"Kau gila!" puji Yoshiro sambil menepuk lengan Ken yang berdiri tegap di hadapannya. Decak kagum bersama rasa tidak percaya membuat pria itu menggeleng lebih dari tiga kali.Yamazaki Kenzo yang dikenalnya adalah sosok yang ambisius dan tidak mudah menyerah, tapi demi Aira dia bisa merelakan segalanya. Termasuk melepas kepemilikan perusahaan yang sudah menjadi bagian hidupnya bertahun-tahun ke belakang."Sungguh jalan keluar yang konyol. Kau sengaja menyerahkan 5% saham agar orang-orang itu terpecah fokusnya. Tidak ada satu pun yang tertarik melakukan transfer saham ataupun membelinya."Ken mengangguk, membenarkan ucapan Yoshiro. Tokoh utama yang sekarang menjadi perbincangan semua orang yang mengikuti rapat terbatas bersama jajaran investor dan perwakilan para tetua."Kau tahu, Ken. Aku sudah menghitung satu sampai seratus, tidak ada satu pun pergerakan yang menunjukkan seseorang tertarik mengambil alih saham yang kau serahkan. Itu gila. Mereka terlalu terkejut dengan keputusanmu.""A
Aira terus menatap layar ponselnya, menunggu panggilan dari Ken. Dia sudah mendengar laporan dari Kosuke satu jam yang lalu. Ken merelakan jabatannya, digantikan oleh salah satu anak angkat kakek Subaru, Yoshiro Nishikawa.Dia penasaran, tapi Ken belum juga membalas pesannya. Pun sama dengan Kakek Subaru dan Sayaka, mereka tak tampak batang hidungnya. Entah pergi ke mana. Hanya beberapa pengawal dan pelayan yang tampak di rumah tradisional itu."Nona, ada tamu untuk Anda." Seorang wanita dengan yukata warna biru tua menghadap Aira yang masih setiap menatap senja di beranda belakang. Semburat merah yang terlihat di angkasa menjadi sedikit hiburan untuknya."Siapa?""Nona Yu dan Dokter Kaori."Aira terkesiap, segera meletakkan ponselnya di atas meja begitu saja dan melangkah ke ruang tamu yang ada di bagian sayap kiri bangunan rumah itu untuk menemui tamu spesial dari jauh. Detak jantungnya seolah saling beradu dengan napas yang menderu. Dia sama sekali tidak tahu, di detik yang sama Ke
"Kalian sungguh tega meninggalkanku sendiri?" Aira menahan tangan Yu, menatap wajah sahabatnya dan dokter Kaori bergantian."Kamu tidak sendirian, Ai-chan. Lagipula, bukankah Ken akan segera kembali? Urusannya di Fukuoka seharusnya sudah selesai. Dia tidak akan membiarkan istri dan anaknya terlalu lama menunggu. Dan lagi, aku tidak ingin menjadi perusak momen romansa kalian berdua."Telunjuk dan jari tengah Yu menjepit hidung minimalis Aira, membuatnya menggeleng seketika. Kaori tersenyum, merasakan kehangatan dua wanita yang jauh lebih muda darinya. Saking sibuknya dengan pekerjaan masing-masing, dia dan sahabatnya tidak pernah bertemu beberapa tahun terakhir."Ai-chan, jangan terlalu lama berada di luar. Pastikan tubuhmu selalu hangat, ya!""Baik, Dokter. Aku akan segera masuk setelah mengantar kalian. Terima kasih karena sudah membawa Yu ke sini."Kaori mengangguk, memeluk Aira sebelum menyuguhkan senyum tulus di bibirnya. Yamada Yu juga melakukan hal yang sama. Bedanya, gadis itu
