Kata-kata itu membuat hati Xavier mencelos. Ia mendekap bayinya lebih erat, berusaha menenangkan dirinya. Bayinya yang awalnya menangis, kini mulai terdiam setelah dipeluk ayah kandungnya. Di saat seperti itu, waktu terasa berjalan begitu lambat."Sisi ...." gumam Xavier memanggil nama istrinya.Pria itu menoleh menatap ke arah pintu ruang operasi. Rasa khawatirnya benar-benar berkecamuk. Tak tenang, gelisah, bahkan rasa takutnya telah mengganggu dirinya. Setelah cukup lama berpisah, dia tak ingin kehilangan istrinya lagi.Sari yang melihat kekhawatiran di wajah Xavier, akhirnya mendekat. "Tuan, saya yakin Nak Kasih wanita yang kuat. Dia pasti akan baik-baik saja," ucapnya mencoba menenangkan.Namun, Xavier hanya bisa diam. Kekhawatirannya begitu besar membuat dia terduduk dan menangis memeluk putranya yang mulai tertidur."Sisi ...." gumam Xavier lagi. Pria itu menyembunyikan wajahnya yang menangis.Hampir satu jam berlalu, dan akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter kel
Sebelum Kasih dipindahkan, Xavier menemui Sari dan suaminya untuk berterima kasih. Tentu saja pria itu tak hanya memberikan ucapan terima kasih. Dia pasti akan membalas budi pada pasangan paruh baya yang telah membantu persalinan istrinya.Beberapa waktu kemudian, Kasih dipindahkan ke ruangan rawat yang lebih luas dan nyaman. Saat bayi mereka tertidur di box kecil di sudut ruangan, Xavier kembali mendekati Kasih. Kali ini, ia tidak bisa lagi menahan air matanya. "Sisi ... aku tahu aku sudah membuatmu sangat terluka," ucapnya dengan suara serak. "Aku tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk menebus semua dosaku padamu, tapi aku bersumpah akan melakukan apa saja untuk menebusnya. Aku akan menjadi suami yang lebih baik, ayah yang layak untuk anak kita. Jadi tolong beri aku kesempatan," pintanya dengan air mata yang membasahi kedua pipinya.Kasih memandang Xavier, matanya berkaca-kaca. Ia bisa melihat ketulusan di mata pria itu, tetapi luka di hatinya terlalu dalam untuk sembuh begitu
Wanita itu menatap ke arah Xavier. Pria itu pun tengah duduk diam di hadapan bayinya. Lalu saat Kasih memerhatikan lebih tajam, wajah tampan itu terlihat basah dan meneteskan air.Xavier pun mengelap wajahnya dengan tisu. Bukannya marah, pria itu malah tersenyum tanpa menyadari bahwa Kasih memerhatikannya diam-diam."Kamu jahil ke Ayah, Jagoan. Hangat begini, kamu pasti sangat bersemangat," ucap Xavier dengan senyuman.Kemudian pria itu mulai mengelap dan membersihkan pantat putranya. Dengan sabar Xavier mengganti popok bayinya dengan yang bersih. Lalu pria itu mengusap lembut bayinya agar kembali tertidur. Setelahnya baru dia pergi ke luar kamar untuk memindahkan popok yang telah kotor.'Ternyata dia masih sama. Tapi ... Kenapa dia tega memperkosaku waktu itu? Kenapa?' gumam Kasih dalam hati kembali merasa sedih.Malam itu Xavier kembali masuk ke dalam kamar dan membetulkan selimut Kasih. Dia sendiri memilih tidur di samping putranya yang terlelap di dalam box bayi. Posisi tidurnya p
