“Mama Enik, maaf, ya, Ma! Mas Ricky sejak awal bilang kalau semua dia yang bayar. Ikhlas! Nggak ada utang piutang! Ini yang sakit bapakku, Ma! Besannya Mama!” sergahku sudah tidak tahan lagi.
“Heh! Ini urusan orang tua! Kamu nggak usah ikut-ikut!” bentak Mama Enik kepadaku.
“Nggak bisa, Ma. Karena ini menyangkut orang tuaku! Jadi, aku harus ikut ngomong!”
“Disuruh diam nggak mau? Nggak nurut! Mbak Yuni, anaknya dikasih tau, dong! Sama mertua yang sopan!” cibir Mama Enik memonyongkan bibir sampai sekian sentimeter ke depan.
“Cha, sabar!” Mamaku mulai tidak kuat dan kalah hawa oleh besannya.
“Icha sabar, kok, Ma! Cuman Icha nggak mau kalau ada hutang piutang yang nggak jelas gitu. Icha panggil Mas Ricky aja!” Kubalikkan badan, bersiap memanggil suami ter— …. Aku tak tahu ter apa? Tercinta? Bah! Mana bisa aku cinta dia!
Mama Enik tiba-tiba menarik tanganku lalu
Permintaan Mama Enik agar Mas Ricky menceraikan aku membuat napas jadi berjeda. Sedemikian bencinya mertuaku satu ini kepadaku. Padahal, sedang ada cucunya di dalam perutku. Semakin membuatku bertanya, apakah dia manusia atau bukan?“Mama! Apa-apaan? Jangan begitu, Ma! Kami baru menikah kok sudah disuruh cerai?” Mas Ricky sangat emosi.Aku diam saja. Meladeni lidah mertua yang tajam hanya akan semakin menyakitkan hati. Kalau memang cerai, paling tidak bukan aku yang meminta.Sebenarnya, sudah gatal sekali mulut ini untuk mengiyakan permintaan Mama Enik. Bahagia sekali aku kalau bisa berpisah dari suamiku yang tukang selingkuh ini!“Yah, Mas Ricky sih salah pilih istri. Dapatnya yang nggak sopan sama Mama,” celetuk Dessy sambil bermain dengan ponsel. Senyumnya culas melirikku.“Betul, itu, Rick! Dessy itu benar! Kamu sudah salah pilih!” timpal Mama Enik.Aku menatap Mama Enik dan Dessy dengan pandangan pali
Mendengar ucapan dokter itu sontak membuat kakiku lemas. Mas Ricky tidak akan selamat? Secepat ini? Anaknya saja belum lahir!“Segera tandatangani persetujuan operasi. Kami akan segera mempersiapkan semuanya.”“Biaya bagaimana?” tanyaku harap-harap cemas.“Asuransi kantor suaminya menanggung semua.”“Sukurlaj!” gumamku bernapas lega. Segera berkas-berkas yang berjumlah lima lembar kutandatangani.Sekarang sudah jam satu pagi. Operasi akan dilakukan besok jam tujuh pagi. Mas Ricky sudah sadar. Dia diberi obat anti nyeri dosis tinggi agar tidak kesakitan dan pingsan lagi seperti di rumah.Aku menemaninya di dalam kamar. Posisi sebagai manajer membuatnya mendapat kamar VIP. Sama seperti kamar papa kemarin. Kutatap wajah pucat yang sedang tertidur lelap. Suamiku, kenapa kita bisa jadi begini?Mungkin sadar sedang kulihat lekat, ia membuka mata.“Cha,” panggilnya lemah.
Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Ini sudah keterlaluan. Kenapa Mama Enik benci sekali kepadaku? Apa yang sudah aku lakukan hingga membuatnya menyakitiku seperti ini?Mas Ricky terlihat makin pucat karena wanita itu datang bersama ibunya, menemuiku di kamar ini. Setiap aku melihat dia, hanya adegan mesum mereka yang kemudian muncul di otak.“Cha, udah tahu belum ini siapa?” tanya Mama Enik terkekeh riang. Dia pasti bahagia melihat wajahku seperti habis kena gledek di siang bolong.Sang wanita tidak tahu malu justru mendekatiku dan tersenyum manis sekali. Sial! Kenapa dia sangat cantik? Runtukku sedih. Aku mungkin adalah wanita paling jelek dalam deretan bunga-bunga seorang Ricky Irawan.“Hai, Anissa. Aku Ta—”“Aku tahu siapa kamu, Tanti! Nggak usah sok baik! Ngapain ke sini?” potongku ketus. Kalau ditanya, mungkin level judes ini sudah sampai di angka sepuluh, maksimal.“Eh, jenguk Ricky, lah.
