Evita kembali mencoba menghubungiku lagi, tapi aku mengabaikannya, dan memilih mematikan daya ponselku.Aku yang sedang pusing begini, bisa-bisanya dia menawarkan hal konyol begitu. Astaghfirullah! Untung aku masih punya iman.Kembali pikirkan tertuju pada Amira. Kemana dia ya Allah! Aku mengusap kasar rambutku.Aku buka media sosial berlogo huruf F, berharap bisa menemukan keberadaan Amira.Aku buka akun milikku, dan langsung mengunjungi profil Amira.Amira bukan tipe wanita yang aktif di sosial media. Kulihat di wall pribadinya juga sepi, tak ada unggahan status ataupun unggahan video di sana. Terakhir foto yang di unggah di sana adalah foto wisudanya, bersama Ayah, ibu dan Mas Faisal.Aku langsung mengirim pesan di masangger. Aku sangat berharap ia mau membalas dan memberitahu keberadaannya saat ini.[Amira Sayang, kamu dimana? Aku mohon maafkan aku, beritahu aku dimana kamu berada, aku jemput kamu Sayang.]Aku kirim pesan itu padanya. Beberapa menit berlalu masih senyap, tak ada
Aku mengemudikan mobil menuju ke rumah salah satu teman Amira, Caca namanya, sesuai dengan informasi yang kudapatkan dari Mita.Mita bilang ia pernah datang ke rumahnya Caca bersama Amira, waktu itu Caca pernah memesan makanan untuk sebuah acara di rumahnya.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya aku sampai di depan sebuah rumah dengan gaya minimalis, cat dinding abu-abu dan pintunya berwarna putih. Pagar rumahnya berwarna putih, dan halaman tak seberapa luas dengan pohon mangga tak begitu besar di sudut halaman."Assalamualaikum!" seruku.Kondisi rumah tampak sepi. Aku mengucapkan salam sekali lagi, akhirnya seorang wanita berumur sekitar enam puluh puluh tahunan tergopoh-gopoh keluar rumah."Eh ada tamu? Maaf tadi Ibu di belakang? Apa ini calonnya Caca? Wah ganteng juga ya, ayo masuk! Masuk! Mari." Gaya sambutan dari Ibu itu tentu membuatku bingung."Eh maaf Bu, maaf! Sa–saya bukan calonnya Caca, tapi saya suaminya temannya Caca. Nama saya Raka."Ibu yang mengenakan jilbab berwarn
Satu Minggu kemudian ...Satu Minggu sudah berlalu, aku belum menemukan dimana Amira berada. Beberapa tempat sudah kudatangi. Tapi tak satu pun yang membuahkan hasil.Bapak, ibu, Papa dan Mama, jangan tanya bagaimana sikap mereka terhadapku. Semuanya mendiamkan aku. Aku seperti tengah di hukum. Mereka membiarkan aku cari jalan sendiri mencari keberadaan istriku. Walau aku tahu sebenarnya mereka juga pasti mengkhawatirkan Amira, tapi mereka seolah tutup mata tak membantuku. Aku pontang-panting mencari Amira kesana-kemari. Terlintas dalam benakku untuk melaporkan pada polisi, tapi Ayah dan Papa menolak, dengan alasan, Amira itu pergi karena dirinya sendiri yang menghendaki, bukan karena paksaan atau semacam penculikan. Lelah, letih itu sudah pasti. Kini aku hanya bisa pasrah, menanti Amira pulang ke rumah. Aku berharap dia baik-baik saja di luar sana.Evita, beberapa kali ia menghubungiku dalam keadaan menangis. Ketika aku datangi, dia menangis karena telah di teror oleh suaminya, t
"Bagaimana sudah ada kabar keberadaan Amira?" tanya Papa melalui sambungan telepon. Nada bicaranya terdengar sangat dingin."Belum."Terdengar tarikan napas berat diujung sana."Menyesal Papa menyandingkan wanita sebaik dia untuk Kamu!" pedasnya."Dosa apa Papa memiliki anak bo doh sepertimu Raka!" umpatnya lagi.Aku sudah terbiasa dengan semua umpatan Papa. Jika sedang marah, Papa tak segan mengeluarkan kata kasar untukku meski aku adalah darah dagingnya sendiri."Tak perlu datang ke kantor sebelum Amira ditemukan, paham!" Panggilan terputus secara sepihak.Aku tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan."Amira, kamu dimana? Pulang lah Sayang, maafkan aku." Aku bermonolog.Aku menatap pesan di masangger yang Amira kirimkan beberapa jam lalu, entah sudah berapa kali aku membacanya berulang kali.Aku pun langsung membalas pesan itu, Tapi Amira tak online lagi, dan mengabaikan pesanku."Amira, mengapa kau menghukumku? Dengan cara seperti ini?" Aku bermonolog, mengusap kasar
