Airin terbangun di pagi hari tanpa mendapati Robin berada di sisinya. Di sisi kanannya telah kosong, hanya ada selimut di sana. Ia menggeliat sejenak, lalu bangkit untuk duduk. Di luar sana matahari telah tampak menyinari dengan cerahnya.“Yang!” Airin memanggil, berpikir jika Robin ada di kamar mandi.“Sayang!” Airin kembali memanggil karena tidak kunjung mendapatkan jawaban. Suaranya terdengar serak khas orang baru bangun tidur.Namun, tetap saja tidak ada tanggapan dari lelaki itu. Tidak ada suara sama sekali yang berasal dari sana.Airin mengerutkan kaning. Ia bangkit berdiri, lalu beranjak menuju kamar mandi. Benar saja, tidak ada siapa-siapa di sana.“Sayang!” Suara Airin terdengar memenuhi seisi ruangan. Ia mulai panik, takut jika ia benar-benar telah ditinggal. Namun, ketika mendapati dompet dan ponsel milik Robin ada di atas nakas, pikiran negative itu mendadak hilang. Terlebih ada kunci mobil di sana. Tidak mungkin Robin pergi tanpa membawa barang-barangnya. Apalagi lelaki i
Robin dan Airin tiba di Kota Singaraja, Bali, menjelang malam. Robin sengaja tidak ingin tinggal di ibu kota Denpasar, sebab akan ada banyak orang yang ia kenal untuk liburan di sana. Ia tidak ingin bertemu dengan siapa pun di sana. Sebab, lelaki itu benar-benar ingin menikmati masa berdua saja bersama Airin. Menghilang dan menjauh dari orang-orang yang pernah mengisi hidup mereka.Mobil berhenti di parkiran hotel paling mewah di Singaraja. Airin tampak sangat kelelahan ketika ia turun dan melangkah mengikuti Robin menuju gedung besar di depan sana. Selama beberapa hari ini mereka pindah dari satu hotel ke hotel yang lain. Sembari mencari kontrakan yang akan mereka huni nanti.Robin berhenti melangkah, ia menoleh menatap Airin yang tertinggal di belakang sana. Wajah wanita itu tampak pucat, langkahnya juga semakin lama semakin lambat.“Kau baik-baik saja?” Robin bertanya memastikan. Ia sangat khawatir, sebab ia juga sedang tidak sehat sekarang. Jika mereka sama-sama sakit, itu akan sa
“Aku mau jujur sama kamu.” Airin berucap dengan nada yang begitu serius. Ia harus mengakui ini sebelum mereka benar-benar menikah. Jangan sampai Robin tahu kabar itu dari orang lain. Sebab, ia yakin Robin akan sangat kecewa nantinya.“Apa itu?” Robin tampak sangat antusias. Ia mulai menebak-nebak bahwa kini Airin tengah hamil. Jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Pelukannya di tubuh Airin semakin erat. Binar matanya memancar ketika ia menatap.Airin mulai ragu untuk memberitahu. Ia takut, sangat takut jika sampai menyakiti hati lelaki itu. Sudah banyak rasa sakit yang berikan untuk Robin sampai sejauh ini. Lelaki itu benar-benar cinta buta hingga melakukan apa saja untuk mendapatkan cintanya.Airin mendekatkan wajahnya. Ia bingkai kedua pipi Robin dengan telapak tangan. Ia tatap sepasang mata sayu itu dengan begitu dalam. Napasnya ia atur agar normal.“Kamu harus janji, jangan marah kalau aku jujur.” Airin berucap dengan penuh kehati-hatian. Ia berikan usapan lembut di pipi Robin.