WARNING! ADULT CONTENT!Ken mengelus pipi Aira, membuat seluruh panas tubuhnya seolah tersalurkan pada wanita yang tengah menggigit bibirnya. Detak jantung di dalam sana terus memompa darah, bahkan lebih cepat dari biasanya. Hormon adrenalin seketika memacu sepasang suami istri itu untuk lebih berani dibandingkan sebelumnya.Cukup lama keduanya saling tatap, menyelami perasaan asing yang berkecamuk mengacaukan logika dan kenangan buruk yang pernah membingkai masa lalu mereka. Setelah berbagai drama, sekarang keduanya menemukan alasan untuk bersatu kembali. Seluruh kesalahpahaman maupun ego masing-masing teredam."You want me?" tanya Ken dengan suara serak menahan gairah. Isi kepalanya penuh oleh berbagai adegan dewasa antara pria dan wanita yang pernah dilihat baik secara sengaja atau pun tidak. Juga bayang-bayang malam panasnya dengan Aira saat masih menyamar sebagai Hiro, pria liar yang tak lain adalah Ken tanpa topeng di separuh wajahnya.Aira mengerjap, mengangguk malu-malu. Tanpa
"Erina, berhentilah memperalukan dirimu sendiri," ucap seorang wanita yang merupakan ibu kandung Erina. Dia tak tahan lagi melihat kesedihan anak gadisnya sejak kemarin siang, tapi juga muak dengan pemberitaan yang menyebutkan Yoshiro sebagai pemimpin Yamazaki, Inc. yang menggantikan Ken."Sampai kapan kamu akan menangisi pria yang sudah beristri? Bahkan, dia tidak pernah sekalipun memikirkan kamu. Jangan menangis lagi!" teriaknya dengan nada frustrasi.Erina mengangkat wajahnya, menunjukkan mata sebab dan memerah karena terus menangis sejak semalam. Berkali-kali dia menghubungi Ken, tapi tidak sekalipun mendapat jawaban. Dunianya seolah berhenti berputar, tidak mengingat orang lain yang juga kecewa dan terluka."Bukankah sejak awal Ibu tidak mengizinkanmu kembali? Kamu dengan percaya diri mengatakan Ken pasti akan menerimamu. Omong kosong, bulshit! Kenyataannya, kamu disia-siakan. Dan lagi, orang-orang bahkan tidak memilihmu untuk memimpin perusaahaan busuk itu.""Sia-sia saja semua
"Hoek!"Untuk ke sekian kali Aira kembali muntah. Belum habis hidangan di piringnya, tapi dia sudah berlari ke beranda dan mengeluarkan cairan kekuningan yang terasa pahit luar biasa. Ken segera menyusul dan berjongkok di sampingnya."Dia kenapa?" gumam Sayaka sambil menatap punggung Ken dan Aira yang membelakangi ruang makan."Apa lagi? Bukankah kau juga wanita?"Sayaka tampak berpikir sepersekian detik sebelum menyadari menantunya sedang hamil muda. Morning sickness mulai muncul saat usia kandungan memasuki bulan ketiga.Ken tampak sigap memijat tengkuk Aira, juga memegang lengannya. Tak hanya itu, dia juga menggendong wanita itu kembali ke kamar mereka. Sayaka yang menyelesaikan makan paginya lebih awal, memilih menyusul keduanya.Wajah Aira terlihat pucat, matanya terpejam rapat. Ken membenahi posisinya, membuat wanita itu nyaman di atas pembaringannya."Siapkan minuman hangat untuk istrimu," pinta Sayaka sambil memegang pundak Ken.Meskipun awalnya tidak rela meninggalkan Aira ya
Ken kembali ke kamar dan tidak mendapati Aira di atas ranjangnya. Dia berdiri di depan jendela, menikmati semilir angin yang membelai pipinya. Sayaka tak ada di sana lagi, segera pergi setelah memberikan petuah pada menantunya."Ai-chan," panggil Ken lirih, sarat akan keraguan. Perasaan canggung menyelimutinya, bersama rasa bersalah karena sudah membuat wanitanya marah.Aira melirik, tapi tak menjawab panggilan sang suami. Sebaliknya, embusan napas berat keluar dari mulutnya. Berbagai hal memenuhi kepala, tak lain dan tak bukan kecuali memikirkan ucapan Sayaka. Ken banyak berkorban demi hubungan mereka. Lantas, apa yang bisa Aira lakukan untuk membalasnya?"Minumlah. Ini bisa meredam rasa mualmu," lirih Ken sambil menyodorkan cangkir yang berisi air berwarna kuning kecokelatan. Asap tipis menguar di atasnya, juga aroma jahe yang menyegarkan.Aira menerimanya, berjalan ke arah balkon kamar dan duduk di sofa bed yang ada di sana. Meskipun semua dekorasi mengambil konsep tradisional dan
