"Assalamualaikum." Suara bariton yang sangat kukenal tiba-tiba saja memasuki ruang kerjaku, mengagetkan aku yang tengah sibuk di depan laptop.Seketika aku mengangkat kepala menatapnya tersenyum manis me arahku."Wa'alaikumussalam," sahutku balas tersenyum."Masih sibuk?""Oh, enggak juga sih, ini juga udah selesai, tinggal bikin list buat belanja besok apa-apa saja keperluan dapur yang harus di beli. Karena besok jadwalnya belanja bulanan keperluan Kafe."Raka mengangguk seraya mengedarkan pandangan ke seisi ruangan ini, lalu mendaratkan bobotnya di kursi berseberangan denganku terhalang oleh meja kerjaku."Enak juga jadi pengusaha, bisa santai kerjanya tanpa harus terikat seperti pekerja kantoran," ucapnya. Aku hanya mengulum senyum mendengarnya.Enak? Mungkin sekarang bisa di katakan enak, karena usahanya sudah jalan lancar, tapi jangan tanya ketika dulu aku mulai merintisnya, sampai harus jatuh bangun, bahkan aku harus pinjam modal yang tak sedikit pada Papa dan Mas Faisal.Papa
Selesai makan kami langsung pulang, tak lupa membungkus makanan untuk Mama di rumah. Sampai di rumah ternyata ada mobil Papa terparkir di sana. "Papa udah pulang dari luar negeri, kok nggak ngabarin dulu, kan bisa kita jemput di bandara," ucapku pada Raka begitu mesin mobil berhenti di depan rumah."Papa udah biasa ke luar negeri, ada supir yang stand by antar jemput Papa di bandara. Yuk masuk." Raka menggandeng tanganku memasuki rumah.Sampai di teras rumah kulihat Papa sedang duduk santai dengan secangkir teh di ruang tamu."Assalamualaikum, Pa, kok nggak ngabarin dulu mau pulang hari ini." Aku dan Raka bergantian meraih tangan Papa dan Mama dan menciumnya takzim.Namun Papa justru menatap kami berdua dengan senyuman."Kenapa Papa?""Nggak. Nggak apa-apa, Papa sampai bandara langsung telpon Mama, dan Mama bilang masih di rumah kamu, jadi Papa langsung kemari." Kami berdua duduk di sofa berisitirahat sebentar, bercengkrama dengan Papa."Raka, Amira, terimakasih ya, sudah menjaga M
Raka merebut buket bunga yang ada dalam genggamanku, aku pun pasrah, sekaligus bingung, takut, siapa ya yang mengirim bunga ini."Nggak ada nama pengirimnya?" tanya Raka sambil mencari sesuatu mungkin ada secuil kertas terselip di dalam buket, nyatanya nihil tak ada apa-apa."Buang aja bunga ini, besok aku belikan lagi yang baru yang lebih besar dan lebih bagus dari ini," ucap Raka, ia melangkah keluar rumah dan langsung membuang bunga itu ke dalam tong sampah yang ada di luar pagar."Sudah nggak usah terlalu dipikirkan, mungkin itu cuma orang iseng," ucap Raka ketika sudah memasuki rumah dan menghampiriku yang masih berdiri di ruang tamu."Udah yuk masuk." Tanganku di gandeng, satu tangan lainnya mematikan lampu ruang tamu, karena hari sudah larut."Sepi ya nggak ada Mama di sini." Aku menjatuhkan bobotku di tepi ranjang."Hem, ya iya sih sepi, tapi kita jadi lebih bebas berduaan." Raka menjawab, menggeser tubuhnya mendekatiku."Sekarang kamar depan kembali kosong, apa perlu aku pind
"Darimana kamu Mir?!" Aku terkejut, melihat Raka sudah berdiri di ruang tamu ini, dan menatapku penuh selidik."Oh, tadi ada tetangga lewat, ngobrol sebentar.""Oh, teh-ku mana?""Ya, sebentar aku buatkan."Aku melenggang masuk ke dalam, sambil membuat minuman hangat untukku dan Raka, pikiranku berkelana, sebenarnya siapa yang mengirim barang itu, apakah Billy?Ah laki-laki itu, apa maunya sebenarnya? Belum puaskah dia setelah beberapa tahun lalu dia menghancurkan hidupku? Kini di saat aku ingin hidup tenang bersama suamiku, justru ia hadir kembali dan membuat kekacauan ini.Aku berdecak kesal. "Amira!"Aku terlonjak kaget, mendengar Raka memanggilku dengan suara keras, tiba-tiba saja ia sudah ada di depanku."Dipanggil dari tadi malah ngelamun? Tuh lihat air sudah mendidih kamu-nya malah bengong. Kenapa? Kamu sakit? Atau kecapekan? Hem? Kalau capek nggak usah ke Kafe dulu, istirahat, kamu itu terlalu gila kerja sih." Raka mengomel."Nggak aku nggak apa-apa kok, lagi bingung aja, sia