“Mau ke mana kamu?” Arie berusaha keras untuk menekan emosi.“Aku mau pergi. Airin pergi gara-gara kamu. Apa susahnya menuruti keinginan anak semata wayang. Airin tidak minta kamu untuk membelikannya pulau pribadi, dia tidak meminta untuk dibelikan jet pribadi. Dia cuma minta agar hubungannya dengan Robin direstui!” Lenzy berucap dengan penuh emosi. Matanya tampak memerah dengan kaca-kaca yang menghalangi pandangan mata. Ia tengah menahan tangisan sekarang sebab terlampau frustrasi karena tidak kunjung menemukan Airin.Arie tertawa miris. Ia merasa hidupnya jadi kacau semenjak kejadian naas yang menimpa Airin waktu itu. Dan semua ini terjadi karena Leonel. Andai Leonel tidak menurunkan Airin di tengah jalan sendirian, ini semua tidak akan pernah terjadi. Andai lelaki itu memulangkan Airin ke kedua orangtuanya secara baik-baik, masalahnya tidak akan separah ini.Terlebih balas dendam Airin yang malah berbalik menimpa keluarganya sendiri. Bukan hanya hubungan Leonel dan Livy yang hancu
Pagi ini Airin merasa tidak enak badan. Ia bergulung di bawah selimut sejak pagi, tidak ingin keluar sama sekali. Perutnya terasa bermasalah. Rasa mual menyerang berulang kali. Kepalanya begitu berat ketika ia hendak bangkit untuk duduk. Sementara Robin tidak ada di rumah. Ia telah berangkat mencari pemuka agama untuk memastikan tanggal pemberkatan. Sekaligus ingin jujur mengakui hubungan mereka yang sesungguhnya memiliki ikatan sebagai menantu dan mertua yang jelas dilarang oleh hukum agama dan negara.“Huek!” Berungkali Airin ingin muntah, tapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Air matanya bahkan keluar karena merasa sakit oleh mual itu.Robin pulang menjelang makan siang dengan raut tidak biasa. Wajahnya terlihat begitu tertekuk dengan jidat yang mengerut.“Airin!” Lembut sekali ketika ia memanggil sang pujaan hati. Namun, yang dipanggil tidak menyahut sama sekali.Rumah begitu sepi siang ini. Tidak ada suara sama sekali. Ketia ia menuju ruang makan dan membuka tudung saji, belu
“Dia hamil dua minggu.”Ucapan dokter membuat lutut Robin seakan meluruh. Ia hampir tumbang ketika mendengar kalimat itu. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Wajahnya memucat. Keringat dingin seketika datang menyerang. Mengapa tiba-tiba ada janin yang tumbuh di rahim Airin ketika ia hendak memutus hubungan? Ia telah tekad membatalkan pernikahan, lalu kini Airin dinyatakan hamil. Sebuah berita yang hampir membuatnya jantungan.“Apa kau sudah memeriksa dengan benar?” Airin tidak langsung percaya. Sebab, selalu dihantui oleh diagnosa dokter yang memeriksanya tahun lalu. Rahimnya bermasalah waktu itu. Sebuah keajaiban jika ia bisa mengandung dan melahirkan.“Saya tidak mungkin keliru. Agar lebih meyakinkan, nanti periksa ulang ke dokter kandungan.” Dokter itu berucap dengan senyuman. Ia memasang wajah senang, ikut berbahagia atas berita yang ia sampaikan.“Puji Tuhan!” Airin histeris dibuatnya. Ia begitu bahagia sampai menangis saking tidak percaya. Ia elus perutnya yang masih terlihat b
“Kau bercanda?” Airin tersenyum menanggapi. Berpikir jika itu lelucon yang dilempar oleh Robin untuk dirinya.“Aku serius, Airin. Hubungan kita sudah salah sejak awal. Lebih baik kita akhiri sampai di sini sebelum kita semakin tenggelam dalam lumpur dosa.” Robin berucapa dengan serius. Setiap kalimat yang ia lontarkan terdengar penuh penekanan.Airin terdiam sejenak. Ia berusaha untuk mencerna apa yang baru saja ia dengar. Dadanya terasa begitu sesak. Hatinya seakan tersayat. Setetes air mata jatuh membasahi wajah cantiknya. Segera ia tarik tangannya dari genggaman lelaki itu.“Kau benar-benar bajingan! Jika kau tahu ini salah, mengapa sejak awal kau berusaha menggodaku? Jika bukan kau yang memulai lebih dulu, kita tidak akan berada di situasi seperti ini.” Airin tampak begitu berang. Tiba-tiba saja ia punya tenaga untuk turun dari ranjang. Wanita itu berdiri tepat di hadapan Robin, melayangkan tamparan dengan sisa tenaga yang ia miliki.“Lepaskan. Lakukan apa pun yang kau inginkan, l
