Livya jadi beringas mendengar hal yang ditawarkan oleh sang suami. Setelah sekian lama menanti, akhirnya Arnesh menginginkan dengan sendirinya. Tentu Livya tak bisa menolak. "Mas yakin? Aku ... takut kalau Mas akan kasar padaku, takut terjadi sesuatu pada anak kita nantinya," ujar Livya. "Tenang, aku juga masih punya pikiran. Nggak mungkin melakukan seks kasar saat kehamilan, aku ingin menjenguk anakku," balas Arnesh. "Ba-baiklah, Mas. Aku akan melayanimu malam ini." "Aku mulai, ya." Dia mulai mengangguk malu-malu, karena Arnesh pertama kali menatap dengan begitu lekat. Arnesh menilik wajah Livya, wanita yang sudah menemani dan bakalan memberikan penerusnya. Mungkin, dia memang harus belajar menerima keberadaan Livya. Siapa tahu dengan cara ini, dia bisa sedikit lupa soal Gladys. Wanita yang belakangan ini berhasil membuat pikirannya terusik. "Papa akan menjengukmu, Sayang," bisik Arnesh, mengecup perut Livya yang hanya mengenakan dalaman saja setelah pakaiannya ditanggalkan.
Terkejut, reaksi Kemala ketika melihat seorang wanita sedang menenteng karanjang di genggaman berjalan ke arahnya. Ia sangat kaget, dengan kehadiran Gladys yang sudah mulai terlihat perutnya yang menonjol. "Wanita gila ini yang lebih dulu menggangguku! Mana mungkin aku berbuat kasar tanpa alasan!" sergah Bambang, murka pada Kemala yang sudah berlebihan dan bahkan merusak suasanya pagi. Wanita yang awalnya dicinta, malah semakin memuakkan di mata. Sebab, Kemala selalu banyak keinginan, yang mana keinginan tersebut harus segera dipenuhi. Berbeda dengan sang istri, selalu menerima uang pemberiannya tanpa protes sedikit pun. Maka dari itu, mengakhiri lebih baik. "Dibicarakan baik-baik 'kan bisa. Anda nggak harus berbuat kasar kepada wanita, apalagi ini Bibi saya," ujar Gladys. Tangan itu akan meraih Kemala, membantu untuk berdiri tapi malah keburu ditepis. Kemala enggan mengakui, jika Gladys adalah keluarga. Semenjak kehamilan itu, Kemala harus menanggung malu karena diolok-olok w
Melihat kedatangan anak dan menantunya ke lantai bawah, Mama Linda sontak menatap ke arah keduanya yang sedang berjalan beriringan menuruni tangga. Terlihat ada gurat kebahagiaan yang terlukis di wajah Livya pagi ini. Ia jadi lega, kerita Arnesh menggenggam tangan Livya menuju meja sarapan. "Pagi, Ma," sapa Livya, duduk di sebelah ibu mertuanya. "Cerah banget wajah kamu, Liv. Lagi senang nih pasti," goda Mama Linda, mengulum senyum di bibirnya. "Mama tahu aja." Livya merona dan melirik ke arah Arnesh yang fokus memakan sarapan yang sudah dihidangkan. Meski ada begitu banyak makanan enak tersaji, Arnesh kehilangan selera makan. Ia terus kepikiran, bagaimana dan di mana Gladys sekarang. Sungguh, dia sangat merindukan. Sudah satu bulan lamanya tidak bertemu, Arnesh jadi semakin rindu menggebu. Alasannya pun dia tak tahu, bingung dengan perasaan sendiri. "Mas ... kenapa bengong?" Livya mengajukan tanya. Ketika tahu Arnesh melamun dan mendiamkan menu sarapan. Arnesh membubarkan la
Keresehan dirasakan Gladys, ketika dirinya tahu bahwa Arnesh menyuruh orang untuk mencari dirinya. Berlebihan, Gladys merasa jengah dengan jalan pikir Arnesh. Wanita itu mondar-mandi di kamar, sembari menggigit kukunya. Memikirkan bagaimana cara agar orang suruhan Arnesh tidak menemukannya. "Mentang-mentang punya banyak uang, sehingga dengan mudahnya mengutus orang!" gerutunya. Jika seperti ini, Gladys jadi ragu untuk berjualan. Dipastikan dia tidak akan leluasa seperti biasa. Hingga terlintas, satu-satunya cara agar dia tidak diketahui ialah dengan menutup wajah. Yeah, dia harus pakai cara itu, memilih jalur aman. Berjaga-jaga, supaya Arnesh tidak bisa menemukan kebaradaannya. *** Akhir-akhir ini Arnesh jadi sangat bimbang. Benaknya terus terngiang-ngiang Gladys yang masih belum ada kabar. Akibatnya, pekerjaan ia jadi tidak fokus dan kehilangan semangat. Kepergian Gladys diibaratkan merenggut setengah jiwanya. Arnesh memijat pelipis, pusing menjalar lantaran terus memikirkan.
