Setelah perjalanan yang cukup hening, Birru mengajak Flora mampir ke mal untuk membeli kado bagi Violet dan bayinya. "Kita beli apa, Flo?" tanya Birru sambil menggandeng tangan istrinya, membawanya ke dalam toko perlengkapan bayi. Flora melihat-lihat sekeliling, matanya menyapu berbagai macam perlengkapan bayi yang tersusun rapi. "Mungkin selimut bayi sama baju? Aku lihat selimut berbahan katun organik lebih nyaman untuk bayi baru lahir," usulnya. Birru mengangguk setuju. "Oke, sekalian kita beli hampers yang lengkap aja, biar nggak ribet milih satu-satu," katanya sambil menggiring Flora ke rak yang penuh dengan set perlengkapan bayi. Flora sibuk memilih motif yang cocok, sementara Birru berdiri di sampingnya, tangannya masih dengan santai menggenggam tangan Flora. Tiba-tiba, suara seorang wanita terdengar di belakang mereka. "Birru?" Birru spontan menoleh, begitu juga Flora. Di depan mereka berdiri seorang wanita berambut panjang bergelombang dengan wajah cantik dan ekspr
Mungkin itu juga yang dirasakan Birru terhadap Riki—bukan cemburu, tapi tidak suka melihat seseorang yang masih berharap pada pasangannya. Sepanjang perjalanan pulang, Flora hanya diam, pikirannya masih dipenuhi bayangan Serli dan Riki. Sementara Birru sesekali meliriknya, tetapi membiarkan istrinya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sesampainya di rumah, keduanya langsung masuk ke kamar untuk membersihkan diri. Flora berdiri di depan cermin setelah mengganti bajunya dengan pakaian rumah, mencoba mengusir perasaan tidak nyaman yang masih tersisa. Di sisi lain, Birru juga merapikan rambutnya setelah mandi, memikirkan bagaimana cara memastikan Flora tidak perlu meragukannya lagi. Setelah selesai, mereka turun ke lantai satu untuk menemui Violet dan bayinya. Begitu memasuki ruang tamu, mereka melihat Violet yang sedang duduk di sofa, menggendong bayi mungilnya dengan penuh kasih sayang. Lia juga ada di sana, tersenyum bangga melihat cucunya. Flora segera menghampiri Violet dan m
Flora berusaha sebisa mungkin menghindari Riki selama beberapa minggu terakhir. Ia tidak ingin lagi berada dalam situasi yang membingungkan, apalagi setelah percakapannya dengan Birru soal anak. Semua itu membuatnya sadar bahwa ia tidak bisa terus menggantung perasaannya. Namun, meskipun ia menghindar, ia selalu sadar bahwa Riki masih memperhatikannya dari jauh. Saat di lorong kampus, saat ia masuk kelas, bahkan saat ia berbicara dengan teman-temannya. Dan kini, di kantin bersama Renata, Riki kembali mencoba mendekat. Flora pura-pura sibuk dengan makanannya, berharap Renata bisa menjadi tameng alami. Tapi sayangnya, Renata malah tersenyum tipis ke arah Riki, seolah tahu apa yang akan terjadi. “Hai, boleh duduk di sini?” Riki bertanya, meskipun tanpa menunggu jawaban, ia sudah menarik kursi di sebelah Flora. Flora menghela napas pelan, menatap Renata penuh arti, berharap sepupu suaminya itu bisa membantunya keluar dari situasi ini. Tapi Renata justru tersenyum jahil dan senga
