Alvaro memang sedikit terkejut menyaksikan Bunga masuk seperti orang ketakutan. “Ada apa? Kamu terlihat seperti sedang dikejar harimau.” Alvaro berdiri dari kursi kerjanya.
“Mereka datang, tapi tidak bersedia diantar ke ruang meeting, Pak,” ungkap Bunga. Bunga tahu kalau informasi yang dibawanya mungkin akan berisiko dimarahi Alvaro. Bunga tahu dari Leo kalau Alvaro tidak suka ada orang lain mengacaukan jadwalnya.‘Mereka menolak? Sombong sekali,’ batin Alvaro. Saat itu juga sebenarnya Alvaro ingin membatalkan kerjasama dengan agensi model yang sudah membuat perjanjian dengannya kemarin. Tapi rasanya itu akan merugikan perusahaan. Di perjanjian kemarin jelas tertulis kalau ada pembatalan, maka tidak akan ada pengembalian pembayaran, dan Alvaro kemarin sudah setuju.“Apa yang sebenarnya mereka inginkan?” tanya Alvaro.“Jadi, apakah aku harus membujuk mereka ke ruang meeting atau membiarkan mereka masuk, Pak?” tanya Bunga.“Panggil mereka,Alvaro merasa tidak tenang. Banyak hal terlintas di dalam kepalanya. Bagaimana mungkin dia merasa begitu mengenal wanita paruh baya yang tadi datang ke kantornya. “Sarah, Sarah, Sarah, rasanya aku tidak mengenal nama itu. Tapi, mengapa wajahnya, suaranya, semuanya terasa akrab,” gumam Alvaro.Tujuan satu-satunya Alvaro adalah ke rumah kakeknya. Dia harus bertanya tentang semua itu. Selain pertanyaan mengenai wanita bernama Sarah, Alvaro juga ingin tahu lebih lanjut mengenai mimpi-mimpi yang mengganggunya, mimpi buruk yang datang padanya malam tadi.Memasuki gerbang pagar rumah besar milik kakeknya, Alvaro tersenyum kecil. Rumah itu adalah tempat Alvaro menghabiskan masa kecilnya. Alvaro langsung parkir di depan pintu utama. Dia kemudian masuk ke dalam rumah.“Mungkin kakek sedang berada di ruang baca,” ujar Alvaro. Dia tahu persis dimana sang kakek menghabiskan waktu setiap hari.Dugaan Alvaro benar, ketika memasuki ruang baca, Bram memang sedang duduk disana. “Kakek,” sapa Alvaro.Or
Alvaro masuk ke kamarnya di rumah yang sekarang hanya ditinggali oleh Kakek Bram. Tentu saja bersama beberapa orang pelayan yang menyediakan kebutuhan orang tua itu. Dia orang asisten rumah tangga, seorang tukang kebun, seorang supir, dan dua orang satpam yang menjaga di pintu masuk rumah.Kamar Alvaro yang ada di rumah itu adalah kamar yang dia tinggali sebelum menikah dengan Bunga. Alvaro memang sudah memiliki mansion yang dipersiapkannya untuk tempat tinggal setelah menikah, namun sebelum menikah dia masih tinggal di rumah Kakek Bram.Alvaro masuk ke kamar bujangannya itu. Kamar itu sekarang tampak rapi, bahkan jauh lebih rapi dibandingkan ketika dia tinggal di tempat itu dulu. Tentu saja demikian, kakek Bram yang meminta pembantu membersihkannya secara berkala.Kakek Bram memang tidak pernah mengizinkan siapapun untuk mengganggu semua isi di dalam kamar, kecuali hanya untuk membersihkannya dari debu yang kadang hinggap tak tahu waktu.Alvaro duduk di tempat tidur tersebut. Dia men
Sudah gelap ketika mobil Alvaro memasuki pagar mansion. Alvaro langsung menuju garasi mobil. Mobil Bunga sudah terparkir di dalam garasi itu. “Syukurlah, Bunga sudah sampai di rumah,” gumam Alvaro.Alvaro turun dari mobil, tak lupa mengambil bungkusan berisi makanan yang ditaruhnya di jok samping kemudi. Memasuki rumah, Alvaro mencium bau masakan. Bau itu cukup lezat dan menggugah selera.Alvaro langsung berjalan ke dapur. Dia melihat Bunga sedang mengaduk panci yang bertengger di atas kompor. Langkah Alvaro terhenti, dia memandang pada Bunga. Sesekali gadis itu menatap layar telepon genggamnya dan mencari bumbu yang harus dimasukkannya. Dia kemudian tersenyum setelah memasukkan bumbu tersebut, seolah sudah mencapai prestasi tertentu.“Aku harap kali ini tidak membuatmu terkejut lagi,” sapa Alvaro. Tetap saja, walaupun Alvaro sudah berusaha menyapa dengan suara lembut, namun wajah Bunga tetap menegang seketika.“Apa kau sebenarnya ketakutan setiap kali sendiri disini?” tanya Alvaro. P
