Aeris pun memeriksa kantong celananya. Sepertinya ponselnya memang tertinggal di kamar Alea. Ah, dia memang ceroboh.Alea melirik ponsel Aeris yang kembali bergetar. Entah sudah berapa kali pemilik nama 'Hubby' itu menelepon Aeris. Kenapa suami Aeris terus menelepon? Apa ada hal penting yang ingin lelaki itu sampaikan? Ponsel Aeris akhirnya berhenti bergetar. Namun, tidak lama pemilik nama 'Hubby' itu kembali menelepon, mungkin ada hal penting yang ingin suami Aeris sampaikan. Alea pun akhirnya menerima panggilan tersebut."Kamu di mana, Sayang? Apa kamu lupa kalau kita sudah janji makan siang bersama?" cerocos suara di seberang saat Alea menempelkan ponsel Aeris ke telinganya.Alea terhenyak. Tanpa sadar dia mencengkeram selimut dengan erat hingga membuat buku-buku jari tangannya gemetar. Wajah Alea pias. Jantungnya berdentam hebat di dalam rongga dada. Napas Alea tersengal karena suara itu terdengar tidak asing di telinganya. Melumpuhkan seluruh syaraf di dalam tubuhnya. Suara lela
Leon tampak begitu serius memperhatikan jalanan yang ada di hadapannya. Tumben sekali Leon sejak tadi diam karena dia biasanya banyak bicara dan suka menggoda Aeris hingga membuat pipi wanita itu bersemu merah. Namun, entah kenapa Leon mendadak banyak diam sekarang.Aeris pun heran melihatnya. Apa Leon sedang ada masalah lagi di kantor?"Kenapa kamu diam saja, Leon? Apa kamu sedang ada masalah?"Leon hanya melirik Aeris sekilas lalu kembali memperhatikan jalanan yang ada di depannya. "Kamu kenapa, sih?" Aeris kembali bertanya karena Leon mengabaikan pertanyaannya."Aku nggak kenapa-napa," sahut Leon datar. Apa Aeris tidak tahu kalau dia sedang cemburu?Leon tidak suka melihat Aeris dekat dengan Malikai—Si kedelai Hitam yang dirawat dan dibesarkan dengan sepenuh hati alias Kai.Aeris benar-benar tidak tahu kenapa Leon tiba-tiba mendadak mendiamkannya seperti ini. Apa dia sudah berbuat salah?"Kamu marah sama aku?""Tidak.""Kenapa kamu diam saja?"Leon mengembuskan napas panjang karen
Leon mendesah panjang, lantas mendorong kepala Aeris dengan jari telunjuknya. "Ish ...." Aeris berdecak kesal sambil merapikan poninya yang sedikit berantakan karena ulah Leon."Aku lagi mikirin nasibku. Kenapa sampai bisa mempunyai istri yang ajaib seperti kamu."Aeris malah terkekeh. Dia tidak merasa tersinggung sama sekali karena sudah terbiasa mendengar kata-kata pedas yang keluar dari mulut Leon."Tapi kamu mencintai istri ajaibmu ini, kan?" Leon tersenyum lantas meraih tangan Aeris dan menautkan jemari mereka. "Iya, aku sangat mencintai istri ajaibku ini," ucapnya sambil mengecup jemari tangan Aeris dengan penuh sayang.Jantung Aeris mendadak menjadi tempat konser musik dengan ribuan artis yang sedang menyanyikan lagu-lagu cinta dari berbagai zaman dan bahasa. Aeris merasa sangat bahagia mendengar ucapan Leon barusan dan meminta lelaki itu agar mendekat."Kamu mau apa?" tanya Leon sambil menatap Aeris dengan takut-takut. Apa Aeris ingin mencubit pipinya karena salah membeli pe
Kris kembali menghela napas panjang. Kedua matanya terlihat sendu menatap foto Aeris yang ada di tangan. Kris sepenuhnya menyadari jika dirinya bukanlah sosok ayah yang baik.Sebagai seorang ayah dia seharusnya menjaga dan menyayangi Aeris. Tetapi apa yang dia lakukan? Dia malah sering berkata kasar, menampar, bahkan memukuli Aeris. Entah setan apa yang merasuki pikirannya waktu itu hingga tega menyiksa Aeris. Hidupnya sekarang terus dihantui oleh penyesalan dan rasa bersalah. Kekuasaan dan harta yang melimpah ternyata belum bisa membuatnya bahagia. Bertahun-tahun dia mencari Aeris karena ingin meminta maaf dan menebus semua kesalahannya pada anak perempuannya itu. Dia ingin membahagiakan Aeris di sisa hidupnya yang mungkin tidak akan lama.Aeris sekarang sudah dewasa dan menikah dengan pria yang tepat. Kris yakin sekali kalau Leon pasti bisa membuat Aeris bahagia."Papa lihat apa?"Kris sontak mengalihkan pandangannya dari foto Aeris. "Kamu sudah pulang, Kai. Bagaimana keadaan Alea?
