Aku menggeleng dengan perasaan bingung. “Memangnya, Mas Gio belum kembali dari tadi pagi?” Seketika, aku juga ikut cemas memikirkannya.
“Belum, Rimar. Kami sudah menghubungi semuanya, tapi tidak ada yang tahu keberadaannya.”
Aku melirik waktu yang ditunjukkan di arlojiku, sudah hampir jam setengah sembilan malam. Ke mana perginya dia?
“Mama sudah hubungi hubungi nomornya?”
“Sudah, tapi masih dialihkan sampai sekarang, Rimar.”
Walaupun sikapnya seperti itu, tapi kalau sampai tidak ada kabar begini, aku jadi ikut cemas.
“Ma, Rimar pergi dulu. Rimar coba cari di tempat lain, ya?”
Aku segera melangkah lebar dan cepat. Mama mertuaku memanggil-manggil supaya aku pergi diantar dengan mobil saja karena waktu sudah malam, Ditambah lagi, aku adalah wanita yang sedang hamil. Namun, ak
“Tolooooo—“ Tidak! Kini dia ada di belakangku, merengkuh, dan tangannya menutup mulutku rapat-rapat. Kenapa dia harus membekapku dalam kesempatan seperti ini. Tangan panjangnya melingkar erat di depan perut, mengikat kedua tangan agar tak bisa bergerak. Kini, aku tak berkutik. Air mata ketakutan mengalir dari kedua sudut mata. Dia bergerak memaksaku untuk mengikuti arah langkahnya ke arah kanan kami. Dia pasti akan bersembunyi. Ke mana Mas Gio? Aku tak mendengar suara khasnya lagi bahkan sepertinya, sudah tak ada siapa pun yang berusaha membuka pintu. Bagaimana ini? Sampai kapan aku harus di sini bersama pria ini. Suara gebrakan pintu yang tiba-tiba terbuka dan membentur lemari di belakangnya membuatku terkejut. Aku juga mendengar embusan napasnya di dekat telingaku ketika si pria tersentak dan reaksinya merasakan keterkejutan. Kemudian, dua orang pria masuk dan terlihat memandangi keadaan kantor yang gelap. Kemari, Mas, aku mohon. Aku m
“Kalau saya yang mengganggu demi kepentingan saya sendiri boleh?”“Ah ... em ...?” Sekilas, aku mengingat ucapan Pak Adit di parkiran waktu itu. Aku gugup dan tak tahu harus menjawab apa karena diri ini mendadak jadi salah tingkah.Tak bisa dibiarkan! Aku harus mengalihkan arah pembicaraan ini, segera.“Pak Adit, sudah tidak marah dengan saya?”“Marah? Kapan saya marah denganmu?”“Itu ... waktu saya membentak-bentak Pak Adit di mobil karena tidak mau Bapak ikut campur urusan saya dengan Pak Gio ....”“Saya tidak marah, Rimar. Saya ... hanya memberi waktu supaya kamu bisa menenangkan diri. Maafkan saya karena waktu itu terlalu dibawa perasaan dan merasa ingin ikut campur, walaupun saya tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Saya hanya tidak suka melihat wanita tersakiti dan menangis, itu saja. Rimar, bukannya kamu yang kesal karena sikap saya waktu itu, ya?”Aku t
“Rimar!” Suara panggilan yang mengagetkanku. Seketika itu juga aku terbangun dari lelapnya tidur sambil mengusap-usap wajah karena takut ada sisa air liur yang menempel.“Ini orang gimana, sih! Niat gak, jagain kakakku? Lihat itu Kak Gio lagi apa? Malah enak-enakan tidur!”Mas Gio sedang sarapan seorang diri ketika aku menoleh ke arahnya. Memangnya jam berapa, kok, sudah ada makanan? pikirku dengan kondisi masih setengah sadar. Akhirnya, aku melirik jam berbentuk persegi di dinding dekat televisi, ternyata sudah jam setengah delapan pagi. Pantas saja kalau makan pagi sudah diantar, biasanya jadwal makan pagi diantar sekitar jam enam.Selepas salat Subuh, Mas Gio membiarkanku tertidur lagi saat melihat kedua mataku yang begitu kuyu. Maka dari itu, aku pun langsung terlelap begitu kepalaku bersandar di sisi ranjang seperti sebelumnya.“Mama, Mbak Sari, Lisa, kapan kalian datang? Maaf, saya ketiduran,” ujarku sambil
