"Apa kamu merindukanku?" tanya seorang pria, keluar dari pintu putar dua meter di belakang Aira. Senyum lebar terpatri di wajahnya, dengan sorot mata hijau yang terlihat begitu menawan.
Waktu seolah berhenti berputar bagi Aira, membuat tatapannya hanya tertuju pada Hiro yang kini berjalan ke arahnya. Pria yang barusan mengirimkan pesan, sekarang ada di hadapan. Sosok yang ia khawatirkan, sampai membuatnya lari tunggang langgang ke bagian resepsionis dan mencari keberadaannya.
Namun, tidak ada yang ia dapatkan selain keputusasaan. Petugas di dalam sana mengatakan kalau mereka tidak tahu menahu tentang staf khusus Yamazaki Kenzo.
"Kamu mencariku?" Menundukkan badan, Hiro menyejajarkan wajahnya dengan gadis yang masih juga terpaku, belum bergerak sama sekali dari tempat terakhirnya menapakkan kaki.
"Kupikir mataku rabun, salah melihat istriku. Ternyata memang benar kamu."
Aira tak menjawab. Napas lega keluar dari hidung, menerpa pipi yang kini te
"Kenapa diam di sana?" tanya Ken memecah keheningan. Tidak ada suara lain kecuali deru halus penghangat ruangan di belakang sana. Keduanya ada di ruang makan dengan meja bundar yang elegan. Sebuah lampu kristal tergantung di atas sana.Selayang pandang, tidak ada yang kurang dari kediaman ini. Sebuah home theather set terletak tak jauh dari mereka, berhadapan dengan sofa bed lembut. Bulu-bulu angsa menghiasi sisi-sisinya, membuat siapa saja nyaman berdiam di atasnya.Tanpa banyak kata, Aira yang semula diam, kini mendekat ke arah Ken yang sedang membentangkan alas makan di atas paha. Kain segiempat warna putih itu menjadi penghalang noda yang mungkin mengotori pakaian."Mana yang ingin kamu makan?" ketus Aira, merasa malas meladeni suaminya. Terpaksa dia melakukan itu demi melindungi keluarganya, juga ... Hiro."Bukankah kamu begitu bahagia bertemu dengan suami keduamu? Tunjukkan senyum yang sama di depanku!" desak Ken, menaikkan satu sudut bibirnya.
"Berhenti di sana! Menjauh dariku sekarang juga!" hardik pria yang setengah wajahnya merah merona. Dia menggerakkan kursi roda dengan tangan, mengabaikan kendali otomatis yang selalu dipakainya."Minggir!" Dengan kasar Ken menyingkirkan tubuh Aira, hampir membuat wanita itu jatuh jika tidak berpegang pada lemari kokoh di samping tubuhnya.Suara pintu berdebam terdengar. Sosok Yamazaki Kenzo, lengkap dengan kursi roda miliknya kini tak lagi terlihat, tersembunyi bersama guyuran air yang terdengar detik berikutnya.Saat itu juga tubuh Aira luruh ke lantai. Dinding tak kasat mata yang coba dibangunnya, kini tak lagi tampak keberadaannya. Wajah cantik itu menunjukkan keterkejutan yang lain. Sikap kasar dan arogan sang suami membuatnya terpukul. Meskipun dia berusaha menuruti semua perintahnya, tetap saja pria itu bersikap buruk padanya."Anda baik-baik saja, Nona?" Kosuke berdiri di depan pintu kamar yang terbuka lebar, tak berani melangkahkan kakinya lebih j
"Hari yang melelahkan," ungkapnya sambil membuka pintu. Aira memasuki kamar yang disediakan khusus untuknya dan langsung merebahkan badan di atas sofa. Kakinya enggan berjalan menghampiri ranjang yang hanya berjarak tiga meter dari pintu. Satu per satu kejadian luar bisa berputar di dalam kepala. Pernikahan yang dipaksakan, pertemuannya dengan Hiro dan menghabiskan malam tanpa sengaja, hingga membawanya kepada misi aneh untuk menikahi dua pria. Rasanya, logikanya bebal, tidak bisa menerima apa yang ada. Namun, dia juga tidak bisa menolak keinginan suaminya yang pemaksa dan arogan. "Ayah, Ibu, inikah kebahagiaan yang kalian doakan untukku?" Bayang-bayang hari pernikahannya dengan Yamazaki Kenzo kembali terlintas. Semua tamu tersenyum melihatnya melangkah menuju altar. Gaun putih bertabur mutiara melekat di tubuh rampingnya. Di depan sana, seorang pria duduk di atas kursi roda. Tuxedo hitam tampak menambah pesona dan aura karismatik yang ada. "A
