Agni sampai di kota kelahirannya. Sebentar, ia memandangi stasiun tua yang jadi tujuannya.
Tempat itu tidak banyak berubah sejak terakhir kali ia menginjakkan kakinya kesini. Kejadian itu terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Saat itu ia duduk di kelas tiga SD. Agni ingat. Ayahnya pernah mengajak Axel kesini, sayangnya.., Axel menolak karena alasan takut gak bisa tidur tanpa ibunya.'Hm, Axel.., Axel, sejak dulu kamu tuh manja. Bilangnya saja berani. Xel, apa kamu juga inget sama nama kota ini?' senandika Agni terus teringat tentang Axel disepanjang perjalanan.Agni sampai di rumah omnya, Damar. Ia yang meminta Agni untuk datang kesini."Agni, akhirnya kamu sampai," Damar segera menyambut Agni seraya terus tersenyum. Agni menyeritkan alisnya. Tumben-tumbenan omnya terlihat sangat baik. Jujur Agni tidak begitu akrab dengan pria itu. Damar yang Agni kenal adalah pria kolot dengan segala kewaspadaannya. Ia bisa mencurigai Agni tanpa rasa bersalah, padahal Agni adalah keponakannya."Agni, Om mau bicara!" Damar terlihat serius. Itu membuat jantung Agni berdetak kencang."Ngomong apa, Om?"Damar menghela nafas, rasanya berita itu bisa membakar dadanya saking semangatnya."Kau kenal Bastian, Tian.., anak dari Pak Brata, kabar baiknya dia sudah lulus S2 di universitas ternama kota ini, bukankah dia lelaki yang sempurna untukmu," ungkap Damar menggebu. Ia menatap Agni dalam. Sedang Agni mencoba memutar memorinya. "Tian," rasanya ia tidak asing dengan nama itu. Sepertinya itu nama kakak tetangganya sebelum ia dan ayahnya merantau ke Jakarta. seingatnya, terakhir melihat Tian sewaktu dirinya berusia empat tahun. Jelas kenangan itu telah memudar seiring berjalannya waktu. Meluap bersama wajah-wajah yang datang dan pergi dalam hidupnya. Tapi itu tidak penting. Karena yang paling penting adalah mengapa Om Damar merasa lelaki itu sangat sempurna untuk Agni.Apa sebuah kesempurnaan hanya di dasari dari almamater kelulusan. Ditentukan oleh kebonafitan universitas yang ia tumpangi untuk menempuh pendidikan. Atau karena, Tian adalah anak Pak Brata. Juragan ternak terbesar di desanya."Dan kabar baiknya, dia sudah melamarmu untuk dipersunting sebagai istri," lanjut Damar kegirangan.Saat itu dunia Agni terhenti. Ia bagai tersengat cahaya petir. Dalam benaknya, Agni cuma mengingat Axel. Bagaimana dengan Axel. Apa lelaki itu juga memikirkan dirinya. Apa kecemasan ini hanya milik Agni. Atau malah, Axel akan merentangkan tangan untuk mengucapkan selama karena akhirnya Agni menemukan tambatan hati. Ah, berfikir itu membuat Agni marah dan kecewa. Dadanya panas seolah terbakar api cemburu."Tapi, Om" Agni berusaha menampik. Banyak perasaan gundah yang Agni rasakan. Utamanya adalah ia belum siap merelakan cintanya ke Axel namun disisi lain ia juga takut, Tian bukan pria yang selama ini ia idamkan, ia begitu hijau mengenal tentang pria itu. Yah, sebagai kakak tetangga Tian itu ramah. Tapi kenangan puluhan tahun tidak bisa menjamin sifat manusia akan terus seperti itu. Karena Agni yakin manusia bisa berubah seiring berjalannya waktu."Dduuh. Apa sih tapi.., tapi. Kamu tuh beruntung Agni. Wong sugih kebetulan mau sama kamu. Orangnya berpendidikan dan sudah tentu berada, kamu cari apa lagi?" sungut, Damar. Kalau sudah seperti itu, Agni hanya bisa terdiam. mungkin benar apa kata Omnya apalagi yang Agni cari? bukankah pendidikan yang tinggi serta harta yang melimpah sudah