Iya, atau tidak? Maju atau mundur? Bermenit-menit kupandangi media sosial Ardio, suaminya Tanti. Kalau aku kirim pesan lewat chat di situ, apa reaksinya?Apakah dia akan langsung marah kepada Tanti? Atau dia marah kepadaku karena sudah menjelek-jelekkan istrinya? Atau … dia akan menghubungi Mas Ricky dan mereka berkelahi?Pertanyaan Mas Ricky kepada Tanti terngiang. Suamiku bertanya kenapa perempuan itu ada di Surabaya? Berarti aslinya Tanti tidak di sini?“Ooow, dia orang Jakarta,” gumamku sendiri.“Siapa, Cha?” Mama ternyata sudah masuk ke kamar. Kulihat bundaku itu membawa susu cokelat hangat. Ternyata beliau masih mengingat kesenanganku.“Buat aku, ya, Ma?” tanyaku sumringah. Mama mengangguk dan memberikan gelas cokelat itu kepadaku.“Cha,” panggil Mama pelan, dan lembut. Ia membelai rambutku. Pundak ini diusapnya perlahan. “Jadi istri itu harus sabar,” ucap Mama mulai me
Duh, kan? Jawab apa kalau begini? Kenapa pertanyaan langsung seperti itu? Sudah pengalaman atau bagaimana?Mumet! Ruwet! Benar Mbak Lelly aku terlalu berani melangkah. Ini dia mengirim chat lagi.Ardio[Lama nggak dijawab, berarti jawabannya iya.]Terpaksa aku jawab dan kami kembali saling chat.Aku[Bingung jawabnya. Aku cuman heran aja kenapa mereka berdua kayak lem. Susah banget dipisah.]Ardio[Itu sudah sejak dulu begitu. Tanti dulu janji sama aku nggak akan hubungan lagi. Ternyata dia bohong. Sejak kapan mereka berhubungan lagi?]Aku[Nggak tahu. Aku juga baru tau sejak awal menikah bahwa mereka masih hubungan.]Ardio[Ada nomor telepon? Saya mau telepon aja daripada capek nulis.]Kuberikan nomor telepon padanya. Tidak sampai sepuluh detik sudah bunyi ponselku. Wajah blasteran bulenya muncul di layar. Kenapa Tanti bisa sia-siakan makhluk setampan ini? Batinku keheranan.“Ha-
“Dorooooong! Dorong sedikit lagi, Bu!” Dokter Ratna memberi semangat.Perut ini sakit jangan ditanya. Ya, Tuhan, jadi begini rasanya melahirkan. Berat sekali perjuangan seorang ibu!“Aaaaaaaarrrgggghhhhh!” jeritku kencang. Keringat sudah membanjiri seluruh tubuh. Ingin rasanya aku menyerah saja karena tidak ada tenaga lagi.“Sedikit lagi, Beb! Sedikit lagi!” Mas Ricky meremas tanganku, memberikan lecutan semangat agar terus berjuang melahirkan anak kami.Aku tatap wajah pucat suamiku. Dia baru saja keluar dari rumah sakit ini beberapa jam lalu, dan sekarah sudah kembali lagi ke sini bersamaku. Apakah dia baik-baik saja? Bukankah orang yang baru dioperasi usus buntu seminggu lalu harusnya masih sakit, ya?Entahlah! Aku antara terenyuh melihat Mas Ricky, berbarengan dengan ingin mencakar wajahnya saat ini juga. Lelaki kurang ajar yang sudah tidur dengan wanita lain selain diriku!“Semangat, Cha!”