"Selamat pagi, Nona," sapa Kosuke membuat Aira terperanjat, terlihat dari bahunya yang berjengit sesaat. Dia baru saja menutup pintu di belakangnya, terusir dari kamar suaminya sendiri."Kamu mengagetkanku," keluhnya sambil mengerucutkan bibir. "Seperti hantu saja."Kosuke sedikit menaikkan sudut bibirnya sepersekian detik, merasa senang berhasil mengagetkan nonanya. Selama bekerja dengan Ken, tak pernah sekalipun dia bisa mengagetkan tuannya.Langkah kaki Aira terus berlanjut, bersiap menuruni tangga menuju dapur di bawah sana. Namun, gerakannya terhenti di anak tangga teratas. Tangannya mencengkeram besi berulir warna emas dengan ornamen bunga tulip di beberapa bagiannya."Ah, tunggu!" Seketika wanita dengan rambut hitam itu membalikkan badan, menatap asisten suaminya yang berdiri rapi dengan setelan pakaian kotak-kotak warna kelabu. "Apa yang terjadi semalam? Apa kamu melihatku tidur berjalan?"Senyum tipis di wajah Kosuke menghilang sempurna, b
"Kenapa lama sekali? Sengaja mengulur waktuku?" Kalimat ketus terdengar dari mulut Ken yang kini menatap tajam pada istrinya. Satu embusan napas terdengar dari hidung sebagai tanda kalau dia tidak senang. Dengan wajah masam, Aira menyajikan mangkuk nasi di atas meja. Bibirnya mengerucut, enggan meladeni permintaan Ken. Namun, dia juga tidak bisa berbuat banyak, takut kalau-kalau Ken marah dan semuanya jadi semakin runyam. Sudah menjadi SOP-nya untuk menyiapkan semua keperluan suaminya, termasuk masalah makanan. "Silakan," cetus Aira, menunjukkan senyum palsu dari bibirnya. Jika boleh memilih, tentu saja dia enggan berhadapan dengan suaminya. Dia masih tidak percaya tentang tidur berjalan semalam. Dan lagi, rasanya aneh. Kenapa Ken tidak membangunkannya? Apa mungkin pria itu menikmati saat dipeluk? Siapa yang menjamin kalau dia tidak mengambil keuntungan semalam? Berbagai pikiran bersahut-sahutan di dalam kepala Aira, membuat konsentrasi dan fokusnya terpecah detik it
"Kenapa kita harus menjalani hubungan seperti ini?" Aira menatap Hiro dengan pandangan nelangsa. Sejujurnya, dia tidak ingin terjebak dengan kedua pria ini. Terlebih, demi uang dia sampai mengorbankan Hiro yang tidak tahu apa-apa.Melihat wajah Aira yang begitu tertekan, Hiro segeda memeluknya. Dadanya yang bidang segera menyembunyikan wajah wanita berbadan mungil itu, tenggelam seluruhnya."Ayo keluar. Sepertinya kamu butuh udara segar!"Belum sempat Aira menjawab, tubuhnya lebih dulu melayang di udara. Hiro menggendongnya ke beranda dan mendudukkannya di atas kursi sofa yang ada di sana.Sepersekian detik Aira membenahi posisinya, termasuk menetralkan napasnya yang sempat tersekat. Jangan lupakan detak jantungnya yang sempat berhenti berdegup sementara. Bagaimanapun juga, dia bisa mencium parfum yang menempel di leher suami ke duanya."Dia pergi." Aira membuka percakapan, mengeratkan cengkeramannya pada ujung baju oversize yang dikenakannya. Tatapannya melangla