cukup menjamin jika kelak nantinya ia akan bahagia. Tapi apa benar hidup hanya soal harta dan tahta."Kalau begitu aku ingin bertemu dengan Tian secara pribadi, Om" Agni berfikir mungkin ia terlalu curiga. Bisa jadi, Tian tidak seburuk anggapannya, bukan?Damar mengangguk seolah menyanggupi."Baiklah, Om akan mengatur pertemuan kalian," sahut, Damar puas***Tiba hari itu. Pagi sekali Agni diminta bersiap oleh Omnya. Ia disuruh mandi yang wangi serta memakai parfum terbaik agar Tian merasa senang dengannya. Sebenarnya Agni merasa hal itu konyol. Tidak perlu diajari pun Agni pasti mandi yang bersih. Lagipula ia tidak memiliki bau badan. Namun, karena itu perintah Damar. Agni jadi melakukannya penuh kesungguhan.Damar langsung menatap Agni bangga. Keponakannya itu memang memiliki wajah cantik alami. Ia yakin Tian bisa langsung tergila-gila pada Agni."Sudah,'kan, Om?" tanya, Agni risih terus ditatap Damar. Damar terperanjat dari lamunananya."Ah, iyah.., kamu tunggu disini sebentar lagi Tian akan datang menjemputmu. Kalian pergilah yang lama. Sampai malam pun tidak apa-apa,"Agni menggeleng, Omnya itu tidak salah membiarkan Agni pergi dengan lelaki baru dikenalnya sampai malam. Bagaimana kalau Tian punya niat buruk padanya.Agni sedikit berdehem, "Tidak perlu, Om. Paling kami hanya jalan-jalan sekitaran taman," tolak Agni halus.Wajah Damar mengeras "Agni. Kau harus cepat mengenal Tian. Karena dia akan menjadi suamimu kelak!" Ia menghardik Agni. Damar memang sosok yang tempramental. Ia bisa menghalalkan apapun asal kehendaknya cepat terlaksana.Sebelum Agni menjawab. Pria yang terus Damar bela tiba, "Assalamuaikum," sapa Tian santun.Agni spontan merunduk risih. Bibirnya bergumam lirih "Walaikumsalam,""Walaikumsalam, Tian..." Damar merentangkan tangan dan segera memeluk Tian."Masuk, Nak!" lanjutnya banggaTian memperhatikan Agni. Di matanya Agni cukup menggemaskan kecil juga terlihat lugu. Senyum miring ia sematkan di wajahnya. namun ketika Damar memperhatikannya. Tian kembali bersikap ramah."Dia, Agni?" Ia bertanya seraya menunjuk Agni. Damar segera mengangguk antusias."Agni angkat dagumu," pinta Damar. Detik kemudian, tatapan Agni dan Tian saling bersiborok. Jujur, kesan pertama yang Agni dapat dari Tian adalah rasa tidak suka kepada Tian.Lelaki itu punya satu aura buruk yang terlihat dari pancaran mata. Mungkin Agni tidak pandai memahami dunia lelaki. Selama ini ia hanya mengenal tentang Axel. Tapi, Tian nampak berbeda sekaliIa dan Axel tidak bisa disamakan. Kalau Axel nampak urakkan dari luar, tapi tulus di dalamnya. Maka, Tian adalah kebalikannya."Hai Agni," Tian mengangkat tangan dan tersenyum. Untuk menghormati Damar. Agni berusaha menjabat tangan Tian."Ha-halo, Mas Tian," balas Agni gagap."Om benar, dia cantik sekali," goda Tian. Damar langsung merangkul bahunya bangga."Kalian masih terus mau malu-malu seperti ini atau mau langsung jalan?" Damar terkekeh karena berhasil menggoda kedua anak muda itu.Tian melirik ke Damar, "Kalau cantik gini sih mau aku bawa langsung ke pelaminan, Om" ternyata Tian cukup pintar merayu. Tapi sayangnya hati Agni telah dimiliki orang lain. Sebanyak apapun Tian berusaha mendobrak hatinya. Belum tentu usahanya itu akan berhasil.Karena Agni menyimpan kenangan tentang Axel begitu dalam. Sangat rapat jauh di dalam hatinya. Sampai tidak ada satupun orang yang bisa melarangnya mencintai Axel dengan caranya.Karena wanita bisa