Feiza cepat-cepat kembali masuk ke dalam kamar ketika Ziyana Nafisa akhirnya berpamitan kepada Furqon. Ia duduk di pinggir ranjang setelah meraih ponsel dari tasnya lalu pura-pura sibuk menggulir video reels di aplikasi Instagram.
Cklek.Pintu kamar terbuka dan sosok tegap Furqon muncul dari baliknya.“Tamunya sudah pulang, Gus?” Feiza yang baru berpura-pura sibuk dengan ponselnya menoleh dan melempar tanya.“Iya,” sahut Furqon lalu kembali menutup pintu.“Teman perempuan njenengan siapa, Gus, yang datang?” tanya Feiza pura-pura tidak tahu jika yang tadi datang adalah Ziyana Nafisa. “Kok cuma sebentar?” lanjutnya yang terdengar seperti menyindir.“Oh, teman pengurus DEMA, Fe. BPH-ku,” jawab Furqon. “Ada dokumen yang perlu kutandatangani,” tambahnya.Feiza mencoba mengulas senyuman menutup raut kecewanya karena Furqon memilih tidak berterus terang bahwa yang datang adalah Ziyana Nafisa, perempuan yang belakangan ini santeKabar cinta lokasi Furqon dengan Ziyana Nafisa semakin santer berembus. Terlebih, beredar video pengakuan Ziyana Nafisa jika perempuan cantik itu memang memiliki rasa terhadap sang presiden mahasiswa, Muhammad Furqon Al-Akhyar. Lalu momen-momen kedekatan keduanya semakin banter menjadi sorotan. “Tum, tahu yang namanya Ziyana Nafisa-Ziyana Nafisa itu nggak?” Ririn menyenggol lengan Feiza yang duduk di sebelah kirinya pada salah satu kursi yang ada di dalam basecamp HMJ mereka, Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (HMJ PGMI). “Eh?” Feiza yang sebelumnya berkutat dengan sebuah dokumen word di laptopnya menoleh. “Ada apa, Rin?” tanyanya karena sebelumnya memang tidak benar-benar menyimak pertanyaan Ririn. “Itu loh, kamu tahu yang namanya Ziyana Nafisa-Ziyana Nafisa yang katanya lagi deket sama Pak Pres Furqon?” Ririn menjelaskan pertanyaannya dengan perlahan. Sepersekian sekon Feiza langsung terdiam.
Rencana Feiza untuk segera bertemu dan bicara dengan Furqon tidak berjalan lancar seperti yang diinginkannya. Suaminya itu sangat sulit ditemui. Terlebih, setelah Furqon memberi keputusan sepihak agar Feiza tidak perlu lagi datang ke rumah kontrakan Furqon guna tinggal bersama. Feiza semakin sulit meski sekadar bertatap muka dengannya. Apalagi bicara empat mata.Sebelumnya saat Feiza masih berkeharusan tinggal bersama Furqon selama empat hari dalam seminggu di rumah laki-laki itu, Feiza sudah cukup sulit berdialog karena Furqon yang sangat sibuk bulak-balik meninggalkan rumah untuk mengurus organisasi yang ia pimpin. Bagaimana saat Feiza sudah tidak memiliki kesempatan tinggal dengannya? Tentu bertemu berdua hanya menjadi angan-angan yang semakin susah direalisasikan.Lalu karena saat ini, siang menjelang sore hari di taman samping ndalem rumah keluarga Furqon di Kediri, ketika Feiza akhirnya bisa duduk berdua dengan Furqon setelah ayah dan ibu mertuanya pergi meni
“Feiza?!”Suara terkejut itu berasal dari seseorang yang sejak sore tadi Feiza tunggu-tunggu kedatangannya.Itu suaminya.Muhammad Furqon Al-Akhyar. Orang yang beberapa waktu lalu membuka pintu depan rumah kontrakannya.“Kamu … di sini?” tanya laki-laki itu terdengar begitu terkejut sekaligus heran.Cepat, Feiza yang sudah mengangkat kepalanya yang tadi telungkup di atas meja makan menyeka kedua belah pipinya yang basah dengan gerakan yang cukup kasar.Gadis itu hanya menatap Furqon yang berdiri di bibir pintu penghubung ruang tamu dan ruang keluarga dengan kedua mata sembabnya, tanpa menyahut apa-apa.Diam.Hening.Yang terdengar hanya suara detak jam di dinding.Furqon yang terkesima selama beberapa sekon lantas berjalan menghampiri Feiza, berdiri di hadapannya. Ia benar-benar terkejut melihat presensi Feiza di dalam rumahnya dengan berbagai makanan yang terhidang di atas meja makannya.