Arnesh baru kembali dari rooftop Rumah Sakit, ketika pikirannya sudah menenang. Dia sering datang ke tempat itu, sekedar menghilangkan penat sambil memandangi kawasan ibu kota di atas sana.Ia memakai masker dan kacamata, berjalan di sepanjang lorong. "Dokter Arnesh, ada pasien yang mengalami luka. Di sana juga ada teman anda yang membawa."Si pemilik alis tebal itu menaut. "Siapa?" tanyanya."Pak Aaron, dia datang bersama wanita hamil. Katanya dia gak sengaja mau nabrak," papar Suster yang ditugaskan menemani Arnesh melakukan pemeriksaan.Arnesh pun segera masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Betapa terkejutnya ia, melihat siapa yang ada di ruangannya.Bukan kedatangan Aaron yang membuatnya kaget, akan tetapi kedatangan Gladys yang berada di sampingnya sembari menundukan pandangan.Sebisa mungkin Arnesh meredam kerinduan, ketika dipertemukan dengan wanita yang sedang ia cari keberadaannya. Siapa sangka, sang wanita datang ke hadapannya."Ngapain diam di situ? Cepat periksa, Ar. Aku taku
Takut jika kehadirannya diketahui oleh Arnesh dan para bawahannya. Gladys memutuskan untuk berhenti berdagang, ia berniat mencari tempat untuk melamar pekerjaan.Syukur-syukur jika ada yang menerima wanita hamil seperti dirinya. Semoga saja. Karena Gladys membutuhkan uanh demi keberlangsungan hidup.Hidup di tengah kerasnya ibu kota memang tidak mudah, mangkannya Gladys tak menyerah mencari uang. Jika bukan dirinya, lalu siapa lagi?"Glad, kamu nggak jualan?" tanya April, begitu paspasan dengan Gladys."Nggak sih, Pril. Aku mau nyari kerjaan lain, aku butuh uang lebih untuk persalinanku nanti," jawab Gladys.April merasa kagum, pada sosok Gladys. Selain baik, dia juga wanita pekerja keras. Apalagi di saat kondisi mengandung. Wanita yang harusnya berdiam diri dan banyak istirahat di rumah, justru malah sebaliknya, harus bekerja di masa-masa kehamilannya."Coba kamu ikut aku aja ke restoran tempat aku kerja, Glad. Kalau nggak salah, kemarin ada karyawan yang mengundurkan diri karena di
Gladys jadi berbinar-binar, saat dirinya diterima dipekerjaan. Ia bahkan mengembangkan senyum dan saling berpegangan tangan dengan April, berbagi kebahagiaan.Aksi dua wanita tersebut, sukses membuat Aaron dan Max menganga dengan sikap mereka berdua."Serius, Pak?" Gladys memekik pelan, memastikan.Aaron mengernyit, lalu mengangguk mengiyakan. Dia harap, dengan cara seperti ini bisa memberikan bantuan pada orang yang sedang dilanda kesusahan.Apalagi Gladys tengah hamil, harus berjuang mencari uang padahal baiknya memang angkang-angkang di rumah. Aaron takjub."Iya, kamu bisa langsung bekerja mulai hari ini," ujar Aaron, mengubah ekspresinya menjadi biasa-biasa saja. Sejenak terpana, pada pesona wanita hamil di hadapannya.Segera ia mengenyahkannya, ini benar-benar gila. Takjub dan terpesona pada wanita pastinya merupakan istri orang."Terima kasih banyak, Pak, terima kasih," ujar Gladys. Hampir menangis haru, saat dirinya bisa bekerja di sini mulai sekarang.Sementara Max, menampilka