Mata Mas Ricky menatap tajam kepada Pak Andre. Dua lelaki ini saling tatap. Bosku tentu saja bersikap biasa. Berbeda dengan suamiku yang seperti orang kebakaran jenggot.“Saya Andre. Bosnya Anissa,” sapa Pak Andre memperkenalkan diri.“Ngapain siang-siang ke sini?” desis Mas Ricky sangat tidak ramah.“Tilik bayi, Mas.” Mbak Lelly sudah selesai dari kamar mandi dan ikut nimbrung. Mengatakan kehadiran mereka untuk menengok Rafi.Melihat Mbak Lelly juga ikut, wajah Mas Ricky sedikit berubah. “Oh, kamu ikut juga, Lel?”“Iya, Mas. Langsung dari kantor tadi ke sini. Nggak sabar mau gendong ponakan.”“Hmm, ya, udah. Ini sekarang mau pulang?”“Iya, kami akan pulang.” Pak Andre masih terlihat baik dan ramah.“Oh, iya, kenalin saya Ricky. Suaminya Anissa,” balas Mas Ricky menjabat tangan Pak Andre. Aku tahu dia berusaha ramah. Aslinya dia tida
Hari berlalu, seiring segala sesuatu terus berjalan di sekitarku. Tiap hari itu pula, aku berpikir bagaimana bisa pergi dari Mas Ricky. Tiap malam aku tidur di sampingnya, perasaan jijik kian besar.Kalau tanpa sengaja dia menyentuh tanganku, langsung perut ini terasa mual. Jangan tanya bagaimana rasanya kalau dia sengaja menyentuhku, seperti saat ini.“Aku minta maaf, Cha. Please, tolong, maafkan aku!” pintanya mengiba tiap hari tanpa lelah.“Nggak mau! Kesalahanmu udah fatal, Mas! Kamu tidur sama cewek lain disaat aku lagi hamil! Apa-apaan itu? Di mana nuranimu?” tolakku tegas.“Aku khilaf, Cha.”“Eh, khilaf itu sekali, tahu nggak? Abis gitu, ngomong jujur, terus ngaku. Kamu itu nggak khilaf! Emang kamu doyan sama Iin. Nah, sekarang kita mau cerai, kamu bisa bebas merdeka sama Iin! Dah, sana, kejar tuh cewek!”“Nggak, Cha. Aku maunya sama kamu.”“Sama Tanti juga sana!
Sepanjang hari aku gelisah. Sejak sore sudah berkali-kali memilih baju yang berbeda untuk dipakai bertemu Ardio dan Tanti di Tunjungan Plaza.Jelas, aku tidak mau terlihat kampungan atau jelek di hadapan wanita yang sudah merasakan tubuh suamiku. Jangan sampai dia mentertawakan aku yang tidak bisa dandan maksimal saat ke mall besar.Memoles make up minimalis dengan warna bibir agak cerah. Menampilkan manisnya wajah khas Jawa Timur. Mas Ricky selesai mandi dan menatapku tak berkedip ketika memasuki kamar. “Cantik banget kamu malam ini,” pujinya terdengar tulus. Dari sorot mata, aku tahu kalau dia merindukan kehangatanku.Salah sendiri membuang semua yang dia miliki bersamaku demi mengincipi aneka wanita di luar sana.“Hmm, iya, dong. Meskipun udah emak-emak, tetap harus cantik, kan?” Sekenanya aku menyahut.Obrolan yang kurasa aneh. Tidak ingin ada kedekatan seperti ini sebelumnya. Akan tetapi, harus berpura-pura supaya terlaksana pertemuan berempat.Mas Ricky mendekat. Berdiri di bel
Masih berdua dengan Ardio di café yang dingin. Ditemani musik sepoi-sepoi. Setiap dia berbicara, ekspresi wajahnya selalu menarik untuk dilihat.Gilalah aku yang terpesona dengan lelaki ini. Usianya mungkin berbeda sepuluh tahun lebih denganku. Dia terlihat begitu dewasa dan matang. “Cha! Ngelamun?” protes Ardio memanggil namaku.Sontak aku terbelalak. Terkejut dengan panggilan darinya. Aduh, apa dia tahu kalau aku baru saja memperhatikan wajahnya tanpa jeda?“Ngelamunin apaan, sih?” selidiknya lagi menundukkan kepala sedikit dan melirik padaku. “Ehm, enggak, kok. Sampai mana tadi?” kilahku tersenyum salah tingkah.“Sampai kita mau makan malam berdua, tapi kamu belum jawab mau apa enggak?” jawab Ardio menatapku lekat.“Hah? Apaan? Makan malam berdua?” pekikku makin terkejut. Apa segitu hilangnya aku tadi sampai tidak tahu kalau dia mengajak makan malam?Namun, Ardio terbahak. Dari nada tawanya aku tahu dia sedang mentertawakan aku. Ternyata,