"Mau ya, Sayang? Please ...."Aeris meninggalkan meja makan, lantas membawa piring dan gelas kotor ke tempat pencucian. Lagi-lagi Leon memaksanya untuk bertemu dengan Kris. Aeris belum siap. Bagaimana kalau Kris memukulinya lagi? "Mau, ya?" Leon kembali membujuk."Sekali tidak ya, tidak."Leon menghela napas panjang. Setiap hari Kris selalu memohon agar dia bisa mempertemukannya lagi dengan Aeris.Tetapi membujuk Aeris bukan pekerjaan mudah. Aeris selalu saja menolak permintaannya untuk bertemu dengan Kris."Aku kasihan sama papa, Sayang. Dia kelihatan sangat menyesal dan kangen banget sama kamu."Aeris meremas wastafel erat-erat. Papa? Sejak kapan Leon memanggil Kris dengan sebutan papa? Menggelikan!"Aku tidak mau," tandasnya.Leon mendesah panjang. "Ayolah, Sayang. Aku mohon. Bagaimana pun juga dia masih papa kamu."Dada Aeris terasa begitu sesak. Kenapa Leon terus saja memaksa? Apa Leon tidak tahu apa yang telah Kris lakukan padanya di masa lalu? Aeris terluka parah. Sampai sekar
Aeris memasukkan makanan buatannya ke dalam kotak makan karena dia ingin makan siang bersama Kris di taman yang berada di dekat rumah mereka yang lama. Hubungan Aeris dan Kris kini semakin membaik. Aeris sangat berterima kasih karena Leon sudah membantu memperbaiki hubungannya dengan sang ayah."Apa sudah siap semuanya?" tanya Leon sambil menyomot tahu goreng yang tersisa di piring."Sudah, apa papa nanti suka dengan masakanku?""Masakanmu sangat enak Sayang. Aku yakin sekali papa pasti suka."Aeris mengecup pipi Leon sekilas. "Terima kasih, aku pergi dulu, ya?""Iya, hati-hati. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya," pesan Leon sebelum Aeris pergi.Andai saja dia tidak ada meeting penting, dia pasti akan ikut makan siang bersama Aeris dan Kris.***Banyak hal yang berubah dari taman itu. Di samping ayunan itu dulu hanya ada jungkat-jungkit, tapi sekarang ada perosotan dan komedi putar mini. Aeris masih ingat saat kecil dia sering bermain di sana bersama Anne."Aeris, sini!" Seorang lela
"Baiklah, nanti kita pergi ke makam mamamu setelah makan."Aeris dan Kris pun pergi ke makam Aileen setelah makan. Kris tidak bisa menahan lagi air matanya ketika melihat makam Aileen. Kata maaf terus terucap dari bibirnya yang gemetar karena menahan sesak di dalam dadanya. Kris merasa sangat menyesal sudah meninggalkan Aileen dan Aeris.Andai saja dia tidak selingkuh.Andai saja dia tidak menceraikan Aileen.Andai dia ....Cukup! Kris tidak ingin berandai-andai lagi karena semuanya sudah terjadi. Lagi pula dia tidak mungkin bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahannya."Papa jangan menangis, mama pasti sedih kalau melihat Papa terus menangis." Aeris menggenggam jemari Kris dengan erat agar merasa lebih tenang.Kris mengusap punggung tangan Aeris yang sedang menggenggam tangannya dengan lembut. Kedua matanya menatap Aeris dengan lekat. Aeris adalah buah cintanya bersama Aileen. Dia bersumpah akan membahagiakan Aeris. Itu janjinya.***Untuk Hubby:[Sayang, Maaf. Hari ini