Dekapan itu semakin erat. Seolah Xavier tak ingin melepaskan wanita yang paling ia cintai di dunia ini. Hanya Kasih lah satu-satunya orang yang mampu mencairkan gunung es di dalam dirinya."Maafkan aku, Sisi ... Hukumlah aku, tapi jangan pergi lagi dariku ...." pintanya dengan tangisan yang terdengar menyayat hati.Kasih terdiam. Wanita itu sebenarnya juga tak ingin seperti ini. Namun rasa cintanya yang pernah tumbuh di dalam hati untuk Xavier, tak bisa ia lupakan begitu saja."Kamu berengsek ...." katanya tiba-tiba."Iya. Aku berengsek. Aku hanya laki-laki pengecut dan bajingan yang memperkosa seorang gadis remaja yang sedang dalam pengaruh obat tidur. Aku berengsek! Hukumlah aku ...." sahut Xavier semakin menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Kasih. Baru kali ini pria itu menangis tersedu-sedu setelah berhasil menemukan keluarga kecilnya.Keduanya terus berpelukan. Kasih sendiri tidak lantas melepaskan suaminya. Wanita itu menbairkan Xavier memeluk dan menangis di sana.Hingga se
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui celah tirai kontrakan kecil tempat Kasih dan bayinya tinggal. Xavier duduk di meja kecil di sudut ruangan, matanya tak lepas dari istri dan anaknya. Ia sudah berhasil membujuk istrinya. Hari ini, ia akan membawa Kasih dan bayi mereka kembali ke rumah."Sisi ...." panggil Xavier lembut, memecah keheningan pagi. Pria itu telah selesai menyiapkan sarapan untuk mereka berdua sebelum pergi.Kasih, yang sedang menyusui bayi mereka, menoleh. "Ada apa?" tanyanya dengan ekspresi yang lebih lembut. "Makanlah dulu sebelum melakukan perjalanan ," ucap Xavier dengan lembut. Pria itu membawakan sepiring nasi sayur mendekat ke arah tempat tidur Kasih."Iya. Sebentar, ya? Aku masih menyusui," sahut wanita cantik itu.Xavier segera duduk di samping Kasih. "Aku akan menyuapimu," ujarnya lembut.Kasih sedikit kaget. Lalu wanita itu menoleh menatap suaminya. Xavier tersenyum sembari mendekatkan sendok ke mulut Kasih."Kamu fokus menyusui anak kita saja.
Ketika mobil Xavier memasuki gerbang rumah mewah mereka, suasana langsung berubah. Para asisten rumah tangga sudah berdiri di depan pintu untuk menyambut kedatangan Nona dan Tuan Muda, segera bayi kecil yang juga akan menjadi Tuan di rumah itu.Kasih melihat ke sekeliling. Tak hanya para asisten rumah tangga dan juga penjaga kediaman suaminya, namun juga ada Wibowo dan Sania."Silakan, Tuan dan Nona. Selamat datang kembali," sambut Johan sembari membukakan pintu untuk sang Nona.Kasih mengangguk. "Terima kasih."Kini Xavier menggendong putranya, sementara Kasih berdiri di sebelahnya."Biarkan aku yang menggendongnya," bisik wanita itu."Biarkan aku saja. Kamu berjalanlah bersamaku. Lagi pula luka jahitmu masih belum sembuh," ucap Xavier dengan penuh perhatian. Pria itu mengulurkan tangan kirinya pada Kasih.Dan dengan senang hati Kasih menyambut uluran tangan suaminya. Kini mereka berdua berjalan memasuki rumah."Selamat datang kembali, Nona Kasih!" seru salah satu asisten rumah tangg
Sekembalinya sang Nona Muda ke dalam kediaman Xavier, membuat suasana yang tadinya suram menjadi lebih berwarna. Apa lagi dengan kehadiran bayi laki-laki yang menggemaskan yang langsung menjadi kesayangan semua orang."Lihatlah! Tuan Muda benar-benar manis seperti Nona. Oh ya. Haruskah kita memanggil Tuan Xavier Tuan saja? Sekarang sudah ada Tuan Muda yang lebih muda," ucap seorang asisten rumah tangga yang sedang mengerumuni bayi laki-laki itu.Kasih terkekeh pelan mendengarnya. Dia menatap wajah asisten rumah tangganya yang ia kenal. Dirinya bersyukur karena mereka masih mau melayaninya setelah dirinya memutuskan untuk melarikan diri. Dan mereka pun tak membahas hal itu lagi, seolah benar-benar tak pernah terjadi."Nona ... Kami benar-benar senang Nona Kasih kembali.""Itu benar. Hanya Nona yang pantas menjadi majikan kami. Kami benar-benar khawatir saat Nona Kasih pergi.""Iya, Nona. Lain kali kalau Nona memerlukan sesuatu, panggil saja kami. Kami dengan senang hati akan menjadi pe
