Sering kali terbesit sejuta rasa tanya di hati Rio. Mengapa sikap kakaknya nampak berubah drastis terhadap Zee, istrinya. Tak hanya sekali dua kali Rio menjumpai situasi tak mengenakkan antara Alvendra dan Zee.
"Mas, sebetulnya apa yang terjadi antara kamu dan mba Zee?" Tanya Rio saat Alvendra membuka kulkas dan mencari-cari sesuatu yang dia inginkan.
"Sudahlah. Lebih baik kau diam saja. Gak usah ikut campur!" Bentak Alvendra sebelum menengguk orange juice.
Heran deh gue, selama dia menghilang karena kecelakaan itu kan Mba Zee ikut andil di perusahaan. Dia benar-benar bekerja keras dan banting tulang demi memenangkan tender. Gerutu Rio sambil berjalan meninggalkan Alvendra.
-----
Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Klunting... notifikasi WhatsApp Zee berbunyi.Zee, kamu dimana nak? Apa kamu langsung berangkat ke Madrasah? Ibu menunggumu dari tadi.
Ternyata pesan tersebut dari Kinasih. Rupanya Zee belum menjelaskan apa-ap
Sebagai seorang supervisor, Zee harus bisa membagi waktunya dengan baik. Terlebih banyak sekali yang harus ia kerjakan, mulai dai memecahkan masalah sehari-hari, membuat rencana jangka pendek dan panjang yang telah ditetapkan oleh atasan, membuat job description untuk staf bawahannya, mendisiplinkan bawahannya, dan lain-lain.Di usia kandungannya yang masih berada di trimester pertama, membuat Zee harus tetap profesional meski mual dan pusing kerap kali melanda."Zee, kamu kenapa? Kok pucat sekali?" Tanya Brameswara khawatir."Aku gak papa kok pah. Mungkin karena kelelahan saja." Jawab Zee sambil mengusap keringat dingin di pelipisnya.Meskipun Brameswara pemilik perusahaan dan sangat tegas serta disiplin terhadap karyawannya, namun ia tak pernah membeda-bedakan antara karyawan satu dengan yang lain. Terlebih Zee menantunya sendiri."Zee, papah mau bicara sama kamu. Bisa ke ruangan papah sekarang?""Baik pah." Jawab Zee sambil mengikut
Langit berubah menjadi jingga, cahayanya kian menghiasi langit-langit di ufuk barat, seakan melukiskan ketenangan bagi siapapun yang melihatnya. Cahaya redup senja tak begitu menyilaukan, tak begitu menyengat bahkan terlihat anggun dan menawan. Usai jam kerja, Zee yang biasanya pulang bersama Alvendra kini memilih untuk pulang seorang diri. Berjalan menyusuri koridor, langkahnya gontai pikirannya terus berpusat pada tawaran yang diberikan oleh mertuanya. TeeetttSesekali supir taxi mengagetkan lamunan Zee."Bu, mari saya antar...""Bu, taxi bu...""Bu mau kemana?" Tak hanya satu dua kali taxi yang sudah berhenti dan memberikan tawaran untuk Zee. Namun tetap saja selalu ia tolak. Bukannya ia akan melakukan kekonyolan belaka, pulang ke rumah dengan berjalan kaki saja. Namun kali ini Zee benar-benar membutuhkan waktu untuk sendiri. Ya, barang kali cahaya senja dapat sedikit memberikan ketenangan untuknya. Tak jauh dari pandangan Zee terdapat
Kecelakaan pesawat? UhukkkkZee tersedak. "Kenapa bu? Silahkan minumnya bu." Parman memberikan segelas air putih untuk Zee. "Tidak apa-apa pak. Saya hanya kaget mendengar cerita bapak. Jadi akibat kecelakaan itu bapak harus kehilangan tangan kanan bapak?" "Betul bu. Saat itu saya sempat dinyatakan meninggal karena seluruh awak pesawat jatuh berkeping-keping di tengah hutan. Namun qodarulloh... Allah masih memberikan kesempatan saya untuk hidup." Parman membuka tas kecilnya dan menunjukkan selembar foto kepada Zee. "Saat itu saya diterima kerja di perusahan ekspor impor yang terdapat di Singapura. Baru seminggu bekerja disana saya mendapatkan kabar jika istri saya mengalami sakit kanker otak stadium akhir. Sontak saya segera mengajukan cuti. Beruntung atasan saya orang asli Indonesia yang sudah menetap disana. Sehingga tak sulit bagi saya untuk mengambil hati beliau." Jelas Parman dengan mata yang berkaca-kaca. Astaga...pesawat