“Tidak ada siapa pun, Airin. Mereka sudah mencari ke seluruh sudut rumah, tidak ada tanda-tanda keberadaan Robin. Satu helai pakaiannya pun tidak ada di sini. Mami pikir kamu sendiri di sini.”“Mami tahu Airin ada di sini dari siapa?”“Tadi malam ada yang nelepon mami, bilang kalau kamu sedang terancam di sini. Mami dikasih alamatnya, jadi mami langsung pesan tiket buat terbang ke sini.” Wanita itu menjelaskan secara singkat. Meski itu nomor baru, ia memliki firasat bahwa Robin yang sudah menghubungi. Sebab suaranya hampir serupa, tapi terdengar lebih berat.“Mobil tidak ada di depan? Pintu tidak terkunci ketika Mami datang?” Wanita itu mulai banyak tanya, menunjukkan rasa khawatirnya pada lelaki paruh baya itu.“Tidak, Airin. Kau benar-benar bersama Robin di sini?” Lenzy bertanya memastikan.Airin memberikan anggukan.“Sepertinya kau sudah ditinggalkan.” Lenzy berucap dengan suara lemah dan tertahan.Airin terdiam dengan wajah menunduk. Ia tidak percaya jika Robin benar-benar meningg
“Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi
“Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun
Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma
“Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah
“Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru
Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le
“Leonel!” Livy menghentikan langkah suaminya ketika ia mencium bau parfum wanita dari tubuh lelaki itu.Leonel berhenti melangkah, berbalik menatap Livy yang berada beberapa langkah dari dirinya. Ia menatap dengan sorot penuh tanya, bertanya-tanya maksud dari tatapan yang ia terima.“Dari mana kamu?” Livy bertanya dengan kasar. Tatapannya begitu tajam menikam.Leonel menghela napas dengan kasar, merasa muak karena selalu dicurigai oleh Livy.“Apa aku perlu memasang gps di tubuhku agar kau berhenti mencurigai?” Leonel membalas tatapan itu dengan lebih tajam lagi.Livy mendekat, mengendus tubuh suaminya untuk memastikan bau yang ia hidu. Semakin tajam bau parfum wanita yang melekat di tubuh suaminya. Kecurigaannya semakin kuat ketika menemukan sehelai rambut wanita di kerah kemeja lelaki itu.“Apa ini?” Livy menunjukkan helai rambut yang ia dapatkan.“Rambut.” Leonel menjawab dengan kesal.“Apa kau tidak akan memberikan penjelasan?” Livy menuntut penjelasan.“Ma, Pa, kenapa bertengkar t
“Om!” Alice melepas pelukannya di leher Gala. Ia berbalik, menatap Arka yang berjalan mendekat dengan ekspresi yang begitu menakutkan.“Siapa yang ngizinin kamu bawa cowok masuk kamar?” Arka menatap dengan tajam. Tangannya terkepal, ingin sekali ia menghajar lelaki yang ada di hadapannya. “Kamu ini masih kecil, sekolah yang benar.” Lelaki itu menoyor kepala Alice dengan kasar.“Siapa yang ngizinin kamu noyor kepala Alice?” Airin muncul dari belakang.“Kamu masuk dulu, ya. Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman di sini.” Alice merasa tidak enak hati.Gala tersenyum tipis, mengangguk kecil dan bergegas masuk kamar. Pintu kamar tertutup dengan rapat.“Ma, Om Arka, tolong jangan buat keributan. Tidak enak sama Gala, dia itu tamu. Harusnya dibuatnya nyaman.” Alice berucap dengan memelas.“Jadi dia yang namanya Gala? Kenapa main peluk-pelukan? Kamu mau berhenti sekolah, terus nikah? Kamu itu masih kecil, sudah dibilang berulang kali jangan main pacar-pacaran. Umur kamu itu masih piyik, sampai ba
[Papa dipindahtugaskan ke Jakarta. Aku disuruh ke sana duluan, soalnya dia mau ngurus berkas. Aku disuruh nyari kontrakan dekat kantor yang baru.][Ini alamatnya. Kamu tahu.][Besok aku bakal ke sana, kamu bisa jemput aku ke bandara? Aku pengen kamu jadi orang pertama yang aku temui di kota itu.][Aku tunggu jam tiga ya, pesawat bakalan mendarat sekitar jam tiga.]Alice tersenyum membaca pesan beruntun yang ia terima dari Gala. Tidak menyangka jika LDR yang mereka jalani selama sepuluh tahun, akhirnya akan segera berakhir dengan sebuah pertemuan. Entah setinggi apa lelaki itu sekarang. Ia tidak sabar ingin segera bertemu, sebab perasaan rindu yang telah menggebu-gebu.[Kamu berani ke Jakarta sendirian? Aku pasti bakalan jemput kamu. Aku mau tahu, kamu bakalan langsung ngenalin aku atau tidak.][Tentu saja. Aku memajang fotomu di mana-mana.] Gala mengirim balasan yang disertai dengan beberapa foto.[Aku beruntung bisa dicintai sama kamu.][Aku yang lebih beruntung karena kamu mau mener