Hidup Ruby yang penuh tekanan ini semakin jelas alurnya. Dipaksa orang tua untuk menjadi yang terdepan, dijauhi oleh sahabat yang ia cintai karena sudah memiliki kekasih, dan disudutkan semua orang seolah apa yang telah ia lakukan adalah kesalahan besar. Langkah Ruby seakan berhubungan. Merait kakinya hingga terjatuh ke dasar jurang. Dan saat ia tidak bisa lagi melangkah, Ruby memilih untuk mengakhiri hidupnya. Bodoh memang. Keputusan Ruby dulu dikuasai oleh emosi dan ego semata. "Haruskah aku mengulangi hal bodoh itu? Haha!" kekehnya masih fokus menatap ke arah buku di tangannya dengan pandangan kosong. Kemudian membalik lembarannya seakan bacaannya telah selesai. Saat ini, rasa ingin kembali ke dunianya dulu semakin besar. Apalagi ada racun yang mengancam. Ia tidak bisa hidup tenang meski kekayaannya melimpah, kemewahan di depan mata, dan mati muda sepertinya juga masuk dalam daftar jika saja reinkarnasi ini tidak terjadi. Ruby Edelmiro pasti tinggal nama. Namun, ada satu hal yan
'Saya bukanlah Ruby, sahabat anda' Kata-kata itu selalu terulang dalam benak Theron. Membawanya dalam kekeliruan. Hal yang Ruby ucapkan adalah kemustahilan. Akan tetapi, dawainya terdengar jelas di telinga dan didukung oleh sikapnya yang seperti orang asing. Menepis pemikiran itu, Theron kembali memandang dirinya sendiri. Ini semua karenanya, tentang apa yang telah Ruby lalui selama ini hingga membuat gadis itu menghapus dirinya sendiri. Ia adalah sahabat terburuk bagi Ruby. Kilau mata itu sangat jelas kecewa berulang kali, dan ia abaikan berulang kali pula. Ibunya benar, setelah semua yang ia lakukan, apa Ruby masih menganggapnya sebagai sahabat? "Kenapa berhenti?" Theron bertanya kala kereta yang ada di belakangnya tiba-tiba berhenti. Saat ini, perjalanan mereka masih jauh. "Saya minta maaf. Nona Ruby yang meminta untuk berhenti sejenak, Yang Mulia," jawab pengawal yang masih menunduk dalam di hadapan Theron. Kini, Theron masih di atas kudanya menoleh ke belakang dapati Ruby t
Hening sesaat. Hanya ada suara ban kereta berderek serta sepatu kuda yang menghiasi malam mereka. Theron masih senantiasa mengulurkan tangan, dan hingga sekarang belum juga ada sambutan. Pikiran Ruby berkelana jauh saat melihat tangan itu di hadapannya. Degupan di dadanya seakan lupa diri. Pun, kornea matanya tidak bisa untuk tidak memandang lekat ke arah wajah tampan itu. Di bawah cahaya lentera yang menerangi, Ruby mempertimbangkan banyak pemikiran. Jika saja yang di posisi saat ini adalah Ruby yang asli. Bagaimana responnya? "Untuk saat ini, jangan keras kepala, Ruby. Ini adalah satu-satunya cara," kata Theron lagi melihat keraguan di mata Ruby. Mau tak mau Ruby menyambut uluran tangan itu saat dirasa tubuhnya tidak kuat menahan dingin yang menusuk. Sementara itu, Theron yang mendapat balasan kini menggenggam tangan mungil itu dengan nyaman. Mengelus punggung tangannya guna menghantarkan kehangatan. Namun, sepertinya cara ini tidak begitu membantu. Tubuh Ruby masih gemetar dis
