El setia menjadi penonton disaat Ralika sibuk mencari kabel dan beberapa colokan. Sesekali ia terlihat menepuk tubuhnya sendiri karena sedari dihinggapi nyamuk. Bau seperti serbuk kayu menyeruak, tapi anehnya Ralika sangat tenang mencari tanpa sedikitpun menunjukan sikap tak nyaman dengan sekitar, seolah ini adalah hal biasa."Udah dapet belom, Ra?" tanya El.Ralika melirik El sekilas. "Saya tidak meminta kamu ke sini dan menunggui saya, lebih baik kamu pergi kalau merasa tak nyaman di tempat ini."Kalau untuk urusan luar Ralika sangat peka. Tapi kalau hati sulit rasanya. El mengetuk-ngetuk kakinya ke lantai yang sangat usang itu, menunggu tiap detik sampai akhirnya Ralika berdiri dengan beberapa peralatan yang menumpuk di tangannya."Udah 'kan Ra?" Ralika mengangguk.El langsung berlari ke pintu. Tepat beberapa langkah dari pintu, El langsung berhenti, ia ingat betul sama sekali tak menutup pintu itu. Sudahlah ini bukan saatnya berpikir yang tidak-tidak, yang terpenting ia harus kelu
"Duh gimana nih? Gue nggak kebayang gimana muka marahnya Ika."Ardan panik? Tentu saja, dia sama sekali tak diizinkan oleh Bu Santi untuk keluar walaupun itu hanya beberapa menit. Jadinya ia harus menunggu tiap detak jam yang membuatnya berkeringat dingin. Kalau masalah El mereka masa bodoh, tapi Ralika, kalau Ardan sudah terlibat pasti Afdi maupun Ilham akan ikut disalahkan.Seperti sekarang mereka terlihat terburu-buru, dan beberapa kali sempat menabrak siswa yang tengah berjalan. Karena Ilham yang berada di belakang, akhirnya ia yang kena amuk dan berakhir dengan cowok itu yang harus minta maaf, padahal itu bukan salahnya!"Dan, cepetan buka!" ucap Afdi sedikit mendesak.Ardan sedikit kesulitan memasukan kunci itu ke lubang gembok, mungkin saking paniknya ia tak bisa fokus, sampai akhirnya pintu itu sudah terbuka setelah 2 menit. Cukup lama!Ardan dan Afdi saling pandang selama beberapa saat, antara takut bercampur ngeri. Bisa saja 'kan saat mereka membuka pintu El tinggal manusia
El tersenyum tak jelas masih setia menatap Ralika yang menatapnya dengan penuh intimidasi, ia tau dipikiran cewek itu adalah bagaimana cara mendapatkan amplop itu tanpa memenuhi permintaannya. Namun, tidak semudah itu, itulah sebab El mengangkat amplop itu tinggi-tinggi. Untuk urusan tinggi badan Ralika sama sekali tak pendek, malah tingginya selalu diidam-idamkan banyak perempuan. El juga sebenarnya percuma mengangkat tangan kalau masih bisa digapai cewek itu."Gimana?""Saya nggak akan memenuhi permintaan kamu!" Ralika tak mau merasa tak berdayah, jangan lupa Ralika itu keras kepala."Yaudah, kalau gitu gue nggak bakal balikin." Sesungguunya itu hanya ancaman El saja."Apa kamu tidak bisa tidak mempermainkan saya, itu adalah milik saya!" Kedua remaja itu tentu menarik perhatian semua orang dengan perdebatan seperti ini. Ralika tak suka ada drama, jadinya cewek itu langsung mendekati El sambil menatap langsung matanya.El sempat terpaku, tubuhnya mendadak kaku. Sampai akhirnya sesu