Sudah hampir tengah malam dan aku masih tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku terpaku dengan bagaimana kalau nanti kami berempat bertemu. Apakah akan ada masalah atau justru aku akan menikmati wajah Mas Ricky yang serba salah tingkah? Kalau dia bisa berlagak marah-marah di depan Pak Andre tadi, apa dia juga akan begitu di depan Ardio?Aku ingat, Mas Ricky takut sekali waktu dulu tahu aku buka-buka medsosnya Ardio. Kalau besok kami bertemu, setakut apa dia?Masih tidak bisa tidur dan mendengar suara gerbang dibuka. Mas Ricky memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku pura-pura meram saja. Akan tetapi, mata ini tidak mau diajak kompromi.Aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Membular dan membuka lebar. Sial! Makiku dalam hati. Mau apa terusan kalau sudah begini? Kunyalakan televisi saja. Pura-pura belum tidur karena menonton film.Mas Ricky membuka kamar dan langsung menatapku lirih. “Belum tidur?” sapanya hambar.Aku hanya mengangguk. Terlalu malas untuk
Aku tidak tahu kenapa semua jadi seperti ini. Berkumpul di rumah kemudian saling meneriaki satu sama lain. Kehadiran Mama Enik merubah ketenangan di rumah ini.“Istri kamu itu ajarin sopan santun, Ricky!” sembur Mama Enik mendelik kepadaku.“Jangan tuduh aku selingkuh sama Pak Andre. Mama kan nggak tahu apa-apa! Ngapain nuduh yang bukan-bukan?” Membela diri. Menolak untuk direndahkan begini.“Sudah, diam!” Mas Ricky terus saja membentakku.“Kamu yang diam! Kamu juga bikin malu di restoran tadi! Apa kamu lupa dia bosku? Aku sampai harus minta maaf langsung ke kantornya tadi siang!” “Iiih! Udah, Ric! Ceraikan saja Anissa yang udah berani banget marah-marah dan bentak-bentak kamu kayak gini!”Wanita tua itu terus saja memprovokasi. Namun, aku senang sajalah kalau memang semua harus berakhir malam ini. Paling tidak bukan aku yang membuat keputusannya. “Apa-apaan ini? Kok malah anak-anaknya disuruh cerai? Saya nggak terima!” Papa mulai unjuk suara.
Kenapa bisa ada tanaman diberi nama Lidah Mertua? Apakah mengacu pada mertua sejenis Mama Enik? Begitu tajam lidahnya menyayat hati kami. Wajah Papa langsung merah padam. Menahan malu dan marah. “Mbakyu, bicaranya kok ngawur? Saya sakit! Mau menginap semalam di sini supaya besok bisa ke rumah sakit dengan Anissa!” hardik Papa. Napasnya terlihat berat sampai tersengal.Mama mengelus-elus dada Papa. “Sabar, Pak. Sabar.” “Ma, ini rumah saya dan Mas Ricky. Tolong Mama jangan menghina Papa seperti itu. Tiap bulan Mas Ricky kirim uang ke mama juga saya nggak pernah protes!” sambungku emosi.“Heh! Ricky mau kasih saya itu suka-suka dia. Seorang ibu lebih berhak harta anaknya daripada istri! Ngerti nggak kamu? Saya cuman nggak mau uang Ricky habis karena harus menghidupi kalian para benalu!”“Ya Allah, Mbak! Istighfar! Saya di sini juga bantu Anissa ngejagain Rafi, cucu Mbak! Anaknya Ricky!” tangkis Mama setengah menangis. Dadaku bergemuruh kencang. Aku haru