menyimpan rasa cinta pada kekasihnya. Pada satu orang tanpa berpaling. Tidak peduli berapa lama massa berganti. Yang selalu di hati akan terus kekal abadi.Agni dan Tian sudah berada di mobil pria itu. Kata Tian, ia mau mengajak Agni pergi nonton bioskop. Sampai depan Om Damar, Tian terus memperlakukan Agni dengan baik. Ia bahkan membukakan pintu untuk gadis itu. Namun, setelah mobil melaju cukup jauh. Ia mulai memperlihatkan wujud aslinya pada Agni"Mas Tian, kok kita berhenti?" Agni memindai jalanan luar. Jalanan ini sangat sepi. Tidak ada kemacetan, jadi mengapa Tian menepi.Tian tertawa remeh "Aduh, jangan manggil gue, Mas dong. Kata lo gue emas 24 karat," Agni tercenang. Sebagai orang pribumi, Tian sama sekali tidak menunjukkan gelagat sesuai adat istiadat. Agni memanggilnya Mas. Karena ia menghormati Tian. Agni berusaha tersenyum, tangannya mengepal tali seatbelt "Kalau gitu aku panggil, Kakak saja,ya?" lirih AgniTian sama sekali tidak berniat menjawab. Ia malah melepas tali seatbelt yang melingkar di tubuhnya. Tatapannya ke Agni mengundang banyak tanya di hati Agni. Ia menciutkan tubuhnya otomatis, Agni mengerti.., itu adalah t
Bunyi gaduh dalam mobil memancing atensi para warga. Beberapa yang tengah berada di sana jadi menghampiri mobil seraya menekuk lutut dan ingin melihat apa yang terjadi di dalam mobil itu. Apa lagi mereka yakin ada suara teriakan minta tolong. "Yuk.., yuk.., kita lihat!" Meski jendela mobil Tian gelap tertutupi kaca film tetap saja. Tian terganggu dengan keingin tahuan orang-orang itu. Ia jadi melerai pegangannya. Dan saat itu, Agni gunakan untuk memencet tombol buka pintu segera. Dengan cepat ia berlari kencang seraya menutup matanya rapat.Setiap jalan adalah takdir yang sudah tertulis. Sebagai manusia, detail insan hanya harus menyiapkan hati untuk menghadapi semuanya.Agni menangis di tengah gerimis yang makin lebat. Sengaja dia menengadahkan wajah ke langit. Berharap semua masalah yang sedang di hadapinya sirna, luruh bersama air hujan yang mengaliri tubuh.“Aaaaa!”Agni mengeluarkan seluruh keluh kesah dalam hati. Setidaknya dia harus punya pelampiasan agar tidak menjadi gebu de
Sesaat mereka saling diam. Agni terus mengalihkan pandangan ke Sembarang arah. Asal tidak ke arah Tian. Pria itu justru menatap Agni dengan intens. Dia suka semua hal tentang gadis di hadapannya ini. Matanya yang sendu, hidung mancung, pipi tirus, rahang kecil, bibir pink tebal dan dagu lancip. Sungguh sebuah pahatan yang begitu sempurna di matanya.“Jadi bagaimana, Agni? Apakah kamu sudah siap menikah denganku?” tanya Tian memecah kesunyian.Agni enggan menjawab. Dia tidak menganggap Tian ada.“Astaga. Menggemaskan sekali calon istriku ini. Kalau begitu pernikahan kita dipercepat,” tegas Tian dengan senyum penuh misteri.Seketika Agni menatap Tian dengan malas.“Apa, kamu keberatan?” tanya Tian lagi saat mendapat tatapan tajam dari calon istrinya.“Kalau aku bilang nggak mau menikah denganmu. Apa itu pengaruh?”Bukannya marah, Tian malah tertawa terbahak-bahak.“Ha ha ha. Agni, semua sudah diatur ayahku dan om kamu. Kita tinggal menerima saja. Apa susahnya, sih?” Tian sedikit kesal d