"Ika masih ada keperluan sama gue." Alex langsung berbicara saat dirasa El berbisik di belakang Ralika. Alex memang tak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan El, tapi ia yakin kalau El akan berusaha agar Ralika tak dekat dengannya.El menoleh sinis, sorot matanya penuh permusuhan. Padahal hari ini dia sedang tak ingin memulai masalah, apa lagi dengan siswa penting, El yakin Alex menggunakan nama OSIS dan kepentingan sekolah agar Ralika punya waktu untuknya. Jangan kira El tak tau."Emangnya urusan penting apa? OSIS, Rara 'kan bukan bagian dari OSIS lagi." Itu dilakukan El untuk menyindir Alex, benar saja cowok itu terdiam."Tapi ini bukan cuman buat OSIS tapi seluruh sekolah."Neta melipat tangannya, lihat saja sekarang Ralika lagi yang jadi cewek yang seolah diperebutkan. Padahal kalau Alex setuju, mereka tak perlu repot meminta Ralika untuk acara puncak HUT nanti, yang bertepatan dengan malam tahun baru hanya karena cewek itu bisa mengendalikan situasi agar tak terjadi keributan
"Om izinin El ya."El tak tau harus membujuk Bima dengan cara apa lagi. Sudah cukup ia harus menunggu selama setengah jam karena Alex dan Neta ada di sana. Bima sempat bertanya apa alasan El menemuinya, tapi dia sama sekali tak memberitahu alasannya sampai Alex dan Neta pergi. Sekarang cowok itu mati-matian membujuk pria itu agar menyetujui permintaannya."El Om tidak bisa mengizinkan kamu, karena keperluan kamu sama sekali tak terlalu penting," jelas Bima."Ayolah Om, Rara butuh El." El memasang mata berbinar-binar, meskipun percuma."Butuh? Yang ada lo itu ngerecokin di sana, lagian sebentar juga bel pulang bunyi. "El menatap Mona sengit, dengan santainya ia berkata seperti itu sambil memakan kue kering. "Bang, lo kali ini dukung gue kek."Mona menaikan bahu acuh. "Nggak mau, salah sendiri lo seneng banget gue pergi."El menghembuskan napas pelan. Keberangkatan Mona memang sekitar 3 jam lagi, dan itu diantar oleh papanya. Seharusnya sebagai saudara yang baik El ikut, tapi karena ad
"Jadi lo mau daftar?" tanya Alex dengan pandangan tak yakin."Emangnya kenapa?" tanya El balik. Dari 3 hari ini, semua orang seolah tak percaya kalau dirinya punya suara bagus. Bahkan, teman-temannya sendiri meragukan hal itu, El harus menunjukannya sendiri dengan bernyanyi beberapa kali, dan hasilnya semua terpana.Alex menggeleng. "Ya udah, apa nama band kalian?""Emgansi."Nama yang aneh. Alex berpikir demikian, disaat band lain memakai nama keren, dia malah memakai nama seperti itu. Tapi sudahlah, Alex tak bertanya lagi, setidaknya bakalan ada yang menghibur di acara puncak nanti, mau hasilnya bagus atau tidak. Palingan yang malu band itu sendiri."Oke, persyaratannya, band terdiri minimal tiga orang atau lebih, punya-""Udah, gue udah tau apa aja, udah dikasih tau calon pacar gue, udah cuman itu 'kan? Catet Emgansi!"Alex hanya membeku menyaksikan El yang melangkah dengan santainya. Sampai sekarang cowok itu tetap saja bersikap demikian, mau Ralika mengusirnya pun Alex yakin dia
Lea menunduk, menatap Nayla yang dengan nyamannya duduk di pangkuan Nilam, balita itu terlihat menggeliat beberapa kali. Memang kasih sayang seorang ibu bagi anaknya begitu kuat, meskipun dilanda dengan ingatan yang hilang, sama sekali tidak mengurangi perhatian Nilam yang nyatanya masih abadi di dalam hatinya.Ralika sendiri hanya memandangi mereka dengan senyum tipis. Betul kata El, setidaknya ia cukup berbahagia untuk adiknya."Hai Tante," sapa Lea saat Niken keluar dari kamarnya."Eh, ini-""Lea Tante," potong Lea. Ini adalah kali pertama Niken melihat cewek itu. Pada waktu itu dirinya belum sempat bertemu wanita itu, malah keburu kesal dengan El yang bicara tanpa disaring."Ika, kamu mau ke mana, kok kayak mau pergi?" Ralika menatap Nilam sebentar yang juga menatapnya. "Ika mau pergi dulu sama Lea."Niken mengangguk-angguk lalu tersenyum. Ia tak akan bertanya lagi, karena sepertinya kemajuan pergaulan Ralika semakin terlihat."Mama, Ika pergi ya."Nilam hanya diam menatap Ralika
