"Begini dong, sejak dulu seharusnya kamu seperti ini, menjadi penurut." Devano berkata dengan nada tegas.Tatapan lelaki itu terus tertuju pada Kania saat berkata demikian. Lalu bergegas meraih berkas yang baru saja selesai di tanda tangani sang gadis. "Lihat! Semuanya sekarang dalam genggamanku. Sudahlah, kamu sekarang istirahat. Aku gak akan mengganggumu sampai kamu pulih sepenuhnya," seru Devano.Walau nadanya sama seperti biasa, tetapi ada sedikit suara bersemangat. "Oh, ya! Terus lakukan hal seperti tadi pagi setiap hari, aku menyukainya," goda lelaki itu.Seringai muncul di bibir Devano, sedangkan mata Kania membulat sempurna mendengar ucapan yang terlontar dari mulut sang majikan. Ia segera memalingkan wajah membikin lawan bicaranya ini terkekeh. Dia sangat puas melihat berbagai reaksi yang ditampilkan muka tawanannya. "Beradaptasilah, aku ingin melihat ekpresi wajahmu yang lain," kata pria tersebut. Ia berkata sambil memegang dagu Kania, lalu dia bangkit dan melangkah kelu
"Terus berinteraksi sama cewek itu," seru Rayyan. Mata Devano memutar dan ia langsung mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Lalu melangkah pergi tanpa berpamitan pada sang dokter, mereka memang sangat akrab. Karena sering bertemu, dulu Ayah lelaki itu yang mengobati Devano. Kini beralih ke Rayyan, pria yang dulu berusaha mendekati dan kini menjadi teman sampai sekarang. Devano langsung mendelik mendengar godaan sang dokter, sedangkan Alex hanya berjaga di luar. "Apaan sih! Aku cuman pengen pulang dari istirahat aja. Karena banyak yang ku kerjakan, " elek Devano. Rayyan hanya menganggukkan kepala karena mengiyakan perkataan Devano. "Jadi pengen ketemu cewek itu, baru pertama kali dengar ada yang nggak mau dekat sama kamu, " lontar Rayyan. Pria tersebut langsung menata tajam sang dokter, membuat lelaki itu terkekeh. "Lihat tatapanmu itu kau mau membuat orang semakin pengen ketemu. " Mata Devano memutar dan ia langsung mengambil ponselnya yang berada di atas meja
Kania meremas pakaian yang ia pakai, wanita itu kini masih berada di dalam kamar Devano merasa cemas dan tertekan. Dua hari sudah berlalu, kini dia harus mulai melakukan apa yang dijanjikan. Seseorang menekan tombol di samping pintu, lalu segera bersuara memanggil sang empu. "Kania, Tuan Devano sudah menunggu! Cepat keluar, kalau enggak kami bakal celaka gara-gara ulahmu," lontar perempuan itu.Mendengar perkataan bawahan Devano, wanita itu segera bangkit dari duduk. Sebenernya memang ia sudah rapi beberapa menit lalu, memandang pakaian yang diperintahkan pakai oleh sang majikan. Kania lekas mendorong pintu dan terlihat seorang perempuan menunggu."Apa yang kamu lakuin! Kenapa lama banget, apa kamu gak tau kesalahanmu itu bisa bahayain kami," dumel perempuan tersebut.Alex yang diperintah Devano untuk ikut menjemput Kania, lelaki itu memandang dua perempuan tersebut. "Baguslah, moga kalau kaya gini dia gak bakal berulah karena banyak yang memperingati," gumam lelaki itu. Lelaki itu
Devano melangkah pergi selesai melakukan apa yang diinginkan, meninggalkan Kania yang terdiam. Wanita itu meremas seprai dengan penuh kecemasan dan rasa sedih. Menangis menggambarkan keputusasaan perempuan tersebut. Sedangkan pria pemilik kediaman ini, senyuman kepuasan terukir di bibir, berjalan sangat mantap. Sesampai di ruang makan, lelaki ini lekas meneguk air hingga tandas. Seperti orang yang sangat kehausan. "Tuan... Makanannya biar kami hangatkan kembali," lontar beberapa pembantu. Beberapa dari mereka menggerakan tangan yang terburu-buru hendak mengambil hidangan, tetapi segera di tatap tajam Devano. Membuat gerakan semua terhenti, melihat reaksi sang majikan. Mereka segera menjatuhkan diri, lutut menyentuh lantai sekaligus dan menundukkan kepala. "Cepat, sendokan makanan! Kalau kataku gak perlu ya gak perlu! Saya butuh asupan makanan ini, gak bisa ditunda lagi," omel pria tersebut dengan gerakan tangan yang tegas dan marah."Kenapa kalian malah diam! Apa harus aku sendiri
