Anyelir terkejut melihat kehadiran Abimanyu yang begitu tiba-tiba itu. Dengan cepat gadis itu menutup pintu lemari pakaian agar Abimanyu tidak melihat tas lusuhnya.
"Kau baru pulang?" tanya Anyelir berbasa-basi."Kelihatannya?" jawab Abimanyu dengan ketus. Wajah tampannya sungguh terlihat dingin dan membuat atmosfer di dalam ruangan itu membeku.Lelaki itu ngeloyor pergi melewati Anyelir yang berdiri terpaku. Tercium bau parfum wanita yang beraroma manis. Pasti bau parfumnya Lidya, batin Anyelir.Abimanyu membuka kemejanya karena merasa tubuhnya lengket. Semalam ia terlalu banyak minum hingga mabuk berat di apartemen Lidya. Dan sepertinya hari ini ia akan terlambat pergi ke kantor.Tak akan ada yang memarahi dia karena datang terlambat, sebab Abimanyu adalah CEO dari perusahaan milik keluarga Sudibyo.Terlihat punggung kekar Abimanyu yang begitu kokoh dan menggiurkan saat pria itu membuka kemejanya.Anyelir yang berada di belakang pria itu hanya bisa menelan salivanya karena menurutnya tubuh Abimanyu teramat seksi untuk ukuran lelaki."Kau mau melihatku membuka seluruh bajuku?" Abimanyu melirik sekejap pada Anyelir yang tanpa sadar menatap Abimanyu sampai tak berkedip."Eh, aku akan buatkan teh untukmu." Anyelir mengerjapkan mata dengan pipi yang merona merah karena malu.Tak ada senyum sama sekali di wajah pria tampan itu. Ia memasang wajah lelah dan malasnya saat Anyelir keluar dari kamar itu.Dengan langkah gontai Abimanyu masuk ke dalam kamar mandi. Karena tidur di sofa semalam suntuk, tubuh pria itu jadi terasa sakit.Beberapa kali pria itu merenggangkan ototnya untuk meredakan rasa sakit di persendiannya.Air shower mengguyur tubuhnya. Abimanyu seperti tengah memikirkan sesuatu. Tadi malam Lidya mendesaknya untuk menikah meski sudah jelas kalau ia sudah menikah dengan Anyelir secara resmi.Tidak mungkin baginya untuk menikah dengan Lidya dalam waktu dekat ini. Meskipun Lidya tidak menuntut untuk menikahinya secara negara.Sebenarnya bukan masalah resmi atau tidak resminya. Hanya saja sampai detik ini entah kenapa hati Abimanyu masih merasa ragu. Ia tak dapat membohongi perasaannya sendiri yang tidak menyimpan sedikitpun perasaan cinta pada Lidya.Baginya, hubungan mereka hanya sebatas hutang budi atas jasa Lidya yang telah menemaninya tidur waktu itu.Abimayu menyudahi ritual mandinya. Ia segera memakai bathrobbenya dan segera keluar dari kamar mandi.Badannya sudah terasa segar sekarang. Di ujung rambutnya masih menintikkan air dan jatuh di lantai hingga menimbulkan bercak basah di sana.Abimanyu berjalan ke arah lemari baju bermaksud untuk mengambil bajunya dari dalam lemari."Apa ini?" Abimanyu tercenung, sepasang matanya melihat sebuah tas kain lusuh berada di antara tumpukan baju Anyelir yang hanya beberapa potong saja."Apa tas ini milik Anyelir? Jelek sekali." Abimanyu mencibir dan tertawa kecil melihat tas kain lusuh motif hello kitty yang menurutnya sangat kekanak-kanakan itu."Untuk apa tas jelek itu dibawa ke sini. Merusak pemandangan saja," gerutu Abimanyu seraya menarik kaosnya dari dalam lemari.Tapi sayang, saat ia menarik kaosnya, tas Anyelir pun ikut terjatuh. Isi tas itu berserakan di lantai."Uh, sial. Merepotkan saja," gerutu Abimanyu sembari berjongkok untuk membereskan isi tas Anyelir yang berserakan.Tatapan Abimanyu tertuju pada sebuah benda yang keluar dari tas Anyelir yang kini berada tepat di dekat kakinya."Tespek?" Abimanyu mengambil benda panjang kecil berwarna biru dan putih.Meskipun ia belum pernah melihat secara langsung benda tersebut namun, ia