Jillian : Boleh ke Caffe Callista? Janjian sama Kirana di sana. Kenzo : Boleh, tapi tunggu driver jemput kamu setelah antar aku balik ke kantor. Jillian : Aku nyetir sendiri saja. Detik berikutnya saat Jillian melihat tanda centang dua berubah menjadi warna biru, layar ponsel Jillian berkedip disusul suara nyaring. Kenzo yang melakukan sambungan telepon, ia tahu istrinya keras kepala jadi tidak akan mempan membujuknya hanya melalui chat. “Hallo?” Jillian menyapa. “Sayang, tunggu sebentar … jangan pergi sebelum driver jemput.” “Ken … aku bisa nyetir sendiri.” “Enggak sayang, perut kamu udah besar … kalau ada apa-apa gimana?” “Enggak akan ….” Jillian dan keras kepalanya. “Sayang, nurut ya … please! Kamu enggak tahu segimana khawatirnya aku waktu kamu ngemall kemarin dan aku enggak bisa menghubungi kamu.”
“Sayang, aku bawa martabak!” Kenzo berseru ketika sosoknya tiba di ruang televisi di mana Jillian sedang menonton televisi, tangan pria itu mengangkat kantung keresek ke udara. Kenzo benar-benar mengikuti keinginan Jillian. “Horeeee!” Jillian bersurak bahagia sampai bertepuk tangan. Kenzo meletakkannya di atas meja lalu membuka tutup kotak berisi martabak. “Gimana ceritanya sih, sampe bisa kamu sama Kirana enggak jadi ke Caffe Callista?” Kenzo serius bertanya karena tadi Jillian mengirim pesan agar ia tidak perlu menjemput di Caffe Callista. Jillian juga meminta ijin membawa Kirana ke Penthouse, itu kenapa Kenzo berpikir Jillian dan Kirana tidak jadi ke Caffe Callista. “Aku sama Kirana ke sana ….” “Lalu?” Kenzo menarik tissue lantas mengambil satu potong martabak dari dalam kotak menggunakan tissue tersebut dan mendekatkan ya ke mulut Jillian.
Tok … Tok … Di luar sana ketukan pada pintu terdengar ragu. “Masuk,” titah Kenzo mengeraskan suara tanpa mengalihkan tatapan dari layar komputer. Ceklek. Perlahan Dila-sang sekertaris masuk ke ruangan Kenzo. Kenzo tidak tahu bila dalam hati Dila saat ini sedang dilanda gundah dan resah. “Gimana Dil, udah ketemu berkasnya? Usahakan jangan tanya Amira, kamu usaha sendiri dulu … kalau mentok, kamu coba tanya bagian General Affair.” Ucapan Kenzo menguap beberapa detik lalu tapi Kenzo belum mendengar tanggapan apapun dari Dila. Akhirnya Kenzo mengangkat wajahnya dan ia mendapati raut wajah Dila yang tampak serba salah. “Ada apa?” Kenzo menegakan tubuh, memfokuskan diri pada Dila tapi yang bersangkutan malah semakin gugup. “Gini Pak … saya menemukan sesuatu waktu cari berkas yang Bapak minta ….” Kalimat D
Tapi kesabaran Kenzo tidak terbatas untuk Jillian, alih-alih emosinya tersulut—Kenzo malah mengulurkan tangan. “Sini sayang, aku ceritanya sambil peluk kamu boleh?” Nada suara Kenzo yang rendah dengan sorot mata memohon itu menghipnotis Jillian hingga bergerak mendekat. Hati Jillian mulai tidak tenang dampak dari prasangka buruk yang baru saja tercetus di benaknya. Ketika Jillian sudah berada di dekatnya, Kenzo menarik pinggang sang istri untuk mengikis jarak kemudian memeluk Jillian erat. Kenzo meletakan dagunya di pundak Jillian dan mulai menceritakan tentang semua permasalahan di kantor. Mulai dari Amira yang melakukan fraud dan ada kemungkinan ia terseret karena membubuhkan tanda tangan di setiap nota dan berkas yang menjadi bukti fraud. Belum lagi beberapa proyek mengalami kendala dan target dari kontrak-kontrak harus ia realisasikan segera. Ke
Jam dinding menunjukkan angka dua pada dini hari ketika Kenzo masuk ke dalam kamar dan menemukan istrinya sedang berbaring gelisah di atas ranjang mereka dengan mata terpejam erat. Tubuh Jillian dengan perutnya yang sudah sangat besar berguling ke kiri dan ke kanan bersama ringisan kesal. Kenzo bergegas menuju kamar mandi untuk membasuh wajah dan mencuci tangan lalu mengganti pakaian agar bisa segera memeluk istrinya. “Sayang,” bisik Kenzo sebelum melabuhkan kecupan di bibir Jillian yang kemudian membuka mata perlahan. “Ken … anak kamu nyebelin, bikin aku begah.” Jillian bersungut-sungut sambil menghela tangan Kenzo yang memeluknya dan menggulirkan tubuh membelakangi Kenzo sebagai bentuk protes. “Maaf ya sayang, sabar sebentar lagi si Cantik lahir ….” Cup. Sebuah kecupan Kenzo berikan di pipi Jillian lantas memeluknya dari belakang.