Pagi itu, Birru berangkat lebih awal dari biasanya. Hari ini ada meeting penting dengan calon mitra bisnis untuk proyek besar yang sudah ia persiapkan selama berbulan-bulan. Flora masih setengah mengantuk saat membantu Birru mengenakan dasinya. "Kamu yakin nggak mau aku temenin, Mas?" tanya Flora pelan, kebetulan hari ini ia tidak ada kelas, meski ia tahu jawabannya. Birru tersenyum kecil, tangannya mengusap lembut pipi istrinya. "Nggak perlu. Kamu istirahat aja di rumah." Flora hanya mengangguk pelan, tapi hatinya merasa aneh. Seperti ada firasat tak enak yang menghantuinya. --- Sesampainya di ruang meeting, Birru bersalaman dengan beberapa eksekutif sebelum duduk di kursinya. Presentasi hampir dimulai ketika pintu terbuka dan seorang wanita masuk dengan penuh percaya diri. "Maaf terlambat," katanya, langkahnya mantap mendekati meja. Birru yang awalnya fokus pada berkas-berkas di depannya, mendongak dan langsung membeku. Fani. Wanita itu tersenyum tipis. "Lama nggak ketemu, B
Flora sedang membantu Violet menyiapkan sarapan di dapur ketika Birru turun dari kamar. Lia sudah duduk di ruang makan, mengayun-ayunkan Kayla yang masih mengantuk di pelukannya."Udah bangun, Mas?" Flora menoleh dan tersenyum kecil saat melihat suaminya berjalan mendekat. Birru menguap sebentar lalu menarik kursi di sebelah ibunya. "Pagi, Bun." "Pagi," jawab Lia sambil menepuk-nepuk punggung Kayla yang mulai menggeliat dalam gendongannya. "Kayla rewel semalaman, jadi Juna sama Violet juga kurang tidur." Violet yang baru keluar dari dapur hanya bisa menghela napas lelah. "Kayla sekarang lagi fase suka bangun tengah malam, Bun. Aku sama Juna gantian begadang." Birru melirik ke arah bayi kecil itu yang mulai membuka matanya. "Sini, aku gendong sebentar." Lia tersenyum dan menyerahkan Kayla ke Birru. Bayi itu langsung menggeliat di dadanya, matanya yang masih mengantuk menatap wajah pamannya dengan bingung. "Kamu sudah sarapan, Mas?" tanya Flora sambil menuangkan teh ke cangkir Bir
Flora masih bersandar dalam dekapan Birru. Dadanya naik turun pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan hangat yang mulai menjalari hatinya—perasaan yang selama ini ia tolak, ia hindari, namun kini perlahan tumbuh tanpa bisa ia kendalikan. Birru tetap memeluknya erat, seakan memberikan waktu bagi Flora untuk menyesuaikan diri. Ia tidak ingin terburu-buru. Ia ingin memastikan bahwa Flora benar-benar siap, bukan sekadar pasrah karena status mereka sebagai suami-istri. Flora menegakkan tubuhnya perlahan, menatap Birru dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu di matanya—keraguan, ketakutan, tapi juga kepercayaan. "Mas..." panggilnya lirih. Birru mengangkat tangannya, menyentuh pipi Flora dengan lembut. "Aku di sini," bisiknya. Flora menelan ludah. Ia tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan perasaannya saat ini. Ia hanya tahu satu hal—ia tidak ingin Birru menjauh. Mungkin, selama ini ia hanya butuh waktu. Mungkin, ia hanya butuh s
Cahaya matahari perlahan merayap masuk melalui celah tirai kamar, menyapu wajah Flora yang masih terlelap. Birru yang sudah lebih dulu terbangun tidak bergerak sedikit pun, hanya menatap istrinya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada rasa syukur, kebahagiaan, dan kelegaan yang bercampur menjadi satu. Ia mengulurkan tangannya, mengusap rambut Flora yang sedikit berantakan setelah malam panjang mereka. Melihat wajah istrinya yang terlihat begitu tenang dalam tidur, Birru merasa seakan semua perjuangan dan penantiannya selama ini akhirnya terbayarkan. Flora mulai menggeliat pelan, kelopak matanya bergerak sebelum akhirnya terbuka perlahan. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah Birru yang menatapnya dengan lembut. "Mas..." suaranya masih serak, napasnya masih terasa berat. Birru tersenyum, lalu mengecup keningnya. "Pagi, Sayang." Flora merasakan wajahnya menghangat mendengar panggilan itu. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi begitu ia melakukannya, rasa nyeri langsung m
