menghapus titik air mata yang masih mengalir deras dari pelupuk netra Aurell. Sementara Gavriel sudah memalingkan pandangan, tidak kuasa melihat pemandangan haru ini."Sekarang kamu buka kotak ini. Setelah ini kotak dan isinya
"Tuan, Nyonya," sapa Ghina seraya membungkukkan badan.Wanita paruh baya dengan setelah serba hitam itu mengulas senyum tipis, di tangannya memegangi goodie bag berwarna hitam yang entah berisi apa."Kamu ... datang sendirian?" tanya Azriya."Iya, Nyonya. Tadi saya naik taksi ke sini," sahut Ghina dengan kepala yang masih menunduk."Ayo masuk saja." Ajak Gavriel yang melangkah lebih dulu ke dalam Mansion.Pria itu mendudukkan dirinya di atas sofa diikuti oleh Azriya, sementara ketiga anak itu langsung menuju kamar masing-masing tanpa harus diperintah lagi."Silakan duduk Ghina, tidak usah sungkan. Kamu di sini adalah tamu," ucap Azriya yang lantas diangguki oleh Ghina.Wanita itu duduk dengan kikuk, goodie bag ia letakkan di atas sofa kemudian kedua tangannya ditumpuk di atas paha."Kedatangan saya malam ini karena mendengar kabar Nyonya Lauren meninggal, saya mengucapkan berduka cita yang sedalam-dalamnya." Ghina menjeda ucapannya barang sesaat. "Saya juga ingin mengembalikan barang
"Baby, kamu masih lama?" suara bariton itu sontak membuat Azriya tersentak."Gav, aku menemukan ini," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Gavriel barusan."Apa itu?" Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar, meraih sebuah buku kecil yang ditunjukkan istrinya."Apa ini, Baby?" Gavriel kembali melontarkan pertanyaan."Aku tidak tahu, sepertinya itu buku diary Mom. Yeah, meskipun awalnya aku tidak percaya Mom masih menulis di diary, tetapi setelah aku membaca lembar pertama, aku yakin kalau buku itu memang buku diary," jelas Azriya yang membuat Gavriel mengernyit bingung.Selama hidup ia tidak pernah tahu kalau Mommy-nya menyimpan buku ini, ia semakin terkejut saat melihat sekilas isi lembar buku itu yang kebanyakan berisi isi hati Mommy-nya untuk mendiang sang Kakak — Silvana."Aku menemukannya di tumpukan kain batik, Gav," ucap Azriya yang langsung diangguki oleh Gavriel."Baiklah, kita akan melihat nanti saja. Sekarang kita ke depan, pemuka agama sudah menunggu kainnya." Gavriel memasukka
Gavriel luruh ke lantai saat Azriya melipat kembali surat tersebut. Dadanya sakit, seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya.Gavriel adalah seorang pria, ia sudah membunuh banyak musuh dengan tangannya. Menghadapi segala rintangan dan tantangan dalam hidup. Pahit manis kehidupan dan tipu daya musuh sudah pernah ia rasakan.Namun, kenapa sekarang ia menangis? Kenapa menjadi lemah?Oh, sungguh! Mau sejahat apapun Mommy-nya, Gavriel tetap tidak sanggup kalau harus kehilangan. Lauren adalah seluruh cintanya, baginya posisi wanita paruh baya itu setara dengan posisi Azriya di hatinya."Sayang?" Azriya mengambil posisi jongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan sang suami. "Jangan seperti ini, Mom pasti sedih melihat kamu begini," ucapnya lagi."Memangnya apa yang lebih sedih dari ini? Mom sudah mendapatkan ingatannya tiga bulan lalu, tapi Mom berlagak tidak ingat dan tidak mau bicara denganku. Hanya momen saat di taman tadi yang menjadi kebersamaan manis kita, Baby. Bagaimana
Gavriel ingin tidak percaya, tetapi Dokter sendiri yang mengatakannya. Pria itu akhirnya menuju rumah sakit dengan memacu mobilnya secepat mungkin, hingga tidak seberapa lama kemudian mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran gedung rumah sakit.Ia turun dan lantas berlari memasuki rumah sakit dengan Azriya yang mengekor dari belakang, langkahnya menuju ke kamar rawat Lauren. Sampai di sana ia melihat kamar itu sudah penuh dikerubungi tim medis."Dokter!" pekiknya yang sontak membuat semua orang menoleh. "Kenapa bisa seperti ini? Saya tadi meninggalkan Mom, Mom masih baik-baik saja. Bahkan hari ini Mom mau keluar ke taman, bukankah itu suatu perkembangan bagus? Lalu kenapa sekarang bisa seperti ini?" tanyanya lagi."Pak, tolong dengarkan saya dulu." Dokter paruh baya itu menarik napas dalam, kemudian ia mulai berkata," saat suster mengantarkan makan siang untuk pasien, suster mendapati kalau pasien sedang tidur, Pak. Suster berusaha membangunkan, tetapi pasien sama sekali tidak meres
