"Boleh aku masuk?" tanya pria tampan dengan tubuh atletis dan postur tinggi menjulang tersebut.Azriya masih termenung memandang mata biru yang membuatnya terpaku, sorot teduh yang langsung membuat jantungnya berhenti berdetak. Azriya bahkan dapat merasakan detak nadinya terus berdenyut sampai ke ubun-ubun."Hey! Kamu ... baik-baik saja 'kan?" Pria dengan hidung mancung itu kembali membuka suara saat Azriya tidak juga bergeming."Ah, i-iya. Kamu mau cari Kak Andreas?"Pria tampan dengan balutan kemeja formal itu mengulas senyum manis. Sungguh! Saat ini Azriya hampir menangis kala melihat lagi senyum itu. Senyum yang beberapa tahun lalu mampu membuatnya bangkit dari keterpurukan lantaran ditinggal kedua orang tuanya, hingga menjadikannya bangkit sampai di titik ini."Iya, aku ke sini mau ketemu Andreas. Tapi dia baru saja kirim pesan kalau masih ada operasi," ucapnya."Oh, gitu ...."Hening! Keduanya sama-sama diam di depan pintu. Pandangan laki-laki itu sama sekali tidak terlepas dari
Setelah kepulangan Xavier, Andreas lantas mengetuk kamar adiknya. Ia yakin pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan kedatangan Azriya ke penthousenya kali ini.Tok! Tok! Tok!Ceklek!"Kak ...."Andreas mengulas senyum melihat wajah sembab sang adik, "Kakak boleh masuk?" tanyanya.Azriya mengangguk, ia lantas menggeser tubuh guna memberikan jalan untuk Kakaknya lewat. Pria tampan itu belum mengganti baju, ia benar-benar khawatir dengan keadaan Azriya.Setelah mendudukkan diri di ranjang, Andreas juga meminta sang adik yang masih berdiri di ambang pintu untuk mendekat."Duduklah, kamu nggak capek berdiri terus?" tanyanya yang hanya ditimpali gelengan kepala oleh Azriya."Mau makan sesuatu? Mumpung masih jam segini, masih banyak cafe buka.""Aku nggak lapar, Kak.""Memangnya kamu tadi makan apa? Jangan-jangan kamu hanya ngemil?"Azriya menggeleng, "aku sudah jarang ngemil, Kak," sahutnya.Andreas membawa sebelah tangan Azriya ke dalam genggamannya. Beberapa kali Dokter tampan itu menghe
"Pe-Pergi?" gumamnya dengan suara yang sangat lirih.Gavriel mendudukkan dirinya di sofa. Semua kekuatan yang ia pertahanan sejak tadi, tiba-tiba luruh bersama kabar yang sangat menohok jantungnya. Sesekali pandangannya menatap kepada Andreas, laki-laki dengan setelan formal itu tampak diam tanpa ekspresi berarti."Aku mau ke rumah sakit, Gav. Kalau masih mau di sini, aku tidak akan melarang mu.""Azriya pergi ke mana, Kak?" tanyanya dengan tatapan nanar."Ke suatu tempat yang jauh. Aku tidak akan memberitahukan kepadamu, tapi kalau kau ingin mencarinya ... silakan saja." Andreas meraih tas dan juga kunci mobil, pria itu sudah siap berangkat ke rumah sakit."Tolong, Kak. Anak-anakku mencari Azriya," ucap Gavriel dengan memohon.Dalam hidupnya, baru kali ini Gavriel memohon kepada seseorang. Semua kekuasaan dan kekuatan yang ia miliki rasanya tidak ada apa-apanya."Maaf, Gav. Aku harus segera pergi ke rumah sakit. Ada pasien yang sudah menungguku di sana, dan ini lebih penting." Andrea