“Tapi ... aku harus kerja, Mas.”“Di kantor maupun di sini, kamu sama-sama bekerja untuk saya. Dengarkan saja dan turuti!”Akhirnya, dengan terpaksa aku mengikuti perintahnya. Aku tidak masalah dengan pekerjaan, tapi ... apa iya aku tidak mandi dan ganti pakaian? Aku tidak ada baju ganti sama sekali. Apalagi, setelah semalam berhadapan dengan si pria gelap, badanku berkeringat dan kini sedikit gatal-gatal. Untung saja, AC di kamar rumah sakit membuatku tak kegerahan lagi.***Setelah empat hari dirawat di rumah sakit, Mas Gio bisa pulang dan aku bisa kembali bekerja. Akan tetapi, Mas Gio masih harus beristirahat selama seminggu di rumah sampai benar-benar pulih dan tak ada keluhan lagi.Selama aku menemaninya di rumah sakit waktu itu, ternyata Mas Gio diam-diam memerintah asisten rumah tangga untuk menyiapkan kebutuhanku; salah satunya pakaian dan underware. Lalu, semuanya itu diantar oleh supir ke rumah sakit.
Kami yang ada di atas hanya memperhatikannya. Namun, tiba-tiba mertuaku tersungkur dan tak berdaya di anak tangga terakhir. Tangannya terlihat memegang perut yang sudah berlumur darah. Sementara itu, si pengemudi berlari cepat ke motor yang ditumpangi temannya, lalu melesat dengan kecepatan tinggi.Beberapa orang yang melihat kejadian itu berusaha mengejar motor, termasuk para security. Selain itu, aku dan Pak adit serentak menuruni tangga untuk menolong mertuaku.“Ma ....?!” Refleks aku memanggil namanya.Teriakanku juga membuat si sopir dan Pak Adit menatapku bersamaan. Tanpa memedulikan mereka, aku langsung menahan tubuh mertuaku sebelum menempel ke lantai. Kupegang perutnya yang ternyata terdapat luka sobekan, darahnya terus mengalir, dan bulu kudukku ikut merinding. Padahal, bukan aku yang mengalaminya, tetapi kaki ini rasanya lemas seketika saat melihat cairan berwarna merah tua di tanganku. Kebingungan membuatku tak bisa berpikir jernih dan be
Mas Gio mendekati, menarik tangan, lalu membawaku ke tempat yang agak sepi. Dia melepas tangan dengan kasar dan mengempaskan tubuhku ke tembok.“Awh, Mas?”“Apa yang kamu lakukan di sini dengan Adit? Mau pamer kedekatan kalian, hah!”“Enggak, Mas. Kami ke sini sama-sama karena khawatir dengan Mama. Apa itu salah?”“Apa datang kemari harus dengan cara saling berpegangan tangan begitu?”“Mas, dia hanya membantuku menemukan ruangan Mama. Dia juga yang sudah sukarela mengantarku ke sini, masih untung aku gak digendongnya.”“Apa maksudmu digendong? Kamu sebagai istri tidak tahu diri sekali! Apa kamu tidak punya malu?!”“Kenapa aku harus malu?! Tidak ada orang yang tahu tentang hubungan aku dan kamu. Selama Mas masih menyembunyikan kenyataan ini, selama itu juga aku aman dari prasangka buruk orang-orang. Mas enggak ingat apa yang Mas lakukan di depan perusahaan se