Obrolan berlangsung hangat, tetapi ketika Harun mulai berbicara lebih banyak, Xavier tak bisa menyembunyikan kecemburuannya. Kasih, yang duduk di sampingnya, menyadari perubahan ekspresi suaminya. "Ada apa?" Kasih berbisik pelan pada suaminya.Xavier menoleh. "Tidak ada apa-apa," jawabnya agar sang istri tidak curiga. Bagaimana pun, sebelumnya dia pernah menyelidiki Harun yang pernah menyukai sang istri.Lita merasakan tatapan tajam sang Tuan Muda pada Harun. Gadis itu kemudian menggenggam tangan Harun dengan lembut.Harun, yang tampaknya mulai peka, segera menenangkan suasana. "Jangan khawatir, Pak Xavier. Saya tahu tempat saya. Sata tidak akan merebut istri orang karena saya sudah memiliki pacar," ujarnya."Itu benar." Lita mulai menyandarkan kepalanya pada bahu Harun.Kasih menatap tak percaya pada pengakuan Harun. Bahkan kini terang-terangan pemuda itu menggenggam tangan Lita dan mereka berdua terlihat mesra."Jadi ... Selama aku pergi, kalian jadian?" tanya wanita muda itu."Ya
Waktu berlalu begitu cepat, Aidan kini telah berusia lima tahun. Dan kehangatan keluarga kecil Xavier dan Kasih semakin terasa. Setelah Aidan genap berusia satu tahun, Kasih memutuskan untuk melanjutkan kuliah yang sempat tertunda. Usahanya yang gigih selama empat tahun terakhir kini membuahkan hasil. Hari ini adalah hari wisudanya, momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga kecil itu. Xavier dan Aidan datang ke acara wisuda Kasih dengan setelan rapi. Xavier mengenakan jas hitam elegan yang mempertegas wibawanya, sementara Aidan mengenakan kemeja putih kecil dengan rompi abu-abu yang membuatnya tampak seperti miniatur ayahnya. Rambutnya yang hitam ditata rapi oleh Xavier pagi tadi, meski bocah itu sempat memberontak karena tak mau diam. Namun, ada satu hal yang membuat Xavier sedikit geleng-geleng kepala—Aidan menolak digendong olehnya. "Ayah, aku bukan bayi lagi!" protes Aidan dengan nada malu-malu, sambil memalingkan wajahnya yang tampan dan menggemaskan. Xavier tersen
Malam berlalu dengan tenang, dan keesokan harinya, keluarga kecil itu menikmati waktu bersama di rumah. Xavier sengaja mengambil cuti untuk menghabiskan waktu bersama dengan Kasih dan Aidan. Dan tentu saja Johan yang akan menghandel semuanya.Saat pagi menjelang, Xavier membantu Kasih memandikan Aidan yang tertawa gembira saat air hangat menyentuh kulitnya. Atas permintaan Kasih lah mereka merawat Aidan sendiri, tanpa adanya baby sitter. Karena menurut Kasih, dia ingin merawat Aidan dengan benar dan penuh kasih sayang agar ikatan batin di antara orang tua dan anak semakin kuat."Aidan selalu ceria, ya," kata Xavier sambil mengeringkan badan putranya dengan handuk lembut. Kali ini pria itu yang memutuskan untuk memandikan Aidan.Kasih tersenyum, memperhatikan suaminya yang begitu telaten dan penuh kelembutan. "Ya. Aidan memang selalu ceria," jawabnya lembut.Xavier menoleh, menatap istrinya dengan senyum kecil. "Kalau begitu, dia pasti punya sifat seperti itu dari Bundanya yang cantik