Bel kembali berbunyi, menandakan kalau si pengantar barang tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Masih ada banyak pesanan yang harus sampai ke tangan costumer tepat waktu atau mereka akan mendapat komplain.Perlahan Aira membuka pintu di hadapannya. Awalnya dia hanya sekadar melongok, tidak benar-benar membukanya lebar-lebar. Itu yang disarankan untuk mengurangi tingkat kriminalitas di kota besar ini. Jika yang datang adalah penjahat ataupun semacamnya, setidaknya masih ada waktu untuk menutup pintu dan membatasi diri dengan mereka."Dengan Nona Aira?" Pria dengan pakaian serba merah itu mengkonfirmasi tuan rumah yang ditemuinya dengan membacakan alamat yang ada di ponselnya. Sudah menjadi standard operational procedure atau SOP bagi mereka, para kurir pengantar barang, untuk menanyakan identitas sebelum menyerahkan barangnya. Terlebih, benda di tangannya itu bernilai jutaan yen."Benar, saya sendiri.""Ada paket untuk Anda."Buru-buru wanita itu membuka pint
"Love?"Panggilan lirih dari Hiro berhasil membuat Aira mengangkat wajahnya. Bekas air mata masih tampak membasahi pipinya, baru terhapus setelah Hiro menyeka dengan ibu jari yang terasa begitu hangat.Senyum yang terukir di wajah tampan pria ini berhasil menyita atensi Aira. Meski sedu sedan tangisnya masih tersisa satu dua. Namun, kehadiran Hiro yang terus memeluknya selama menangis tadi, seolah memberikan kekuatan yang amat sangat berarti."Sudah merasa lebih baik?" Hiro kembali bersuara, bertanya dengan nada lembut. Satu tangannya naik, mengusap puncak kepala wanita yang amat sangat disayanginya, sedangkan tangan lain masih bersemayam di wajah sebelah kanan Aira. Tetap mengelusnya.Aira mengangguk lemah, sudah bisa mengendalikan perasaannya.Perlahan namun pasti, Hiro membimbing Aira untuk meninggalkan lantai tempatnya bersimpuh. Mereka duduk di atas kursi sofa yang ada di ruang tengah, menghadap televisi layar datar berukuran super besar yang kini tampak gelap seluruhnya.Hingga
"Teruntuk suamiku, Yamazaki Kenzo ....Saat kamu membaca pesan ini, artinya aku tak ada lagi di dunia ini. Setelah perjuangan panjang yang kita lalui, kita sampai di titik ini. Posisi di mana raga kita tak bisa bertemu lagi meski hati masih saling mencintai. Saat jemari tak lagi bertaut, juga senyum yang tak mungkin kita lihat satu sama lain.Melalui surat ini, izinkan aku berpamitan padamu. Pamit karena aku tidak akan bisa lagi menyentuh wajahmu, juga mencium bibirmu yang membuat candu. Aku pasti akan merindukanmu dari surga dan berharap di kehidupan selanjutnya kita bisa kembali menjadi pasangan. Saat itu terjadi, aku yang akan mengejarmu, bukan sebaliknya."Ken menahan gemuruh di dada sambil menghapus kumpulan air tanpa warna yang terkumpul di kelopak matanya. Dua hari setelah pemakaman Aira, Kaori datang menyampaikan surat yang entah kapan dititipkan padanya."Kenzo, maaf menyembunyikan fakta lain darimu. Sebenarnya, di awal kehamilan aku mendapat peringatan dari Kaori tentang kemu
Lampu operasi masih menyala meski tiga jam telah berlalu. Ken, Sayaka, Kakek Subaru, juga Kosuke ada di sana. Mereka terus memanjatkan doa yang sama, berharap Aira baik-baik saja. Kesabaran mereka semakin menipis saat mendengar tangis bayi yang saling bersahutan. "Ken, anak-anakmu," bisik Sayaka, memeluk lengan anaknya sambil menghapus air mata yang tak dapat dibendung lagi. Ken hanya bisa mengangguk, bersyukur karena buah hatinya bisa dilahirkan dalam keadaan baik. Namun, dia belum bisa tenang karena kondisi Aira belum diketahui detailnya. Dari arah lain, tampak Yamada Yu bergegas masuk rumah sakit. Dia segera menyingkirkan pekerjaannya setelah mendengar kabar buruk menimpa Aira. Bagaimanapun juga, Aira sudah seperti saudara untuknya. Dia harus ada di sana untuk memastikan keadaannya. Bukan hanya keterangan dari orang lain saja. "Bagaimana keadaannya, Ken?" Kenzo menoleh, menggeleng karena tidak bisa berkata apa pun. Selain suara tangis bayi yang melengking, tidak ada kabar lain