Alvaro sebenarnya tidak tahu jawaban apa yang harus dikemukakannya pada Bunga. Bagaimana tidak? Dia sendiri tak tahu pasti siapa perempuan paruh baya yang datang ke kantornya tadi siang. Dia hanya tahu sebatas yang dikatakan oleh perempuan itu.“Dia tidak pernah datang sebelumnya. Tapi entah mengapa, ada perasaan kalau aku mengenal Sarah, suaranya juga terasa akrab di telingaku,” jawab Alvaro.Bunga tentu saja tidak mencurigai apapun. Sarah jauh lebih tua dari mereka. Mungkin justru seusia Joana, ibu Bunga. Satu hal yang mengusik Bunga sebenarnya ekspresi Alvaro yang aneh ketika memperhatikan Sarah.“Lantas, apa yang membuatmu tadi datang ke rumah Kakek?” tanya Bunga lagi.“Ah, aku sampai lupa. Aku membawa barang dari rumah Kakek, tapi masih di garasi. Aku akan menurunkannya nanti,” jawab Alvaro.Bunga hanya mengangguk, dia memang tak tahu apa isi dari kotak yang dimaksud Alvaro. Tapi mungkin barang-barang yang diperlukannya.Ketika melihat Bunga mengantuk Alvaro memintanya untuk pind
Segugup apa Bunga menerima ciuman Alvaro, segugup itu pula yang dirasakan oleh Alvaro. Rasa malu otomatis membuat Bunga agak surut, ketika batinnya mempertanyakan kesiapan diri sendiri.Alvaro merasakan istrinya sedikit mundur. Alvarosendiri tentu tak ingin mundur sama sekali, otaknya terpacu adrenalin. Alvaromengambil alih, dia bangkit dan merebahkan Bunga.“Bolehkah?” desahnya pelan. Pertanyaannya tentu membuat pipi Bunga merona. Setengah rasa di hati Bunga justru sedikit protes pada pertanyaan itu. ‘Kenapa dia harus bertanya?’Bunga hanya bisa mengangguk pelan, khawatir suaranya akan terdengar aneh kalau dia berusaha menjawab. Mungkin Alvarobisa merasakan suara jantung Bunga, saking debarannya bertalu-talu karena gugup.Melihat Bunga memejamkan matanya, Alvaro memulai kembali aksinya. Kali ini ciuman lembut di bibir Bunga berubah ritme menjadi lebih cepat dan menuntut. Bunga berusaha mengikutinya. Dia memagut tubuh Alvaroyang sudah berada di atasnya.Bunga mencengkram punggung Alva
Bunga berjalan keluar kamar mandi lebih dulu. Dia menuju walk in closet dan memilihkan baju yang harus dikenakan oleh Alvaro. Sementara Alvaro? Dia masih tersenyum-senyum, meski hanya menatap Bunga .“Ini celana dan jasnya, ini kemeja, ini dasi ... Eh, jangan, lebih cocok yang ini.” Bunga sibuk sendiri. Ketika dia melirik lagi pada Alvaro, matanya langsung membelalak.“Al! Apa kau sekarang tak lagi punya malu?” Alvaroberdiri di belakangnya tanpa busana.“Tidak, kenapa harus malu. Bukankah kau juga suka,” jawab Alvarosambil melilitkan tangannya ke pinggang Bunga .“Hah, aku suka? Kapan aku mengatakan itu?” Bunga menggaruk kepalanya. Rambutnya yang basah terurai berantakan. Tapi Alvarojustru menjadi suka. Dia membenamkan hidung mancungnya di belakang kepala Bunga .Merasakan seluruh organ tubuh Alvaromenempel pada dirinya yang masih mengenakan bathrobe, Bunga mendadak malu. Terlebih ketika bagian khusus itu bereaksi.“Al, please. Kenapa?” tanya Bunga tertahan. Perasaannya campur ad