Keadaan membuat semua orang terdiam. Tatapan Hendra kini berubah, menatap wanita yang tak pernah dilihatnya selama beberapa tahun belakangan ini. Meskipun sudah lama, ia sama sekali tak banyak berubah, wajahnya masih cantik, cuman kini dia terlihat tak sesehat sebelumnya. Apalagi sekarang kondisinya terduduk di kursi roda dengan pandangan takut. Matanya bergantian melihat Niken, adiknya yang sudah berurai air mata."Mas, hentikan semuanya!" teriak Niken. Ia tak tahan lagi. Selama ini dirinya diam, karena berharap kakaknya itu memiliki sedikit saja hati nurani, tapi sepertinya itu hanya harapan semata. Pecahan kaca yang disodorkan tepat di depan leher Ralika sudah membuktikannya, binatang buas akan tetap menjadi binatang!El melirik keadaan sekitar sepertinya semua orang terbawa suasana. Ia mendekat perlahan mencoba menarik tangan Ralika, tapi tanpa disangka gerakannya ketahuan."Hei kamu!" Sekarang pecahan kaca itu terarah pada El. Dirinya takut? Tidak sama sekali, entah mengapa ia
Seolah tersadar kalau sejak tadi matanya tak lepas dengan sosok cowok itu, Ralika segera melangkah keluar."Rara!" teriak El langsung turun begitu saja. Tepat saat ia turun dari panggung sempat El berpapasan dengan Alex. Cowok itu mengangkat tangannya, lalu menepuk punggung El seperti sebelumnya. "Good luck!""Rara!" panggilnya sekali lagi."Stop!" El mencoba mengatur napasnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mata tajam Ralika seperti sudah tak ada lagi, lenyap tanpa jejak."Gue butuh jawaban," ucap El mantap."Minggir, saya harus ke atap sekolah!"El menggeleng. "Gue tadi udah susah-susah, Ra, buat nyanyi, ada yang fals apa? Sampe lo nggak mau bilang ya atau mau?"Ralika melipat tangannya. Seperti anak kecil yang meminta permen, Ralika lebih menganggap El seperti itu saat cowok itu tetap keukeh menghadang jalannya. Ralika mengangkat satu tangannya, menurunkan salah satu tangan El yang terbentang."Apa kamu benar-benar serius?" El mengangguk menyakinkan. "Iya."Ralik
"Lea mau sampai kapan kamu menata rambut seperti itu?"Ralika sejak tadi menatap jamnya. Ia telah membuang waktu cukup banyak untuk sekedar menunggu Lea yang sejak tadi menata rambut."Ya ampun Ika, lo tau nggak, jadwal kalian kumpul semua itu jam 7."Lea berbalik, saat dirasa rambutnya sudah tertata. "Ka, lo pakai ini doang?"Ralika melipat tangannya lalu menunduk. Tidak ada yang salah dengan dirinya, semuanya lengkap. Buku kecil dan pena untuk mencatat kekurangan acara juga sudah disiapkan. Bajun berwarna hitam, serta jelana jins senada. Ini biasa 'kan?"Setidaknya lo dandan dikit lah Ika."Lea menarik Ralika agar duduk. "Lea kita tidak punya waktu, terlebih lagi saya ini adalah panitia bukan yang akan tampil."Lea malah sibuk mengecek tasnya, mengeluarkan benda warna-warna yang Ralika saja tidak tau apa namanya."Sekarang kita pergi, panitia sudah menunggu."Baru berdiri dua detik Ralika kembali dipaksa duduk oleh Lea. Mungkin Lea orang pertama yang membuat Ralika hanya bisa diam s