Setelah bertemu dengan Arnesh di depan tadi, Gladys menetralkan degup jantungnya yang bertalu begitu cepat. Siapa sangka, bahwa Arnesh datang bersama istrinya.Perempuan yang sangat glamour dan juga cantik, lebih pantas disandingkan dengan pria seperti Arnesh. Melihat kenyataan tersebut, hati Gladys berdenyut milu bak tersayat sembilu.Andai bisa memilih, harusnya mereka tidak dipertemukan ditempat ini. Gladys lupa, bahwa Aaron dan Arnesh berteman."Kenapa Tuhan? Kenapa aku kembali dipertemukan?" gumam Gladys, menekan dada dengan badan lemas seketika.Pria yang ia hindari, malah muncul dengan sendiri. Ia harap, takdir tak mempertemukan mereka. Sudah lelah Gladys menghindar, ia tak boleh mudah ditemukan.Tiba-tiba Gladys merasa sakit, karena si jabang bayi memberikan tendangan di usia kandungan besar ini. Seolah makhluk kecil itu tahu, ada keberadaan sang ayah didekatnya. "Nggak, Nak! Kamu hanya anak Mama, Mama yang akan membesarkanmu." Wanita hamil besar itu terus bermonolog, member
Livya terduduk di lantai, dia terus dimarahi oleh para tahanan lain karena terus menangis. Dia memeluk lututnya, menangisi takdir yang tak berpihak padanya.Ia ingin pulang dan keluar dari sini. Mama Venny datang untuk besuk, dia menghampiri Livya yang sedang duduk."Livya! Livya!" pekik mama Venny. Berhasil menyentak Livya yang sedang melamun.Livya yang tadinya duduk, buru-buru mendekat ke arah ibunya sambil memegang kedua tangannya. "Ma, tolong bantu aku keluar dari sini, Ma."Mama Venny tak bisa melakukan apapun sekarang. Bukti yang diberikan Arnesh sangat kuat."Nanti Mama pikirkan. Mama punya info penting Livya.""Info apa, Ma?""Soal Daniel."Mendengar nama Daniel disebut-sebut, Livya jadi mengharap sang kekasih datang dan membebaskannya."Ada apa soal Daniel, Ma?" Dengan cepat Livya bertanya."Daniel ... dia sudah menikah dengan perempuan lain, Livya," balas mama Venny.Deg! Tubuh Livya terbujur kaku. Ia berpegangan pada jeruji agar tubuhnya tidak limbung. Saraf-sarafnya tera
Satu minggu kemudian ....Setelah dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, akhirnya Gladys diizinkan pulang selama proses pemulihan. Bayinya pun sehat setelah melakukan pemeriksaaan.Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa Gladys dan Arnesh akan pulang ke kediaman mama Linda. Arnesh juga memutuskan untuk menjual rumah yang dulu ia tempati bersama Livya."Angkat aja, Nak, bawa masuk ke kamar," kata mama Linda, memberitahu anaknya agar menggendong Gladys yang masih kesulitan jalan. Dia menggendong Jesslyn, bayi perempuan yang mirip sekali dengan putranya.Gladys digendong ala bridal, menuju salah satu kamar di lantai bawah."Nah, Gladys, ini rumah kami. Saya harap kamu nggak merasa sungkan di sini," kata mama Linda. Perlahan mulai menerima kehadiran anak dan menantunya."Iy-iya, Ma."Gladys mengangguk. Sejak kejadian Livya datang, ibu mertuanya jadi perhatian sampai sekarang. Apalagi wanita paruh baya itu selalu membantu menjaga Jesslyn."Kamu temani aja istrimu. Biar Mama yang
Arnesh terkekeh sinis, saat Daniel meminta Livya untuk dibebaskan. Padahal sudah bersalah, bukti pun sudah jelas. Dia tak mengindahkan keinginan Daniel, pengkhianat yang sudah menusuknya dari belakang.Arnesh bangkit dari kursi, mengabaikan Livya dan Daniel yang ada di hadapannya. Sementara mama Venny, wanita paruh baya itu bingung mau bagaimana."Gila saja membebaskan orang yang sudah terbukti bersalah. Lanjutkan prosesnya, Pak, biarkan Livya menjalani hukumannya," ujar Arnesh berlalu