“Aku gendut … kaya kuda nil ….” Jillian memberengutkan wajah, bokong besarnya sengaja ia jatuhkan di pangkuan Kenzo yang sedang duduk di atas puff chair di dalam walk in closet. Sejak pagi ia dan Kenzo di dalam sana mencari pakaian mana yang pantas untuk Jillian gunakan malam ini pada pesta pertunangan Bima dan Gissele yang meriahnya melebihi pesta pernikahan karena mengundang hampir seribu orang di sebuah Ballroom hotel super megah. Padahal Kenzo sudah membelikan tujuh gaun yang muat untuk ukuran Jillian saat ini terutama di bagian perut agar Jillian dan si Cantik merasa nyaman. Namun, tetap saja Jillian tidak bisa menentukan gaun mana yang akan dipakainya malam ini. Bukan apa-apa, tamu undangan dalam pesta pertunangan Bima nanti kebanyakan adalah sosialita dan para pengusaha yang kebanyakan mengenal Kenzo. Jillian pernah berpura-pura menjadi keponakan Kenzo di depan beberapa teman Kenzo yang kemungkinan akan hadir dalam pesta Bima dan sekarang—Kenzo pasti akan mengenalkannya seb
“Tante Laura.” Amira bergumam tatkala netranya bersirobok dengan netra Laura ketika ia baru saja memasuki sebuah ruangan. Tadi petugas wanita yang memanggil Amira hanya mengatakan bila ia kedatangan seorang tamu. Petugas itu tidak memberitau siapa nama tamu tersebut, Amira pikir tamu yang mengunjunginya adalah pengacara. Jika sebelumnya Amira tahu yang berkunjung adalah Laura mungkin ia akan menolak untuk bertemu. Pasalnya Amira tidak tahu bagaimana harus menghadapi Laura-ibunda dari pria yang dengan sengaja ia seret dalam kasus hukum untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diperbuatnya. Tapi melihat Laura yang tadi duduk dan langsung berdiri menyambutnya dengan raut wajah tampak bersahabat membuat Amira berani melangkah mendekati wanita itu. “Kalau Tante tanya kabar kayanya basa-basi banget ya?” Laura memulai setelah Amira duduk di depannya.
Tidak lama kemudian Kenzo kembali dengan wajah segar karena baru saja mencuci wajahnya. Langsung menarik Jillian begitu tubuhnya berbaring di atas ranjang dan menjadikan Jillian gulingnya. “Ken … pijetin pinggang aku, donk … pegal banget.” Dengan senang hati, Kenzo membantu Jillian mengubah posisi agar membelakanginya kemudian begitu sabar memijat pinggang dan punggung Jillian selama beberapa lama. Jillian memang tidak ngidam yang aneh-aneh apalagi sampai membangunkan Kenzo tengah malam hanya untuk minta dibelikan makanan yang sedang diinginkannya tapi semua sifat buruk Jillian muncul lebih sering dan berkali-kali lipat parahnya. “Semakin besar si Cantik, perut aku juga makin besar … makin ke depan jadi punggung aku makin melengkung ke belakang, bisa patah enggak ya nanti lama-lama?” celoteh Jillian membuat topik pembicaraan dengan Kenzo. Bila harus jujur, Jillia
“Mommy …,” panggil gadis kecil yang kini telah berusia empat tahun. Gadis kecil itu duduk membelakangi Jillian karena rambutnya sedang diikat pony tail sesuai permintaan sang gadis. “Yess Love?” Jillian menyahut. “Apa Cantik boleh memiliki adik lagi?” Jillian menaikkan kedua alisnya lalu mengerjap pelan. “Pasti Daddy yang meminta Cantik mengatakan itu sama Mommy, kan?” Jillian menjauhkan tangannya dari kepala Cantik, ia selesai mengikat rambut ikal gadis kecil yang cerewet itu. Cantik membalikan badan lalu tersenyum lebar. “Kata Daddy, Cantik bisa main Barbie sama adik Cantik yang baru.” Jillian tertawa sumbang, tangannya terulur merapihkan poni Cantik. “Adik Rae enggak mau main boneka, maunya main mobil sama kereta.” Cantik mengerucutkan bibir. Cassius Rae Maverick-adiknya