Flora merasa sedikit lebih ringan saat pergi ke kampus. Hubungannya dengan Birru mengalami perubahan besar dalam semalam, dan meskipun ada banyak hal yang masih perlu ia pahami tentang perasaannya sendiri, ia tahu bahwa perlahan, ia mulai menerima kehadiran Birru sebagai suaminya. Namun, hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan. Saat jam istirahat tiba, Flora baru saja merapikan bukunya di dalam kelas ketika seseorang berjalan mendekatinya. Suasana di dalam ruangan masih cukup ramai dengan mahasiswa lain yang mengobrol, tapi langkah pria itu terasa mencolok bagi Flora. "Flora," suara itu terdengar akrab, namun kini membawa perasaan asing. Flora menoleh dan langsung menemukan sosok Riki berdiri di depannya. Riki masih seperti dulu—rambutnya tertata rapi, ekspresi tenangnya selalu membawa kesan hangat, dan ada tatapan yang dulu pernah membuat hati Flora bergetar. Tapi kali ini, Flora tidak merasakan hal yang sama. "Ada apa, Ki?" tanyanya dengan nada lebih formal dari biasan
Hari-hari berikutnya, Birru mulai mencari rumah yang sesuai dengan keinginan mereka. Ia meminta bantuan Dion dan beberapa rekannya untuk mencari lokasi yang nyaman, tidak terlalu jauh dari kantor, tetapi tetap tenang dan ideal untuk keluarga kecil. Sementara itu, Flora juga mulai mempersiapkan diri untuk perubahan besar ini. Ia mulai menyortir barang-barangnya, membayangkan seperti apa kehidupan mereka nanti setelah pindah. Namun, di lubuk hatinya, ada sedikit kekhawatiran—bagaimana reaksi Lia ketika mereka benar-benar pindah? Suatu malam, setelah makan malam bersama keluarga, Birru memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. "Bun, aku dan Flora ada rencana untuk pindah ke rumah sendiri," kata Birru dengan hati-hati. Lia, yang sedang merapikan piring, terdiam sejenak sebelum menoleh ke putranya. "Kenapa tiba-tiba ingin pindah?" "Bukan tiba-tiba, Bun," Birru tersenyum kecil. "Aku pikir sudah saatnya aku dan Flora mandiri, membangun rumah tangga kami sendiri. Tapi bukan berarti aku m
Pagi ini, Birru sengaja tidak pergi ke kantor. Ia menyerahkan masalah perusahaan akibat ulah Fani kepada Juna dan Dion. Setelah mengabarkan Dion melalui telepon, Birru meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, lalu berbalik dan merengkuh istrinya dalam pelukan.Ia ingin menghabiskan waktu seharian bersama Flora, tanpa gangguan pekerjaan atau hal lain yang membebani pikirannya.Flora menggeliat kecil ketika tangan Birru dengan lembut menyusuri setiap inci tubuhnya di balik piyama tipis yang ia kenakan. Napasnya masih teratur, matanya masih terpejam, tetapi ia sadar sepenuhnya akan sentuhan suaminya."Mas..." gumamnya pelan, suaranya serak karena baru bangun tidur."Hm?" Birru menempelkan bibirnya di puncak kepala istrinya, menghirup aroma khas tubuh Flora yang selalu membuatnya tenang."Kenapa nggak ke kantor?" tanya Flora dengan mata yang masih setengah tertutup."Aku mau sama kamu seharian," jawab Birru tanpa ragu.Flora membuka matanya, menatap suaminya yang kini tersenyum tipis.