"Surat gugatan cerai sudah masuk ke pengadilan.""Oke. Bagus!" Aku lega mendengar pernyataan pengacara yang kubayar untuk membantu proses perceraian Evita dengan suaminya.Lebih cepat lebih bagus, agar Evita segera terbebas dari pernikahan yang tak sehat itu. "Tapi ....""Tapi apa?""Apa Anda yakin, akan membantu dia untuk segera lepas dari suaminya?" Pak Azizi bertanya seolah meragukan keputusanku."Apa maksud Anda bertanya begitu? Tugas anda cukup jelas. Bantu Evita untuk secepatnya bisa bercerai! Paham!"Pak Azizi terpana, karena aku sedikit meninggikan suara."Baik. Tapi saran saya, Anda pikirkan lagi, kalau ada waktu temui Pak Satya, suaminya Evita."Aku langsung menoleh, merasa aneh. Untuk apa aku menemui dia? Laki-laki brengsek yang suka menyakiti perempuan? Main tangan, kasar sama perempuan."Untuk apa?""Anda akan tahu jawabannya setelah nanti bertemu dengan beliau. Saya permisi."Pak Azizi langsung pergi usai mengatakan itu. Membuatku bingung.Setelah perbincangan dengan Pa
Amira POV.Sudah hampir dua Minggu aku di sini, di sebuah rumah kontrakan kecil tak jauh dari rumah Caca. Ya, hanya Caca yang bisa aku mintai tolong."Mir, gil4 Lo!, tadi ada laki Lo datang ke rumah Gue, untung Lo nggak tinggal di rumah Gue jadi nggak sampai ketemu dia. Eh Lo benar-benar ya! tega Lo bohongin Gue sama Yunia!" Caca langsung nyerocos begitu masuk ke dalam rumah hari itu."Gue bohong apaan?" tanyaku bingung."Lha itu, ternyata cowok ganteng yang waktu itu nggak sengaja ketabrakan sama kita di Mall itu ternyata suami Lo! Kenapa Lo diem aja waktu itu, padahal Gue sama Yunia udah pada langsung kesemsem sama dia karena ganteng, eh taunya dia itu laki Lo!" Caca berkata dengan sambil melotot menatapku.Aku hanya nyengir. Akhirnya aku ceritakan semuanya sama Caca, termasuk duduk permasalahan mengapa aku memilih menyendiri di sini saat ini. Alhamdulillah Caca bisa mengerti. Entah kalau yang tahu hal ini adalah Yunia mungkin tak bisa semengerti Caca."Ya Allah kasihan banget sih L
"Suaminya sedang berada diluar kota Dok! Saya tetangganya. Apa ada suatu hal yang membahayakan dengan kandungan Amira Dok?" Caca dengan cepat menjawab pertanyaan dokter, di saat aku kehilangan kata-kata untuk sekedar menjawab dimana suamiku berada."Oh. Seperti itu. Ya tidak apa-apa. Ehm, begini Bu, kandungan Ibu lemah, ini bisa jadi di picu karena Ibu banyak pikiran, kecapekan, atau kurang istirahat. Saran saya, untuk tiga hari ke depan Ibu harus badrest total.""Bedres Dok?" "Ya! Hanya rebahan di tempat tidur, makan, minum di tempat tidur. Ya, kecuali untuk urusan ke kamar mandi itu pun kalau bisa jangan sering-sering ya Bu. Tujuan saya tadi menanyakan suami Ibu, itu karena saya ingin menyampaikan langsung pada beliau, meminta kerjasamanya dengan beliau agar sama-sama mengerti dengan kondisi Ibu saat ini," jelas Dokter Syifa."Kondisi janinnya sehat, hanya perlu banyak istirahat. Itu saja, nanti saya resepkan obat penguat kandungan dengan vitaminnya. Apa ada yang ingin ditanyakan