"Sayang, lihat. Mana yang kamu suka? Ini atau ini?" Sayaka mengarahkan ponsel di tangannya ke arah ranjang bayi bergambar bulan bintang sebelum memindahkannya ke sisi lain di mana terlihat motif boneka beruang yang tak kalah bagusnya."Semua bagus, Bu. Terserah ibu saja," jawab Aira sembari mengelus perutnya yang semakin besar. Ken berdiri tak jauh darinya, membereskan ranjang tempat Aira berbaring sebelumnya.Sejak memasuki trimester ketiga, wanita itu banyak menghabiskan waktu di kamar dan membaca banyak buku. Kemarin, dia mengalami flek saat berlatih bela diri, jadi memutuskan untuk menghentikan seluruh aktivitas fisik yang mungkin berbahaya."Ibu ambil yang motif teddy bear saja, ya. Kamu tidak keberatan?"Aira menggeleng sambil tersenyum. Mendapat perhatian yang begitu intens dari keluarga suaminya adalah anugerah terindah darinya. Dia merasa dicintai, juga dianggap ada. Sebaliknya, Hirota dan Asami justru seolah semakin jauh dengan anak angkatnya itu. Hanya sekali saja datang ka
"Ai-chan, apa kau siap mengorbankan nyawamu saat melahirkan anak kita?"Detak jantung Aira seolah terhenti detik itu juga, bersamaan dengan tangan yang lepas dari genggaman Ken. Bayangan saat dikejar orang-orang berbaju hitam masih teringat jelas, kenapa sekarang Ken menanyakan hal aneh seperti itu? Apakah akan ada bahaya lain yang mengancam keselamatannya seperti waktu itu?"Apa maksudmu?"Ken menyergah napas, mengubah posisi tubuhnya jadi terlentang menghadap langit-langit kamar yang berjarak 2.5 meter dari tempatnya berbaring. Ada beban berat di hatinya, bimbang antara harus mengungkap firasat buruk yang dirasakan Kakek Subaru atau tidak."Ken?!" Tangan Aira menarik lengan Ken, meminta perhatian darinya."Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya padamu, Love.""Itu yang membuatmu terus bungkam akhir-akhir ini?"Ken mengangguk setelah menoleh ke arah Aira, menatap wajah cantik yang mulai terlihat semakin chubby pipinya. Cekungan di pangkal tulang selangkanya tidak terlalu kentar
"Sayang, bukankah hari ini jadwalmu memeriksakan kandungan?" Sayaka yang baru muncul di depan pintu segera menghampiri Aira yang sibuk menata bunga di dalam vas. Gerakannya terhenti, mengingat tanggal dan hari.Ken yang duduk tak jauh dari sana, melirik monitor laptopnya di pojok kanan bawah. Tanggal 23, dua pekan setelah kunjungan dokter spesialis kandungan saat kondisi Aira drop."Kenzo, kenapa diam saja? Antar istrimu ke dokter!"Ken tak lantas beranjak, mengamati ekspresi wajah Aira yang terlihat keberatan bepergian dengannya. Mereka masih saling diam dan Ken memang senagaja menjaga jarak. Meskipun mual muntah Aira tak lagi sehebat pada awalnya, tapi dia takut wanita itu masih tidak nyaman berdekatan dengannya. Satu kondisi medis yang memang diiyakan oleh Kaori saat Ken meminta penjelasan."Ibu bisa mengantarnya? Aku masih ada sedikit pekerjaan yang harus—"Plak!Gulungan kertas di tangan Sayaka segera mendarat di salah satu sisi kepala Ken, membuat si empunya menarik diri seketik