Furqon ternyata tidak diam saja. Ia langsung menyusul Feiza masuk ke dalam kamarnya.Cek!“Tetap di sini, Feiza!”Furqon menahan tangan Feiza yang sedang memasukkan ponsel, charger, dan barang-barangnya ke dalam tas.“Tetap di sini,” ulang Furqon. “Aku minta maaf. Sekarang ayo bicara baik-baik,” tambahnya pelan.Feiza yang berdiri membelakangi Furqon tidak menjawab dan kembali mengusap air matanya.“Ayo bicara, Fe! Luapin semua amarah dan kekecewaan kamu selama ini ke aku supaya aku tahu. Ayo bicara,” ucap Furqon masih memegang tangan Feiza.“Aku mau pulang, Gus,” kata Feiza yang akhirnya mau kembali bersuara.“Sekarang sudah lewat tengah malam. Jangan pergi, Feiza! Kamu nggak boleh pergi.”Feiza langsung berbalik dan menepis tangan Furqon yang masih memegang tangannya dengan kencang.“Apa hak njenengan nyuruh aku nggak pulang? Nyuruh aku nggak pergi?” Feiza juga kembali merespons kata-kata Fur
“Aku tidak akan mungkin melakukan itu,” kata Furqon. Feiza menghela napas. “Gus ….” Nada suara gadis itu penuh permohonan. Furqon pun hanya diam. “Hahh,” hela napas Furqon kemudian. Jika Feiza tadi menghela napas pelan, Furqon barusan menghembuskan napasnya kencang. “Kenapa kamu berpikir aku akan menceraikanmu demi menikah dengan perempuan lain, Fe?” tanya Furqon. “Dan Ziyana? Ini sangat konyol.” “Lalu mau njenengan bagaimana?” jawab Feiza dengan tanya juga. “Njenengan mau menikahi Mbak Ziyana Nafisa tanpa menceraikanku? Aku nggak mau, Gus. Tolong, talak saja aku.” Furqon menggeleng mendengar kalimat Feiza itu. “Aku tidak akan menceraikan kamu!” Feiza kembali menangis tersedu. “Terus gimana?” racaunya. “Aku nggak mau dimadu, Gus! Lebih baik aku nggak menikah seumur hidupku!” “Kamu ini bicara apa, Feiza?” tanya Furqon dengan wajah yang kini terlihat s
Ciuman itu terhenti ketika Furqon sedikit menarik dirinya, untuk sama-sama mengambil napas dan pasokan udara.“Aku benar-benar mencintaimu, Feiza,” lirihnya menatap dalam manik mongoloid Feiza kemudian kembali mengikis jarak di antara mereka dan hendak kembali mencium Feiza.Dug!Tanpa diduga, Feiza tiba-tiba mendorong dada Furqon kemudian beringsut mundur di atas sofa panjang yang sejak tadi mereka duduki.“Njenengan jangan membuatku bingung, Gus!” tukas gadis itu.Furqon sangat terkejut melihat respons Feiza itu. “Bingung?” herannya tak berselang lama. “Bingung bagaimana?”Feiza menatap tajam Furqon yang ada di depannya. “Njenengan tidak benar-benar mencintaiku,” kata Feiza pelan. “Baiklah jika njenengan tidak mencintai Mbak Ziyana Nafisa, tapi tolong, jangan menipuku dengan mengatakan njenengan mencintaiku. Itu sangat buruk.”Furqon melebarkan kedua kelopak matanya, menatap Feiza dengan tatapan tidak percaya. “Menipu?