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aidan tumbuh menjadi bayi yang sehat dan ceria. Kasih sering menghabiskan waktu di rumah untuk merawat anaknya dan Xavier. Sementara Xavier, meski sibuk dengan urusan perusahaan, selalu menyempatkan waktu untuk pulang lebih awal. Hal ini tak lain karena ia ingin melakukan perannya sebagai seorang ayah dan juga suami dengan baik.Suatu sore, Xavier pulang lebih awal dari biasanya. Pria itu menemukan Kasih dan Aidan di ruang tengah. Kasih sedang duduk di lantai dengan Aidan yang tertawa riang saat ia memainkan mainan berbentuk bola. Xavier berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar melihat pemandangan itu."Serunya! Sepertinya kalian bersenang-senang tanpa ayah, ya?" katanya sambil berjalan mendekat. Senyumannya lebar telihat bahagia karena keluarganya aman dan baik-baik saja."Ayah sudah pulang!" Kasih menyambut kepulangan suaminya dengan senyum lebar. Aidan, meski belum sepenuhnya mengerti, segera mengulurkan tangan kecilnya ke arah sang ayah.Xavier
Malam itu, Xavier kembali ke rumahnya dan duduk di ruang kerja ayahnya yang kini menjadi miliknya. Di atas meja, ada sebuah foto lama keluarganya— ayahnya; William, serta ibunya; Melinda, dan Haris berdiri berdampingan dengan senyum lebar.Xavier menatap foto itu dengan campuran emosi. Di satu sisi, ia merasa lega karena telah mengungkap kebenaran. Di sisi lain, ia merasa kehilangan yang sangat besar. Tak dia sangka pamannya lah yang menjadi orang paling mencurigakan yang telah mencelakai kedua orang tuanya.Saat dirinya sedang bersedih, Kasih datang mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Xavier. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Xavier menghela napas. "Ayahku selalu percaya bahwa keluarga adalah segalanya. Tapi sekarang aku tahu, bahkan keluarga pun bisa menjadi ancaman yang nyata."Kasih menggenggam tangan suaminya, memberikan kekuatan. "Apa yang kamu lakukan sudah benar, Xavi. Kamu melindungi harga diri keluargamu. Ayahmu pasti bangga padamu."Xavier tersenyum tipis. "Aku harap b
Xavier duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh dokumen-dokumen, rekaman suara, dan foto-foto yang membuktikan keterlibatan pamannya, Haris, dalam berbagai insiden tragis yang menimpa keluarganya. Wajahnya tegang, matanya menatap tajam pada berkas yang baru saja diserahkan Johan, kepala tim investigasinya.Setelah sekian lama, akhirnya meski dengan paksaan dan mencari sampai ke titik yang sulit dijangkau, Xavier menemukan pelaku utama yang selama ini dia cari setelah mendapatkan petunjuk dari catatan lama milik ayahnya."Tuan Xavier, semua bukti ini sudah cukup untuk mengamankan Pak Haris. Dari kecelakaan kedua orang tua Anda hingga penculikan Tuan Muda Junior, semuanya mengarah padanya. Jeremy, yang sudah kita jebloskan ke penjara, akhirnya mengakui bahwa dia hanya menjalankan perintah dari ayahnya, alias ‘Zero,’" lapor Johan dengan tegas.Xavier mengangguk pelan, mencoba mengendalikan emosinya. "Kali ini aku tidak akan membiarkan dia lolos. Om Haris telah menghancurkan keluargaku.