Jantung Kania berdetak lebih cepat mendengar perkataan sang majikan, matanya sampai membulat seperti hendak keluar dari kelopak. Ia bergegas keluar dari kamar dengan berlari kencang pergi ke ruang kerja Devano, sedangkan lelaki tersebut menyeringai melihat reaksi gadis itu. "Kira-kira seru gak ya," gumam pria tersebut. Setelah bergumam lelaki itu memilih mengikuti langkah sang wanita dengan santai. Lalu saat mendekati ruangan kerja, jeritan terdengar. Sedangkan Kania sudah berusaha memohon para orang yang menghukum untuk menghentikan siksaan. "Udah, tolong ... Berhenti! Aku udah ada di sini." Wanita itu memegangi kaki yang memukul para pelayan, membuat pria tengah melaksanakan tugas sedikit kesulitan karena tak ingin melukai Kania. "Kania, tolong ... Jangan sulitkan kami, kamu harusnya minta ke Tuan Devano, dia yang memutuskan, " lontar lelaki itu. Mendengar itu Kania masih terus memohon, sedangkan yang dihukum menangis kesakitan. Mereka juga tidak bisa lari karena akan lebih me
Kania langsung memalingkan wajah mendengar perkataan Devano. Sedangkan pria tersebut hanya menyeringai lalu lekas bangkit, dia melangkah menuju meja kerja dan mengambil berkas. "Tangkaplah! Baca baik-baik aturan yang dibuat, jangan lupa patuhi juga," lontar Devano. Selesai berkata demikian, Devano segera melempar ke arah Kania. Wanita tersebut spontan hendak menangkap benda itu, tetapi tidak dapat. Pemilik kediaman ini hanya menggelengkan kepala dan memilih duduk di kursi mulai berkerja. "Jangan sampai ada aturan yang terlewat!" Devano berkata dengan nada menekan, mendengar hal tersebut Kania mendengkus. Ia segera mengambil berkas yang jatuh ke lantai lalu lekas memandang benda yang berada di tangannya. "Tuan, yang bener aja!" pekik Kania.Lelaki itu hanya melirik sekilas lalu fokus mengerjakan pekerjaannya lagi. "Semuanya bener kok," balas Devano santai. Mendengar jawaban lelaki itu, Kania segera bangkit lalu perlahan mendekati pria tersebut. "Nomor ini gak bener lho, aku ga
Wajah Kania masih terlihat memerah akibat berusaha menahan malu saat membantu sang lelaki membersihkan diri. Devano memerintahkan perempuannya untuk membantu menggosok tubuh, kini dia sudah lama keluar dari bilik mandi. Kini wanita itu berada di kamar, sedangkan Devano tengah berpakaian di ruang ganti. Kania sudah memakai pakaian dan sekarang sedang duduk di ranjang sambil terus diserang pikirannya. Bahkan tangannya meremas seprai, rasa gelisah menyusup di hati. Menciptakan perasaan yang membuat perempuan ini campur aduk. "Apa yang harus aku lakukan?" gumam Kania pelan. matanya tak berhenti bergerak ke sana dan kemari, begitupun pikiran terus melayang. Ia tengah memikirkan kemungkinan yang terjadi jika ia bertindak. "Kira-kira dia bakal marah gak ya? Argh ... Aku bingung banget," desisnya pelan. Tepat pada saat itu, Devano keluar dari ruang ganti dengan langkah mantap. Tatapannya jatuh tepat pada Kania yang masih terdiam dalam lamunan, senyum muncul di bibirnya dan keningnya sed
Kania menarik napas dalam karena akhirnya bisa menghirup udara luar. Tangannya mencengkram erat tas selempang yang ia pakai. Wanita itu segera melangkah menuju luar, sedangkan ada satu pembantu terus menatap tanpa berkedip. "Aku harus balas dendam, enak aja sekarang dia bisa bebas pergi-pergian," batin perempuan tersebut. Tangannya terkepal tanda tengah menahan emosi, pandangannya tak lepas dari Kania yang tengah mengobrol dengan satpam. Terlihat wanita itu sedang menelepon Devano untuk bukti diperbolehkan keluar."Kalau gitu silakan, tapi ingat pulang secepatnya. Jangan membuat kesalahan sampai membuat Tuan Devano marah," nasihat lelaki itu. Wanita itu menganggukan kepala, ia melangkah keluar kediaman dengan tangan segera memasukan handphone dalam tas. Perempuan tersebut berjalan terus di jalanan, melirik ke sana kemari mencari kendaraan. Saat hendak memberhentikan alat transportasi. Gadis ini tersadar jika tidak memiliki uang sedikitpun. "Huh ... gimana ini, aku uang aja gak pun