Azriya sedang tersenyum menatap layar ponselnya, wanita cantik itu bahkan sesekali mengusap cairan bening yang luruh tanpa permisi. Entah tangis bahagia, atau kesedihan."Maafin Aunty, ya, Nak," gumamnya seraya mengusap layar ponsel yang menampilkan foto Austin dan Adolf.Sudah dua minggu ia menghabiskan hari-harinya di negara orang. Bohong kalau tidak ada rasa rindu, bahkan hatinya tidak jauh lebih baik dibandingkan saat berada di Mansion Erlando."Aku kira, aku akan baik-baik saja setelah pergi dari sana. Aku kira, hidupku akan lebih bahagia dari sebelumnya. Tapi ternyata aku semakin merindukan Austin dan Adolf. Meraka baik-baik saja nggak, ya? Gimana dengan Mommy? Apakah beliau semakin merasa bebas karena nggak ada aku?" gumamnya.Azriya mematikan ponselnya lantaran Dosen sudah masuk ke kelas. Wanita cantik itu langsung membuka laptop dan berusaha mengalihkan fokusnya.•"Mau langsung pulang?" tanya suara bariton saat Azriya baru saja keluar dari kelas.Wanita cantik itu menoleh da
Langit sudah mulai gelap dan Gavriel baru saja tiba di Bandara, tidak seberapa lama kemudian bodyguardnya datang untuk menjemput. Mobil mewah itu membawanya melesat menuju sebuah gedung apartemen."Ini gedung apartemennya?" tanyanya pada para bodyguard tersebut."Benar, Tuan. Di gedung ini Nona Azriya tinggal."Gavriel mengangguk. Kemudian ia meminta kepada salah satu bodyguard untuk membeli bunga dan juga makanan, lantas meminta mereka menaruh itu semua di depan pintu unit milik Azriya.Dari layar ponselnya, Gavriel dapat melihat Azriya yang kebingungan dengan barang-barang kirimannya saat baru saja membuka pintu. Raut wajah itu begitu menggemaskan baginya.Ah, andai saja Gavriel bisa memberikannya langsung. Namun, lagi-lagi dirinya harus bisa bersabar."Semoga kamu suka dengan makanannya, Riya," gumamnya dan lantas mematikan layar ponsel.***Di sisi lain, Azriya lantas membawa barang-barang itu masuk. Niatnya tadi ingin keluar, tetapi saat di depan pintu malah menemukan paper bag b
Tidak terasa sudah dua bulan Azriya berada di negara ini. Selama itu juga ia tidak mengetahui kalau Gavriel mengawasinya, bahkan wanita cantik itu setiap hari memakan makanan yang dikirimkan oleh Gavriel. Namun, Azriya tetap tidak mencurigai siapapun.Hingga akhirnya pagi ini ia mendapatkan fakta yang mencengangkan. Paper bag dan buket bunga itu tidak datang sendirian, melainkan bernama Gavriel. Yeah! Setelah berpikir panjang, ternyata pria tampan itu tidak dapat menahan lagi perasaannya. Ia tidak sanggup jika hanya mengawasi Azriya dari jauh. Maka hari ini dengan semua keberaniannya, ia datang ke hadapan Azriya.•"Sampai kapan kau akan mencampakkan suamimu seperti ini, Riya? Kau bukannya menyambut ku, malah terus saja menghindar."Yeah! Sejak jam enam pagi tadi Gavriel sudah berada di dalam apartemen milik Azriya. Pria tampan dengan setelan kasual itu duduk di sofa ruang tamu, sementara Azriya berdiri menatap nyalang ke arahnya dari mini bar."Kamu tidak capek berdiri saja di situ
Setelah perdebatan panjang dan juga memikirkan semua kemungkinannya, Azriya merasakan sakit hatinya sudah tidak separah dulu lagi. Hatinya sudah lumayan sembuh, juga perasannya yang berangsur membaik.Maka hari ini ia memutuskan kembali ke negaranya. Selain merindukan kedua anak sambungnya, ia juga merindukan sang Kakak. Apalagi di tambah saat Gavriel mengatakan sudah menyelidiki kasus kematian Kartika selama dua bulan ini, ia merasa pria itu sudah kapok dan berubah."Sudah siap?""Iya. Aku sudah nggak sabar ketemu Austin dan Adolf. Huh ... memang terkadang kabur dari masalah itu ada benarnya juga," ucap Azriya, terkikik geli.Gavriel turut tersenyum mendengarnya, "asalkan bisa bikin kamu tenang, aku nggak masalah. Tapi setelah ini tolong jangan pergi-pergi lagi, aku nggak bisa tanpa kamu. Kita akan menghadapi masalah ini sama-sama, Riya," ucapnya."Iya. Aku nggak akan pergi lagi asalkan kamu nggak mengulangi kesalahan dulu. Aku harap kamu peka, dan kita bisa belajar banyak hal dari k