Zee masih tak percaya dan sesekali cerita Parman terngiang kembali. Sesampainya di rumah Zee tak segera menuju kamar mandi namun ia justru terkulai lemas di sofa ruang tengah."Zee, kamu baru pulang?" Tanya Martini mengagetkan lamunan Zee."Iya mah." Jawab Zee sambil menyandarkan tubuhnya di sofa."Sendirian?" Zee hanya tersenyum tipis. "Loh, kok gak bareng Al? Kemana dia?""Mas Al belum pulang?" Tanya Zee sambil mengerutkan kening."Kok kamu malah balik tanya mamah? Istri macam apa kamu? Udah pulang terlambat, udah gitu gak tau lagi suami ada dimana. Padahal kalian sekantor." Ujar Martini sambil tersenyum pait. Nada bicaranya memang tak setinggi biasanya. Namun tersirat kebencian yang sangat jelas."Udahlah mah, gak usah mengintrogasi Mbak Zee begitu. Mungkin Mas Al lagi kejebak macet, atau mendadak ada urusan lain." Rio menenangkan Mantini sambil mendorong kursi ibunya.Hufthhh...Nampaknya Zee begitu lelah. Hari ini cukup meng
Aduh...Zee mengaduh sambil memegangi perutnya. Ini bukan kali pertama Zee merasakan kram hebat di perutnya. Sejenak ia menyandarkan tubuhnya di kursi, tepatnya sambil setengah berbaring. Zee mengatur nafas dan memejamkan mata. Menahan rasa nyeri yang melanda begitu hebat."Mbak Zee kenapa?" Tanya Rio panik. Entah datang dari mana dan sejak kapan, yang jelas Rio kini sudah duduk di samping Zee. Sementara Zee hanya menggelengkan kepala, kedua tangannya memegangi perut sambil sesekali menggigit bibirnya sendiri."Mungkin mbak keleleahan. Ayok aku antar ke kamar.""Tapi... aku belum selesai merapikan dapur dan menata meja makan.""Ah, itu urusan gampang mbak. Aku juga bisa kok. Ayok mbak istirahat dulu. Masih kuat jalan?"Zee mengangguk pelan dan mencoba berusaha berdiri.AauuuuhhKakinya terasa ngilu, kaku, gemetar. Keringat panas dingin mulai bercucuran. Rio tak tega melihat kakak iparnya menahan sakit. Terlebih
Rio memilih untuk ke toilet terlebih dahulu sebelum memenuhi permintaan Zee. Nampaknya air yang mengalir dari kran yang cukup deras membuat tak seorangpun mengetahui gerutu geram Rio. Ia mengatupkan muka dengan kedua tangannya. Aaahhhhh Belinda Idelina Zaifa! Hhhhhh Tak hanya sekali dua kali ia menyebut-nyebut nama Zee. Sesekali ia menatap wajahnya di depan cermin. Ia marah, ia geram, kecewa, sedih. Namun untuk apa? Nasi sudah menjadi bubur. "Andai saja saat itu aku lebih cepat mengutarakan perasaanku sebelum Mas Al kembali..." Ungkap Rio dengan penuh sesal. "Come on Rio! Move on!" Rio berkata kepada dirinya sendiri di depan cermin. "Tapi aku tak dapat memungkiri bahwa kini aku.... aaaahhhh sial! Kenapa kamu harus jadi istri kakakku Zee!" Kini Rio tak hanya menyalakan kran, tetapi juga menyalakan sower. Sehingga siapapun mengira bahwa Rio sedang mandi. Rio duduk tersungkur di pojok toilet. Sambil menatap wajahnya sesekali