sering melihat penampakannya di internet. Dan ia langsung tahu kalau benda itu adalah sebuah alat pendeteksi kehamilan."Siapa yang sedang hamil?" Abimanyu mengerutkan keningnya saat melihat garis dua warna merah di tespek tersebut."Anyelir hamil?" Abimanyu mengerutkan keningnya tak percaya."Cih, gadis itu ternyata tak selugu penampilannya, rupanya dia hanyalah seorang gadis murahan yang ingin memanfaatkan pernikahan ini, kurang ajar!" Rahang Abimanyu mengeras."Wanita murahan, beraninya dia menipuku." Tatapan Abimanyu terlihat menyala. Api kemarahan telah berkobar. Memenuhi rongga dadanya dan siap meledak jika Anyelir ada di hadapannya sekarang."ANYELIR!!!"Anyelir membuka pintu kamarnya dengan perlahan sembari membawa segelas teh hangat di atas nampan. Namun pemandangan di dalam kamar membuat Anyelir terlonjak kaget. Abimanyu duduk di atas sofa dengan wajah diliputi kemarahan. Jantung Anyelir seakan berhenti berdetak melihat wajah Abimanyu yang tampak dingin. Seketika atmosfer yang menyelimuti kamar itu terasa mencekam seperti di dalam neraka. Kedua mata Anyelir membulat melihat benda yang berada di tangan Abimanyu. Dengan cepat Anyelir menaruh nampan di atas meja di depan Abimanyu. "Jangan sembarangan menyentuh barang orang lain!" Anyelir memburu Abimanyu untuk merebut benda di tangan lelaki itu."Kau bilang orang lain? Kau sudah lupa kalau kita sudah menikah kemarin? Cih, tidak kusangka kau berani menipuku seberani ini, siapa ayah dari bayi yang kau kandung itu?!"Abimanyu melemparkan tespek kehamilan Anyelir ke depan muka gadis itu."Bukan urusanmu." Anyelir menjawab dengan ketus. Ia memungut tespek miliknya yang jatuh di lantai.
Anyelir menyimpan kembali tas lusuhnya ke dalam lemari. Lalu ia menoleh ke arah pintu yang terus diketuk dari luar. "Masuk!" Pintu terbuka, kepala Mbok Siwi nongol dan terlihat begitu khawatir. "Nyonya, saya lihat kau sedang kurang sehat? Apa mau saya antar berobat?"Anyelir mengerjapkan matanya. Terharu dengan sikap perhatian yang ditunjukkan Mbok Siwi. Wanita paruh baya itu menghampiri Anyelir yang kini duduk di tepi pembaringan. Rasa mual di perutnya sudah tidak sehebat tadi. Hanya saja, ia masih shock karena Abimanyu mengetahui kehamilannya. Anyelir memijit pelipisnya yang berdenyut sakit. Kepalanya sekarang yang pusing. "Tidak usah Mbok, sepertinya aku hanya masuk angin." Anyelir beralasan. "Kalau begitu, Mbok bikinkan teh jahe untuk menghangatkan perutmu." Mbok Siwi membalikkan tubuhnya ke belakang. "Tidak usah, Mbok. Aku sudah bikin teh hangat tadi. Aku rasa itu saja sudah cukup." Anyelir melirik ke arah segelas teh yang masih utuh yang sejatinya teh itu sengaja ia buat
Anyelir menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat Abimanyu sedang berdiri di depan ruang kerjanya dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Anyelir terpaku. Ia kira lelaki itu telah berangkat ke kantor. Rupanya ia memutuskan bekerja dari rumah. Anyelir menelan salivanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Jika ia mengatakan akan bekerja, apakah Abimanyu akan marah padanya? "Jawab aku, kau mau kemana?" tanya Abimanyu dengan wajah dingin. "Apa kau mau menemui kekasihmu?" tanyanya lagi dengan tatapan penuh selidik melihat penampilan Anyelir yang begitu rapih. "Tidak... A—aku hanya ingin pergi ke rumah Ibu," jawab Anyelir asal. Abimanyu sepertinya tidak percaya begitu saja. Ia menghampiri Anyelir dan menelisik gadis itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Secantik apapun kau berdandan, tetap saja kau tidak akan berhasil menarik perhatianku." Abimanyu berdecak dengan senyum yang penuh dengan ejekan. Hati Anyelir langsung panas mendengarnya. Ia tidak menyangka bisa menikah dengan