Devano terperanjak mendengar seruan sang istri kala selesai menutup pintu, percakapan mereka tidak terdengar ke luar. Lelaki itu segera memandang wajah cemburu Kania dan membelai penuh kasih sayang. “Apa yang dipikirkan otak kecilmu itu, jangan bicara sembarangan,” tegur lelaki itu. Dia mendorong kening Kania membuat sang empu mengerucutkan bibirnya, lelaki itu segera menyalakan kemudi lalu Kania spontan memegang lengannya membuat dia menoleh. “Ada apa lagi,” kata Devano dengan nada malas. Perempuan itu masih memajukan bibirnya, dia bahkan berani menunjuk pipi sang suami sampai jari wanita tersebut menyentuh wajah Devano. “Kamu pasti berbohong, karena kamu sedikit lagi mau sembuh. Kamu mau mencari wanita lain yang lebih pantas denganmu,” sungut perempuan tersebut. Devano memutarkan bola mata mendengar ucapan sang istri, ia memilih mematikan mesin kendaraan lagi dan tangannya memilih menggengga
Li Jiazhen segera pergi setelah selesai dengan urusannya, tidak ingin menyulut amarah Devano lagi. Kini hanya sepasang suami istri ini yang ada di ruangan, kekasih Kania melangkah kaki menuju dispenser air lalu menyalakan unruk mengisi air di gelas dan meneguk hingga tandas. Sang perempuan tersebut mengikuti, tetapi lelaki ini sama sekali tak mengeluarkan suara. Terlihat jelas dari wajah tidak ingin diganggu sedikitpun."Sayang ….""Kamu marah?" tanyanya pelan.Lelaki ini hanya melirik tanpa menjawab pertanyaan Kania, padahal wanita itu sudah sangat jelas tau jika sang suami tengah berperang dengan emosi yang bergejolak."Pergilah! aku bakal lembur, kamu pulang aja."Devano secara halus mengusir sang istri, mendengar hal ini Kania menggeleng. Perempuan itu segera memeluk suaminya yang berjalan menuju sofa, membuat sang empu menghentikan langkah."Maafkan aku, Sayang. Lain kali aku gak bakal berbicara dengan pria itu kalau diajak
Karyawan itu tidak menanggapi ucapan Devano, dia langsung berlari lalu memeluk suami Kania. Mata pria tersebut membulat sempurna karena terkejut, ia berusaha melindungi minuman yang dibawa agar tidak tumpah.“Tuan … terima kasih!”seru lelaki tersebut.Setelah tersadar akan pandangan mata Devano, ia segera melepaskan pelukkan lalu menjauh. Menundukkan kepala tidak berani memandang wajah pemilik perusaaan ini.“Di mana sikapmu yang tadi? Kenapa sangat cepat lenyap,” ucap Devano datar.Pria ini semakin menunduk, sedangkan yang lain hanya memandang nanar. Mereka segera melakukan pekerjaan kembali kala Devano melirik semua. “Sudahlah, aku tidak mau menakutimu lagi. Selamat karena sudah menjadi Ayah, doakan istriku juga. Semoga dia lancar sampai anakku lahir,” ujar Devano.Karyawan itu mengangguk lalu mengucapkan terimakasih dan mendoakan istri Devano yang dibalas senyuman pria tersebut. Beberapa orang yang melihat memandang tak perca
Devano mendengar ucapan karyawannya langsung mendelik, ia kembali memandang ke depan.“Kalau kamu ada kesalahan lagi aku gak akan mengeluarkanmu begitu saja dari ruangan, aku aku keluar mau menjemput istriku di luar. Oh ya, siapkan minuman untuk dia, eh jangan! Biar saya aja yang buat, kamu cepat pergi beli susu untuk ibu hamil,” seru Devano.Setelah berkata demikian lelaki itu kembli bergegas melangkah, sedangkan karyawan yang diperintahkan mulutnya terbuka lebar. Ia benar-benar tidak mengenali Devano, sikap sangat berbeda dengan dulu. Bahkan sekarang ada rasa toleransi, dia merasa bersyukur akan kehadiran yang datang ke hidup sang Bos.“Ah, iya! Aku harus segera pergi membeli susu ibu hamil,” pekik pria tersebut.Dia langsung berlari untuk melakukan kerjaannya, se
William terperanjak mendengar suara Devano, membuat ia spontan menginjak pedal gas. Beruntung Kania sudah memakai sabuk pengaman dan berpegangan sebagai jaga-jaga. Bahkan handphone yang dipegang perempuan tersebut sampai terjatuh, lelaki sedang berganti profesi jadi supir ini lekas mematikan mesin dan membantu mengambil ponsel sang majikan.“Tu-Tuan,” kata William terbata-bata kala melihat layar handphone.Pria yang dipanggil Tuan itu memasang wajah datar kala mendengar suara William, sedangkan Kania segera mengambil handphone lalu segera mengganti jadi kamera depan.“Sayang, kamu mengejutkan kami,” tegur Kania.Lelaki itu hanya mendengkus mendengar teguran sang istri, ia memalingkan wajah menyembunyikan riak kekesalan.“Iya, maafkan aku. Aku hanya terkejut karena William melajukan kendaraan sangat kencang,” seru Devano.Me