“Halo, iya, Pak?”“Jadi, pelakunya sudah terlacak?”“Baik, baik, Pak. Saya ke sana sekarang.”Begitulah percakapan antara Mas Gio dan seseorang yang kudengar sampai sambungan telepon terputus. Lalu, dimasukkannya kembali ponsel dengan tiga kamera tersebut ke saku kemeja. Dengan tampang kuyunya, Mas Gio mulai menatap sayu kami dan berbicara.“Kalian tolong jaga Mama. Aku pergi dulu.”“Biar kutemani, Gi. Aku yang akan menyetir,” seru Pak Adit dengan antusias.Tanpa basa-basi lagi, aku mengekori di belakang mereka yang berjalan cepat. Namun, Mas Gio ternyata menyadari aku yang membuntutinya dan coba menghentikanku.“Mau ke mana kamu?”“Aku harus ikut. Aku mau tahu siapa pelakunya, Mas, karena aku merasa orang itu ada hubungannya dengan orang yang membekapku malam itu.”“Tidak usah, kamu sedang hamil.”“Ta
“Loser.”“Apa?” Mas Gio tampak bingung. Ia tak mengerti sama sekali dengan maksud ucapan si pelaku.“Loser. Kata kuncinya.”“Hei, kau !” Pak Adit mengadang Mas Gio yang berusaha menyerang kembali si pelaku. “Kau pikir aku mengerti maksudmu memberi tahu kata kunci itu? Bicara yang jelas, tak usah gunakan kode-kode yang tidak ku mengerti!”“Begini, Pak. Kami juga tidak tahu siapa dia. Kami hanya menerima proyek yang diberikan agen kami. Dan dia juga hanya memberitahukan kode Loser itu sebagai si pemberi proyek.” Seorang pelaku lainnya angkat bicara.“Maksudmu, ada perantara lain di antara kalian?” Mas Gio tampak menutup sambungan telepon, padahal aku tidak mendengar dia mengakhirinya.“Benar, Pak.”“Lalu, di mana dia sekarang? Kenapa tidak ikut ditangkap dengan kalian?!”“Dia sedang dalam pencarian karena sudah melari
“Saya menceraikanmu, Rimar.”“Sergio!” pekik Mama.Mas Gio menghela napas dalam-dalam, lalu diembuskannya dengan keras. Aku yang masih menunduk, melihat sepasang sepatu yang dipakainya melangkah menuju pintu. Mataku yang berurai air mata terus melirik mengikuti suara entakannya sampai aku tak melihat sosoknya lagi hanya dalam hitungan detik. Pintu pun kembali tertutup rapat. Dia pergi.“Huh, baguuus. Dari dulu, kek!” sindir Lisa sekonyong-konyong, tetapi aku tak menggubrisnya sama sekali.“Rimaar?”Panggilan Mama membuyarkan lamunanku.Aku segera berdiri sambil berusaha menyeka air mata dengan tanganku, kemudian menghampiri Mama yang sudah menantiku.“Iya, Ma,” jawabku sambil terisak. Suaraku pun berubah jadi serak.Aku duduk di kursi bulat di samping Mama. Beliau menarik tanganku lalu diusap-usapnya dengan lembut.“Rimar, kamu yakin sama keputus
“Sari, mulai saat ini kamu bukan istriku lagi. Aku akan melayangkan gugatan cerai ke pengadilan secepatnya.”Mbak Sari hanya memandang Mas Gio dengan tatapan kosong dan ekspresi datar. Mungkin, situasi seperti itu yang sudah lama diharapkan olehnya. Sementara itu, windu hanya berdiri tanpa pergerakan di tempatnya tersungkur tadi.“Te-terima kasih, Mas.” Mbak Sari menghapus kristal bening yang hampir menetes di sudut matanya.“Mulai sekarang aku tidak peduli lagi dengan urusanmu dan semua yang berkaitan tentang kamu.”“Mas?” Aku memanggilnya dengan lirih.“Ya?”“Tolong ceraikan aku juga!”Mas Gio mengerutkan dahi. “Rimar, saya menceraikan Sari bukan kamu,” katanya dengan tatapan mata menyalang.“Aku tahu. Makanya, sekarang juga aku minta Mas ceraikan aku.”“Tapi, kenapa?”“Aku gak bisa lagi hidup