"Xavi, sebaiknya kamu istirahat dulu," ucap Kasih dengan lembut."Maaf, Sayang. Tapi aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Aku ingin kita bertiga aman," balas Xavier sembari memeluk sang istri. Lalu pria itu mencium lembut bibir Kasih."Kalau begitu tetaplah hati-hati, Xavi. Kamu juga jangan sampai kelelahan ...." ucap Kasih lagi. Wanita itu memang benar-benar perhatian pada suaminya.Xavier mengangguk. "Pastinya. Kamu juga istirahatlah. Maaf karena aku tidak bisa ikut menjaga Aidan malam ini," ucapnya."Aku mengerti, Xavi. Yang penting kamu jaga kesehatanmu dan semoga masalah ini segera berakhir," ucap Kasih penuh harap.Malam itu, Xavier memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan tanpa menunggu waktu lebih lama. Ia tahu bahwa kebenaran sudah ada di depan mata, tetapi harus digali lebih dalam untuk memastikan semua bukti tidak terbantahkan. Ia memanggil Johan dan Bagas ke ruang kerjanya di tengah malam."Johan, Bagas, kita harus memanfaatkan momen ini. Om Haris pasti tahu bahwa
Hari itu, Xavier memutuskan untuk fokus pada penyelidikan mendalam terkait pamannya, Haris, seperti yang diusulkan Johan dan Bagas. Meski hatinya berat, Xavier tahu bahwa untuk melindungi keluarganya, ia harus bersikap netral dan tegas, bahkan jika itu berarti mencurigai kerabatnya sendiri.Di ruang kerjanya, Xavier mengumpulkan Johan, Bagas, dan beberapa tim penyelidik terbaik yang ia percayai. "Kita perlu mengumpulkan semua informasi terkait Om Haris. Mulai dari rekam jejak bisnisnya, interaksi dengan keluargaku, hingga pergerakan terakhirnya dalam beberapa bulan ini," perintah Xavier dengan nada tegas.Johan mengangguk. "Kami akan menyisir setiap dokumen, email, hingga rekaman CCTV yang berkaitan dengannya, Tuan. Jika ada koneksi antara Pak Haris dan 'Zero,' kami pasti menemukannya dan memberikan bukti itu pada Anda.""Ya. Aku percaya pada kalian," sahut Xavier sembari mengangguk.Salah satu penyelidik segera mengakses arsip bisnis Haris dan menemukan bahwa Haris pernah terlibat da
Xavier memulai harinya lebih awal dari biasanya. Pagi itu, setelah sarapan bersama Kasih, ia langsung masuk ke ruang kerja untuk mendiskusikan rencana bersama Johan. Nama 'Zero' terus menghantui pikirannya sejak pengakuan terakhir dari pelaku penculikan. Apalagi dengan dugaan keterlibatan nama itu dalam kecelakaan tragis yang menewaskan kedua orang tuanya beberapa tahun silam. Xavier tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja."Johan," panggil Xavier tegas, "Kita tidak bisa membuang waktu. Aku yakin 'Zero' bukan nama sembarangan. Ini bukan hanya soal Aidan, tapi juga keluargaku.""Benar, Tuan," jawab Johan, mencatat setiap arahan yang diberikan. "Apa langkah pertama kita?"Xavier berdiri dan memandang ke luar jendela. Ia kemudian menghela napas panjang sebelum berbalik. "Aku ingin kamu menyisir setiap data yang kita miliki—mulai dari bisnis ayahku hingga jaringan sekarang. Cari tahu siapa saja yang pernah berurusan denganku atau keluargaku dan memiliki hubungan dengan nama ini,
"Zero ...." gumam pria itu.Xavier dan Johan saling berpandangan. Nama itu seperti tidak asing dalam pikiran Xavier. Pria itu terdiam sejenak, seolah menggali informasi mengenai nama tersebut. Namun meski terdengar seperti familiar, Xavier benar-benar lupa."Apakah Anda mengenal nama samaran itu, Tuan?" tanya Johan yang menyadarkan bosnya.Xavier menggeleng pelan. "Aku tidak tahu," jawabnya."Kalau begitu saya akan menyelidikinya," ucap Johan sembari memberikan instruksi pada anak buahnya."Katakan saja siapa dan bagaimana orangnya!" Xavier mencoba menekan sanderanya lagi."Tuan ... Sepertinya tidak akan mudah. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan orang yang menyuruhnya," ucap Johan mencoba menenangkan sang bos yang emosi.Setelah mendengar pengakuan itu, Xavier keluar dari ruangan dengan ekspresi dingin, meninggalkan Johan untuk menangani pria tersebut. Dia berjalan menuju kamarnya untuk menemui sang istri dan putranya yang berhasil selamat.Di sisi lain, Kasih yang masih berada d