Azriya menggeliat saat merasakan sebuah tangan besar melingkar di perutnya. Wanita cantik itu dengan perlahan mengerjapkan kelopak mata, sehingga ia langsung mendapati Gavriel memeluk tubuhnya dari belakang."Dia tidur setelah mandi tadi?" gumamnya.Wanita cantik itu melarikan pandangannya pada jam yang bertengger di dinding, ternyata masih ada lima belas menit lagi untuk makan malam. Azriya mulai menggoyang-goyangkan tubuh atletis itu, sehingga membuat sang empunya terusik."Kenapa?" tanyanya dengan suara serak seraya semakin mengeratkan pelukannya.Sedangkan Azriya sontak membelalakkan mata, berada di posisi se-intim ini tentu saja membuatnya sesak napas."Ih, Gav! Sebentar lagi jam makan malam, loh.""Aku bisa meminta maid mengantarkan makan malam kita ke kamar. Bagaimana? Kau tertarik?"Azriya semakin membolakan manik indahnya, "tidak! Aku sama sekali tidak tertarik! Ih ... minggir, Gav!" Wanita cantik itu terus mendorong lengan Gavriel, tetapi tenaga suaminya itu jelas saja lebih
Azriya membawa tubuh Aurell masuk ke dalam pelukannya, wanita cantik itu mengusap lembut rambut hitam putri kecilnya. Pedih.Yeah! Aurell hanya gadis kecil yang sudah kehilangan orang tuanya dan sekarang harus kehilangan sang Grandma, ditambah ia baru tahu fakta ini."Kenapa Grandma menyiapkan ini semua untukku, Mom? Aku tidak mau. Apa itu semua bisa ditukar agar Grandma bisa kembali lagi?" tanyanya di sela-sela isak tangis."Grandma menyerahkan itu kepada kamu, karena Grandma percaya kamu bisa menjaganya, Nak. Jangan berpikir seperti itu, ya. Nanti Grandma sedih. Aurell tidak mau 'kan Grandma sedih di sana?" Gadis cantik itu menggelengkan kepala, meskipun hatinya masih perih dengan kejadian ini, tetapi ia harus kuat demi Grandma nya. Azriya menyugar pelukan, menghapus titik air mata yang masih mengalir deras dari pelupuk netra Aurell. Sementara Gavriel sudah memalingkan pandangan, tidak kuasa melihat pemandangan haru ini."Sekarang kamu buka kotak ini. Setelah ini kotak dan isinya
"Tuan, Nyonya," sapa Ghina seraya membungkukkan badan.Wanita paruh baya dengan setelah serba hitam itu mengulas senyum tipis, di tangannya memegangi goodie bag berwarna hitam yang entah berisi apa."Kamu ... datang sendirian?" tanya Azriya."Iya, Nyonya. Tadi saya naik taksi ke sini," sahut Ghina dengan kepala yang masih menunduk."Ayo masuk saja." Ajak Gavriel yang melangkah lebih dulu ke dalam Mansion.Pria itu mendudukkan dirinya di atas sofa diikuti oleh Azriya, sementara ketiga anak itu langsung menuju kamar masing-masing tanpa harus diperintah lagi."Silakan duduk Ghina, tidak usah sungkan. Kamu di sini adalah tamu," ucap Azriya yang lantas diangguki oleh Ghina.Wanita itu duduk dengan kikuk, goodie bag ia letakkan di atas sofa kemudian kedua tangannya ditumpuk di atas paha."Kedatangan saya malam ini karena mendengar kabar Nyonya Lauren meninggal, saya mengucapkan berduka cita yang sedalam-dalamnya." Ghina menjeda ucapannya barang sesaat. "Saya juga ingin mengembalikan barang