Bu Ningsih menatap iba pada Axel. ‘Apa sebenarnya mereka sudah saling jatuh cinta, tapi tidak ada yang menyadari? Axel seperti kehilangan pegangan hidup kalau terus seperti ini.’“Xel, mau nggak, nanti malam antar mama ke rumah teman mama?” Bu Ningsih punya sebuah rencana agar anaknya tidak terus larut dalam kesedihan karena ditinggal Agni.“Ke mana?” selama ini Axel tidak pernah menolak jika Bu Ningsih memintanya mengantar pergi. Meski hanya sekadar antar jemput tanpa menemani, tapi Axel selalu patuh.“Ke rumah Bu Ambar. Ada pengajian di sana. Tapi kali ini kamu juga harus ikut masuk, jangan cuma antar jemput.”Axel terlihat malas, tapi dia juga kasihan pada Bu Ningsih jika dia menolak. “Baiklah, nanti malam Axel antar Mama,” ucap Axel akhirnya.Bu Ningsih tersenyum bahagia. Dia berharap kesedihan di hati Axel segera berlalu. Dia tahu Axel tidak mungkin melupakan Agni begitu saja, tetapi kalau terus dibiarkan larut dalam kesedihan, dia khawatir pada kondisi kedekatan Axel yang bisa s
Dentang jarum jam terasa begitu berisik di telinga Axel. Sejak pagi di merasa perasaannya tidak enak. Seakan-akan ada hal besar yang akan terjadi, tapi dia tidak tahu apa itu.Sudah berulang kali dia mengubah posisi tidur, berharap matanya segera terpejam.“Aaakh!” Axel menggusar rambut dengan kasar. Dia kesal karena rasa kantuk yang sangat tetap tidak bisa membuatnya tidur pulas. Matanya sudah pegal karena terus terjaga. Sedangkan jam di nakas sudah menunjukkan pukul 01.00.“Astaga, udah lewat tengah malam. Ada apa, sih, ini?”Axel beranjak turun dari ranjang dan menuju kamar mandi. Mungkin saja setelah membasuh wajah dia bisa tidur. Saat keluar dari kamar mandi, Axel merasa ada yang nyeri di ulu hati."Agni!”Entah kenapa tiba-tiba dia teringat dengan Agni yang entah ada di mana. Lamunannya kini mencoba mengingat setiap momen indah yang pernah mereka lewati bersama selama delapan belas tahun bersahabat.Agni yang bawel, manja, tapi kadang pemarah. Gadis itu pengertian, lucu, tapi ka
Soraya dan Mia tersenyum puas melihat hasil karya tangan mereka di wajah Agni.“Waaau, baru kali ini aku puas sama kerjaanku sendiri,” ucap Mia membuat Agni mendecih. Meski dia akui riasan tersebut sangat membuatnya terlihat cantik, tapi hatinya tidak sejalan dengan apa yang orang lain lihat. Tidak ada kebahagiaan sama sekali yang terpancar di wajahnya. “Iya, Nona Agni cantik banget,” puji Soraya menimpali.“Sudah selesai?” tanya Damar yang langsung masuk ke kamar Agni tanpa mengetuk pintu.Dia langsung tersenyum saat melihat Agni sudah selesai dirias.“Ayo kita berangkat, atau keluarga Tian akan marah.”Soraya sekali lagi merapikan penampilan Agni, sedangkan Mia membereskan semua peralatan mereka yang berantakan di ranjang dan meja rias.Dengan langkah gontai Agni mengikuti Damar yang sudah membuka pintu mobil.Sekali lagi Agni memutar bola mata. ‘Bahkan mobil pun kiriman dari Tian.’Damar sama sekali tidak punya andil apa pun dalam pernikahan keponakannya tersebut. Dia hanya terima
Dalam satu sentakan Tian menarik kasar tangan Agni hingga gadis itu bangkit mengikuti Tian. Langkah kakinya beberapa kali terseok-seok saat Tian menggeret paksa tangannya. Kini dia tahu kalau Tian sedang kesal. Meski begitu tidak ada sedikit pun niat dalam hatinya untuk meminta maaf.Tian melepas tangan Agni saat sudah berada di depan gedung tempat resepsi.“Tolong jangan buat malu aku. Terserah kalau kamu belum menyukaiku, tapi sebagai istri kamu harus menjaga kehormatan suami, kan?” tegas Tian. Dia meraih lagi tangan Agni yang tadi dilepaskan. Tetapi kali ini dengan pegangan yang lembut penuh cinta. Agni bungkam. Dalam hati dia membenarkan ucapan Tian yang mengatakan seorang istri harus menjaga kehormatan suami.Mau tidak mau akhirnya Agni mengikuti langkah Tian menuju panggung pelaminan yang begitu megah. Lagi-lagi tatapan para tamu begitu takjub pada pasangan pengantin baru tersebut."Wah, mereka sangat serasi.” Pujian berasal dari beberapa wanita sosialita.“Istri Tian cantik se