"Zee! Zee!"Teriakan Martini membuat Rio kaget. Segeralah ia mematikan kran dan sower. Tanpa ia sadari kamar mandi sudah sangat becek. Air dimana-mana, belum lagi percikan air di wastafel yang membasahi cermin karena sangkin derasnya ia memuar air kran."Sial! Kenapa aku harus melamun disini sih? Kaya orang bego aja." Rio menggerutu sambil mematikan kran dan sower."Ada apa si mah?" Rio keluar dari kamar mandi dan segera menghampiri Martini."Mana kakak iparmu? Kenapa meja makan masih kosong?""Ya ampun aku lupa, harusnya tadi aku membereskan meja makan. Astaga..." Rio menepuk jidatnya."Apa? Apa maksudmu? Kemana Zee?""Tenang mah tenang. Mbak Zee tadi nyaris pingsan. Perutnya kram lagi jadi aku bawa dia ke kamar biar istirahat." Jelas Rio sambil mengelus pundak Martini."Bagaimana bisa tenang? Sebentar lagi tamu mamah mau datang.""Sebenernya tamu siapa si mah? Gak biasanya mamah perfect seperti ini menyiapkan semuanya de
Meskipun angin diluar nampak ganas, namun tak menjadi penghalang dalam suasana di meja makan malam itu. "Mamah seneng deh ngliat kalian begini. Coba dulu kalian...." Cetar...Tak sengaja tangan kanan Rio menjatuhkan gelas. Kejadian ini justru membuat Zee kaget. Padahal dari tadi ia terkulai lemah di kamar. "Suara apa itu ya." Zee berusaha bangun sambil memegangi kepalanya. "Astaga sudah pukul 8 lewat. Kira-kira mas Al udah pulang belum ya. Berati dari tadi aku ketiduran." Zee berusaha beranjak dari tempat tidurnya. "Rio. Apa-apaan si kamu?" "Maaf mah gak sengaja." Jawab Rio singkat sambil membereskan percakan-percakan beling. "Keke, maafin Rio ya. Ya udah biarin Rio membereskannya. Ayo kita lanjut makan." "Gak apa-apa tante." "Keke..." Tangan Alvendra membersihkan kecap yang terselip di bibir Keke. Mungkin tadi dia kaget karena Rio memecahkan gelas sehingga membuat kecap itu menghampiri bibir sexynya.
Derap langkah Alvendra kian terdengar. Alvendra terhenti sejenak melihat pemandangan di meja makan. "Ini ada apa, kok kalian malah berpelukan?" Raut muka Alvendra terlihat begitu heran. "Udah kaya teletubies aja." Sambung Alvendra sambil tertawa geli. "Al, sejak kapan kau berdiri disitu?" Tanya Keke sambil menghapus air matanya. "Sejak mamah dan kamu menangis dan berpelukan. Kalian kenapa si?" Tanya Alvendra sambil mengusap air mata Keke. "Keke, apa kamu masih mencitai Alvendra?" Tanya Martini dengan wajah serius. "Mencintai? Apa maksud tante?" "Ayolah Keke, jawab jujur. Tante melihat ada cinta yang tertinggal di sorot matamu." "Mah, tolonglah jangan desak Keke." "Mamah gak mendesak Keke. Dulu dia meninggalkanmu karena terdesak oleh keadaan. Bukan karena dia tak mencintaimu lagi kan?" "Tapi mah, semua sudah berlalu. Sekarang juga aku sudah menikah dengan Zee." "Mamah punya solusinya. Mamah hanya ingin anak
Rio masih membereskan percahan beling yang sempat tertunda. Sementara Keke hanya diam sambil mengunyah makanannya, kehadiran Zee di tengah suasana dinner kala itu memang membuat Keke terkejut sekaligus geram. "Mbak Zee itu rajin sekali, dalam kondisi sakit seperti tadipun ia masih bisa masak ini semua." Rio menggerutu sambil berjalan membuang percahan beling. "Beruntungnya Mas Alvendra punya istri kayak Mbak Zee. Udah rajin, pinter masak, pinter cari duit, cantiknya alami lagi." Rio melirik tajam Keke. "Gak kaya si onoh, cantiknya karena di touch up." "Apa maksudmu Rio." Keke meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya sambil melipatkan tangan di dadanya. Rio duduk sambil meneruskan makan. "Gak ada maksud." Ujar Rio sambil mengunyah makananya. Martini mengatupkan rahangnya. "Sudah-sudah, Rio kalau kamu disini hanya akan merusak suasana mending kamu segera selesaikan..." "Selesaikan makan terus beranjak dari sini?" Rio menatap tajam Mar