Drrt... Drttt...El melirik ponselnya yang sejak tadi bergetar. Sebenarnya benda itu berungkali berkedip, tapi ia biarkan saja, karena biasanya jam segini yang akan masuk pesan tidak penting. Pesan tidak penting dari nomor tak dikenal, hal itu juga karena Ilham dan Afdi yang memberikan nomornya begitu saja pada semua cewek asal mereka bayar. Teman macam apa itu!"Hallo!"Karena sejak tadi benda itu terus menganggunya. El mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon."Hallo-hallo lo, lama amat sih ngangkat telfon gue!""Lah!" El menjauhkan ponselnya itu lalu menatapnya beberapa detik. Bang Mona."Lo Bang, ah kenapa nggak bilang!" El berdiri dari tempat tidurnya lalu berdiri dengan wajah berseri. "Lo kenapa nggak ada kabar sih setelah balik, padahal gue mau kasih tau sesuatu. Lo tau nggak kalau-""Eh-eh bentar, gue telfon lo cuman mau titip pesen sama bokap, transfer duit bulanan!""Hah? Lo 'kan bisa telfon Om, kenapa jadi gue?""Hp Papa sama Mama mati, terus Tante Nala kayaknya lag
Lega, rasanya beban yang selama ini hinggap di hati Ralika telah hilang bersamaan dengan perginya sang Papa. Sekali lagi, sebelum berbalik, Ralika sempat menatap gundukan tempat Hendra beristirahat yang tepat di samping makam Kayla selama beberapa detik. Kenangan biarlah menjadi kenangan, meskipun memang berlangsung pahit, tapi semuanya sudah terjadi. Sebuah pelajaran datang saat seseorang mengalami kesulitan di masa lalunya.Kayla, Ralika bisa merasakan kalau adiknya itu akan bahagia di sana."Semangat, okey."Ralika menyentuh tangan Lea yang tersampir di pundaknya lalu mengangguk. Di sana hanya tersisatiga orang sedangkan yang lainnya sudah pulang duluan, kepala sekolah dan guru-guru pun tadi juga datang untuk mengungkapkan bela sungkawa. Nilam juga harus banyak istirahat, karena kondisinya yang kembali drop karena banyak pikiran."Kamu sebaiknya pulang duluan.""Nggak ah, gue mau nemenin lo.""Seragam kamu masih belum diganti, tas kamu juga, itu melanggar aturan sekolah, seharusn
Ika .... " Ralika mengalihkan pandang. Berusaha mengendalikan hatinya, suara lirih Nilam seolah menuntunnya mendekati pria itu."Ma ... afin ... Papa."Ralika masih tak merespon perkataan Hendra yang bersusah payah mengatakan kalimat itu. Salivanya tertegun beberapa kali, ada perasaan tak sanggup saat menatap kembali pria itu, kilasan tentang kekejamannya sangat terekam jelas. Tapi ini untuk pertama kalinya, Hendra terlihat tak berdaya. Begitu lemah.Ralika sudah mengatakan orang baik akan dianggap yang paling lemah. Dan hari ini dia membuktikannya, mamanya kini sedang menatapnya dengan tatapan teduh dan penuh harap. Memaafkan? Itu hal yang paling sulit dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menutup sebagian hatinya!"Ka, mama mohon."Desakan lirih itu membuat Ralika tak sadar telah menatap Hendra. Matanya terpejam sesaat setelah melihat pria itu, apakah ia kini bermimpi? Sudah jelas Ralika melihat cairan bening dari ujung mata pria itu. Tangan kiri Hendra terangkat dengan sisa-s
Untuk acara HUT kali ini, semua panitia sudah dibagi dari berbagai macam lomba. Seperti rencana awal, SMA Dharma mengadakan banyak lomba yang diikuti dari berbagai sekolah. Dharma murni sebagai tuan rumah dan tak terlibat dalam lomba apapun. Hingga sekarang terhitung 2 hari setelah hari pembukaan. Yang sudah bertanding adalah dari club olahraga, yaitu Futsal dan Volly. Dan hasil penyerehan hadiah bagi yang menang akan dilaksanakan, siangnya, tepat tanggal 31 Desember. "Ka, lo bisa ngira nggak antara SMA Raya sama SMA Wijaya yang mana menang?" ucap Lea sambil menatap ke depan.Ralika diam. Kini pandangannya menyapu satu persatu pemain yang berusaha mencetak poin. Sambil memakai kalung panitia dengan name tag namanya, Ralika kini turut menjadi panitia. Di sebrang ada Alex yang menggunakan baju kaos biru berlengan pendek dengan kalung panitia yang sama dengannya."Ka, jawab!" desak Lea.Terdengar hembusan napas pelan dari hidung Ralika. Padahal dari tadi ia sudah mengatakan agar cewek i