“Kamu adalah satu-satunya perempuan yang ingin aku nikahi, Fe. Sebelum menikah denganmu, aku membuat kesepakatan dengan Ayah dan Ibu kalau kita tidak akan berencana punya anak, sampai pernikahan kita disahkan negara,” ucap Furqon. “Hal itu bertujuan untuk kebaikan semua orang terutama calon anak kita nantinya. Karena itu, aku tidak ingin menyentuhmu, Feiza. Terlebih tanpa kamu yang menginginkan dan mengizinkannya.” Feiza yang mendengarnya langsung menatap Furqon dengan pandangan tidak percaya. “Hah? Tapi, Ibuku ….” “Itu lain cerita,” jawab Furqon. “Karena Ibu pikir kita menggunakan kontrasepsi,” lanjutnya pelan. Tempo hari hubungan ranjang Furqon dengan Feiza memang sempat dijadikan pembahasan oleh ibu mertuanya ketika menginap di Jombang. Wajah Feiza langsung memerah. Ia menggigit pelan bibir bawahnya sembari melempar tatap ke arah lain. Furqon yang menyadarinya menahan senyumny
“Feiza.” Feiza meremas-remas jemari tangannya sampai suara Furqon terdengar memanggil namanya dari bilik kamar mandi. “Iya, Gus?” sahut Feiza segera menghampiri dan berdiri di depan pintu kamar mandi itu. “Ada apa?” tanyanya. Furqon melongokkan kepalanya dari dalam melalui pintu kayu kamar mandi yang sedikit dibukanya. “Tolong ambilkan baju gantiku,” pintanya. Feiza menelan air ludahnya sebentar melihat wajah dan rambut basah Furqon. Ia kemudian mengangguk dan segera menuju lemari Furqon guna mengambilkan baju. “Terima kasih,” ucap Furqon menerima uluran baju dari Feiza. Feiza hanya menganggukkan kepala lalu kembali mendudukkan diri di sofa. “Masih punya wudu?” tanya Furqon sekeluarnya laki-laki itu dari kamar mandi. Ia tampak sudah memakai setelan sarung biru dengan atasan kaus putih lengan pendek yang sebelumnya diambilkan oleh Feiza.
"Zahra," panggil Bu Nyai Farah halus pada Feiza yang kini duduk manis di sampingnya pada kursi penumpang belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melaju di jalan raya. "Nggeh, Mi?" balas Feiza segera. Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya. "Ada yang mau Umi tanyakan?" Jantung Feiza langsung berdebar-debar. "Ta-tanya apa, Umi?" balas Feiza pelan dengan perasaan yang entah mengapa menjadi was-was dalam seketika. Bu Nyai Farah mendekatkan dirinya ke arah Feiza—hal yang membuat jantung Feiza semakin berdebar tidak karuan—lantas berbisik pelan ke telinga menantunya itu. "Umi perhatikan wajah kamu sedikit pucat, Zahra. Sedang tidak enak badan?" Feiza merasa kembali dikejutkan. Bukan karena pertanyaan yang diajukan Bu Nyai Farah kepadanya. Namun, sebab apa yang diduga, dipikirkan, dan ditakutkannya ternyata meleset. Perempuan cantik itu diam-diam menghela napasnya dengan penuh kelegaan. Pikiran buruk yang sebelumnya bercokol di kepalanya tidak terjadi. Bu Nyai Farah t
"Masyaallah, cantiknya putri menantuku ...." Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya sembari terpana memandang Feiza yang muncul dari dapur dengan sebuah nampan kecil berisi tiga buah cawan teh hangat di tangannya. "Monggo diminum dulu, Umi," ucap Feiza sembari menyajikan teh yang baru dibuatnya itu ke atas meja. "Iya, Zahra." Bu Nyai Farah menganggukkan kepala lalu meraih cawan teh yang ada di depannya yang baru saja disajikan Feiza kemudian pelan menyeruputnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Bu Nyai Farah sebelum meminum cairan berwarna kecokelatan itu. "Enak, Nduk." Kemudian pujinya. "He he, terima kasih, Umi." Bu Nyai Farah menganggukkan kepalanya sekali. Kedua netranya menatap sang menantu dalam-dalam. "Kamu terlihat lebih cantik dari yang terakhir kali Umi lihat, Zahra." Tak lama, Bu Nyai Farah kembali melempar pujian untuk Feiza yang kini sudah duduk di sebuah sofa yang tepat berada di depan perempuan paruh baya itu. "Aamiin. Umi bisa saja he he," ucap Feiza. "