bergitu saja, meninggalkan para dua pengkhianat itu.Mulai sekarang, Arnesh tidak ingin lagi berhubungan atau bertemi dengan mereka. Ia hanya ingin fokus pada kehidupannya yang sekarang bersama Gladys."Udah. Mulai sekarang kamu lupain mereka, fokus ke kebahagiaanmu," ujar papa Wandi menepuk pundak putranya.Pria berbeda usia itu menaiki mobil masing-masing untuk kembali ke rumah sakit. Ia khawatir dengan kondisi Gladys beserta anaknya.Ia menjalankan mobilnya dengan kebut-kebutan, ingin segera sampai,
Arnesh memutuskan untuk pergi, karena ia akan bicara dengan pengacaranya di sebuah caffe. Ia akan mengurus surat perceraiannya dengan Livya. Ia berpamitan dulu pada Gladys dan juga anaknya."Aku pergi dulu sebentar, kalau ada apa-apa hubungi aku," ujar Arnesh. Melabuhkan kecupan berulang-ulang pada pipi istri dan pipi anaknya.Gladys terkekeh, ia mendorong Arnesh agar menjauh. "Nanti Jesslyn bangun, Pak Arneh.""Gemas rasanya," ucap Arnesh diiringi dengan tawa.Arnesh melirik arloji yang melingkar di tangannya. Ia lantas pamit. Arnesh sudah mengundang pengacara datang. Dengan berat hati dia pun menaiki mobilnya.Kepergian Arnesh itu menjadi sebuah kesempatan bagi Livya yang diam-diam masuk ke dalan ruangan Gladys. Wanita itu memakai topi dan juga masker agar kehadirannya diketahui.Melihat ada Livya di sini, Gladys membeliakkan matanya sambil memeluk Jessyln. Livya membuka topi, ia menatap bengis pada wanita yang sudah menjadi simpanan suaminya."Sekarang kau bahagia bukan jika Mas Ar
Sementara di luar ruangan, papa Wandi sedang membujuk istrinya yang enggan masuk ke dalam. Mama Linda masih belum bisa menerima Gladys sebagai menantunya. Ia juga belum percaya, jika anak yang dikandung Gladys adalah anaknya.Papa Wandi juga sudah bercerita, jika ia sudah dikenalkan pada Gladys. Mama Linda kesal, selama ini hanya dia yang tidak tahu fakta sebesar ini. Ia kesal, itulah sebabnya enggan keluar."Ma, kenapa nggak masuk ke dalam? Yakin nih nggak mau lihat cucu kita? Bukannya Mama pengen banget punya cucu," ajak papa Wandi menggoda istrinya yang memiliki keinginan menimang cucu.Mama Linda tidak akan luluh begitu saja, dia bersedekap dada dan membuang pandangannya. "Ngapain Papa ngajak Mama? Biasanya juga main rahasiaan, 'kan? Udahlah sana. Mama di sini aja."Melihat istrinya yang sedang marah. Papa Wandi jadi gemas sendiri, pasalnya kemarahan sang istri sudah seperti anak ABG saja, tidak ada ubahnya dari dulu."Ada alasan kenapa Papa nyembunyiin dari kamu, Ma, sekarang ngg
Livya terusir paksa dari rumah suaminya. Dia harus pindah, ke kediamannya yang di Jakarta. Wanita hamil itu menangis tersedu-sedu, harus diceraikan karena Arnesh memilik madunya itu.Mama Venny merasa malu, dengan kelakuan Livya dan juga Daniel. Karena mereka, reputasinya hancur. Arnesh juga tidak mau percaya. Lelaki itu memilih menceraikan Livya.Sesampainya di kediaman. Mama Venny menyapu semua barang-barang sekitar, dia begitu geram dipermalukan. Tentu saja yang tak lain dan tak bukan karena Livya."Lihat sekarang, Livya! Atas perbuatanmu itu Mama yang harus menanggung malu! Sekarang Arnesh sudah menceraikanmu. Mama nggak akan membantumu! Silakan saja menikah dengan Daniel, pria yang menghamilimu!" sentaknya sembari menunjuk pelipis Livya menggunakan jari telunjuknya.Amarahnya sudah tak terkendali dengan semua ini. Apalagi Livya hanya bisa diam dan menangis, seolah itu bisa menyelesaikan masalah."Dan kamu, Daniel! Nikahkan anak saya jika benar itu anakmu! Saya tidak mau cucu saya