"Dasar wanita murahan!" bentak Abimanyu membuat Anyelir terkejut dan berdiri terpaku di dekat lemari baju.Wanita yang baru selesai mandi itu tertegun melihat Abimanyu yang tiba-tiba saja marah dengan kedua mata yang memerah. Abimanyu berjalan menghampiri Anyelir. Langkah berat dengan wajah dingin yang membuat Anyelir membeku dengan sejuta tanya. Kesalahan apalagi yang ia perbuat hari ini? Anyelir berusaha menahan gemuruh dalam hatinya. Perempuan murahan memang pantas ia sandang. Ia tak akan menyangkal akan hal itu. Tapi apakah harus, Abimanyu memanggilnya dengan sebutan itu secara terus menerus? Ia juga punya perasaan yang seharusnya Abimanyu bisa jaga. Cukup untuk tidak saling mengusik hidup masing-masing apakah sesulit itu bagi Abimanyu? "Siapa lelaki itu?" Abimanyu bertanya dengan wajah dinginnya. Aura mencekam langsung terasa saat Abimanyu hadir memasuki kamar. Semakin dekat lelaki itu ke arah Anyelir berdiri semakin Anyelir merasa tubuhnya bergetar takut. Raut wajah yang d
Hari itu sebelum bekerja, Anyelir pergi mengunjungi ayahnya. Hari masih sangat pagi dan waktu itu Tuan Hadi Wijaya baru saja selesai sarapan pagi. Istri dari Tuan Hadi, Nyonya Erika menyambut kedatangan Anyelir dengan ketua. "Ada apa kau kemari?" tanyanya sedikit kesal karena merasa terganggu dengan kehadiran Anyelir. Anak tirinya yang sangat ia benci dari dulu. Anyelir masih berdiri di depan pintu karena Nyonya Erika masih mencegahnya untuk masuk. Ia mendengar dari ibunya kalau Nyonya Erika dulu adalah sahabat ibunya, yang justru malah merebut Tuan Hadi dari ibunya. Menjadikan dirinya dan Nyonya Hera terlunta-lunta karena sengaja di buang ke Yogyakarta. Mengingat hal itu, wajah Anyelir pun menjadi suram. Ia marah dan benci pada wanita yang kini berada tepat di hadapannya itu. "Sudahlah Ma, biarkan Anyelir masuk." Tuan Hadi Wijaya yang baru saja selesai sarapan keluar dari dalam dan menyuruh Nyonya Erika membiarkan Anyelir masuk. Nyonya Erika masih terlihat tidak rela membiarka
"Abimanyu...?" Anyelir menghentikan langkahnya sejenak sebelum mengumpulkan keberaniannya untuk menghampiri Abimanyu yang datang bersama Lidya, kekasihnya. "Selamat siang, mau pesan apa Tuan? Silakan dilihat dulu buku menunya." Anyelir memberi salam dan melayani layaknya tamu biasa lainnya. Abimanyu yang merasa familiar dengan suara Anyelir, mendongak dan melihat wajah gadis yang berdiri di depannya itu. "Anyelir...." lirihnya dengan tatapan tak percaya melihat Anyelir berada di restoran ini. Berdiri dengan pakaian pelayan dan melayani dia hari ini. "Sedang apa kamu di sini?" serangnya kesal."Kau tidak lihat kalau aku sedang bekerja?" Anyelir masih menampakkan senyumnya karena ia tidak boleh terlihat bersikap ketus pada pelanggan. Abimanyu makin kesal mendapatkan sikap seperti itu dari Anyelir. Ia menganggap Anyelir tidak menghargainya sama sekali. Pria itu melihat pakaian yang dikenakan oleh Anyelir saat ini. Rok dengan panjang di atas lutut menampilkan kakinya yang jenjang, h