Hari-hari berlalu, setiap ada kesempatan selalu digunakkan Gavriel untuk mengunjungi Lauren. Pria itu mengajak sang Mommy berbincang, ia juga menceritakan banyak hal. Meskipun tidak ada jawaban dari wanita paruh baya itu, tetapi Gavriel tidak menyerah.Sampai akhirnya hari ini Lauren meminta ditemani berjemur di taman. Gavriel sangat bahagia, ia dengan semangat membantu Mommy-nya untuk turun dari ranjang dan naik kursi roda.Yeah! Terlalu banyak mendapatkan suntikan berefek pada kondisi Lauren yang semakin lemas, bahkan terkadang kakinya mati rasa. "Matahari pagi ini bagus banget, Mom. Udaranya juga segar," ucap Gavriel. "Mommy suka?" Pria itu kembali melontarkan pertanyaan.Lauren hanya mengangguk, bibirnya mengulas senyum memandang langit biru. Meskipun ia hanya menyebut nama Silvana dan Kartika, tetapi Lauren sama sekali tidak membenci Gavriel. Wanita paruh baya itu juga menurut saat beberapa kali Azriya menyuapinya.Ah, entahlah. Lauren tidak membenci, atau ingatannya belum puli
Gavriel memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan raya dengan perasaan was-was dan pandangan mata ke mana-mana seakan bingung."Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja," ucap Azriya seraya mengelus lembut lengan suaminya.Pria itu hanya mengangguk, ia tidak menyahut karena terlalu fokus dengan kemudinya. Sementara Austin yang duduk di kursi belakang hanya bisa diam karena takut salah bicara dan membuat Daddy-nya semakin pusing.Setelah menempuh perjalanan tidak terlalu lama, mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran rumah sakit. Gavriel turun dan berlari masuk untuk menemui Dokter, sementara Azriya menggandeng tangan Austin dan berjalan cepat menyusul Gavriel.Azriya mendapati suaminya tengah berbincang serius dengan Dokter, tubuh atletis itu tiba-tiba lemas dan terduduk luruh ke kursi. Azriya segera menghampiri, khawatir dengan wajah suaminya yang sudah memucat."Ada apa, Dok?" tanya Azriya."Ibu Lauren mengingat kenangan masa lalunya, Bu. Setiap hari beliau melihat a
Keesokan harinya.Aurell dan Austin sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter, hari ini Adolf juga tinggal di Mansion Erlando selama satu hari, tentunya bersama si cantik Vessia."Di sini menyenangkan, ya. Banyak makanan," celetuk Vessia yang langsung mendapat senggolan dari Clara."Kenapa, Mah?" Vessia menoleh menatap Mamanya, sejurus kemudian gadis kecil itu menunduk saat melihat Mamamya mendelikkan mata.Azriya yang melihat interaksi ibu dan anak itu hanya mampu mengulas senyum. "Tidak apa-apa, Cla. Namanya juga anak kecil, toh kami menyiapkan ini juga untuk anak-anak," ujar wanita itu."Aku malu, Riy. Anakku seperti tidak pernah makan saja, padahal dia juga setiap hari makan jajan saat di rumah," sahut Clara dengan berbisik, supaya Vessia tidak mendengar dan tidak malu.Azriya terkikik geli. "Sudah, biarkan saja. Lebih baik kita ngopi-ngopi cantik, yuk, di halaman belakang."Clara mengangguk antusias, tetapi sebelum beranjak ia menyempatkan diri mengecup lembut pipi gembul putrinya.
Hari-hari berganti minggu, tanpa terasa sudah menginjak bulan dan ini tepat enam bulan pasca kecelakaan nahas itu. Dokter mengatakan hari ini Aurell dan Austin akan menjalani operasi pelepasan pen, tentu saja kabar itu membawa kebahagiaan untuk semua orang.Saat ini semua orang sedang duduk di kursi tunggu yang terletak di depan ruang operasi, ada keluarga Erlando dan keluarga Mahendra di sana. Tiga puluh menit kemudian...Pintu ruang operasi terbuka, Dokter keluar bersama perawat dengan mendorong dua brankar yang masing-masing berisi Aurell dan Austin, mereka dibawa ke ruang pemulihan dan seluruh keluarga turut mengikuti ke sana.•"Bagaimana keadaan anak-anak saya, Dok? Semuanya normal 'kan?" tanya Gavriel, saat ini dirinya sedang berada di dalam ruang Dokter setelah beberapa saat lalu Dokter memanggilnya."Syukurlah operasinya berjalan lancar, juga membawa hasil baik, Pak. Setelah ini Aurell dan Austin cukup menjalani latihan di rumah, dan datang ke rumah sakit untuk kontrol dua b