'Tolong ... jangan bergerak. Aku mungkin tidak bisa menahannya lagi.' Kata-kata itu terus saja berputar seperti rekaman rusak dalam kepala Ruby. Dan setiap suara itu terdengar, entah kenapa ia jadi merinding. Padahal, malam itu ia hanya mengadu. Bahwa sebagian tubuhnya masih ada yang dingin karena Theron yang menggertak. Namun, yang dilakukan lelaki itu selanjutnya sungguh di luar ekspektasi. Di saat dada mereka bersinggungan. Suhu tubuh Ruby berubah drastis. Keringat mulai bermunculan di pelipis. Karena merasa tidak nyaman, ia bergerak gelisah dalam pelukan erat itu. Dan akhirnya, lirihan Theron membuat Ruby menelan rasa malunya dalam diam. Sial! "Apa nona baik-baik saja?" Elina baru berani untuk bertanya setelah mereka sampai di desa Eris. Seharian penuh ia tidak berani bertanya tentang apa yang terjadi pada Ruby dan Theron malam itu. Setelah rombongan mereka sampai di penginapan, ia mendapat kabar kalau Ruby sakit dan Theron yang menemaninya. Akan tetapi, sakit apa hingga baju
Entah ini hanyalah ilusi atau permainan takdir. Waktu Ruby di desa Eris terasa begitu cepat dan urusan mereka juga hampir beres di bawah kendali Theron yang mereka sebut sebagai Jenderal Vladimir. Theron Vladimir Darian. Cukup mengejutkan bahwa rakyatnya tidak mengenal sama sekali wajah Putra Mahkota. Jujur, jika hanya Ruby yang memimpin kunjungan kali ini, mereka tidak mendapat apa pun karena ia yang bodoh. Akan tetapi, adanya Theron membuat semua masalah dapat terkendali. Bahkan, tak terasa seminggu sudah ia berada di sini. Malam ini adalah malam terakhir kunjungan mereka. "Suatu kehormatan jika tuan Putri berkenan untuk mencoba arak buatan kami," tawar wanita setengah baya menyodorkan cawan kayu dengan hormat. Di sela-sela kebisingan yang dibuat warga desa. Nyanyian dan tarian untuk merayakan keberhasilan mereka kecil-kecilan. Sekaligus, menjadi kenang-kenangan bagi rombongan Ruby yang besoknya akan meninggalkan desa kecuali Noe. Hampir saja Ruby meminumnya jika saja seseorang
Ruby memperhatikan kereta para Bangsawan satu persatu datang dengan lambang daerahnya masing-masing. Seminggu sudah Ruby kembali dari kunjungannya di desa Eris bersama Theron, lelaki itu langsung disibukkan dengan persiapan pesta yang sudah sebulan lalu direncanakan. Setelah perseteruan mereka malam itu, Ruby meninggalkan Theron yang masih terpaku di tempatnya. Menyaring kata-kata Ruby yang menurutnya tidak masuk akal. Dan kepulangan mereka kemudian, dipenuhi kesuraman hingga empat hari berlangsung. Hingga sekarang, batang hidung Theron pun tidak terlihat setelah Ruby dipindahkan ke Istana Utara. Banyak tamu Bangsawan yang akan datang, dan tempat Ruby sebagai Putri Duke harus lebih tinggi dari pada mereka. Dan tempat itu adalah di sebelah kanan kamar Theron. Ya, tempat sebelah kiri adalah milik Zalina. Bukankah ini seperti dia memiliki selir? "Pria brengsek itu ... " Ruby menggertakan gigi sembari menonton para gadis yang terlihat sangat bersemangat saat menjarah pemukiman kerajaa
Percakapan mereka berjalan lancar. Ruby bisa melihat, Roseline terlahir dari keluarga yang hangat. Saat menceritakan orang tua serta adiknya yang kaku, matanya terlihat berbinar. Ruby pun turut merasakan, hingga rasa rindu pada keluarganya kembali mencuat. Bagaimana kabar mereka di sana? Sudah hampir empat bulan ia berada di dunia antah berantah ini. Bertahan hidup tanpa tahu alasan bagaimana ia bisa masuk ke tubuh ini. Sialnya nama mereka sama dan terlahir dengan kesengsaraan berbeda. "Putri ... putri!" Panggil Roseline menyadarkan Ruby dari lamunannya. Gadis itu berguman dan menyuruh Roseline melanjutkan ceritanya. "Apa Putri mendengarkan saya? Apa perkataan saya mengganggu Putri?" tanya Roseline khawatir. Takut Ruby tidak nyaman dengannya. "Tidak ... lanjutkan saja. Aku masih mendengarkan," kilah Ruby mengibaskan tangannya dan berucap. "Jadi apa yang terjadi padamu dan nona Zalina." Ruby beruntung. Ia tidak perlu membuang ludah untuk mencari informasi saat Roseline sendiri yan