"Baby, kamu masih lama?" suara bariton itu sontak membuat Azriya tersentak."Gav, aku menemukan ini," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Gavriel barusan."Apa itu?" Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar, meraih sebuah buku kecil yang ditunjukkan istrinya."Apa ini, Baby?" Gavriel kembali melontarkan pertanyaan."Aku tidak tahu, sepertinya itu buku diary Mom. Yeah, meskipun awalnya aku tidak percaya Mom masih menulis di diary, tetapi setelah aku membaca lembar pertama, aku yakin kalau buku itu memang buku diary," jelas Azriya yang membuat Gavriel mengernyit bingung.Selama hidup ia tidak pernah tahu kalau Mommy-nya menyimpan buku ini, ia semakin terkejut saat melihat sekilas isi lembar buku itu yang kebanyakan berisi isi hati Mommy-nya untuk mendiang sang Kakak — Silvana."Aku menemukannya di tumpukan kain batik, Gav," ucap Azriya yang langsung diangguki oleh Gavriel."Baiklah, kita akan melihat nanti saja. Sekarang kita ke depan, pemuka agama sudah menunggu kainnya." Gavriel memasukka
Gavriel luruh ke lantai saat Azriya melipat kembali surat tersebut. Dadanya sakit, seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya.Gavriel adalah seorang pria, ia sudah membunuh banyak musuh dengan tangannya. Menghadapi segala rintangan dan tantangan dalam hidup. Pahit manis kehidupan dan tipu daya musuh sudah pernah ia rasakan.Namun, kenapa sekarang ia menangis? Kenapa menjadi lemah?Oh, sungguh! Mau sejahat apapun Mommy-nya, Gavriel tetap tidak sanggup kalau harus kehilangan. Lauren adalah seluruh cintanya, baginya posisi wanita paruh baya itu setara dengan posisi Azriya di hatinya."Sayang?" Azriya mengambil posisi jongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan sang suami. "Jangan seperti ini, Mom pasti sedih melihat kamu begini," ucapnya lagi."Memangnya apa yang lebih sedih dari ini? Mom sudah mendapatkan ingatannya tiga bulan lalu, tapi Mom berlagak tidak ingat dan tidak mau bicara denganku. Hanya momen saat di taman tadi yang menjadi kebersamaan manis kita, Baby. Bagaimana
Gavriel ingin tidak percaya, tetapi Dokter sendiri yang mengatakannya. Pria itu akhirnya menuju rumah sakit dengan memacu mobilnya secepat mungkin, hingga tidak seberapa lama kemudian mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran gedung rumah sakit.Ia turun dan lantas berlari memasuki rumah sakit dengan Azriya yang mengekor dari belakang, langkahnya menuju ke kamar rawat Lauren. Sampai di sana ia melihat kamar itu sudah penuh dikerubungi tim medis."Dokter!" pekiknya yang sontak membuat semua orang menoleh. "Kenapa bisa seperti ini? Saya tadi meninggalkan Mom, Mom masih baik-baik saja. Bahkan hari ini Mom mau keluar ke taman, bukankah itu suatu perkembangan bagus? Lalu kenapa sekarang bisa seperti ini?" tanyanya lagi."Pak, tolong dengarkan saya dulu." Dokter paruh baya itu menarik napas dalam, kemudian ia mulai berkata," saat suster mengantarkan makan siang untuk pasien, suster mendapati kalau pasien sedang tidur, Pak. Suster berusaha membangunkan, tetapi pasien sama sekali tidak meres
Hari-hari berlalu, setiap ada kesempatan selalu digunakkan Gavriel untuk mengunjungi Lauren. Pria itu mengajak sang Mommy berbincang, ia juga menceritakan banyak hal. Meskipun tidak ada jawaban dari wanita paruh baya itu, tetapi Gavriel tidak menyerah.Sampai akhirnya hari ini Lauren meminta ditemani berjemur di taman. Gavriel sangat bahagia, ia dengan semangat membantu Mommy-nya untuk turun dari ranjang dan naik kursi roda.Yeah! Terlalu banyak mendapatkan suntikan berefek pada kondisi Lauren yang semakin lemas, bahkan terkadang kakinya mati rasa. "Matahari pagi ini bagus banget, Mom. Udaranya juga segar," ucap Gavriel. "Mommy suka?" Pria itu kembali melontarkan pertanyaan.Lauren hanya mengangguk, bibirnya mengulas senyum memandang langit biru. Meskipun ia hanya menyebut nama Silvana dan Kartika, tetapi Lauren sama sekali tidak membenci Gavriel. Wanita paruh baya itu juga menurut saat beberapa kali Azriya menyuapinya.Ah, entahlah. Lauren tidak membenci, atau ingatannya belum puli