Alea kembali meneguk minuman yang ada di tangannya. Segelas Rose Wine. Minuman berwarna merah muda yang terbuat dari anggur merah dengan ekstraksi warna yang lebih singkat dari pada proses pembuatan Red Wine. Alea terlihat sangat kacau, pikirannya tidak tenang, dan sedikit cemas. Padahal Alea sudah minum aspirin, tapi obat itu ternyata tidak bisa membuat pikirannya tenang. Dia butuh alkohol."Satu lagi." Alea memesan lagi segelas Rose Wine-nya yang ketiga.Sang bartender pun segera membuat minuman yang Alea pesan.Lagi-lagi Alea menghabiskan minuman itu dalam satu kali tenggak. Rasa panas sontak menjalar di tenggorokannya. Malam ini Alea ingin melupakan sejenak masalahnya.Mama yang selama ini dia banggakan.Mama yang selama ini dia elu-elukan.Mama yang selama ini dia hormati ternyata telah menghancurkan hidup orang lain.Di mata Alea, Azura sosok ibu yang begitu sempurna, merawatnya dengan penuh kasih sayang sejak dia masih kecil. Namun, siapa yang akan menyangka Azura telah menghanc
Seorang dokter dan empat orang perawat akan membantu proses persalinan Aeris. Mereka semua perempuan karena Leon tidak ingin Aeris ditangani oleh dokter maupun perawat laki-laki. Dia memang possesive."Tarik napas panjang Sayang, embuskan." Leon berusaha menenangkan Aeris meskipun dia sendiri juga panik karena sebentar lagi Leon junior akan lahir ke dunia."Kenapa kamu membuatku hamil, Leon? Aduh, rasanya sakit sekali!" Aeris menarik rambut Leon kuat-kuat hingga membuat Leon meringis kesakitan."Aduh, Sayang, sakit!"Aeris terus mengaduh kesakitan. Perutnya seperti akan terbelah karena suatu di dalam sana berusaha merangkak keluar. Sepasang bayi kembar, kacang kecilnya.Aeris tanpa sadar meremas tangan Leon semakin erat karena perutnya benar-benar terasa sakit."Aduh, Sayang, sakit. Jangan meremas tanganku terlalu kuat!"Aeris tidak peduli Leon meringis kesakitan karena perutnya benar-benar sakit."Tarik napas panjang dan keluarkan perlahan-lahan."Aeris pun mengikuti perintah dokter.
Leon tersenyum tipis. Sangat tipis dan nyaris tidak terlihat. Penyesalan, rasa bersalah, juga rindu yang teramat dalam terpancar jelas dari kedua sorot matanya saat menatap Aeris."Pizza pesanan Anda sudah datang, Nona."Aeris menepis pizza di tangan Leon dengan kasar lantas melemparkan diri dalam dekapan lelaki itu. Tangis Aeris seketika pecah. Dia sangat mencintai Leon dan tidak ingin berpisah dengan lelaki itu."Aku tidak ingin berpisah denganmu, Leon. Aku mohon, jangan pernah ceraikan aku," gumam Aeris dengan suara gemetar.Leon menarik napas panjang. Hatinya begitu sakit melihat air mata yang membasahi pipi Aeris. Leon merasa sangat menyesal sudah menyakiti Aeris dan membuat wanita yang dia cintai itu menangis."Aku takut sekali karena kamu tiba-tiba tidak peduli dan bersikap dingin lagi kepadaku, Leon. Aku nyaris gila karena memikirkan nasib pernikahan dan buah hati kita. Aku takut kamu akan menceraikanku ....""Maaf," ucap Leon sambil mengecup puncak kepala Aeris berkali-kali.