"Jangan dekat-dekat. Aku benci aroma tubuhmu!" Aira mundur saat Ken bersiap menyuapinya sup ayam jahe. Dia sengaja memanggil koki khusus yang bertugas menyiapkan makanan sarat gizi untuk Aira. Sejak mengalami morning sickness, wanita itu sama sekali tidak bisa makan nasi. Mual hanya karena mencium aromanya. Dan sekarang, dia juga menolak aroma tubuh suaminya."Ai-chan, kau tidak suka sampo yang kupakai?"Aira membekap mulutnya sekaligus menutup indra penciumannya. Dia menggeleng, mundur menjauhi Ken sampai tubuhnya menabrak dinding kayu yang membatasi kamar dengan taman belakang."Pergi!"Sayaka yang kebetulan ingin melihat kondisi Aira, segera masuk melalui pintu geser di sisi kanan sang menantu. Detik itu juga Aira berlari ke belakang mertuanya, menyembunyikan tubuh mungilnya dari tatapan Ken yang masih keheranan.Ada saja tingkah Aira beberapa hari ke belakang yang rasanya tidak masuk akal. Pertama, dia mual dan muntah tanpa mencium aroma apa pun. Ken masih percaya itu bagian dari
"Teruntuk suamiku, Yamazaki Kenzo ....Saat kamu membaca pesan ini, artinya aku tak ada lagi di dunia ini. Setelah perjuangan panjang yang kita lalui, kita sampai di titik ini. Posisi di mana raga kita tak bisa bertemu lagi meski hati masih saling mencintai. Saat jemari tak lagi bertaut, juga senyum yang tak mungkin kita lihat satu sama lain.Melalui surat ini, izinkan aku berpamitan padamu. Pamit karena aku tidak akan bisa lagi menyentuh wajahmu, juga mencium bibirmu yang membuat candu. Aku pasti akan merindukanmu dari surga dan berharap di kehidupan selanjutnya kita bisa kembali menjadi pasangan. Saat itu terjadi, aku yang akan mengejarmu, bukan sebaliknya."Ken menahan gemuruh di dada sambil menghapus kumpulan air tanpa warna yang terkumpul di kelopak matanya. Dua hari setelah pemakaman Aira, Kaori datang menyampaikan surat yang entah kapan dititipkan padanya."Kenzo, maaf menyembunyikan fakta lain darimu. Sebenarnya, di awal kehamilan aku mendapat peringatan dari Kaori tentang kemu
Lampu operasi masih menyala meski tiga jam telah berlalu. Ken, Sayaka, Kakek Subaru, juga Kosuke ada di sana. Mereka terus memanjatkan doa yang sama, berharap Aira baik-baik saja. Kesabaran mereka semakin menipis saat mendengar tangis bayi yang saling bersahutan. "Ken, anak-anakmu," bisik Sayaka, memeluk lengan anaknya sambil menghapus air mata yang tak dapat dibendung lagi. Ken hanya bisa mengangguk, bersyukur karena buah hatinya bisa dilahirkan dalam keadaan baik. Namun, dia belum bisa tenang karena kondisi Aira belum diketahui detailnya. Dari arah lain, tampak Yamada Yu bergegas masuk rumah sakit. Dia segera menyingkirkan pekerjaannya setelah mendengar kabar buruk menimpa Aira. Bagaimanapun juga, Aira sudah seperti saudara untuknya. Dia harus ada di sana untuk memastikan keadaannya. Bukan hanya keterangan dari orang lain saja. "Bagaimana keadaannya, Ken?" Kenzo menoleh, menggeleng karena tidak bisa berkata apa pun. Selain suara tangis bayi yang melengking, tidak ada kabar lain