Menjelang makan siang, Alvaro kembali keluar. “Bunga, kemari,” panggil Alvaro. Bunga segera beranjak, mendatangi ruangan Alvaro. Bunga langsung menutup pintu ketika memasuki ruang kantor Alvaro. “Ya, Pak?” tanya Bunga dengan serius kepada Alvaro. “Bunga, nanti setelah makan siang, aku ada janji pertemuan dengan perusahaan rekanan kita. Aku tidak bisa menghindar dari meeting ini, sedangkan aku perlu file yang ada di dalam kamar di rumah Kakek Bram. Aku lupa mengambilnya kemarin,” ujar Alvaro. Alvaro menyesalkan keteledorannya kemarin. “Apa aku harus mengambilnya?” tanya Bunga. Alvaro mengangguk. Ada banyak sekali barang pribadiku disana. Hanya aku yang membawa kunci lacinya. Kau bisa meminta supir mengantarkanmu.” Sebenarnya Alvaro juga tak ingin Bunga pergi sendirian keluar kantor karena perintahnya. “Baiklah, kalau begitu aku akan berangkat pada jam makan siang nanti,” jawab Bunga. Alvaro meng
Kecemasan menghinggapi perasaan Bunga. Dia tahu, pasti Kakek Bram akan mengetahui kalau dia mendengarkan semua itu. Bunga tak punya alasan pada Kakek Bram, sudah tidak mungkin untuk mengatakan kalau dia tidak mendengar semuanya."Itu artinya kau harus segera pergi dari sini. Aku ingatkan kau sekali lagi. Enyahlah dari kehidupan kami," ujar Kakek Bram. Suaranya terdengar sangat tegar. Namun, ada kekhawatiran di dalam intonasi suaranya yang terdengar terlalu cepat."Kali ini aku pergi, sepertinya ada pengganggu kecil di rumahmu ini. Lain kali aku akan datang lagi, sampai kita mencapai kesepakatan." Suara Sarah terdengar tak kalah lantang.Bunga masih berdiri kaku, menutup mulutnya. Dia ketakutan pada konsekuensi. Tidak mungkin Bunga pergi dan menghindar dari segala pertanyaan yang nanti mungkin dicetuskan Kakek Bram padanya.Dari tempatnya berdiri, Bunga bisa mendengar langkah kaki perempuan paruh baya itu menuju pintu. Sesaat kemudian, Bunga bisa mendengar suara mesin kendaraan yang te
Bunga berjalan keluarrumah mengikuti Alvaro. Jantungnya terasa berdetak lebih kencang. Bunga melihatAlvaro seolah kurang menyukai idenya untuk membawa Sarah ke rumah mereka.“Apa kali ini kaubersedia naik mobilku saja? Aku ingin bicara,” ujar Alvaro ketika mereka sampaidi depan rumah. Bunga lekas menganggukkan kepalanya. Kekhawatiran merasukipikiran Bunga. Tak mungkin lagi Bunga menolak keinginan Alvaro.Alvaro membuka pintumobilnya, dia menanti Bunga masuk ke dalam mobil. Setelah itu, Alvaro bergegasmasuk ke dalam mobil dan langsung menyalakan mesinnya. Bunga melihat ketegangandi wajah suaminya. Dia merasa takut sekali.“Sayang, apa akusalah?” tanya Bunga memberanikan diri bertanya pada Alvaro. Mobil yangdikemudikan Alvaro baru saja keluar dari gerbang mansion.Alvaro menarik nafaspanjang begitu Bunga mengajukan pertanyaan. “Aku tidak mengerti, Sayang. Tapi,bagaimana mungkin kau memutuskan mengajak Ibu tinggal bersama kita dalamsekejap mata? Kau bahkan tidak membicarakannya denganku
Bunga mengajak Alvaro ke ruang keluarga. Dia sedikit tidak nyaman membicarakan itu di depan pelayan mereka. “Tidak apa, Sayang. Coba kita lihat nanti. Mereka akan memberikan detail biaya untuk pembayarannya kan?” ujar Bunga.Bunga mencoba membesarkan hati Alvaro. Dia tak mau Alvaro banyak berpikir mengenai biaya perawatan Sarah. Alvaro duduk di sofa bersama Bunga. Dia tahu kalau di antara ego yang dimiliki Bunga pada soal pekerjaan, namun di sisi lain Bunga selalu memiliki toleransi yang besar, terutama kepada keluarga Alvaro.“Kalau begitu, besok kita sekalian menjemput Ibu saat makan siang,” ujar Alvaro. Bunga mengangguk, sebenarnya ini kesempatan bagi Bunga untuk mengatakan tentang pengumuman pernikahan mereka. Namun, Bunga merasa ini saat yang kurang tepat. Alvaro sedang berpikir keras mengenai Sarah.‘Sepertinya lebih baik menunggu saat yang lebih tepat. Apa lagi nanti yang akan dikatakan Al kalau aku tiba-tiba Bunga meminta pengumuman pernikahan?’ Sebagai CEO, Alvaro tentu tak b