Gavriel memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalan raya dengan perasaan was-was dan pandangan mata ke mana-mana seakan bingung."Tenang, Sayang. Semua akan baik-baik saja," ucap Azriya seraya mengelus lembut lengan suaminya.Pria itu hanya mengangguk, ia tidak menyahut karena terlalu fokus dengan kemudinya. Sementara Austin yang duduk di kursi belakang hanya bisa diam karena takut salah bicara dan membuat Daddy-nya semakin pusing.Setelah menempuh perjalanan tidak terlalu lama, mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran rumah sakit. Gavriel turun dan berlari masuk untuk menemui Dokter, sementara Azriya menggandeng tangan Austin dan berjalan cepat menyusul Gavriel.Azriya mendapati suaminya tengah berbincang serius dengan Dokter, tubuh atletis itu tiba-tiba lemas dan terduduk luruh ke kursi. Azriya segera menghampiri, khawatir dengan wajah suaminya yang sudah memucat."Ada apa, Dok?" tanya Azriya."Ibu Lauren mengingat kenangan masa lalunya, Bu. Setiap hari beliau melihat a
Keesokan harinya.Aurell dan Austin sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter, hari ini Adolf juga tinggal di Mansion Erlando selama satu hari, tentunya bersama si cantik Vessia."Di sini menyenangkan, ya. Banyak makanan," celetuk Vessia yang langsung mendapat senggolan dari Clara."Kenapa, Mah?" Vessia menoleh menatap Mamanya, sejurus kemudian gadis kecil itu menunduk saat melihat Mamamya mendelikkan mata.Azriya yang melihat interaksi ibu dan anak itu hanya mampu mengulas senyum. "Tidak apa-apa, Cla. Namanya juga anak kecil, toh kami menyiapkan ini juga untuk anak-anak," ujar wanita itu."Aku malu, Riy. Anakku seperti tidak pernah makan saja, padahal dia juga setiap hari makan jajan saat di rumah," sahut Clara dengan berbisik, supaya Vessia tidak mendengar dan tidak malu.Azriya terkikik geli. "Sudah, biarkan saja. Lebih baik kita ngopi-ngopi cantik, yuk, di halaman belakang."Clara mengangguk antusias, tetapi sebelum beranjak ia menyempatkan diri mengecup lembut pipi gembul putrinya.
Hari-hari berganti minggu, tanpa terasa sudah menginjak bulan dan ini tepat enam bulan pasca kecelakaan nahas itu. Dokter mengatakan hari ini Aurell dan Austin akan menjalani operasi pelepasan pen, tentu saja kabar itu membawa kebahagiaan untuk semua orang.Saat ini semua orang sedang duduk di kursi tunggu yang terletak di depan ruang operasi, ada keluarga Erlando dan keluarga Mahendra di sana. Tiga puluh menit kemudian...Pintu ruang operasi terbuka, Dokter keluar bersama perawat dengan mendorong dua brankar yang masing-masing berisi Aurell dan Austin, mereka dibawa ke ruang pemulihan dan seluruh keluarga turut mengikuti ke sana.•"Bagaimana keadaan anak-anak saya, Dok? Semuanya normal 'kan?" tanya Gavriel, saat ini dirinya sedang berada di dalam ruang Dokter setelah beberapa saat lalu Dokter memanggilnya."Syukurlah operasinya berjalan lancar, juga membawa hasil baik, Pak. Setelah ini Aurell dan Austin cukup menjalani latihan di rumah, dan datang ke rumah sakit untuk kontrol dua b