Tanpa sepengetahuan Tian yang masih betah berada di bawah selimut, Agni meneteskan air mata. Ternyata berada jauh dari Axel sangat menyakiti hatinya. Pun ia tidak kuat jika terus bersitentangan dengan Tian.Niat hati menjauh untuk melupakan, menyimpan sendiri rasa cintanya yang begitu besar di dasar hati. Tetapi pada kenyataannya sungguh sangat menyakitkan. Rasa rindunya makin hari makin meluap. Entah sampai kapan dia bisa menanggung semua ini sendiri. Napasnya sesak setiap kali bayangan Axel dan dirinya dulu melambai seolah ingin diingat. Karena sudah tidak tahan lagi akhirnya Agni kembali masuk ke kamar mandi untuk melampiaskan tangisnya. Tian yang menyadari gerak Agni menjauh pun keluar dari selimut yang tadi menutup seluruh tubuh. Dia melihat Agni masuk ke kamar mandi."Seharusnya aku yang marah, kan? Tapi kenapa dia yang marah sama aku?" gumam Tian.Karena penasaran, Tian menyusul Agni ke kamar mandi. Kunci yang rusak akibat didobrak Tian tadi membuat pria itu bisa masuk dengan
"Xel!" Agni menatap Axel berkaca-kaca. Tidak menyangka Axel tidak menyerah demi mendapatkanya. Padahal, Agni sempat ingin berpaling.Axel mengangguk maksum dan mencium kepala Agni. Tidak perlu berkata apapun. Karena Axel tau cinta Agni cuma untuknya."Tapi aku harus bilang sama papa dan mamanya Tian. Gimanapun mereka sangat baik ke aku!" Axel mengangguk maksum. Ia mengantarkan Agni ke rumah orangtua Tian. Di sana Agni disambut tapi mama Tian bingung siapa pria yang bersama Agni. Keduanya masuk dan menjelaskan kepada orangtua Tian.Mama Tian sangat kaget saat tau perbuatan Tian yang suka mengurung Agni."Astaga!" Dia tidak bisa menyalahkan Agni. "Lalu bagaimana, kamu ingin bercerai dari Tian, Agni?" Papa Tian menengahi. Dia dapat kabar dari orang kantornya kalau Tian punya hubungan gelap dengan sekretarisnya. Sepintar-pintarnya Tian menutupi, perselingkuhannya tercium juga dan papa Tian tidak bisa mengelak lagi. Selingkuh dan melakukan kekerasan fisik. Pantas anak mantunya tidak
Siang itu Axel menemui Agni di rumahnya. Dia ingin mengingatkan wanita itu perihal perlakuan Tian selama ini yang benar-benar salah, yaitu penuh kelicikan dan memfitnah habis-habisan. Sebenarnya dia tahu jika Agni pasti peduli, tetapi nampaknya selama ini Axel merasa tidak ada pergerakan apa-apa dari wanita itu. Jika dikata harus sabar, nampaknya Axel tidak bisa. Dia harus segera melanggar permasalahan ini dan bertindak lebih cepat dari Agni, yaitu dengan memberikan hukuman kepada Tian yang sudah berani berbuat. Jika tidak seperti ini, maka sampai selamanya Tian pasti akan terus-menerus seperti itu. Dia tidak bisa menyadari kesalahannya sendiri dan bahkan hanya bisa menjadikan orang sebagai kambing hitam atau semua yang telah terjadi, tentang permasalahan yang ada. Mendengar dan melihat yang seperti itu, siapa yang tidak marah? Ya, tentu. Axel sudah bukan lagi ingin marah, tetapi dia memiliki rencana untuk membunuh Tian jika laki-laki itu masih terus-menerus keterlaluan dan semena-men