“Mas?”“Pak Sergio?”Dokter Arin menatap Mas Gio, kemudian menatap bergantian lelaki yang datang bersama Mbak Sari.“Ada apa ini?!” Mas Gio menghampiri Mbak Sari dan menarik tangannya: memaksa untuk bangun dari perbaringan. Dengan berat hati, Mbak Sari mengikuti paksaan Mas Gio.“Maaf, kalau ini Pak Sergio, lalu Anda siapa?!” tanya Dokter Arin menyelisik pria tak dikenal yang ia sangka Mas Gio.Kedua mata Mas Gio dan Dokter Arin menyiratkan kilatan amarah. Lantas, Dokter Arin meletakkan dengan kasar alat yang tadi dipegangnya ke nampan tempat peralatan medisnya.“Sari, jelaskan apa yang kamu lakukan!” Mbak Sari tetap bergeming meskipun Mas Gio mengguncang-guncang tubuhnya.Karena Mbak Sari tetap diam, akhirnya lelaki yang tengah berpakaian kasual tersebut bertanya pada Dokter Arin. Dokter pun menjelaskan kalau Mbak Sari sedang melakukan operasi kecil untuk melepas KB Implan.
Tiba-tiba, aku merasakan getaran dari ponsel yang kutaruh di saku celana. Siapa yang meneleponku di waktu Subuh? Segera kutarik ponsel dari saku, ternyata Mas Gio yang menelepon.“Halo, assalamau’alaikum, Mas.”“Halo, dengan Nyonya Sergio?”Nyonya? Siapa ini? Lalu, ke mana Mas Gio? Siapa yang mengambil ponselnya?“Iya, benar. Ini siapa?”“Saya dari M2 Club Malam mau mengabari kalau Tuan Sergio pingsan.”“Pingsan? Terus ada siapa di sana, Mas? Teman atau seseorang yang menemaninya?”“Tidak ada, Nyonya. Tadi Tuan hanya datang sendiri dan minum banyak sampai akhirnya pingsan.”“Baik, tolong jaga dia, ya, Mas. Saya segera ke sana. Terima kasih.”Setelah menutup sambungan telepon, aku segera melipat mukena dan bergegas pergi ke Club M2. Aku tidak tahu di mana lokasinya dan harus ke arah mana kalau pergi dengan angkutan umum. Sebaiknya, a
Dalam perjalanan ke rumah sakit itu, Mas Gio menghubungi Mbak Sari. Ia hanya menceritakan bahwa papanya diciduk polisi, tetapi tidak menceritakan detail kejadian yang terjadi.“Kamu kenal Pak Akala?” tanya Mas Gio sambil menyetir. Kulihat peluh berembun di sekitar dahi sampai membasahi rambutnya yang menutupi. Matanya terlihat berat seperti menahan kantuk. Dia pasti sangat kelelahan, belum satu masalah selesai sudah datang masalah baru.“Hah? Ti-tidak,” ucapku berbohong.“Terus, kenapa dia sampai membuatmu jadi korban?” Benar juga, dia pasti penasaran kenapa sampai Pak Akala membuatku menderita. Padahal, di rumah itu ada beberapa orang ART yang bisa saja dia jadikan korban. Namun, saat itu jelas sekali kalau dia sedang menunggu seseorang, yang tidak lain adalah aku.“Hmm, sebenarnya ....” Tekadku maju-mundur untuk menjelaskan pada Mas Gio. Apa lebih baik aku menceritakan semuanya saja?“He