"Jangan dekat-dekat. Aku benci aroma tubuhmu!" Aira mundur saat Ken bersiap menyuapinya sup ayam jahe. Dia sengaja memanggil koki khusus yang bertugas menyiapkan makanan sarat gizi untuk Aira. Sejak mengalami morning sickness, wanita itu sama sekali tidak bisa makan nasi. Mual hanya karena mencium aromanya. Dan sekarang, dia juga menolak aroma tubuh suaminya."Ai-chan, kau tidak suka sampo yang kupakai?"Aira membekap mulutnya sekaligus menutup indra penciumannya. Dia menggeleng, mundur menjauhi Ken sampai tubuhnya menabrak dinding kayu yang membatasi kamar dengan taman belakang."Pergi!"Sayaka yang kebetulan ingin melihat kondisi Aira, segera masuk melalui pintu geser di sisi kanan sang menantu. Detik itu juga Aira berlari ke belakang mertuanya, menyembunyikan tubuh mungilnya dari tatapan Ken yang masih keheranan.Ada saja tingkah Aira beberapa hari ke belakang yang rasanya tidak masuk akal. Pertama, dia mual dan muntah tanpa mencium aroma apa pun. Ken masih percaya itu bagian dari
Ken kembali ke kamar dan tidak mendapati Aira di atas ranjangnya. Dia berdiri di depan jendela, menikmati semilir angin yang membelai pipinya. Sayaka tak ada di sana lagi, segera pergi setelah memberikan petuah pada menantunya."Ai-chan," panggil Ken lirih, sarat akan keraguan. Perasaan canggung menyelimutinya, bersama rasa bersalah karena sudah membuat wanitanya marah.Aira melirik, tapi tak menjawab panggilan sang suami. Sebaliknya, embusan napas berat keluar dari mulutnya. Berbagai hal memenuhi kepala, tak lain dan tak bukan kecuali memikirkan ucapan Sayaka. Ken banyak berkorban demi hubungan mereka. Lantas, apa yang bisa Aira lakukan untuk membalasnya?"Minumlah. Ini bisa meredam rasa mualmu," lirih Ken sambil menyodorkan cangkir yang berisi air berwarna kuning kecokelatan. Asap tipis menguar di atasnya, juga aroma jahe yang menyegarkan.Aira menerimanya, berjalan ke arah balkon kamar dan duduk di sofa bed yang ada di sana. Meskipun semua dekorasi mengambil konsep tradisional dan
"Hoek!"Untuk ke sekian kali Aira kembali muntah. Belum habis hidangan di piringnya, tapi dia sudah berlari ke beranda dan mengeluarkan cairan kekuningan yang terasa pahit luar biasa. Ken segera menyusul dan berjongkok di sampingnya."Dia kenapa?" gumam Sayaka sambil menatap punggung Ken dan Aira yang membelakangi ruang makan."Apa lagi? Bukankah kau juga wanita?"Sayaka tampak berpikir sepersekian detik sebelum menyadari menantunya sedang hamil muda. Morning sickness mulai muncul saat usia kandungan memasuki bulan ketiga.Ken tampak sigap memijat tengkuk Aira, juga memegang lengannya. Tak hanya itu, dia juga menggendong wanita itu kembali ke kamar mereka. Sayaka yang menyelesaikan makan paginya lebih awal, memilih menyusul keduanya.Wajah Aira terlihat pucat, matanya terpejam rapat. Ken membenahi posisinya, membuat wanita itu nyaman di atas pembaringannya."Siapkan minuman hangat untuk istrimu," pinta Sayaka sambil memegang pundak Ken.Meskipun awalnya tidak rela meninggalkan Aira ya
"Erina, berhentilah memperalukan dirimu sendiri," ucap seorang wanita yang merupakan ibu kandung Erina. Dia tak tahan lagi melihat kesedihan anak gadisnya sejak kemarin siang, tapi juga muak dengan pemberitaan yang menyebutkan Yoshiro sebagai pemimpin Yamazaki, Inc. yang menggantikan Ken."Sampai kapan kamu akan menangisi pria yang sudah beristri? Bahkan, dia tidak pernah sekalipun memikirkan kamu. Jangan menangis lagi!" teriaknya dengan nada frustrasi.Erina mengangkat wajahnya, menunjukkan mata sebab dan memerah karena terus menangis sejak semalam. Berkali-kali dia menghubungi Ken, tapi tidak sekalipun mendapat jawaban. Dunianya seolah berhenti berputar, tidak mengingat orang lain yang juga kecewa dan terluka."Bukankah sejak awal Ibu tidak mengizinkanmu kembali? Kamu dengan percaya diri mengatakan Ken pasti akan menerimamu. Omong kosong, bulshit! Kenyataannya, kamu disia-siakan. Dan lagi, orang-orang bahkan tidak memilihmu untuk memimpin perusaahaan busuk itu.""Sia-sia saja semua