Leon menghela napas panjang. "Aku pikir pernikahanku dan tante Aeris akan berjalan baik-baik saja dan berakhir bahagia sampai maut memisahkan kami berdua. Tapi kenyataannya tidak, tante Aeris ternyata mencintai lelaki lain."Meeta terhenyak medengar ucapan Leon barusan. "Aeris tidak mungkin mencintai lelaki lain, Leon. Sebagai sesama perempuan aku bisa melihat dengan jelas kalau Aeris sangat mencintai kamu."Leon mengangkat kedua bahunya ke atas, kesedihan dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. "Terserah kalau kamu tidak percaya. Tapi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau tante Aeris sedang berpelukan mesra dengan lelaki lain.""Memangnya kamu tahu siapa lelaki yang dicintai Aeris?"Leon mengangguk."Siapa?" tanya Meeta ingin tahu."Aku malas menyebut namanya. Terima kasih banyak sudah mau mengobati lukaku, Meeta."Meeta mengangguk. "Sama-sama. Sebaiknya selesaikan masalahmu dengan Aeris baik-baik. Aku harap kalian tidak akan pernah berpisah."Leon mengangguk
Aerin hanya bisa diam melihat Setya yang memukul Leon karena dia juga kecewa dengan keputusan putra sulungnya itu.Leon mendesis sambil mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Rasanya sangat perih bercampur dengan ngilu. Rahangnya pun seolah-olah patah karena pukulan Setya sangat keras. "Untuk anak, Papa tenang saja. Leon akan tetap tanggung jawab."Rahang Setya semakin mengeras. "Anak bodoh! Tolol! Pernikahan itu bukan main-main, Leon!""Leon tidak pernah mempermainkan pernikahan, tapi tante Aeris yang telah mempermainkan perasaan Leon. Ugh...!" Leon memegangi perutnya karena Setya tiba-tiba menendangnya dengan cukup keras."Anak bodoh! Selama dua puluh lima tahun menikah papa selalu berusaha membuat mamamu jangan sampai meneteskan air mata, tapi kamu malah tega membuat Aeris menangis. Di mana hatimu, Leon?""Hati Leon sudah lama mati.""Leon!" Setya menghajar Leon tanpa ampun untuk melampiaskan amarah sekaligus kekecewaannya. Leon tidak bisa melawan karena sang ayah
Hana berjalan cepat menghampiri Leon dan menggebrak meja dengan cukup keras hingga membuat cucu kesayangannya itu berjingkat kaget. Kedua mata Hana menatap Leon tajam, dadanya naik turun menahan emosi yang siap untuk meledak."Kenapa Nenek datang ke kantor Leon?" tanya Leon berusaha tetap tenang."Kenapa kamu ingin menceraikan Aeris, Leon? Apa kamu sudah kehilangan akal?"Leon tanpa sadar menelan ludah, terkejut karena Hana tahu kalau dia ingin menceraikan Aeris. "Da-dari mana Nenek tahu?""Aeris sudah menceritakan semuanya sama nenek. Kamu itu sudah dewasa, Leon. Masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik-baik. Jangan malah lari seperti seorang pengecut."Leon mengembuskan napas kasar sebelum bicara. "Untuk apa Leon mempertahankan pernikahan ini kalau tante Aeris tidak sungguh-sungguh mencintai Leon, Nek?"Mulut Hana sontak menganga lebar. "Kamu benar-benar bodoh, Leon. Aeris itu cinta mati sama kamu. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?"Leon malah mendengkus. "Nene
"Sshh ...." Aeris memegangi kepalanya yang terasa berdenyut lalu menarik napas dalam-dalam karena perutnya tiba-tiba saja terasa kram. Semoga kacang kecilnya baik-baik saja.Aeris kembali menarik napas panjang, tapi rasa sakit di perutnya tidak mau hilang. Sakitnya malah semakin menjadi-jadi. Dia pun meraih ponselnya yang ada di atas meja karena ingin menghubungi Leon.Namun, nomor Leon lagi-lagi tidak aktif. Aeris pun beranjak ke kamar karena ingin beristirahat, akan tetapi dia tidak sanggup berdiri karena kedua kakinya terasa sangat lemas. Aeris ingin meminta tolong pada Bik Ijah, tapi dia lupa kalau asisten rumah tangganya itu sedang izin pulang kampung. Aeria benar-benar sendirian di rumah.Aeris ingin meminta tolong pada Anne, tapi dia tidak jadi melakukannya karena sahabatnya itu pasti lelah setelah mengurus butik sendirian. Aeris tidak mungkin minta tolong Sean karena cowok itu sedang fokus belajar untuk mengukuti ujian.Aeris merintih karena perutnya semakin terasa sakit. Dia