"Ika, ya ampun, gue nggak nyangka banget Pak Bima ngumumin lo nggak salah hari ini, ah kenapa kepala gue harus pusing sih, gue pengen banget deh ngeliat mukanya Neta, pasti dia kesel banget tuh."Lea mencerocos tak jelas saat Ralika masuk, sudahlah tak masalah kalau hanya dibalas diam Ralika. Hari ini, hari bahagianya, wajah-wajah yang pernah menghujat Ralika rasanya sudah terhantam oleh kebenaran yang ada. Sayang sekali momen itu harus terlwat saat dirinya di UKS.Ralika duduk di kursinya. Meski secara tak langsung, ia bisa melihat kumpulan murid di sebelah kanan dari ujung matanya. Ralika juga sebenarnya tau kalau mereka tampak bingung ingin mendekat sambil mendorong satu sama lain. Jika kata orang siapapun tak akan luput dari pengawasannya selama berada di SMA Dharma, jawabannya benar. Ralika tau kalau merekalah yang mencoret mejanya dengan berbagai kata kasar selama ini secara diam-diam.Ralika berdiri lalu mendekati mereka. Pandangannya datar. Melihat Ralika yang mendekat, mereka
Ralika memandang lurus-lurus, tepat menatap manik mata El yang menunggu ucapan keluar dari mulutnya. Perlahan matanya turun ke tangan El yang tengah menggenggam lengannya. Dengan sekali hentak cekalan itu terlepas."Saya masih ada urusan."El tak beranjak. "Tapi lo belum jawab pertanyaan gue!"Ralika berhenti. Mengepalkan kedua tangannya, lalu berbalik. "Lebih baik kamu sembuhin dulu luka kamu, baru bisa ngomong."El dibuat terdiam. Otaknya berpikir keras, biasanya Ralika akan dengan tegas menjawab sesuatu yang ditanyakan padanya. Tapi tampaknya cewek itu tak ada sedikit pun menerima atau menolak. Senyum miring El terukir, tepat saat Ralika berbelok."Gue masih punya kesempatan."El meloncat kecil, lalu berbalik. Tepat saat itu pula Alex berada di depannya, dengan kedua mata sulit diartikan."Ngapain lo ke sini? Nguping gue sama Rara ya?" ucapnya sinis. Tapi kemudian El mengelus dagunya, mendekati Alex."Lo denger 'kan tadi gue bilang apa?""Gue denger."El tersenyum puas. Ia kemudian
"Nayla." Ralika baru saja yang pulang dari sekolah. Tujuannya ingin langsung masuk ke kamar dan mempersiapkan diri untuk latihan karate sore ini, tapi perhatiannya langsung tertarik pada Nayla yang tengah duduk di lantai sambil memainkan bonekanya."Bi Leli ke mana?" Pandangan Ralika mengedar, mencari keberadaan wanita itu.Sedikit ragu untuk mendekat, cewek itu menatapi Nayla selama beberapa saat sebelum akhirnya mendekat lalu berjongkok. Balita itu spontan menatapnya lalu tersenyum sambil menampilkan 2 buah gigi yang tumbuh di bagian bawah."Kakak."Ralika terdiam, padahal tak ada yang dirinya lakukan tapi balita itu malah tertawa dan kakak? Hatinya berdesir mendengarnya."Lo tau senyum itu ibadah, dengan senyum berarti bahagia,"Otaknya memutar kembali perkataan cowok itu, hingga tanpa sadar tangan kanannya terulur mengelus pipi gembul Nayla yang masih menampakkan senyum. Setelahnya Ralika menarik Nayla dalam dekapan. Matanya terpejam, merasa baru kali ini dia merasa begitu dekat d