Waktu terus bergerak sangat cepat, kini kehidupan sepasang suami istri itu sangat harmonis. Tetapi kadang Kania sangat jengkel pada Devano karena terlalu oper protektif pada dia. Bahkan untuk ke dapur aja tidak diperbolehkan, katanya takut sesuatu hal buru terjadi."Yasmin … aku sangat bosan," keluh Kania.Bibirnya mengerucut tanda sangat kesal, sedangkan Yasmin paham akan perasaan keduanya. Satu sisi Devano takut sesuatu terjadi, karena pas usia kandungan perempuan itu empat bulan, Kania sempat hendak terjatuh di dapur akibat ada minyak yag tumpah. Bahkan karena hal tersebut, beberapa pelayan dipecat begitupun yang tak menyukai wanita hamil ini."Tuan begitu karena sangat menyayangimu, takut kamu kenapa-napa," balas Yasmin.Kania menganggukkan kepala mengiyakan perkataan Yasmin, tetapi ia juga kembali cemberut karena merasa terkekang di sangkar emas milik sang suami. Sedangkan sahabat perempuan tersebut, sebenarnya mereka percakapan dan segera m
Mendengar ucapan wanita itu mereka terdiam sejenak, membuat Elsa langsung menyeringai. Tak berselang lama perempuan tersebut segera dibopong salah satu dari para pria ini.“Diamlah, Nyonya! Ini perintah Tuan Devano, kalau anda terus memberontak. Mohon maaf kalau kami bakal kasar, karena Tuan Devano memperbolehkan hal itu.”Mendengar hal itu Elsa membulatkan mata, perempuan tersebut berhenti memberontak. Sedangkan bawahan Devano lekas memasuki ke kendaraan, William yang ada di dalam mobil hanya tersenyum lalu melajukan alat tranfortasi tersebut.“William, kalian mau membawaku ke mana?” tanya wanita tersebut.Lelaki tersebut tidak menjawab, membuat Elsa mengepalkan tangan.“Pinjam handphone-mu, aku mau berbicara dengan anakku.’Elsa menyodorkan tangannya ke arah William, pria tersebut tak merespon sedikitpun membuat Ibu Devano memakinya. Tangan perempua
Suara lembut dan serak terdengar di indra pendengar Devano, apalagi panggilan sayang membuat ia bergegas menoleh. Senyuman langsung ia lemparkan kala mata bertabrakan dengan manik Kania. Tatapan perempuan itu masih sangat sayu, pria ini segera menyudahi telepon lalu memasukkan benda pipih ke saku. Melangkah mendekat dan melingkarkan pelukkan di pinggang Kania.“Sayang, kamu ngobrol sama siapa tadi?” tanya Kania dengan suara serak.Devano mendengar perkataan Kania hanya mengulas senyuman, dia membenarkan pelukkan pada istrinya agar wanita ini nyaman.“Gak perlu kamu pikirkan, mendingan temani aku berbaring sebentar. Kepalaku agak pusing,” tutur pria tersebut.Mendengar perkataan sang suami, Kania spontan mengarahkan punggung tangan ke dahi Devano dan dia sendiri. Gerakkan perempuan tersebut sangat cepat, refleks dilakukan seolah ingin segera memastikan keadaan pri
Liburan keluarga besar ini masih sangat ramai, walau beberapa sudah ada yang pergi. Entah karena urusan mendadak atau usiran dari pria berstatus suami Kania. Mereka sekarang tengah pulang ke kediaman masing-masing, sedangkan Devano pergi mengantarkan Farrah terlebih dahulu. Saat gadis kecil itu turun diikuti istri lelaki tadi mengemudi, kedua manusia saling berpelukkan."Auntie, nanti kalau jalan-jalan ajak aku lagi ya," kata Farrah.Mendengar perkataan gadis kecil itu, Devano mendelik. Dia memandang sinis Farrah, tetapi disambut senyuman di bibir perempuan muda ini."Cih, malas aku bawa kamu. Kamu menyabotase waktu istriku," balas lelaki berkemeja hitam itu.Kania hanya terkekeh mendengar balasan sang suami pada Farrah, wanita itu langsung mengulurkan tangan dan mengusap penuh kasih sayang puncuk kepala gadis kecil tersebut."Gak usah dengarkan, Paman. Okey, nanti Auntie ajak ka