Lidya menajamkan lagi penglihatannya untuk memastikan gadis itu bukanlah Anyelir. Tapi semakin dilihat semakin banyak kesamaan yang dimiliki Anyelir dengan gadis di malam itu. "Ada apa?" Tangan Abimanyu yang merayap memegang tangannya membuat Lidya tersadar dan segera mengalihkan pandangannya dari Anyelir. Ia menatap Abimanyu yang juga tengah menatapnya dengan sorot mata dalam. "Ti—tidak apa-apa." Suara Lidya terdengar sedikit gugup. Senyum simpul ia sematkan di bibirnya untuk menutupi rasa gugupnya di hadapan Abimanyu. Pria pemilik senyum yang mampu membuat kaum hawa tergila-gila padanya itu mengusap jemari Lidya dengan lembut. Seakan mengerti dengan keresahan yang gadis itu rasakan sekarang. Ia mengira Lidya sedang cemburu pada Anyelir karena ia tadi memarahi gadis hanya karena pakaiannya yang terlalu seksi. Padahal itu pakaian seragam yang sejatinya tak bisa Anyelir tolak untuk memakainya. Abimanyu merasa kalau dirinya telah bertindak sangat bodoh tadi. "Kau tenang saja, aku
"Tolong selamatkan ibu dan bayinya," ucap Dimas dengan wajah menegang saat ia sampai di lobi rumah sakit. Beberapa orang perawat membawa tubuh Ellena ke ruang pemeriksaan dengan menggunakan brankar. Dimas menatap wajah Anyelir yang memucat. Apa benar gadis itu tengah hamil sekarang? tanyanya dalam hati. Suara seorang suster yang memanggilnya membuyarkan lamunan pemuda tampan itu. "Pak, mohon untuk mengurus pendaftaran rawat inap dulu ya, karena pasien sepertinya harus menjalani observasi lebih lanjut." Suster yang terlihat sangat ramah itu menunjukkan jalan ke arah ruang administrasi yang saat itu terlihat lumayan ramai. "Baik, Sus. Tapi tolong lakukan yang terbaik untuk gadis ini," pinta Dimas dengan sebelum ia pergi ke ruang administrasi. "Kami akan usahakan yang terbaik demi keselamatan pasien." Suster itu mengangguk tegas. Dari kejauhan Abimanyu yang diam-diam mengikuti kepergian Dimas mengepalkan tangannya kuat-kuat. Mungkinkah ayah dari anak yang dikandung Anyelir adalah
"Ini adalah ruangan file. Semua file di sini tidak ada yang boleh bocor ke luar. Jika ada dokumen yang sudah tidak dipakai maka kau harus segera menghancurkannya." Lidya mulai memperkenalkan detail pekerjaan Anyelir. Gadis itu hanya mengangguk dan mendengarkan semua perkataan Lidya dengan seksama bahkan sesekali gadis itu akan mencatatnya di buku catatan karena takut kalau ia akan lupa. Lidya juga memberitahukan ruangan lain dan tugas-tugas Anyelir sebagai sekretaris kedua di perusahaan ini. "Pokoknya tugas kamu setiap pagi adalah membuatkan kopi untuk Pak Abimanyu. Ingat selama j kerja, kau harus memanggil dengan sopan." Lidya berkata dengan wajah datar. "Baik, akan saya lakukan." Anyelir berkata dengan lebih sopan pada Lidya, karena sekarang mereka adalah rekan kerja dan di sini Lidya adalah seniornya. Telpon di meja kerja Lidya berbunyi. Dengan cepat gadis itu mengangkatnya karena ia tahu kalau telepon itu dari Abimanyu. "Tolong bawakan aku segelas kopi lagi, yang seperti tad
Anyelir dan Nona receptionis itu menengok ke arah datangnya sumber suara. Kedua security itu pun sontak langsung melepaskan pegangannya dari tangan Anyelir.Suara langkah sepatu mendekat ke arah mereka, Anyelir bisa melihat dengan jelas sosok Abimanyu yang kini melangkah menghampirinya.Pria itu sepertinya baru datang dan baru keluar dari dalam mobilnya. Nona resepsionis terlihat begitu ketakutan saat melihat wajah dingin Abimanyu yang menatap tegas ke arahnya. 'Siapa yang mengizinkanmu untuk mengusir Anyelir dari kantor ini?" tanya Abimanyu dengan intonasi suara yang sedikit lebih tinggi dari biasanya.'Ma—Maafkan saya, Tuan. Saya pikir nona ini hanya sekedar mengada-ngada karena yang saya tahu di kantor ini sedang tidak membuka lowongan kerja." Nona resepsionis itu menjawab dengan gugup. wajahnya benar-benar terlihat ketakutan karena melihat Abimanyu yang sepertinya begitu marah. "Lain kali jangan melakukan hal ini sebelum konfirmasi kepadaku, kalau tidak kau bisa saja yang aku p