"Kamu kenapa kok mukanya bete, gitu?" tanya ibu ketika kami sudah berada di dalam rumah, aku langsung ke dapur sama ibu, sedangkan Raka duduk di teras sama ayah."Itulah, biasa, Bu Inneke tadi lewat, ish, ngeselin banget kalau ngomong!" sungutku."Memangnya dia ngomong apa?""Ya biasa soal anak." Aku menjawab malas pertanyaan Ibu."Oh, itu sih biasa, udah biarin aja nggak usah di dengerin, kamu kayak nggak tahu dia aja, kapan sih dia ngomong enak di kuping, setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu bikin panas kuping, kamu kayak baru kenal Bu Inneke." Ibu menjawab santai."Iya Bu, tapi tetap aja aku kesel!" keluhku. Aku juga punya perasaan, mulutnya orang itu benar jahat banget.Aku hanya menghela napas."Ibu tumben ke pasar? Biasanya juga beli sayur di Mbok Min," tanyaku heran."Nggak apa-apa tadi pagi tiba-tiba pengin aja jalan ke pasar beli bubur ayam yang di deket pasar itu, eh jadi sekalian belanja. Bener aja taunya kamu datang, jadi deh nanti kita masak untuk makan sama-sama
"Dia orangnya yang selama ini kirim-kirim barang ke rumah kita," ucap Raka datar.Aku melirik tajam pada laki-laki yang duduk tak jauh dari Raka."Aku nggak nyangka kamu orangnya? Maksud kamu apa kirim-kirim barang-barang ke aku? Arya!"Arya bungkam. Ya ternyata dugaanku salah, bukan Billy tapi Arya. Sekilas postur tubuh mereka sangat mirip, hampir sama, apalagi ketika terekam dalam cctv meletakkan barang dia memakai topi, jadi tak kelihatan wajahnya."Ya. Maaf, aku hanya ....""Hanya apa?!" sentak Raka."Hanya ingin memberi saja.""Memberi sesuatu atau barang pada istri orang?! Kayak nggak ada cewek lain aja Lu!" bentak Raka lagi, membuat Arya tertunduk dalam."Seperti apapun hubungan aku dan Amira, dia tetap istriku, sah di mata hukum dan agama, kamu nggak berhak memberi suatu apapun padanya tanpa seizinku! Dia tanggung jawabku!" ucap Raka berapi-api, dengan wajah memerah."Maafkan aku Bro.""Maaf jika yang aku lakukan membuatmu marah," imbuh Arya lagi.Raka membuang pandangan."K
Setelah hari itu tak ada lagi kiriman paket yang datang, hidup kami jauh lebih baik, lebih tenang, semuanya telah kembali berjalan normal, aku pun sudah tak pernah bertemu dengan Billy lagi. Ya semoga saja tak bertemu dia lagi untuk selamanya, itu jauh lebih baik. Aku ingin menjalani hidupku bersama Raka dengan tenang.Soal Arya, aku dengar beberapa hari setelah kejadian itu, Arya meminta langsung pada Ayah untuk fokus di kantor cabang yang ada di Bandung. Ayah pun menyetujuinya, karena memang kehadiran Arya di sana sangat dibutuhkan untuk pembangunan dan kemajuan perusahaan baru itu.Tapi aku dan Raka merasa itu hanya alasan Arya saja untuk menghindari bertemu dengan Raka. Mungkin memang sebaiknya begitu. Walau dia teman baik, tapi jika sudah ada konflik apalagi masalah cinta tentu saja hubungan mereka tak lagi bisa sebaik dulu."Apa yang sedang kau pikirkan Sayang?" tanya Raka malam ini sebelum beranjak tidur."Tidak ada.""Kau yakin? Atau ada yang ingin kamu sampaikan?"Aku mengg