Sudah beberapa hari Alvaro membisu. Perlahan kekesalannya pada Bunga sedikit berkurang. Namun tetap saja, sekarang Alvaro memilih untuk tidak banyak berbicara di kantor kepada Bunga. Dia tak pernah mendatangi ruang kantor Bunga kalau sedang tidak benar-benar ada perlunya. Alvaro juga tak pernah lagi berbicara bahkan mencoba menyapa Bunga ketika berada di area parkir.Setiap pagi, Alvaro pergi lebih awal untuk membesuk Sarah. Sore harinya, Alvaro juga mampir ke rumah sakit terlebih dulu sebelum pulang. Dia membebaskan Bunga, Bunga bisa ikut ke rumah sakit sepulang kerja ataupun pagi. Tentu saja dengan mobil yang berbeda. Alvaro tak pernah bertanya ataupun komplain kepada Bunga mengenai pergi dan pulang dari kantor pada mobil yang berbeda lagi. Selebihnya? Sikap Alvaro sudah mulai kembali lembut pada Bunga ketika berada di rumah.“Sayang, apa kau masih marah padaku?” tanya Bunga seusai makan malam. Mereka sedang duduk santai di ruang keluarga, memandang televisi namun sebenarnya mereka
Tok! Tok! Tok!Bunga terkejut mendengar ketukan. Di pintu ruangan kantornya. Bunga secepatnya menghapus air mata yang menetes di pipinya. Dia tidak tahu siapa yang ada di depan pintunya.Sebelum Bunga berkata ‘masuk’ pintu sudah membuka. Alvaro muncul di pintu membawa kotak makanan yang tadi dibelikan Bunga. “Boleh menumpang makan?” tanya Alvaro. Bunga hanya bisa mengangguk pasrah.Alvaro masuk ke dalam ruangan Bunga. Dia mengerutkan keningnya ketika melihat mata Bunga yang tampak sembab. “Kenapa, Sayang?” tanya Alvaro tidak tega dengan sang istri yang tampak bersedih.“Kenapa kau makan disini? Itu hanya akan memperparah keadaan,” ujar Bunga. Alvaro duduk di sofa dan menaruh makanannya di meja.“Apa kau mau aku makan bersama Flora di ruanganku sementara mau disini? Ada Leo yang sedang menemaninya makan sekarang.” Alvaro berjalan ke depan meja Bunga. Sekali lagi memperhatikan dengan cermat wajah cantik Bunga yang tampak begitu bersedih.“Apa yang terjadi padamu, Sayang?” tanya Alvaro.
Gosip beredarBunga terperangah, rasa hatinya ingin sekali keluar dari mobil dan berlari mengejar mobil Alvaro. Bunga melihat mobil Alvaro keluar menuju pintu gerbang rumah sakit. Sekarang Bunga menjadi salah tingkah. Apakah dia harus keluar dan tetap membesuk Sarah, atau Bunga harus pergi ke kantor saja dan menenangkan diri?Rasanya tak mungkin Bunga mengejar mobil Alvaro. Itu hanya akan membuatnya malu. “Kemana dia bersama gadis itu?” desah Bunga. Sekali lagi Bunga merasa sangat membutuhkan Nabila.Bunga melirik ke jam yang ada di dashboard mobil. Perasaannya terasa hampa, benar-benar hampa. “Mungkin Nabila sedang di jalan, aku tidak mau mengganggunya,” gumam Bunga sekali lagi.Bunga kemudian memutuskan untuk langsung pergi menuju kantor. Dia tidak jadi membesuk Sarah. Bunga tidak ingin Sarah bertanya macam-macam kepadanya nanti kalau tahu dia datang sendiri tanpa Alvaro.Sampai di tempat parkir di kantor, Bunga kembali melihat jam. Jam kerja belum dimulai, dia masih datang terlalu