"Sayang, lihat. Mana yang kamu suka? Ini atau ini?" Sayaka mengarahkan ponsel di tangannya ke arah ranjang bayi bergambar bulan bintang sebelum memindahkannya ke sisi lain di mana terlihat motif boneka beruang yang tak kalah bagusnya."Semua bagus, Bu. Terserah ibu saja," jawab Aira sembari mengelus perutnya yang semakin besar. Ken berdiri tak jauh darinya, membereskan ranjang tempat Aira berbaring sebelumnya.Sejak memasuki trimester ketiga, wanita itu banyak menghabiskan waktu di kamar dan membaca banyak buku. Kemarin, dia mengalami flek saat berlatih bela diri, jadi memutuskan untuk menghentikan seluruh aktivitas fisik yang mungkin berbahaya."Ibu ambil yang motif teddy bear saja, ya. Kamu tidak keberatan?"Aira menggeleng sambil tersenyum. Mendapat perhatian yang begitu intens dari keluarga suaminya adalah anugerah terindah darinya. Dia merasa dicintai, juga dianggap ada. Sebaliknya, Hirota dan Asami justru seolah semakin jauh dengan anak angkatnya itu. Hanya sekali saja datang ka
"Ai-chan, apa kau siap mengorbankan nyawamu saat melahirkan anak kita?"Detak jantung Aira seolah terhenti detik itu juga, bersamaan dengan tangan yang lepas dari genggaman Ken. Bayangan saat dikejar orang-orang berbaju hitam masih teringat jelas, kenapa sekarang Ken menanyakan hal aneh seperti itu? Apakah akan ada bahaya lain yang mengancam keselamatannya seperti waktu itu?"Apa maksudmu?"Ken menyergah napas, mengubah posisi tubuhnya jadi terlentang menghadap langit-langit kamar yang berjarak 2.5 meter dari tempatnya berbaring. Ada beban berat di hatinya, bimbang antara harus mengungkap firasat buruk yang dirasakan Kakek Subaru atau tidak."Ken?!" Tangan Aira menarik lengan Ken, meminta perhatian darinya."Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya padamu, Love.""Itu yang membuatmu terus bungkam akhir-akhir ini?"Ken mengangguk setelah menoleh ke arah Aira, menatap wajah cantik yang mulai terlihat semakin chubby pipinya. Cekungan di pangkal tulang selangkanya tidak terlalu kentar
"Sayang, bukankah hari ini jadwalmu memeriksakan kandungan?" Sayaka yang baru muncul di depan pintu segera menghampiri Aira yang sibuk menata bunga di dalam vas. Gerakannya terhenti, mengingat tanggal dan hari.Ken yang duduk tak jauh dari sana, melirik monitor laptopnya di pojok kanan bawah. Tanggal 23, dua pekan setelah kunjungan dokter spesialis kandungan saat kondisi Aira drop."Kenzo, kenapa diam saja? Antar istrimu ke dokter!"Ken tak lantas beranjak, mengamati ekspresi wajah Aira yang terlihat keberatan bepergian dengannya. Mereka masih saling diam dan Ken memang senagaja menjaga jarak. Meskipun mual muntah Aira tak lagi sehebat pada awalnya, tapi dia takut wanita itu masih tidak nyaman berdekatan dengannya. Satu kondisi medis yang memang diiyakan oleh Kaori saat Ken meminta penjelasan."Ibu bisa mengantarnya? Aku masih ada sedikit pekerjaan yang harus—"Plak!Gulungan kertas di tangan Sayaka segera mendarat di salah satu sisi kepala Ken, membuat si empunya menarik diri seketik
"Jangan dekat-dekat. Aku benci aroma tubuhmu!" Aira mundur saat Ken bersiap menyuapinya sup ayam jahe. Dia sengaja memanggil koki khusus yang bertugas menyiapkan makanan sarat gizi untuk Aira. Sejak mengalami morning sickness, wanita itu sama sekali tidak bisa makan nasi. Mual hanya karena mencium aromanya. Dan sekarang, dia juga menolak aroma tubuh suaminya."Ai-chan, kau tidak suka sampo yang kupakai?"Aira membekap mulutnya sekaligus menutup indra penciumannya. Dia menggeleng, mundur menjauhi Ken sampai tubuhnya menabrak dinding kayu yang membatasi kamar dengan taman belakang."Pergi!"Sayaka yang kebetulan ingin melihat kondisi Aira, segera masuk melalui pintu geser di sisi kanan sang menantu. Detik itu juga Aira berlari ke belakang mertuanya, menyembunyikan tubuh mungilnya dari tatapan Ken yang masih keheranan.Ada saja tingkah Aira beberapa hari ke belakang yang rasanya tidak masuk akal. Pertama, dia mual dan muntah tanpa mencium aroma apa pun. Ken masih percaya itu bagian dari