Sepertinya hari ini akan jadi hari tersial dalam hidupku. Kalau tadi ribut dengan Mas Ricky, maka sekarang aku punya feeling kuat, bahwa aku akan diomeli Beverly.Wanita high class dengan kecantikan sempurna. Menatap tajam padaku. Bukan hanya tajam, tetapi juga merendahkan. Bibirnya berdecak. Meremehkan kehadiranku di ruangan tunangannya.“Saya permisi dul, Pak. Terima kasih untuk bantuannya,” ucapku pamit hendak meninggalkan ruangan.“Heh! Diam di situ. Bantuan apa? Dapat apa kamu dari calon suami aku?” hardik Beverly menghalangi langkahku keluar. Ia berdiri di belakang kursiku, dan mendorong pundak ini agar tidak terus bergerak keluar. “Maaf, saya hanya dibantu urusan pekerjaan dengan Pak Andre.” Aku menjawab dengan senyum miris. Berusaha terlihat natural, padahal jelas tidak mungkin.“Iya apa? Bantuan pekerjaan apa?” desak Beverly makin meninggikan suara.“Bev, what is wrong with you? Let her go!” perintah Pak Andre keberatan aku diperlakukan
Mendengar pertanyaan Mas Ricky, wajahku memanas. Menuduhku tidur dengan laki-laki lain. Ingin kutampar wajahnya. Tangan sudah gatal mau melayang. Namun, aku masih waras! Tidak boleh menyerang fisik. “Kalau iya, aku tidur dengan dia kenapa? Kamu juga tidur dengan Iin?" ejekku tersenyum sinis. Biar dia tahu rasa! “Jadi, beneran kamu balas dendam?” Napas Mas Ricky tersengal. Mata memerah dan melotot. Tangannya mencengkeram lenganku keras sekali. “Lepasin! Sakit!” rintihku meronta. Pak Andre bangkit dari kursi. Aku dan Mas Ricky jadi pusat perhatian di restoran mahal ini. Seseorang dari meja suamiku juga berdiri dan mulai mendekat. “Ada apa, ya? Tolong jangan kasar dengan wanita,” ingat Pak Andre dengan suara tenang. “Anissa itu istrimu. Jangan disakiti.” “Meski kamu bosnya Anissa, jangan ikut campur urusan rumah tanggaku! Ngapain kalian berduaan di sini? Hah?” hardik Mas Ricky melepaskan lenganku. Tubuh gagahnya dihadapkan pada Pak Andre. Wajah sengaja d
Aku masih berduaan dengan Pak Andre di Restoran Royal Canteen. Kadang dia menatapku dengan curi-curi pandang. Aku sendiri selalu menunduk kalau sorot mata kami bertemu.Suasana hening untuk beberapa detik. Membuat kikuk baik diriku maupun lelaki yang duduk di seberang. Melempar senyum, sembari melempar tatap ke arah lain. Apa-apaan ini? Aku tidak mau begini! “Ehm, apa kabar anakmu? Sehat?” Pak Andre memulai untuk meruntuhkan keheningan.“Baik, Pak!” jawabku bersemangat. Akhirnya kita mengobrol lagi dengan santai. Tanpa kikuk, tanpa salah tingkah. Pak Andre sih terlihat lumayan tenang. Akunya yang kebingungan sendiri. Susah memang kalau sudah GR. Lupa posisi! Mana mungkin lelaki macam Pak Andre bisa ada tertarik dengan emak beranak satu macam aku? Dia orang kaya raya. Pemilik belasan showroom mobil di Surabaya. Tunangannya sangat cantik dengan nama yang indah pula, Beverly. Sementara aku? Anissa! Byuh, bagai langit dan bumi! Khayal! Aku berkhayal.
“Ayolah, Cha! Kita bisa puas mempermainkan mereka kalau nanti ketemuan berempat,” rajuk Ardio berusaha meyakinkanku.“Kalau mereka curiga kita merencanakan ini semua gimana? Nanti ketahuan kan berabe?” Aku masih terus ragu.“Mereka curiga dengan kita? Ya, langsung saja kita bongkar semuanya! Bahwa mereka masih berhubungan!” kekeh Ardio santai.“Hmm, aku pikir dulu, boleh?” Belum bisa memastikan iya dan tidaknya.“Aku balik ke Jakarta besok lusa. Aku kasih kamu waktu untuk berpikir sampai besok, ya? Setelah itu kita langsung action kalau memang jawabanmu iya.”Aku mengangguk. Sebenarnya, aku juga mau melihat bagaimana ekspresi Mas Ricky dan Tanti kalau ketemuan berempat. Itu akan jadi balas dendam yang seru pastinya! Namun, aku tetap harus memikirkannya ulang.“Kamu naik apa ke sini?” tanya Ardio. Ia mengeluarkan sebuah kartu kredit. Rupanya pertemuan ini akan berakhir.“Taksi online. Kenapa?”“Aku antar pulang.”“Eh? Nggak usah, Mas. Aku