Tespek yang kedua juga sama, menunjukkan garis dua. Jantungku berpacu lebih cepat antara percaya dan tidak. Benarkah ini aku hamil? Aku bermonolog sendiri.Masih ada sisa tespek satu lagi, aku langsung gunakan lagi untuk mengeceknya. Ternyata memang ada dua garis dua di sana. Seketika rasa bahagia membuncah di dalam dada."Alhamdulillah, ya Allah, terimakasih!" Lagi-lagi Aku bermonolog sendiri, menangis haru, akhirnya Allah kabulkan doa-doaku. Air mata tak terbendung lagi, aku yang masih duduk di atas closet yang tertutup, segera bangkit, cepat-cepat kuseka air mataku.Sebentar lagi jam makan siang tiba, Aku akan langsung datang ke kantor Raka untuk memberitahunya langsung. Ya, aku yakin dia akan sangat senang mendengar berita ini.Cepat-cepat aku bersiap untuk ke kantornya sekarang. Aku mengenakan dress berwarna biru garis-garis dan legging hitam, pasmina hitam. Lalu menyambar kunci motor yang tergeletak di atas meja.Namun seketika aku sadar, kehamilan ini sangat begitu kami harapka
Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me
Bibirnya pucat, dengan beberapa selang tertempel di tubuhnya. Aku menatapnya dengan hati teriris nyeri.Kenapa bukan aku saja yang ada diposisi ini Amira? Dia sudah koma lebih dari satu minggu lamanya. Kini aku sudah bisa mengunjunginya ke ruang ICU meski masih menggunakan kursi roda. Dan belum bisa berdiri, untuk duduk saja rasanya masih kaku dan sakit.Tapi aku berusaha untuk menahan sakitnya demi bisa menemui istriku yang masih terbaring koma di ICU. Sakitnya raga ini tak sebanding dengan sakitnya rasa di dada melihat orang yang kita cintai terbaring lemah tak berdaya.Aku genggam erat jemarinya yang lembut, kubisikkan kata-kata cinta, dan penuh semangat. Aku yakin di alam bawah sadarnya dia pasti bisa mendengarku.Aku ingin dia tahu, aku akan selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun."Sayang, sudah cukup lama kamu tidurnya. Sekarang kamu harus bangun. Kamu bilang kita akan sama-sama menjaga anak kita, makanya kamu harus bangun, kamu harus sehat, karena hanya beberapa bulan l
Aku membuka mata perlahan, rasanya tubuhku ngilu, sakit semua. Baru kusadari aku berada di sebuah ruangan dengan selang infus sudah terpasang di punggungku tanganku.Astaghfirullah, Amira dimana? Apa dia baik-baik saja. Begitu aku tersadar, orang pertama yang aku cari adalah Amira. Mengingat saat kejadian kecelakaan itu, kondisi Amira sepertinya lebih parah dariku.Aku menoleh ke kanan dan kiri, aku hanya sendirian. Ya Tuhan bagaimana keadaan istriku? Apa dia baik-baik saja? Juga bayi dalam kandungannya. Apakah dia baik-baik saja?Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku takut kehilangan mereka berdua. Aku tak 'kan memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada kalian! Air mataku lolos begitu saja. Baru kali ini aku merasa sangat takut kehilangan seseorang dalam hidupku.Ini salahku kurang hati-hati di jalan. Aku harus cari Amira.Aaaaagh!Aku berusaha untuk duduk tapi ternyata pinggangku rasanya sakit sekali. Kepalaku juga di perban.Akhirny
"Apa kau mau tetap tinggal di sini?" tanyaku padanya seraya memiringkan tubuhku, lalu mengelus perutnya. Entah mengapa sekarang aku jadi suka rela mengelus perutnya, merasakan ada calon penerusku di dalam rahimnya."Memangnya boleh aku tetap tinggal di sini?""Ya boleh saja, aku akan ikut tinggal di sini.""Lalu kerjaanmu?""Ya aku akan cari kerjaan lain di sini.""Aku rasa itu nggak mungkin Mas. Mengingat kamu adalah calon penerus perusahaan Papa.""Ya mau gimana lagi, kalau istriku maunya di sini. Masak aku di sana sendirian. Aku nggak akan kuat LDR-an sama kamu." Aku menggenggam jemari tangannya lalu mengecupnya lembut."Memangnya kamu maunya kita berjauhan lagi seperti kemarin?" tanyaku padanya. Ia hanya menggeleng.Pelan aku menarik tangannya hingga membuat tubuhnya mendekat dan semakin dekat. Kedua netra kami beradu, dan dalam hitungan detik aku mendarat sebuah civman di bibirnya yang ranum. Aku begitu merindukan bibir merah muda itu.Cukup lama kami di posisi ini, seakan salin