Ken kembali ke kamar dan tidak mendapati Aira di atas ranjangnya. Dia berdiri di depan jendela, menikmati semilir angin yang membelai pipinya. Sayaka tak ada di sana lagi, segera pergi setelah memberikan petuah pada menantunya."Ai-chan," panggil Ken lirih, sarat akan keraguan. Perasaan canggung menyelimutinya, bersama rasa bersalah karena sudah membuat wanitanya marah.Aira melirik, tapi tak menjawab panggilan sang suami. Sebaliknya, embusan napas berat keluar dari mulutnya. Berbagai hal memenuhi kepala, tak lain dan tak bukan kecuali memikirkan ucapan Sayaka. Ken banyak berkorban demi hubungan mereka. Lantas, apa yang bisa Aira lakukan untuk membalasnya?"Minumlah. Ini bisa meredam rasa mualmu," lirih Ken sambil menyodorkan cangkir yang berisi air berwarna kuning kecokelatan. Asap tipis menguar di atasnya, juga aroma jahe yang menyegarkan.Aira menerimanya, berjalan ke arah balkon kamar dan duduk di sofa bed yang ada di sana. Meskipun semua dekorasi mengambil konsep tradisional dan
"Hoek!"Untuk ke sekian kali Aira kembali muntah. Belum habis hidangan di piringnya, tapi dia sudah berlari ke beranda dan mengeluarkan cairan kekuningan yang terasa pahit luar biasa. Ken segera menyusul dan berjongkok di sampingnya."Dia kenapa?" gumam Sayaka sambil menatap punggung Ken dan Aira yang membelakangi ruang makan."Apa lagi? Bukankah kau juga wanita?"Sayaka tampak berpikir sepersekian detik sebelum menyadari menantunya sedang hamil muda. Morning sickness mulai muncul saat usia kandungan memasuki bulan ketiga.Ken tampak sigap memijat tengkuk Aira, juga memegang lengannya. Tak hanya itu, dia juga menggendong wanita itu kembali ke kamar mereka. Sayaka yang menyelesaikan makan paginya lebih awal, memilih menyusul keduanya.Wajah Aira terlihat pucat, matanya terpejam rapat. Ken membenahi posisinya, membuat wanita itu nyaman di atas pembaringannya."Siapkan minuman hangat untuk istrimu," pinta Sayaka sambil memegang pundak Ken.Meskipun awalnya tidak rela meninggalkan Aira ya
"Erina, berhentilah memperalukan dirimu sendiri," ucap seorang wanita yang merupakan ibu kandung Erina. Dia tak tahan lagi melihat kesedihan anak gadisnya sejak kemarin siang, tapi juga muak dengan pemberitaan yang menyebutkan Yoshiro sebagai pemimpin Yamazaki, Inc. yang menggantikan Ken."Sampai kapan kamu akan menangisi pria yang sudah beristri? Bahkan, dia tidak pernah sekalipun memikirkan kamu. Jangan menangis lagi!" teriaknya dengan nada frustrasi.Erina mengangkat wajahnya, menunjukkan mata sebab dan memerah karena terus menangis sejak semalam. Berkali-kali dia menghubungi Ken, tapi tidak sekalipun mendapat jawaban. Dunianya seolah berhenti berputar, tidak mengingat orang lain yang juga kecewa dan terluka."Bukankah sejak awal Ibu tidak mengizinkanmu kembali? Kamu dengan percaya diri mengatakan Ken pasti akan menerimamu. Omong kosong, bulshit! Kenyataannya, kamu disia-siakan. Dan lagi, orang-orang bahkan tidak memilihmu untuk memimpin perusaahaan busuk itu.""Sia-sia saja semua