Tidak. Bukan ini yang Theron inginkan. Kenyataan pahit yang ia dengar sendiri dari mulut Ruby membawanya kembali ke masa lalu. Apa ia salah membawa Zalina ke tempat ini hingga membuat posisi Ruby terancam. Seharusnya, ia memikirkan ini secara matang. Bukan berpikiran dangkal hingga mengacau.Namun, ini semua telah terjadi. Apa yang harus Theron lakukan? Kenapa semuanya begitu rumit? Perasaannya pada Zalina tidak semenggebu miliknya pada Ruby saat gadis itu meminta untuk pergi. Dia tidak rela. Dan bagaimana jika Zalina juga meminta demikian? "Kenapa ... kau terlalu pasrah? Aku memilihmu dan Zalina untuk sayembara ini karena ingin melihat siapa yang lebih pantas untuk menjadi Ratu berikutnya. Aku akan menyerahkan semua ini pada Ayah, Ibu, dan Menteri lainnya. Sayembara ini akan berjalan dengan adil. Memangnya apa yang kau pikirkan hingga berkata seperti itu?" Tentu saja ia pasrah karena Ruby yang sekarang adalah Ruby yang bodoh. Apa Theron akan mengharapkannya menang karena kepintar
Kematian Grand Duke Ramon Darian dan Grand Duchess Diana Swayneza kini telah menyebar luas. Kabarnya, mereka berdua meninggal karena kecelakaan saat menuju pusat kota Eurõbia. Tepatnya di wilayah Santora dengan hutan terpanjang di kerajaan Darian. Akan tetapi, siapa tahu ini adalah kecelakaan yang sebenarnya, atau telah disiapkan oleh seseorang? Ruby menggenggam erat anyelir putih dengan kedua tangannya. Gaun hitamnya tertarik menyapu tanah musim semi. Dibiarkan beberapa daun hinggap. Wajah lesunya jelas menunjukkan kekhawatiran. "Kau yakin dengan ini? Ruby ... sudah lama kau tidak mengunjungi pemakaman dan—" "Aku baik-baik saja," potong Ruby kemudian. Theron menggeleng lemah, ia yakin saat ini Ruby takut. Semenjak kematian Ibunya, Ruby tidak pernah menghadiri pemakaman siapa pun sejak saat itu. Dia selalu mengurung dirinya saat terdengar kabar kalau orang terdekat mereka telah gugur waktu peperangan. Atau pelayan Istana yang selalu menjaga mereka. "Aku bisa meletakkan bungamu d
Musim semi empat tahun lalu. Awal musim semi yang masih terasa dingin ini seakan memanggilnya, menggodanya dengan rangkaian bayangan bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalan. Pohon-pohon yang daunnya sudah tumbuh berpucuk. Dan akhirnya, ia pergi keluar Istana tanpa diketahui oleh siapa pun. Gadis itu memejamkan mata. Menikmati setiap hembusan angin yang menerpa tubuhnya hingga rambut cokelat yang dikepang itu menari-menari di bawah mentari sore. Sudah lama ia tidak ke sini. Tempat yang membuatnya merasa tenang. Di pinggir danau yang tak jauh dari Istana. Tempat yang membuat Ruby merasa nyaman dan jujur akan dirinya sendiri. Mengeluarkan keluh kesahnya selama berada di Istana. Bagaimana para pelayannya, Theron, Ratu Miranda, dan tentu saja tentang perasaannya. "Sejujurnya, aku sudah lupa bagaimana wajah Ibuku," celetuk Ruby di tengah heningnya suasana. "Yah ... setiap ingatan manusia memang akan pudar selama berjalannya waktu." Warna jingga dari mentari sore menyinari wajah