Di satu sisi, diam-diam Axel masih memikirkan tentang kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu. Tiba-tiba saja pemikirannya mengingat tentang kebohongan Agni yang selama ini disembunyikan. Axel kecewa mengapa wanita itu tega kepadanya, padahal selama ini Axel hanya berharap jika Agni mau jujur kepada dia.“Walaupun ini udah terjadi, tapi aku masih ingat jelas. Aku lupa cara melupakan ini semua. Sudah seharusnya aku nggak perlu lagi ingat-ingat soal itu.”Wanita paruh baya yang kerap disapa dengan nama bu Ningsih tiba-tiba saja menghampiri Axel. Pasalnya, sejak tadi dia melihat jika putranya itu seperti memperlihatkan raut wajah tidak tenang dan kepikiran terhadap sesuatu hal. Sebenarnya sejauh ini belum ada yang bisa diartikan oleh Bu Ningsih. Beliau sendiri bingung, apakah Axel sedang sakit atau tidak. Akan tetapi, dia tidak menemukan bukti dan tanda bahwa putranya itu mengalami hal yang dia pikirkan. Semua itu seperti terjadi begitu cepat dan Bu Ningsih harus segera menangani apa y
Tian begitu bersemangat menuju rumah Desi. Dia sangat yakin akan mendapat restu dari ayah dan ibunya Desi. Terlebih apa yang sudah dia lakukan selama ini. Itu pasti akan menjadi pertimbangan yang cukup membuatnya percaya diri. Mobilnya sudah masuk ke halaman rumah Desi yang hanya bisa memuat satu mobil dan satu motor saja. Tian langsung turun dan ternyata pintu rumah itu sudah terbuka seperti memang ingin menyambutnya. “Pak Tian, udah sampai,” sapa Desi yang kebetulan ke luar. “Ayo silakan masuk.” Desi berjalan di samping Tian malu-malu.Tian begitu bahagia melihat senyum di wajah Desi. Dia makin yakin kalau dia akan diterima dengan baik di rumah itu sebagai anggota keluarga baru. Tian benar-benar tidak ingat akan keberadaan Agni yang masih sah menjadi istrinya. Dia tidak sadar sedang mempermainkan dua hati wanita yang pasti nanti akan melukai salah satu dari mereka atau bahkan keduanya. Yang ada di pikirannya saat ini sudah pasti hanya bagaimana caranya mendapatkan Desi yang selalu
“Kalau begitu ibu tidak bisa melarang seperti yang ibu katakan tadi. Asalkan kamu harus selesai dulu dengan istri kamu.”Tian lantas tertegun. Meski dia begitu kesal dan marah pada Agni, tidak terlintas sedikit pun dalam hatinya untuk bercerai dengan istrinya itu. Di mata Tian, Agni adalah gadis yang baik dan santun. Terlebih kedua orang tuanya sangat menyayangi Agni. Jadi dia tidak berniat berpisah dari Agni. Tian terlihat begitu gugup. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan ibu Desi.“Bu. Kita makan dulu ya? Jangan bahas yang lain,” ucap Desi menengahi antara ibunya dan Tian. Dia tidak peduli bagaimana reaksi Tian selanjutnya, dia sudah cukup bahagia mendengar pengakuan Tian tentang perasaannya. Dan itu sudah lebih dari cukup.“Pak Tian. Maaf kalau pertanyaan ibu saya tadi ....”“Tidak apa-apa, Desi. Itu hal yang wajar sebagai seorang ibu.”Mereka sudah berada di luar rumah karena Tian akan pulang. “Tapi ....” Desi tidak mela
“Kamu beneran nggak apa-apa, Agni?” mama Tian begitu khawatir dengan menantunya yang terlihat sering murung. “Nggak, Ma. Agni baik-baik aja, kok. Mama jangan khawatir ya?”Wanita itu mengangguk mencoba percaya kalau sang menantu baik-baik saja.*“Pak Tian. Hari ini saya izin pulang lebih cepat, boleh?”Dessy sedang meminta izin pada Tian.“Mau ke mana?”“Tidak ke mana-mana, Pak. Ayah saya hari ini sudah diperbolehkan pulang.”Tian bangkit dari kursi dan memakai jas. Lalu mengambil kunci mobil di atas meja.“Ayo saya antar.” Tian melenggang begitu saja melewati Desi yang tidak tahu maksud bosnya itu.“P-pak ....” Desi mempercepat langkah kaki untuk bisa sejajar dengan Tian.“Saya akan antar kamu ke rumah sakit dan kamu tidak bisa menolak. Lagi pula kita tidak ada pekerjaan lagi, kan?”Desi hanya bisa mengangguk karena tidak mungkin dia bisa menolak Tian.Ternyata semua urusan di rumah sakit sudah selesai. Jadi ayah Desi langsung bisa dibawa pulang. Dua orang tua itu duduk di bangku p