Nasehat SahabatAlvaro membelakangi Bunga, dia mematikan lampu duduk di atas nakas. Bunga tahu kalau tak ada kesempatan baginya. Di sisi lain, Bunga merasa dirinya ditolak oleh Alvaro. “Sayang kenapa sih?” ujar Bunga. Dia merasa tak nyaman pada penolakan Alvaro. Bunga merasa malu.“Tidak malam ini, Sayang. Itu bukan hal yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Kau harus mengerti itu. Tidurlah, selamat malam.”Bunga mencelos, dia tak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya untuk membuat Alvaro kembali seperti biasanya. Lama sekali Bunga terbaring dalam diam di samping Alvaro yang membelakanginya. Sesekali dia masih melihat punggung Alvaro. Berjuta perasaan berkecamuk di dalam pikiran Bunga. Perasaan malu, tak nyaman, sedih, juga kesal karena Alvaro tak mau lagi memahami perasaannya.Pagi harinya, Alvaro pun bangun lebih dulu. Dia bersiap dengan pakaian kantor. Ketika Bunga membuka mata, Alvaro sudah rapi. Bunga sampai terkejut, menyangka dia sedang kesiangan. “Oh, jam berapa ini?”“Mas
Setelah Bunga dan Alvaro keluar dari ruangan itu, Sarah dan Alexa bersuka ria. Sarah langsung menarik selang oksigen itu dari hidungnya. “Aku bebas sekarang. Aku senang sekali. Gio memang pintar mengatur strategi. Aku yakin kita akan memenangkan hati Alvaro ,” ujar Sarah.“Apa yang aku bilang, Bu. Gio memang tahu segalanya. Dia cerdas untuk mengurus semua ini.” Alexa ikut bangga karena dialah yang sudah mengenalkan Gio pada Sarah.“Sekarang kita harus menjalankan peran ini sebaik mungkin, Bu. Harus berhasil sampai Ibu bisa dibawa Alvaro ke rumahnya,” lanjut Alexa. Dia membuka semua paper bag yang dibawanya tadi. Sebenarnya bukan hanya buah yang ada di dalamnya, namun juga makanan dan minuman kesukaan Sarah. Alexa tahu kalau Sarah tak akan betah dengan treatment dari rumah sakit itu.Suka ria yang dirasakan oleh Sarah dan Alexa berbeda jauh dengan yang dialami oleh Alvaro dan Bunga di dalam mobil menuju tempat tinggal mereka. Alvaro masih sedih atas sikap Bunga. Walaupun dia senang
Bunga terpaksa diam, dia tak bisa menjawab apapun lagi. Bahkan sampai di rumah sakit, Bunga masih juga terdiam. Alvaro pun tidak mencoba mengajaknya berbicara lagi. Ketika turun dari mobil, Alvaro segera membukakan pintu untuk Bunga. Dia kemudian berjalan setelah Bunga keluar dari mobil.Bunga terpaksa mengikuti Alvaro saja, mencari kamar tempat perawatan Sarah. Di hati Bunga, dia masih saja ketakutan kalau sakit Sarah akan bertambah parah karena kesal melihatnya.“Sayang, apa aku menunggu di luar saja?” tanya Bunga. Alvaro langsung berhenti berjalan. Dia memandang pada Bunga.“Kenapa selalu mendampingiku setengah hati, Bunga?” tanya Alvaro . Wajah Alvaro memelas, dia merasa sepanjang pernikahan terlalu banyak memohon pada Bunga. Sementara Bunga, di mana Alvaro tak pernah mengerti perasaannya.Bunga menganga, dia tahu Alvaro salah paham. Baru saja Bunga hendak membuka mulutnya, namun Alvaro lagi-lagi berbicara lebih dulu. “Sudahlah. Tidak apa, terserah padamu saja,” ujarnya.A
Di depan ruang kantor Alvaro, Leo masih duduk menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan Vanessa sudah bersiap untuk kembali pulang. Jam kerja memang sudah usai.“Aku mau menemui Pak Alvaro,” ujar Bunga pada Leo dan Vanessa. Vanessa hanya meliriknya sinis, tak peduli pada apa yang dikatakan Bunga. Baginya, jam kerja sudah selesai. Dia tak ada alasan lagi untuk menambah waktu kerja walaupun hanya sedetik. Apalagi hanya karena Bunga.“Silahkan masuk saja, Bunga.” Leo langsung saja mempersilahkan Bunga. Dia sudah tahu kalau Bunga ingin membicarakan sesuatu yang tampaknya serius dengan Alvaro. Itu semua terlihat dari wajah Bunga yang tampak sedikit tegang.Bunga langsung mengetuk pintu Alvaro, setelah hitungan ketiga, dia membukanya dan masuk. Vanessa melirik ke arah Bunga, masih dengan tatapan sinisnya. Leo yang berada di belakang layar komputer memperhatikan gerak laku Vanessa. Dalam hati, Leo tahu kalau Vanessa tidak menyukai Bunga. Tapi dia tak akan bertanya apa-apa. Leo akan mengamatinya