Theron tahu ia harus segera bertindak. Akan tetapi, hatinya ragu entah karena apa. Permintaan Ruby, pertanyaan Zalina membuat otak Theron beku. Ia bahkan tidak bisa lagi memikirkan pekerjaan yang telah menumpuk di meja kerjanya. Seandainya ia bisa berteriak, maka ia akan mengatakan ia juga tidak tahu. Katakanlah ia adalah orang yang tidak berpendirian di dunia ini. Di satu sisi ia merasa bersalah pada Zalina, dan satu sisi ia ingin Ruby terus berada di sisinya. Tidak mungkin ia memiliki selir, 'bukan? Ia tidak akan setega itu pada dua gadis ini. "Kau harus secepatnya memutuskan ini, Theron. Memangnya apa lagi yang kau tunggu? Keduanya sudah sehat. Aku tidak mengerti alasanmu menunda sayembara ini," ucap Raja Aeterius menghadap sang anak yang masih menunduk. "Apa karena gadis itu?" Raja Aeterius menatap sang anak dengan selidik. Menerka apa yang membuatnya ragu. "Siapa?" tanya balik Theron. Sementara sang Ayah hanya mendesah pasrah. Rupanya pikiran sang anak belum sampai. Atau mem
"Yang Mulia, apa anda mencintai saya?" Pertanyaan itu muncul begitu saja lewat belah bibir Zalina. Dadanya luar biasa sakit. Benaknya dipenuhi pertanyaan yang berbeda setiap waktu, dan benang merahnya hanya di satu pertanyaan. Apa cinta itu ada di hati Theron? Zalina tahu kata itu tak pernah terucap. Ia tahu bahwa lelaki itu masih memandang Ruby sedemikian lekat meski mulutnya melontarkan emosi. Mereka, seperti dua orang yang kehilangan arah. Dan dirinya masuk di sela-sela keduanya. "Yang Mulia saya bertanya ... " "Jangan melawannya," lirih Theron. Lelaki itu termenung di tempatnya. Sorot matanya terlihat menyedihkan. Pria yang biasanya menunjukkan ketegasan itu kini menatap Zalina dengan nanar. Gumamannya membuat gadis itu semakin bingung. Apa maksudnya? Siapa yang ia lawan? "Jangan melawannya. Ruby ... dia bukan tandinganmu," lanjut Theron membuat dada Zalina sesak. Air matanya menetes. Meski mensugesti dirinya dengan fakta bagaimana Theron membawanya ke Istana dan memperlaku
Kata orang, hidup ini penuh dengan berbagai kejutan. Awalnya, Ruby tidak mempercayai hal itu karena jalan hidupnya yang terlalu flat. Tidak ada yang spesial. Hingga saat ia terbangun di tubuh orang lain, tinggal di era yang jauh berbeda dengan era milenial, menjalani, dan mempelajari hidup yang bukan miliknya. Terkadang, Ruby pikir ini hanyalah ilusi semata. Dan terkadang, ia melihat dunia ini begitu nyata sehingga merasa tubuh ini benar-benar miliknya. Mungkin ini adalah masa lalu yang harus diperbaiki. Dunia yang penuh tipu muslihat ini adalah rintangannya. Serta, perasaannya pada lelaki ini yang tak kunjung pudar meski awalnya rasa benci mendominasi. "Sudah puas menggoda lelaki lain, huh?" Apa perasaan itu bisa ia manfaatkan? Mengejar cinta yang Ruby miliki dulu dan merebut kembali tempatnya, atau menjauh seperti rencana awalnya karena bahaya yang ada di dalam Istana ini? Tanpa sadar musik telah berhenti. Membuat atensi orang-orang yang ada di aula jatuh pada Theron yang datang
Setelah Roseline pergi menemui keluarganya, Ruby juga pamit. Ia tidak melihat Ayahnya di mana pun. Apa pria masih di perjanalan dinas dan belum kembali? Menggelengkan kepala, Ruby naik ke lantai dua untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada Ratu Miranda secara langsung. "Selamat ulang tahun Yang Mulia Ratu yang terhormat. Bila berkenan, terimalah hadiah saya yang tidak seberapa ini." Ruby membungkuk anggun saat Ratu berdiri menghampirinya. Memeluknya sayang. Sementara Ruby memejamkan mata. Rasa rindu pada orang rumah di dunianya dulu kini membuat sesak karena pelukan Ratu. Ia tahu, rindunya kian bertambah karena tak mendapat jawaban. Dan saat Ratu Miranda mengurai pelukan mereka, Ruby tersenyum. "Hadiah terbaikmu adalah pesta ini, Ruby. Dan ini adalah hadiah terbaik untukku. Terima kasih, Arunika pasti bahagia melihatmu di atas sana." ucap Ratu Miranda menggenggam kedua tangannya. Arunika, atau sebut saja Duchess Arunika Edelmiro yang meninggal sepuluh tahun yang lalu. Ibu dari R