Meskipun angin diluar nampak ganas, namun tak menjadi penghalang dalam suasana di meja makan malam itu. "Mamah seneng deh ngliat kalian begini. Coba dulu kalian...." Cetar...Tak sengaja tangan kanan Rio menjatuhkan gelas. Kejadian ini justru membuat Zee kaget. Padahal dari tadi ia terkulai lemah di kamar. "Suara apa itu ya." Zee berusaha bangun sambil memegangi kepalanya. "Astaga sudah pukul 8 lewat. Kira-kira mas Al udah pulang belum ya. Berati dari tadi aku ketiduran." Zee berusaha beranjak dari tempat tidurnya. "Rio. Apa-apaan si kamu?" "Maaf mah gak sengaja." Jawab Rio singkat sambil membereskan percakan-percakan beling. "Keke, maafin Rio ya. Ya udah biarin Rio membereskannya. Ayo kita lanjut makan." "Gak apa-apa tante." "Keke..." Tangan Alvendra membersihkan kecap yang terselip di bibir Keke. Mungkin tadi dia kaget karena Rio memecahkan gelas sehingga membuat kecap itu menghampiri bibir sexynya.
"Zee! Zee!"Teriakan Martini membuat Rio kaget. Segeralah ia mematikan kran dan sower. Tanpa ia sadari kamar mandi sudah sangat becek. Air dimana-mana, belum lagi percikan air di wastafel yang membasahi cermin karena sangkin derasnya ia memuar air kran."Sial! Kenapa aku harus melamun disini sih? Kaya orang bego aja." Rio menggerutu sambil mematikan kran dan sower."Ada apa si mah?" Rio keluar dari kamar mandi dan segera menghampiri Martini."Mana kakak iparmu? Kenapa meja makan masih kosong?""Ya ampun aku lupa, harusnya tadi aku membereskan meja makan. Astaga..." Rio menepuk jidatnya."Apa? Apa maksudmu? Kemana Zee?""Tenang mah tenang. Mbak Zee tadi nyaris pingsan. Perutnya kram lagi jadi aku bawa dia ke kamar biar istirahat." Jelas Rio sambil mengelus pundak Martini."Bagaimana bisa tenang? Sebentar lagi tamu mamah mau datang.""Sebenernya tamu siapa si mah? Gak biasanya mamah perfect seperti ini menyiapkan semuanya de
Rio memilih untuk ke toilet terlebih dahulu sebelum memenuhi permintaan Zee. Nampaknya air yang mengalir dari kran yang cukup deras membuat tak seorangpun mengetahui gerutu geram Rio. Ia mengatupkan muka dengan kedua tangannya. Aaahhhhh Belinda Idelina Zaifa! Hhhhhh Tak hanya sekali dua kali ia menyebut-nyebut nama Zee. Sesekali ia menatap wajahnya di depan cermin. Ia marah, ia geram, kecewa, sedih. Namun untuk apa? Nasi sudah menjadi bubur. "Andai saja saat itu aku lebih cepat mengutarakan perasaanku sebelum Mas Al kembali..." Ungkap Rio dengan penuh sesal. "Come on Rio! Move on!" Rio berkata kepada dirinya sendiri di depan cermin. "Tapi aku tak dapat memungkiri bahwa kini aku.... aaaahhhh sial! Kenapa kamu harus jadi istri kakakku Zee!" Kini Rio tak hanya menyalakan kran, tetapi juga menyalakan sower. Sehingga siapapun mengira bahwa Rio sedang mandi. Rio duduk tersungkur di pojok toilet. Sambil menatap wajahnya sesekali