Dengan langkah terburu Tian menyusuri koridor rumah sakit daerah tempat ayah Desi dirawat sesuai alamat yang dia ikuti di aplikasi penunjuk jalan.Dari jauh dia melihat Desi dan ibunya duduk di bangku panjang di depan sebuah ruang ICU. Segera Tian menuju ke sana.“Desi,” panggil Tian pelan.Desi yang tadi sedang berpelukan dengan ibunya kini mengangkat wajah dan menatap Tian.“P-pak Tian?”“Bagaimana keadaan ayah kamu?”“Infeksi usus buntu,” jawab Desi lirih. Sebenarnya dia malu untuk meminta bantuan pada Tian hanya untuk operasi yang sebenarnya tidak terlalu memakan banyak biaya. Hanya saja mereka baru saja melunasi rumah yang saat ini mereka tempati. Jadi tabungan Desi benar-benar sudah tidak ada lagi. “Dokter bilang apa harus segera dioperasi,” timpalnya lagi.“Ya sudah kalau begitu ayo kita urus administrasinya, supaya ayah kamu lekas bisa ditangani.”Desi mengangguk dan beranjak bangkit.“Ibu tunggu di sini, ya?”Ibunya Desi setuju dengan ucapan Desi.Kemudian Tian dan Desi ber
Ya, orang itu adalah papanya Tian. Dia baru kembali dari pertemuan dengan beberapa pejabat daerah lainnya. “Kamu sedang apa di sini hujan-hujan begini?”Agni tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin dia bilang kalau melihat Tian yang hampir meniduri sekretarisnya sendiri.“Apa kamu bertengkar dengan Tian?” tebak pria paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih itu.Agni tidak menjawab. Dia lagi menundukkan kepala dengan tangan yang saling bertaut.Papa Tian tentu sudah tahu kalau tebakannya pasti benar.“Ya sudah kalau begitu ayo kamu pulang ke rumah papa saja. Nanti biar mama yang bilang sama Tian kalau kamu tinggal bersama kami untuk sementara waktu.”Karena tidak punya pilihan lain, akhirnya Agni mengangguk setuju untuk ikut bersama mertuanya. Dia duduk di bangku belakang sedangkan papa Tian duduk di samping sopir.“Loh, Agni. Kenapa bisa ikut papa?” tanya mama Tian setibanya suami sampai di rumah.“Sudah, masuk dulu.” Mama Tian mengangguk dan mengajak menantunya masuk k
Seketika wajah Agni berubah pias. Rantang yang ada di tangannya terempas jatuh ke lantai dan isinya berserakan. Dia melihat dengan jelas bagaimana tubuh Tian menindih seorang gadis yang hampir telanjang dan sedang menghisap puting payudara gadis itu dengan penuh nafsu.Sepasang manusia yang sedang dilanda gairah itu terkejut dengan kedatangan Agni.“A-Agni!” Tian langsung turun dari tubuh Desi dan menarik celananya ke atas dengan gerakkan terburu. Begitu juga dengan Desi yang langsung turun dan merangkak mencari bra dan kemejanya yang tadi dilempar sembarangan oleh Tian. Sadar dengan apa yang sedang terjadi, Agni langsung masuk dan menutup pintu agar tidak ada karyawan yang melihat adegan tersebut. Kini dia melihat dua orang berlainan jenis itu sibuk memasang pakaiannya kembali. Desi nampak ketakutan dari wajahnya yang pucat pasi. Berbeda dengan Tian yang wajahnya datar saja sambil terus menatap Agni. Meski awalnya sempat terkejut, tapi Tian sangat pandai menguasai diri dalam kondis