Awalnya Callista berpikir kalau Caffe yang dibangun Jillian tidak akan bertahan lama karena ia begitu paham Jillian dengan segala sikap manjanya akan bosan apalagi ia yakin kalau Caffe itu dibangun hanya untuk membalas dendam kepadanya. Tapi nyatanya dua tahun berlalu dan Jillian tampak serius menjalankan Caffe itu, setiap hari pulang dari kampus mobil Jillian terlihat di pelataran Caffe hingga malam suaminya menjemput. Dan yang membuat Callista kesal adalah Caffe Jillian tidak pernah sepi pengunjung. Selalu saja pelataran parkir di depan Caffe itu penuh malah Jillian menyewa satu lahan sepanjang tahun untuk parkiran karena hari Sabtu atau minggu Caffe Jillian akan membudak dengan pengunjung. Padahal yang Callista tahu kalau menu di sana dibandrol cukup mahal. Pintarnya Jillian, ia sengaja membuat Caffenya eksclusive dengan sasaran kalangan atas tapi justru kalangan menengah dan mungkin ka
Jillian belum pernah merasa secemas ini dalam hidupnya. Ia khawatir launching Caffe-nya tidak berjalan lancar meski sudah menyewa EO dan mempersiapkan semuanya sesempurna mungkin. “Sayang, udah siap?” Kenzo melongokan kepala ke dalam walk in closet. Pria itu lantas masuk sambil mengembangkan senyum menawannya melihat Jillian yang tampak cemas berdiri di depan cermin seukuran tinggi Jillian. “Kamu gugup ya?” Kenzo berdiri di depan Jillian, kedua tangannya menggenggam tangan Jillian yang terasa dingin. Jillian meringis seraya mengangguk. “Aku khawatir ada masalah … Callista berulah misalnya.” “Kita enggak akan pernah tahu, tapi aku udah berusaha antisipasi semua faktor kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.” “Kamu selalu prepare banget kaya gini ya?” “Aku selalu merencanakan semuanya dengan matang.” Kenzo membingkai sisi wajah Jil
“Oke … nanti karangan bunga diletakan di dinding depan sebelah kiri dan tolong geser pot besar yang di depan itu … kayanya menghalangi pemandangan dari sudut bagian kanan,” titah Jillian kepada seorang pria pegawainya. “Baik, Bu!” Pria itu pergi untuk melakukan perintah Jillian. Jillian melangkah cepat menuju kitchen. “Pak Ronald, semua bahan sudah oke? Berapa porsi dari setiap menu yang bisa kita sediakan?” Jillian bertanya kepada kokinya. “Bahan aman Bu, bisa sampai lima puluh porsi dari setiap menu … ibu mau cek lemari pendingin kita?” “Enggak perlu, Pak … saya percayakan sama Bapak ya!” “Siap Bu.” Jillian lantas pergi menuju bar tempat baristanya meracik kopi. “Mas Raka bagaimana bahan-bahannya? Pak Ronald sudah oke di lima puluh porsi dari setiap menu ….” Raut cemas di wajah Jillian membuat Raka tersenyum. “Ten
“Pak Adam boleh kok kalau mau cium Cantik.” Awalnya Adam Askandar tampak ragu tapi kemudian menunduk untuk mengecup kepala Cantik. Bahunya mulai bergetar menahan isak tangis yang sedari tadi ia tahan hingga menyesakan dada. Sang asisten segera memegangi Adam Askandar sementara Augusta Maverick dan ayahnya Bima menghampiri Adam Askandar bermaksud menenangkan. Mereka berdua membawa Adam Askandar ke meja yang telah disediakan. Tatapan sendu Jillian selama beberapa saat memaku Kenzo. Pria itu bergerak mendekat untuk mengecup kening Jillian. “Jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Kenzo mengingatkan. “Kamu kira aku lagi mikirin apa?” Jillian mengerucutkan bibirnya. “Tiara.” Jillian mengembuskan napasnya karena jawaban Kenzo benar. “Memangnya kamu udah enggak mikirin dia?”