"Mau apa kamu kesini, Evita?" tanyaku membuatnya terkejut dan langsung berbalik badan, kini posisi kami berhadapan di teras rumah.Evita tersenyum simpul menatapku."Memangnya salah ya, seorang sahabat, datang mengunjungi sahabatnya?" imbuhnya lagi sambil melangkah melewatiku, melenggang dengan santainya memasuki ruang tamu rumah ini."Evita. Nggak perlu basa-basi! Kamu mau apa kesini?" ucapku tegas. Entah dia tahu dari mana aku ada di sini."Rupanya di sini kamu sembunyi? Ehm, rumahnya cukup nyaman, pantas saja kmu betah di sini? Walaupun sendiri. Tapi bagus sih, aku jadi bebas berduaan dengan Raka." Evita pun berbalik badan, dengan senyum merekah."Mau apa kamu kesini? Kalau cuma mau buang-buang waktuku, mending kamu pergi, aku mau istirahat!" "Aku, cuma mau memastikan apa informasi yang kudapatkan dari orangku, itu benar, atau salah. Ternyata benar." sahutnya kini ia duduk dengan santai di ruang tamu."Sudahlah Evita, cukup basa-basinya! Mau apa kamu kesini?!" kesalku."Oke. Seben
Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me
Bibirnya pucat, dengan beberapa selang tertempel di tubuhnya. Aku menatapnya dengan hati teriris nyeri.Kenapa bukan aku saja yang ada diposisi ini Amira? Dia sudah koma lebih dari satu minggu lamanya. Kini aku sudah bisa mengunjunginya ke ruang ICU meski masih menggunakan kursi roda. Dan belum bisa berdiri, untuk duduk saja rasanya masih kaku dan sakit.Tapi aku berusaha untuk menahan sakitnya demi bisa menemui istriku yang masih terbaring koma di ICU. Sakitnya raga ini tak sebanding dengan sakitnya rasa di dada melihat orang yang kita cintai terbaring lemah tak berdaya.Aku genggam erat jemarinya yang lembut, kubisikkan kata-kata cinta, dan penuh semangat. Aku yakin di alam bawah sadarnya dia pasti bisa mendengarku.Aku ingin dia tahu, aku akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun."Sayang, sudah cukup lama kamu tidurnya. Sekarang kamu harus bangun. Kamu bilang kita akan sama-sama menjaga anak kita, makanya kamu harus bangun, kamu harus sehat, karena hanya beberapa bulan l
Aku membuka mata perlahan, rasanya tubuhku ngilu, sakit semua. Baru kusadari aku berada di sebuah ruangan dengan selang infus sudah terpasang di punggungku tanganku.Astaghfirullah, Amira dimana? Apa dia baik-baik saja. Begitu aku tersadar, orang pertama yang aku cari adalah Amira. Mengingat saat kejadian kecelakaan itu, kondisi Amira sepertinya lebih parah dariku.Aku menoleh ke kanan dan kiri, aku hanya sendirian. Ya Tuhan bagaimana keadaan istriku? Apa dia baik-baik saja? Juga bayi dalam kandungannya. Apakah dia baik-baik saja?Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku takut kehilangan mereka berdua. Aku tak 'kan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada kalian! Air mataku lolos begitu saja. Baru kali ini aku merasa sangat takut kehilangan seseorang dalam hidupku.Ini salahku kurang hati-hati di jalan. Aku harus cari Amira.Aaaaagh!Aku berusaha untuk duduk tapi ternyata pinggangku rasanya sakit sekali. Kepalaku juga di perban.Akhirny
"Apa kau mau tetap tinggal di sini?" tanyaku padanya seraya memiringkan tubuhku, lalu mengelus perutnya. Entah mengapa sekarang aku jadi suka rela mengelus perutnya, merasakan ada calon penerusku di dalam rahimnya."Memangnya boleh aku tetap tinggal di sini?""Ya boleh saja, aku akan ikut tinggal di sini.""Lalu kerjaanmu?""Ya aku akan cari kerjaan lain di sini.""Aku rasa itu nggak mungkin Mas. Mengingat kamu adalah calon penerus perusahaan Papa.""Ya mau gimana lagi, kalau istriku maunya di sini. Masak aku di sana sendirian. Aku nggak akan kuat LDR-an sama kamu." Aku menggenggam jemari tangannya lalu mengecupnya lembut."Memangnya kamu maunya kita berjauhan lagi seperti kemarin?" tanyaku padanya. Ia hanya menggeleng.Pelan aku menarik tangannya hingga membuat tubuhnya mendekat dan semakin dekat. Kedua netra kami beradu, dan dalam hitungan detik aku mendarat sebuah civman di bibirnya yang ranum. Aku begitu merindukan bibir merah muda itu.Cukup lama kami di posisi ini, seakan salin