Baru saja akan berbelok ke arah pintu masuk, ada dua orang berpakaian serba hitam seperti lelaki sebelumnya, mereka berusaha mengadangku. Sial! Dari mana munculnya kedua orang itu? Mana tubuhnya besar-besar semua, lebih besar dibanding pria yang menodongkan pistol ke arahku.Aku berpikir keras ke mana lagi harus berlari? Aku tidak tahu banyak mengenai rumah besar itu. Ah, benar. Pintu belakang! Baru saja aku membalikkan badan, Pak Akala dan pengikutnya sudah berada di belakangku. Sementara itu, para ART histeris dan berusaha berteriak karena mengkhawatirkanku.Tidak! Hal yang kutakutkan akan segera terjadi, saat itu juga aku berada di antara mereka yang terus berjalan semakin dekat. Bahkan, aku tidak bisa mencari celah untuk bisa melarikan diri dari keempat pria itu. Satu hal yang lebih kucemaskan bukanlah diriku, melainkan calon anakku.Saat napasku terengah-engah, irama jantungku kembali berdegup kencang. Tetesan keringat pun menyapu kening dan mengaliri pelip
“Ha—Aku mendengar suara ceklekan menempel tepat di belakang kepala, membuat napasku terhenti sejenak dalam beberapa detik dan tak bisa berkata-kata lagi. Tiba-tiba saja aku ingat kejadian persis beberapa waktu lalu.“Maaaas!” Aku sengaja memanggil Mas Gio dengan teriakan sebelum yakin ponselku direnggut.Dengan kecepatan tangannya, ponselku sudah berpindah tangan tepat setelah aku berteriak memanggil Mas Gio, tapi aku tidak tahu apa saat itu masih terhubung dengannya atau tidak! Debaran jantung serta otot-otot kakiku benar-benar melemah dan gemetar saat merasakan sesuatu di belakang kepalaku.“Jangan bergerak!” tegasnya membuatku menelan ludah.Suara siapa itu? Aku tidak mengenalnya. Suara itu sangat jauh berbeda dibandingkan saat aku terperangkap terakhir kali di ruang kerja Mas Gio.Lalu, terdengar langkah demi langkah ketukan sepatu dari arah belakang menuju ke sampingku. Aku masih belum bisa mel
“Loser.”“Apa?” Mas Gio tampak bingung. Ia tak mengerti sama sekali dengan maksud ucapan si pelaku.“Loser. Kata kuncinya.”“Hei, kau !” Pak Adit mengadang Mas Gio yang berusaha menyerang kembali si pelaku. “Kau pikir aku mengerti maksudmu memberi tahu kata kunci itu? Bicara yang jelas, tak usah gunakan kode-kode yang tidak ku mengerti!”“Begini, Pak. Kami juga tidak tahu siapa dia. Kami hanya menerima proyek yang diberikan agen kami. Dan dia juga hanya memberitahukan kode Loser itu sebagai si pemberi proyek.” Seorang pelaku lainnya angkat bicara.“Maksudmu, ada perantara lain di antara kalian?” Mas Gio tampak menutup sambungan telepon, padahal aku tidak mendengar dia mengakhirinya.“Benar, Pak.”“Lalu, di mana dia sekarang? Kenapa tidak ikut ditangkap dengan kalian?!”“Dia sedang dalam pencarian karena sudah melari
“Halo, iya, Pak?”“Jadi, pelakunya sudah terlacak?”“Baik, baik, Pak. Saya ke sana sekarang.”Begitulah percakapan antara Mas Gio dan seseorang yang kudengar sampai sambungan telepon terputus. Lalu, dimasukkannya kembali ponsel dengan tiga kamera tersebut ke saku kemeja. Dengan tampang kuyunya, Mas Gio mulai menatap sayu kami dan berbicara.“Kalian tolong jaga Mama. Aku pergi dulu.”“Biar kutemani, Gi. Aku yang akan menyetir,” seru Pak Adit dengan antusias.Tanpa basa-basi lagi, aku mengekori di belakang mereka yang berjalan cepat. Namun, Mas Gio ternyata menyadari aku yang membuntutinya dan coba menghentikanku.“Mau ke mana kamu?”“Aku harus ikut. Aku mau tahu siapa pelakunya, Mas, karena aku merasa orang itu ada hubungannya dengan orang yang membekapku malam itu.”“Tidak usah, kamu sedang hamil.”“Ta