Satu bulan yang lalu. Ruby sebelumnya bersusah payah meletakkan sendok besi pada matanya yang masih panas. Sepertinya, air mata Ruby memiliki stok yang berlebihan hingga tidak berhenti mengalir layaknya air terjun. Hari ini, ia akan bertemu Ratu di kediamannya. Dan Ruby tidak boleh berantakan di hadapan wanita nomor satu di kerajaan ini, "ah ... mulai sekarang harusnya aku mengurangi minum." Gumamnya meletakkan sendok di meja dan bersiap keluar. Gadis itu menghela nafas sebelum masuk ke kediaman Ratu diiringi rombongan pelayannya kemudian membungkuk hormat memberi salam. Pertama kali yang mereka lihat adalah kain berwarna ungu mencolok terpampang rapi di atas lantai. Sementara Ratu tengah duduk dengan anggun dan menatap lekat ke arah kain-kain yang disediakan oleh Madam Jessica, salah satu perancang kain terbaik di kerajaan ini. Semua yang ada di sana menunduk hingga Ratu kemudian berucap. "Aku ingin ulang tahunku kali ini didominasi dengan warna ungu. Ruby, bisakah kau menunjukk
Tidak. Bukan ini yang Theron inginkan. Kenyataan pahit yang ia dengar sendiri dari mulut Ruby membawanya kembali ke masa lalu. Apa ia salah membawa Zalina ke tempat ini hingga membuat posisi Ruby terancam. Seharusnya, ia memikirkan ini secara matang. Bukan berpikiran dangkal hingga mengacau.Namun, ini semua telah terjadi. Apa yang harus Theron lakukan? Kenapa semuanya begitu rumit? Perasaannya pada Zalina tidak semenggebu miliknya pada Ruby saat gadis itu meminta untuk pergi. Dia tidak rela. Dan bagaimana jika Zalina juga meminta demikian? "Kenapa ... kau terlalu pasrah? Aku memilihmu dan Zalina untuk sayembara ini karena ingin melihat siapa yang lebih pantas untuk menjadi Ratu berikutnya. Aku akan menyerahkan semua ini pada Ayah, Ibu, dan Menteri lainnya. Sayembara ini akan berjalan dengan adil. Memangnya apa yang kau pikirkan hingga berkata seperti itu?" Tentu saja ia pasrah karena Ruby yang sekarang adalah Ruby yang bodoh. Apa Theron akan mengharapkannya menang karena kepintar
Percakapan mereka berjalan lancar. Ruby bisa melihat, Roseline terlahir dari keluarga yang hangat. Saat menceritakan orang tua serta adiknya yang kaku, matanya terlihat berbinar. Ruby pun turut merasakan, hingga rasa rindu pada keluarganya kembali mencuat. Bagaimana kabar mereka di sana? Sudah hampir empat bulan ia berada di dunia antah berantah ini. Bertahan hidup tanpa tahu alasan bagaimana ia bisa masuk ke tubuh ini. Sialnya nama mereka sama dan terlahir dengan kesengsaraan berbeda. "Putri ... putri!" Panggil Roseline menyadarkan Ruby dari lamunannya. Gadis itu berguman dan menyuruh Roseline melanjutkan ceritanya. "Apa Putri mendengarkan saya? Apa perkataan saya mengganggu Putri?" tanya Roseline khawatir. Takut Ruby tidak nyaman dengannya. "Tidak ... lanjutkan saja. Aku masih mendengarkan," kilah Ruby mengibaskan tangannya dan berucap. "Jadi apa yang terjadi padamu dan nona Zalina." Ruby beruntung. Ia tidak perlu membuang ludah untuk mencari informasi saat Roseline sendiri yan