Aduh...Zee mengaduh sambil memegangi perutnya. Ini bukan kali pertama Zee merasakan kram hebat di perutnya. Sejenak ia menyandarkan tubuhnya di kursi, tepatnya sambil setengah berbaring. Zee mengatur nafas dan memejamkan mata. Menahan rasa nyeri yang melanda begitu hebat."Mbak Zee kenapa?" Tanya Rio panik. Entah datang dari mana dan sejak kapan, yang jelas Rio kini sudah duduk di samping Zee. Sementara Zee hanya menggelengkan kepala, kedua tangannya memegangi perut sambil sesekali menggigit bibirnya sendiri."Mungkin mbak keleleahan. Ayok aku antar ke kamar.""Tapi... aku belum selesai merapikan dapur dan menata meja makan.""Ah, itu urusan gampang mbak. Aku juga bisa kok. Ayok mbak istirahat dulu. Masih kuat jalan?"Zee mengangguk pelan dan mencoba berusaha berdiri.AauuuuhhKakinya terasa ngilu, kaku, gemetar. Keringat panas dingin mulai bercucuran. Rio tak tega melihat kakak iparnya menahan sakit. Terlebih
Zee masih tak percaya dan sesekali cerita Parman terngiang kembali. Sesampainya di rumah Zee tak segera menuju kamar mandi namun ia justru terkulai lemas di sofa ruang tengah."Zee, kamu baru pulang?" Tanya Martini mengagetkan lamunan Zee."Iya mah." Jawab Zee sambil menyandarkan tubuhnya di sofa."Sendirian?" Zee hanya tersenyum tipis. "Loh, kok gak bareng Al? Kemana dia?""Mas Al belum pulang?" Tanya Zee sambil mengerutkan kening."Kok kamu malah balik tanya mamah? Istri macam apa kamu? Udah pulang terlambat, udah gitu gak tau lagi suami ada dimana. Padahal kalian sekantor." Ujar Martini sambil tersenyum pait. Nada bicaranya memang tak setinggi biasanya. Namun tersirat kebencian yang sangat jelas."Udahlah mah, gak usah mengintrogasi Mbak Zee begitu. Mungkin Mas Al lagi kejebak macet, atau mendadak ada urusan lain." Rio menenangkan Mantini sambil mendorong kursi ibunya.Hufthhh...Nampaknya Zee begitu lelah. Hari ini cukup meng
Kecelakaan pesawat? UhukkkkZee tersedak. "Kenapa bu? Silahkan minumnya bu." Parman memberikan segelas air putih untuk Zee. "Tidak apa-apa pak. Saya hanya kaget mendengar cerita bapak. Jadi akibat kecelakaan itu bapak harus kehilangan tangan kanan bapak?" "Betul bu. Saat itu saya sempat dinyatakan meninggal karena seluruh awak pesawat jatuh berkeping-keping di tengah hutan. Namun qodarulloh... Allah masih memberikan kesempatan saya untuk hidup." Parman membuka tas kecilnya dan menunjukkan selembar foto kepada Zee. "Saat itu saya diterima kerja di perusahan ekspor impor yang terdapat di Singapura. Baru seminggu bekerja disana saya mendapatkan kabar jika istri saya mengalami sakit kanker otak stadium akhir. Sontak saya segera mengajukan cuti. Beruntung atasan saya orang asli Indonesia yang sudah menetap disana. Sehingga tak sulit bagi saya untuk mengambil hati beliau." Jelas Parman dengan mata yang berkaca-kaca. Astaga...pesawat
Langit berubah menjadi jingga, cahayanya kian menghiasi langit-langit di ufuk barat, seakan melukiskan ketenangan bagi siapapun yang melihatnya. Cahaya redup senja tak begitu menyilaukan, tak begitu menyengat bahkan terlihat anggun dan menawan. Usai jam kerja, Zee yang biasanya pulang bersama Alvendra kini memilih untuk pulang seorang diri. Berjalan menyusuri koridor, langkahnya gontai pikirannya terus berpusat pada tawaran yang diberikan oleh mertuanya. TeeetttSesekali supir taxi mengagetkan lamunan Zee."Bu, mari saya antar...""Bu, taxi bu...""Bu mau kemana?" Tak hanya satu dua kali taxi yang sudah berhenti dan memberikan tawaran untuk Zee. Namun tetap saja selalu ia tolak. Bukannya ia akan melakukan kekonyolan belaka, pulang ke rumah dengan berjalan kaki saja. Namun kali ini Zee benar-benar membutuhkan waktu untuk sendiri. Ya, barang kali cahaya senja dapat sedikit memberikan ketenangan untuknya. Tak jauh dari pandangan Zee terdapat