Hingga malam tiba, Birru masih belum memberi kabar. Flora yang awalnya berusaha menunggu di kamar akhirnya tertidur, meski tidurnya terasa gelisah dan tidak tenang. Sesekali ia tersentak bangun, lalu kembali mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terus dihantui kecemasan. Ketika akhirnya ia terbangun lagi, matanya langsung melirik jam di atas nakas. Sudah lewat tengah malam. Dengan jantung yang berdebar cemas, ia meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Birru. Tidak ada jawaban. Panggilan kedua pun tak berbalas. Saat ia akan mencoba untuk ketiga kalinya, suara nada sambung terdengar bersamaan dengan bunyi pintu kamar yang terbuka. Flora menoleh cepat, ponsel masih menempel di telinganya. Ketika pandangannya bertemu dengan suaminya, mereka sama-sama terkejut. "Kamu belum tidur, Flo?" suara Birru terdengar serak. Flora mengernyit, lalu berdiri, mendekat untuk melihat lebih jelas. Penampilan Birru jauh berbeda dari saat ia berangkat pagi tadi—kemejanya kusut, dasinya sudah dilep
Di dalam air hangat yang penuh dengan busa sabun wangi, tangan Birru dengan lembut menjelajahi setiap inci tubuh istrinya, memanjakannya dengan sentuhan yang penuh kasih. Flora bersandar di dadanya, merasakan kehangatan yang menyelimuti mereka berdua. Birru menciumi bahu dan leher Flora, membisikkan kata-kata manis yang membuat tubuh istrinya semakin melebur dalam keintiman. Napas mereka berbaur dengan uap air, menciptakan kehangatan yang lebih dari sekadar suhu di dalam kamar mandi. Tak lama, Birru mengangkat tubuh Flora dari bathtub, membawanya ke bawah guyuran shower. Air hangat mengalir membasahi mereka, menciptakan sensasi yang lebih intens. Di bawah aliran air yang jatuh membasahi tubuh mereka, Birru melanjutkan cumbuan penuh gairah, menyatukan mereka dalam keintiman yang lebih dalam. Ketika mereka mencapai puncak bersama, Birru memeluk Flora erat, napasnya masih memburu. Lalu, dengan suara serak dan lembut, ia berbisik di telinga istrinya, "Aku ingin kita punya anak, saya
Hari ini adalah hari terakhir semester awal sebelum liburan. Flora sibuk dengan buku-buku perpustakaan yang harus ia kembalikan. Tiba-tiba, seseorang datang menghampirinya dari belakang. Flora terperanjat dan hampir tersandung kakinya sendiri, untung saja orang itu sigap menangkapnya. Dalam sekejap, ia berada dalam dekapannya—begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas hangatnya. "Maaf, aku bikin kamu kaget, Flo," suara itu terdengar pelan sebelum orang itu melepaskan pegangannya dan memastikan Flora sudah berdiri stabil. Flora menelan ludah begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya. "Thanks," jawabnya datar, lalu segera mengambil satu langkah mundur untuk menjaga jarak. "Boleh bicara sebentar?" Flora mendongak, menatap mata Riki yang tampak penuh arti. "Soal apa?" tanyanya hati-hati. "Ssttt!" suara teguran dari penjaga perpustakaan membuat Riki buru-buru menutup mulutnya. Ia tersenyum kecil, sementara Flora hanya menghela napas. "Kita ngomong di luar," kata Flora setelah
"Flora!"Renata berlari menghampiri Flora dan Kirana yang baru saja keluar dari perpustakaan."Hai, Na!" sapanya begitu sadar bahwa yang bersama istri sepupunya adalah Kirana. "Oh iya, lu dapat salam dari Boy, teman sekelas gue," tambahnya, sambil mengedipkan sebelah mata.Kirana tersenyum simpul. "No thanks, he’s not being a gentleman," jawabnya santai.Renata tertawa kecil. "Nanti gue bilangin, biar Boy grow up and be a man."Mereka pun tertawa bersama."Udah ah, cukup gibahnya. Lu tadi mau ngomong apa?" tanya Flora kemudian."Oh iya!" Renata menepuk jidatnya pelan. "Riki pindah kuliah, Flo. Ke luar negeri."Langkah Flora sempat terhenti sesaat, tapi ia cepat-cepat mencoba bersikap biasa saja.Semester awal memang sudah berakhir, dan sebulan terakhir Riki benar-benar menjaga jaraknya. Meskipun begitu, terkadang mata mereka masih saling bertemu—di kelas, saat berpapasan di lorong, atau saat salah satu dari mereka maju untuk presentasi.Kirana melirik Flora dengan tatapan penuh arti.