Abimanyu duduk terdiam di kursi kerjanya. Hari ini dia sulit sekali berkonsentrasi. Beberapa kali dia terbengong tiba-tiba saat sedang melakukan meeting bersama dengan para staff-nya. Bayangan tubuh Anyelir terus menari-nari di pikirannya. Ia tidak menyangka kalau wanita itu mempunyai tubuh yang begitu seksi. "Sial! Kenapa aku terus terbayang-bayang tubuh ha//Anyelir padahal hanya terlihat bagian belakangnya saja." Abimanyu menyugar rambutnya dengan kasar. Dia mengusap wajahnya sendiri yang tiba-tiba saja terasa hangat.Entah kenapa dia merasa begitu terpesona untuk pertama kalinya saat melihat tubuh seorang wanita. Tok tok.Suara ketukan pintu terdengar dari luar."Masuk!"Lidya menjulurkan kepalanya sebelum ia masuk ke dalam ruangan Abimanyu."Sayang hari ini kau ada meeting dengan klien, setengah jam lagi kau harus menemuinya di restoran yang sudah dijanjikan sebelumnya." Lidya memberitahu schedule dari Abimanyu. "Panggil aku 'Pak' ini kantor, jadi kau harus bisa membedakan pan
"Hah...!?" Abimanyu terperangah mendengar pertanyaan dari Anyelir. Ia tak menyangka jika Anyelir begitu antusias menerima tawaran pekerjaan darinya. "Secepatnya kau bisa bekerja di perusahaanku," jawab Abimanyu sembari menelan salivanya. Dia belum mengkoordinasikan hal ini dengan staff kantornya. Jadi belum tahu di mana kira-kira Anyelir akan ditempatkan. "Baiklah, kalau begitu mulai besok aku siap bekerja." Anyelir tersenyum penuh semangat. "Uhuk... uhuk!" Abimanyu langsung tersedak. Gadis bodoh ini, dia pikir menyiapkan perkerjaan yang belum ada itu mudah? "Kau kenapa?" Anyelir menepuk punggung Abimanyu dengan cemas. "Tidak apa-apa aku baik-baik saja." Abimanyu mengangkat sebelah tangannya. Ia melonggarkan dasi yang dipakainya untuk sedikit melegakan napasnya. Abimanyu langsung mengantarkan Anyelir pulang ke rumahnya. Mbok Siwi langsung menyambut kedatangan wanita itu dengan gembira. "Selamat datang kembali, Nyonya Anyelir." Mbok Siwi hanya tidak tahu kalau Anyelir masuk ru
Tiga hari Anyelir dirawat di rumah sakit dan selama itu pula Dimas selalu setia menemaninya. Hari ini Anyelir akan pulang dan kembali ke rumah Abimanyu. Namun sayang, karena ketahuan sedang hamil, Anyelir tidak diperbolehkan lagi bekerja di restoran tempatnya bekerja kemarin. "Apa kau yakin kau akan bisa pulang sendiri ke rumah suamimu?" Nyonya Hera terlihat cemas melihat Anyelir yang bersikeras ingin pulang ke rumah Abimanyu sendirian. Padahal Dimas sudah siap akan mengantarkannya pulang. Lelaki itupun sengaja datang untuk menjemput Anyelir dari rumah sakit. "Aku yakin, Bu. Lagipula aku akan naik taksi dan itu pastinya akan aman. lebih baik ibu pulang saja bersama Dimas. Tolong ya, Dim, antarkan ibuku pulang ke rumah." Anyelir mengalihkan pandangannya pada Dimas yang masih terdiam. Dimas sepertinya masih ingin mengantarkan Anyelir, tapi ia tahu kalau Anyelir lebih mengkhawatirkan ibunya. Jadi lelaki itu pun tak bisa berkata apa-apa lagi selain menuruti keinginan Anyelir. "Baikl