Jillian melongo takjub dengan rahang sedikit terbuka, luar biasa terpukau semenjak mobil yang dikemudikan driver memasuki gerbang depan rumahnya. Rumah yang disiapkan Kenzo untuknya sebelum mereka membatalkan perjanjian perceraian. Dan sekarang, setelah dilakukan beberapa renovasi kecil dan pengisian furniture yang memakan biaya besar—Jillian ingin menempatinya bersama Kenzo dan si Cantik. “Rumah ini aku banget,” gumam Jillian yang baru saja melangkah memasuki pintu utama. “Kamu suka?” Kenzo yang tengah menggendong si Cantik bertanya dari belakang punggung Jillian. Jillian memutar tubuhnya, melangkah sekali untuk mengikis jarak dengan Kenzo. “Aku suka … sangat suka! Rumah ini pasti mahal banget ya?” Terlihat pendar haru di netra Jillian yang berwarna coklat. Sang suami yang kelewat tampan dan sabar itu memberikan senyumnya. “Buat kamu, enggak ada ya
“Daddy pulaaaang!” seru Jillian yang tengah menggendong si Cantik melangkah mendekati pintu lift yang terbuka menampilkan sosok pria tampan pujaan hatinya. Kenzo menjatuhkan tasnya lalu merentangkan kedua tangan setelah keluar dari lift dan kini Jillian beserta si Cantik berada dalam pelukannya. “Kalian wangi sekali,” kata Kenzo yang telah puas mendaratkan banyak kecupan di wajah Jillian dan si Cantik. “Iya donk, tadi mommy sama Cantik mandi bareng … aku udah bisa mandiin si Cantik lho, Yang.” Jillian begitu bahagia ketika menceritakan prestasi sebagai Ibu yang akhirnya bisa memandikan sang buah hati meski sudah terlambat dua bulan lamanya. “Waaaw, hebat!” Kenzo memuji, memberikan hadiah kecupan lagi di bibir Jillian. “Aku mandi dulu ya,” kata Kenzo yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya yang lengket karena seharian berada di proyek. Kenzo bergegas
“Mau sampai kapan lo ngehindarin gue terus?” Kin berdiri tepat di depan Jillian menghalangi langkah wanita itu yang selama beberapa minggu semenjak kembali berkuliah selalu menghindarinya. Jillian akan menundukkan kepala bila harus terpaksa berpapasan dengan Kin lalu berjalan cepat agar cowok itu tidak bisa menyusul atau bila sudah melihat Kin dari jauh—Jillian lebih baik mengambil jalan memutar. Sebesar itu kekesalan Jillian kepada Kin yang telah dengan sengaja—hanya demi nama baik keluarga—menyerahkannya kepada polisi. Jillian akhirnya mendongak menatap Kin nyalang. “Minggir lo!” serunya, mendorong dada Kin kasar. “Jill … gue minta maaf, denger gue dulu!” Kin mencengkram tangan Jillian yang tidak berhenti meronta. “Lo enggak ada kuliah lagi, kan? Gue mau ngomong sama lo … sebentar aja, gue mau jelasin sama lo.” “Udah jelas, enggak perlu lo jelasin lagi!” seru Jillian
Satu hari setelah Jillian mengetahui Kenzo membiayai pengobatan ibunya Amira. “Yang … duit jajan aku kok belum kamu transfer?” Jillian bertanya sambil mengangkat ponselnya ke udara memberitau bahwa baru saja ia mengecek saldo rekeningnya dan belum bertambah. “Lupa ya? Apa duitnya abis dipake bayar pengobatan ibunya tante Amira?” serobot Jillian padahal Kenzo sudah membuka mulutnya untuk memberi penjelasan. “Bukan begitu sayang, hari ini enggak tahu kenapa m-banking eror … aku coba transfer sekarang ya.” Kenzo mengeluarkan ponselnya dari saku celana, seharian ini selain sibuk, memang setelah berulang kali dicoba—Kenzo tidak bisa mengakses rekeningnya melalui m-banking. “Ga usah lah, urusin aja tuh ibunya tante Amira,” ujar Jillian sambil melengos keluar kamar. “Ya?” Kenzo melongo, kedua alisnya terangkat membuat kerutan di keningnya. Satu minggu setelah Jilli