Tangis Aeris seketika pecah. Mimpi buruk yang dia jalani di awal pernikahannya dan Leon kembali terulang. Namun, mimpi buruknya kali ini terasa lebih menyakitkan karena ada nyawa yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Kenapa Tuhan kembali memberi ujian saat dia baru saja meneguk manisnya pernikahan bersama Leon?Kenapa?"Tuhan, tolong selamatkan pernikahanku," gumamnya terdengar pilu.***Tidak ada satu orang pun yang tahu jika ada badai yang menerpa rumah tangga Aeris dan Leon. Pernikahan mereka seolah-olah terlihat baik-baik saja dan tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Aeris benar-benar menyimpan masalahnya dengan rapat. Dia memendam rasa sakit itu sendirian karena tidak ingin membuat orang-orang di sekitarnya khawatir.Namun, pertahanan seketika Aeris hancur karena menemukan sebuah surat yang tergeletak di atas meja kerja Leon. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan sangat kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas. Dadanya sesak.Tubuh Aeris
Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan karena Leon menepuk lengannya pelan. "Maaf, aku ketiduran. Apa kamu baru pulang?" tanyanya dengan wajah mengantuk.Leon mengangguk."Kamu sudah makan belum? Kalau belum kita makan bersama, ya?""Aku tadi sudah makan bersama klien," ucap Leon tanpa merasa bersalah sedikit pun.Wajah Aeris seketika berubah sendu. Padahal dia sudah menunggu Leon hingga ketiduran di meja makan agar mereka bisa makan malam bersama, tapi Leon malah makan di luar bersama klien."Kamu mau mandi? Mau aku siapin air hangat, ya?"Leon menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya sambil berjalan ke kamar, meninggalkan Aeris sendirian di meja makan.Aeris menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Entah kenapa Aeris merasa kalau Leon bersikap dingin lagi pada dirinya. Apa dia telah berbuat salah?Aeris tanpa sadar menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran buruknya barusan. Leon tidak mungkin bersikap dingin lagi pada dirinya
Brian terkejut karena Leon tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya dan membanting pintu dengan cukup keras. Padahal Leon tadi mengatakan ingin menjemput Aeris di rumah sakit sekalian pulang dan tidak akan kembali ke kantor.Brian pun berdiri lantas menghampiri Leon yang sedang membolak-balik berkas di tangan dengan kasar. Napas Leon terdengar tidak beraturan, menahan cemburu dan amarah yang sudah berkumpul di dalam dadanya"Kau tadi bilang mau ngabisin waktu berdua dengan Aeris di rumah. Kenapa kamu malah balik ke kantor, Leon?""Ingin saja," jawab Leon malas.Brian memperhatikan Leon dengan lekat, sepertinya suasana hati sahabatnya itu sedang tidak baik. "Apa kau bertengkar dengan Aeris?"Leon menggeleng pelan."Lalu?"Leon mengempaskan punggung ke kursi lalu memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa penat. Sepenat hatinya sekarang. "Aku tadi lihat Aeris pelukan sama Kai," ucapnya lirih.Mulut Brian sontak menganga lebar. "A-apa?! Kai?!" Calon kakak ipar? Imbuhnya dalam hati.Leon mengang