"Iya, aku memang ngeselin, Feiza. Tapi cuma ke kamu aku seperti ini," ucap Furqon sembari menatap Feiza dalam-dalam. Tangan kanannya bergerak menggenggam tangan kanan istrinya itu perlahan. "Kamu pasanganku. Mungkin memang jodohnya, laki-laki tengil dan menyebalkan sepertiku menikah dengan perempuan galak dan keras kepala seperti kamu."Plak!"Aduh!"Tanpa aba-aba, Feiza memukul lengan Furqon yang ada di depannya dengan tangan kirinya."Sakit, Sayang," lirih Furqon menatap dalam Feiza sembari menampilkan ringisan di wajah tampannya."Rasain," balas Feiza dengan wajah cemberut."Ha ha." Furqon kembali tertawa melihat wajah istrinya yang menurutnya terkesan lucu itu. "Sayang banget aku sama kamu," lirihnya lalu mengecup tangan kanan Feiza yang ada di genggamannya."Katanya aku galak?" desau Feiza."Iya, tapi aku sayang.""Berarti nyebelin dong? Kenapa masih sayang?""Karena ngangenin," balas Furq
Assalamualaikum warahmatullah .... Assalamualaikum warahmatullah .... Usai salat, Furqon mengangkat kedua tangannya ke udara, memimpin doa kemudian langsung berbalik menoleh ke arah Feiza yang ada di belakangnya. "Mas." Feiza mendekat lalu meraih tangan Furqon dan menciumnya. Furqon merekahkan senyum. Tangan kirinya yang bebas tidak dicium Feiza bergerak mengusap lembut puncak kepala sang istri yang masih berbalutkan kain mukena. "Aku akan rindu kamu, Fe," tutur Furqon. Selesai bersalaman, Feiza menegakkan duduknya lagi dan sedikit mendongakkan kepala agar dapat menatap lurus wajah tampan Furqon yang ada di hadapannya. "Cuma dua hari, Mas," sahut Feiza. "Iya. Tapi aku akan sekarat merinduimu." "Ha ha ha ha." Feiza langsung memecahkan tawa mendengar itu. "Gombal banget, sih, Mas," tukasnya. Furqon kembali memasang senyum menatap perempuan yang ada di depannya. "Itu kenyataannya, Fe. Aku akan kangen banget sama kamu." "Chessy, ih. Gombal," respons Feiza sekali lagi. "Nggak p
Furqon masih diam tidak mengatakan apa-apa. "Aku masih kangen kamu padahal, Feiza," sahut Furqon akhirnya ketika bersuara. "Tapi aku juga nggak bisa nolak Umi tadi," lanjutnya. Feiza memasang senyum tipis, berusaha mengajak Furqon tersenyum juga bersamanya. "Cuma dua hari aja kok, Mas. Nggak lama," hibur perempuan itu. "Kita masih bisa hubungan, telepon atau mungkin video call." "Hm." Furqon menyahut dengan wajah sendu. Ia mengalihkan tatapannya dari Feiza lalu melanjutkan acara makannya yang sejak tadi sebetulnya tanpa selera. "Njenengan kurang suka ayam panggangnya?" tanya Feiza setelah memperhatikan cara makan Furqon. "Mau kumasakin sesuatu yang lain?" Furqon segera menoleh dan memberikan gelengan. "Nggak usah." Feiza mengangguk. Ia terus memperhatikan bagaimana Furqon makan sembari menyantap m