Diruang meeting, Birru duduk di belakang mejanya, menautkan jemarinya dengan tenang di atas permukaan kayu. Matanya tajam menatap wanita di depannya—Fani. Wanita itu masih berdiri, kedua tangannya terlipat di depan dada. Bibirnya tersenyum tipis, tapi matanya menyiratkan ketidakpuasan. "Jadi, kamu sengaja panggil aku ke sini hanya untuk ini?" Fani bertanya, nada suaranya terdengar santai, tapi ada nada menantang di baliknya. Birru tidak langsung menjawab. Ia membiarkan keheningan menggantung di antara mereka, membiarkan ketegangan mengisi ruangan sebelum akhirnya ia berbicara. "Kamu pikir aku nggak tahu?" suaranya dalam dan berbahaya. Fani mengangkat alis, berpura-pura bingung. "Tahu apa?" Birru menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Tentang apa yang terjadi pada Flora di kampus." Sekilas, Birru melihat raut wajah Fani berubah—sangat halus, nyaris tak kentara. Tapi ia menangkapnya. "Kamu menuduh aku?" Fani terkekeh pelan, berusaha t
Begitu mobil Birru berhenti di depan rumah, Flora menarik napas dalam. Ia tahu semua orang di rumah pasti akan terkejut melihat keadaannya. Wajahnya masih menunjukkan bekas tamparan, dan tubuhnya masih terasa lelah akibat kejadian tadi. Birru keluar lebih dulu, lalu segera membukakan pintu untuk Flora. Saat ia turun, pintu rumah terbuka, dan suara langkah cepat terdengar mendekat. “Flora!” suara Violet adalah yang pertama terdengar. Ia bergegas menghampiri, diikuti oleh Juna dan Lia. Ekspresi mereka semua dipenuhi kekhawatiran. “Astaga, apa yang terjadi?!” Violet langsung menggenggam tangan Flora, matanya membesar saat melihat luka di sudut bibir adik iparnya. “Kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini?” Lia pun menatapnya dengan cemas. “Flora, sayang, siapa yang menyakitimu, nduk?” Flora tersenyum kecil, meski jelas lelah. “Aku baik-baik saja, Bun…” “Baik-baik saja apanya?!” Juna menyela dengan ekspresi marah. “Lihat ini, wajah kamu jelas habis kena pukul!” Birru meletakkan
Saat dalam perjalanan mengantar Flora ke kampus, pikirannya melayang pada seseorang. "Mas, sejak kapan Dion jadi sekretaris kamu?" tanyanya tiba-tiba. Birru menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke jalan, tampak mengingat-ingat sejenak. "Sejak waktu itu, pas kamu ke kantor." Flora mengangguk-angguk pelan sambil mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Itu kamu ngerti, Mas," gumamnya nyaris tak terdengar. "Maksudnya gimana, Sayang?" tanya Birru, sedikit mengernyit. Flora menggeleng cepat. "Nggak apa-apa. Terus, Jeni ke mana?" "Dia dipindah ke divisi lain, yang nggak ada hubungannya sama aku," jawab Birru santai. Flora menghela napas pelan. "Dia pasti berpikir kalau itu karena aku, ya?" Birru meliriknya sekilas. "Memang kenapa? Kamu yang punya perusahaan, kamu berhak." Flora terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya ragu, "Bisa begitu juga ke Fani?" Wajah Birru seketika berubah lebih serius. Napasnya terdengar berat sebelum ia berkata, "Kalau aku bisa dari awal, pas