Abimanyu kekur dari rumah sakit dengan hati yang masih diliputi amarah. Harga dirinya merasa benar-benar terinjak. Namun entah kenapa ia merasa kesal melihat kedekatan Anyelir dan Dimas. Nyonya Hera yang belum tahu akar permasalahannya berdiri terpaku dengan wajah bingung. "Sebenarnya apa yang terjadi, Sayang?" "Bu, semua ini hanyalah salah paham. Abimanyu sudah mengetahui kehamilanku dan dia tidak terima akan hal ini. Aku bisa memakluminya dan dia pun pasti merasa dibohongi olehku. Aku minta waktu tiga bulan sebelum pernikahan ini benar-benar berakhir." Anyelir berusaha menjelaskan secara singkat di depan ibunya dan juga Dimas. "Semuanya gara-gara Ibu." Nyonya Hera tergugu dengan berlinang air mata. Ia merasa telah membuat hidup anak gadisnya hancur. Untuk apa ia hidup kalau hanya untuk melihat penderitaan yang dialami oleh Anyelir. "Bu, semua ini bukan salah Ibu, jangan menyalahkan diri seperti itu." Anyelir meraih tangan keriput ibunya dan ikut menitikkan air matanya. Ia tak
Abimanyu berdiri di samping ranjang rumah sakit.Ini adalah hari kedua Anyelir di rawat di sini. Abimanyu baru memberanikan diri menjenguk istri pura-puranya itu. Pria berwajah tampan itu tampak terdiam. Ia merasa tidak nyaman karena kehadiran Dimas yang juga ada di sana berdiri di antara mereka. Anyelir sendiri merasa sedikit kaku, ia tidak menyangka jika Abimanyu akan datang menjenguknya hari ini. Suasana menjadi sedikit canggung saat itu. Dimas hanya terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Dia masih menerka-nerka kalau Abimanyu ini adalah pria yang bertanggung jawab atas kehamilan Anyelir. Keheningan menyelimuti ketiganya. Hanya hati mereka saja yang berbicara dalam diam. TokTokSebuah ketukan di pintu membuyarkan suasana mencekam yang terjadi. Nyonya Hera muncul dengan membawakan Anyelir makanan kesukaannya. Ia tidak tahu kalau ada Abimanyu saat itu. Sejenak wanita itu tertegun dan menatap Abimanyu tanpa berkedip. Pun dengan lelaki itu. Ia yang baru melihat wajah ibu
Lidya menatap Abimanyu dengan tatapan penuh selidik. Ada rasa kekhawatiran di mata itu. Lidya takut jika lambat laun Abimanyu akan mencintai Anyelir dan malah meninggalkan dirinya yang telah berusaha sekuat tenaga merebut hati Abimanyu selama ini. Abimanyu pun tertegun mendengar pertanyaan Lidya barusan. Apa benar dia marah? Tapi perasaanya memang sangat tidak nyaman saat ini. Ia kesal. Ia ingin marah. Tapi tidak jelas karena apa. "Come on, Sayang. Jangan bercanda. Mana mungkin aku mencintai gadis yang sudah jelas-jelas tengah hamil anak dari lelaki lain. Yang benar saja." Abimanyu tertawa garing mendengar tuduhan Lidya. Lidya menghembuskan nafasnya secara kasar. Wajahnya berpaling ke luar jendela. Tangan kanannya memijit pelipisnya. Entah kenapa Lidya sama sekali tidak percaya dengan kata-akat Abimanyu saat itu. Anyelir bisa menjadi batu sandungan yang akan menghalangi langkah Lidya untuk mendapatkan Abimanyu. Dan Lidya tak akan menyerah semudah itu. Entah kenapa hatinya mengisy
"Tolong selamatkan ibu dan bayinya," ucap Dimas dengan wajah menegang saat ia sampai di lobi rumah sakit. Beberapa orang perawat membawa tubuh Ellena ke ruang pemeriksaan dengan menggunakan brankar. Dimas menatap wajah Anyelir yang memucat. Apa benar gadis itu tengah hamil sekarang? tanyanya dalam hati. Suara seorang suster yang memanggilnya membuyarkan lamunan pemuda tampan itu. "Pak, mohon untuk mengurus pendaftaran rawat inap dulu ya, karena pasien sepertinya harus menjalani observasi lebih lanjut." Suster yang terlihat sangat ramah itu menunjukkan jalan ke arah ruang administrasi yang saat itu terlihat lumayan ramai. "Baik, Sus. Tapi tolong lakukan yang terbaik untuk gadis ini," pinta Dimas dengan sebelum ia pergi ke ruang administrasi. "Kami akan usahakan yang terbaik demi keselamatan pasien." Suster itu mengangguk tegas. Dari kejauhan Abimanyu yang diam-diam mengikuti kepergian Dimas mengepalkan tangannya kuat-kuat. Mungkinkah ayah dari anak yang dikandung Anyelir adalah