"Assalamualaikum. Feiza." Feiza baru saja selesai menunaikan ibadah salat Magribnya ketika Furqon terdengar mengucap salam dan memanggil namanya dari luar. Segera, perempuan itu pun melipat mukena dan sajadahnya lantas memasangnya di hanger kayu lalu mengantungnya di gagang lemari baju. "Feiza ...." Sekali lagi Furqon terdengar menyerukan nama Feiza. "Iya, Mas." Feiza keluar kamar dan menghampiri Furqon. "Waalaikumussalam." Ia menjawab salam Furqon yang tadi lalu khidmat mencium tangan sang suami. "Barang pesananku mana?" tanya Feiza lalu memperhatikan Furqon yang ada di depannya. "Ini. Sudah kubeli," balas Furqon, menenteng dua buah kresek berukuran sedang di tangan kirinya. Dua bungkus es degan beserta sedotannya di kresek yang lebih kecil dan dua kotak nasi di kresek satunya. Dua-duanya kresek bening sehingga siapa pun bisa melihat dengan jelas apa yang Furqon bawa. "Yeay! Makasih, Mas," seru Feiza girang lalu mengambil alih makanan dan minuman yang sudah dibawaka
Fahmi PGMI-A Feiza mengernyitkan keningnya melihat nama siapa yang tertera di layar ponselnya. "Fahmi? Kenapa tiba-tiba nelepon?" gumamnya kemudian mengangkat panggilan teman sekelas sekaligus wakil ketuanya di ormawa himpunan mahasiswa itu. "Assalamu'alaikum, Fahmi. Ada apa?" tanya Feiza tanpa berbasa-basi meskipun posisinya adalah si penerima telepon. "Wa'alaikumussalam." Dengan suara beratnya, Fahmi menyahut dari seberang. "Feiza," ucap Fahmi. "Apa?" Feiza merespons. "Aku sekarang ada di depan kosan kamu." Kedua bola mata Feiza langsung melotot mendengar perkataan Fahmi itu. "Hah? Ngapain?" Terkejut, tanya Feiza. Fahmi terdengar terkekeh lirih di seberang sana. "Lagian aku lagi nggak ada di kos, Mi." Feiza menambahi. "Ngapain kamu ke kosanku?" Perempuan cantik itu terdengar menggerutu. "Loh, beneran nggak ada di kos?" Fahmi melempar tanya dengan nada santai. "Hm. Iya," jawab Feiza pendek. "Padahal ada suatu hal yang mau kubicarain sama kamu, Fe." Feiza diam tidak lang
Gus Furqon: Istriku ingin dibawakan sesuatu?Bibir Feiza langsung melengkungkan senyum membaca pesan terakhir yang dikirimkan suaminya itu.Istriku ... betapa manisnya Furqon menyebut dirinya. Disebut begitu saja Feiza sudah merasa bahagia. Ada jutaan kupu-kupu yang menari di perutnya.Dan omong-omong soal keinginan dibawakan sesuatu. Ya, Feiza memang sedang ingin sesuatu.Segera Feiza pun mengetik balasan untuk pesan suaminya itu.Feiza: Mau es deganTanggapan Furqon pun segera datang.Gus Furqon: Iya. Ada lagi?Bibir Feiza semakin merekahkan senyuman cantiknya. Perempuan itu pun mengetik lagi di keypad ponsel Android-nya.Feiza: Lagi pengen makan ayam panggang maduFeiza: Pasti enak MasDrtt ... Drtt ....Furqon kembali langsung merespons.Furqon: Oke nanti pulang kubawakanFeiza mereaksi pesan terakhir Furqon dengan emoticon cinta lantas mematikan ponsel dan menghela napasnya."Huft .... Untung aja Gus Furqon belum baca," risik Feiza perihal pertanyaan memalukannya yang bertanya me
"Gus Furqon! Ada apa? Tumben njenengan nggak bisa dihubungi dari pagi? Apa yang terjadi, Gus? Kenapa baru ngampus siang?"Salim langsung memberondong Furqon dengan pertanyaan begitu laki-laki jangkung putra kiainya itu muncul di hadapannya."Semua baik-baik saja kan, Gus?" lanjut Salim masih melempar tanya.Menatap Salim yang ada di depannya, Furqon merekahkan senyum lebar lantas menepuk-nepuk lengan temannya itu. "Semuanya baik-baik saja, Lim," ujarnya.Salim mengerutkan keningnya. "Betulan, Gus?" tanyanya tak yakin. "Bagaimana dengan Neng Feiza?" lanjutnya tanpa suara setelah menengok kiri dan kanannya."Hn." Furqon mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Salim yang pertama lantas mendekat ke arah Salim dan berbisik pelan, "Biasa. Urusan rumah tangga. Jomlo seperti kamu nggak akan paham."Salim langsung terkekeh lalu tersenyum lebar mendengar itu. "Siap, Gus. Syukur alhamdulillah kalau begitu."Furqon manggut lagi dengan senyum cerahnya kemudian mengedarkan pandang ke sekeliling ruang