Pipi Gladys bersemu, ia menunduk dalam saat Arnesh mengatakan hal itu padanya, tepat di depan matanya. Pria itu menegakkan duduk, menggenggam tangan Gladys begitu erat dan mencium punggungnya tangannya dengan sangat lama."Kenapa, Glad? Apa kamu nggak cinta aku dan nggak mau hidup bersamaku?" tanya Arnesh dengan serius.Apa yang harus Gladys jawab? Dia sendiri pun bingung harus menjawab apa di saat dirinya belum bisa memahami yang dirasakan dirinya saat ini."Glad ...." Arnesh memanggil, dia menunggu jawaban istri keduanya. Dagu Gladys diangkat agar bisa menatapnya. "Maukah?" tanyanya.Gladys membalas tatapan Arnesh, kepalanya mengangguk begitu saja seolah setuju dengan pertanyaan Arnesh."Aku lakukan demi putri kita, ibumu sepertinya nggak menyukaiku," ujar Gladys. Masih terngiang-ngiang perkataan yang dilotarkan mama Linda padanya.Gladys tidak mau, mengganggu keluarga suaminya. Ia hanya ingin hidup tenang bersama putri yang baru dilahirkan.Jawaban Gladys membuat Arnesh senang, mes
Sekujur tubuh Livya terbujur kaku. Bagai tersambar petir di siang bolong Livya tersentak kaget saat Arnesh berkata seperti itu. Livya langsung memeluk Arnesh, dia tidak mau hubungannya berakhir."Apa maksud kamu, Mas? Aku nggak mau cerai, aku nggak pisah," ujar Livya menangis terisak-isak. Sial sekali, nasib buruk malah terjadi padanya hari ini.Arnesh mendengus. Sudah terlanjur murka dengan apa yang dilakukan Livya padanya, yang lebih parah lagi pada ayahnya. Papa Wandi hampir meregang nyawa karena perbuatan Livya.Apa yang sudah Livya lakukan sulit ditolelir. Arnesh jadi tidak mau lagi berhubungan dengannya. Livya sudah berkhianat dan mencelakai keluarganya. Begitipun mama Linda, dia juga sangat geram pada menantu kesayangannya, dengan tiba-tiba malah membencinya."Lepaskan aku, Livya! Aku nggak akan memberikanmu kesempatan! Kamu udah mencelakai ayahku!" sentak Arnesh. Tanpa rasa iba yang ia rasa, Arnesh dengan cepat menepis tangan Livya yang melingkar di perutnya."Mama, tolong Liv
Diberikan pilihan yang rumit seperti itu, Arnesh menjadi dilematis memilih salah satu di antaranya. Dia diam, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Livya terus mendesak jawaban.Livya memukul-mukul dada bidang Arnesh, sambil mencengkram kerah kemejanya. Sia-sia sudah perjuangannya mempertahankan rumah tangga, Arnesh malah tergoda oleh Gladys yang bernotabene sebagai orang ketiga di kehidupan rumah tangganya."Kenapa diam, Mas? Nggak bisa jawab 'kan kamu? Tinggalkan perempuan itu," pinta Livya, menuntun tangan Arnesh untuk mengelus perut besarnya. "Ini juga anak kamu, Mas Arnesh. Kenapa kamu lebih memilih gadis yang nggak jelas asal-usulnya?" "BOHONG! JANGAN PERCAYA PADA LIVYA!"Suara teriakan dari seseorang membuat ketiga orang itu menoleh ke arah belakang. Tepatnya pada seorang pria yang berdiri di ambang pintu, sontak saja mereka membelalak terkejut."Papa?" pekik Arnesh. Kaget saat Papa Wandi datang dengan keadaan yang sudah bisa berjalan."Ma-mas? Ka-kamu ... kenapa bisa? Kamu