“A-apa maksudmu, Shanum?”Rasyid terlihat sedikit gugup. Sebab, ucapan Shanum membuat Rasyid merasa tertangkap basah. “Entahlah, Buby. Aku tiba-tiba saja terpikir akan hal itu. Entah kenapa, aku merasa, ada sebuah badai besar yang akan datang dan mengusik rumah tangga kita. Dan, a-aku sangat takut.” suara Shanum terdengar bergetar. Air matanya luruh begitu saja.Dengan sigap, Rasyid membawa Shanum ke dalam pelukannya. “Sssttt, sudah. Tenanglah. Jangan di pikirkan lagi. Itu hanyalah pemikiran burukmu, dan itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.” Rasyid terus mengusap punggung Shanum yang bergetar.Melihat itu, Ummi Zulaikha langsung memutar bola matanya. Baginya, Shanum itu wanita yang terlalu banyak membuat drama. “Cih! Ternyata, dia hanya sedang mencari perhatian Rasyid,” Ummi Zulaikha menggerutu dalam hati.Setelah kejadian itu, Selama beberapa hari ini Rasyid terus bersikap manis pada Shanum. Kata-kata dan perilakunya menjadi sangat manis. Hati Shanum sampai tidak bisa berhent
POV UMMI ZULAIKHA Ancaman Rasyid untuk pergi ke Uzbekistan membuat Aku terpaksa mengakui perbuatanku yang telah memfitnah Shanum.Karena ancaman itu pula Aku sampai memohon pada wanita rendahan itu agar dia mau memaafkanku. Aku tidak bisa terima ini!Semenjak Shanum hadir di antara Aku dan Rasyid, anakku itu jadi sering melawan diriku, dan sekarang, dia sudah berani mengancamku dengan menggunakan rasa traumaku di negara Uzbekistan.Di negara itu aku mengalami peristiwa yang sangat menyedihkan. Suamiku terbunuh di sana akibat dari aksi para teroris yang menyerang ulama-ulama yang ada di sana. Para teroris itu seolah tidak punya hati. Acara majelis ta'lim yang di pimpin oleh suamiku di obrak-abrik oleh mereka. Para teroris itu menembak, menusuk, dan melempari orang-orang yang ada di majelis dengan batu.Para teroris itu berasal dari salah satu sekte yang berada di sana. Mereka memiliki tujuan untuk menjayakan aliran sekte mereka dan memusnahkan agama Islam yang menjadi mayoritas di
Sepanjang perjalanan, Aku terus menjelaskan pada Zulfah bagaimana Rasyid bisa menikah dengan wanita rendahan itu. Ekspresi wajahnya terlihat sangat terkejut saat mendengar ceritaku.“Benarkah ceritanya seperti itu? Kenapa cerita yang di berikan Rasyid berbeda?” tanyanya dengan ragu. Aku pun turut kebingungan mendengarnya, dahiku mengkerut. “Memang apa yang di ceritakan Rasyid?” aku balik bertanya.Gadis itu pun bercerita bagaimana dia dan Rasyid bertemu di kediaman Syekh Abdurrahman. Aku terkejut saat mendengar cerita yang di berikan Rasyid sangat jauh berbeda dari kenyataannya. Aku tidak habis pikir, apa pria itu sudah sangat mencintai Shanum sampai dia tidak mau menceritakan yang sebenarnya tentang Shanum?Jika iya, ini bisa menjadi masalah bagiku. Aku kan kesulitan mendekatkan Rasyid dan Zulfah. Tapi ternyata, dugaanku salah. Saat Aku datang bersama dengan Zulfa, mata Rasyid tidak bisa berpaling dari paras Zulfah.Ada sebuah binar di mata Rasyid. Memang tidak terlalu terlihat.
POV SHANUMMataku seketika berembun saat Rasyid membentakku. Kenapa dia seperti itu? Apakah salah jika aku merasa cemburu pada Zulfah? Entahlah, mungkin aku juga yang berlebihan. Tapi, sejak awal melihat Zulfah dan sikapnya, aku selalu merasa tidak nyaman.Bayangkan saja, siapa yang bisa nyaman saat ada seorang wanita yang begitu ramah pada suamimu sendiri, tapi, sangat ketus pada dirimu? Apa kau masih bisa berpikir positif pada perempuan itu? Jika iya, kamu bukan hanya naif tetapi juga bodoh!Dengan wajah tertekuk aku keluar dari kamar kecil itu, membuntuti Rasyid yang sudah berjalan lebih dulu. Mataku seketika mendelik saat melihat Zulfah tiba-tiba mengusap bahu suamiku. “Ada debu di bajumu,” katanya sambil tersenyum. Cih! Terlihat sekali dia sedang mencari perhatian suamiku.“Ekhem! Jadi, sekarang udah boleh ya, Kyai, pegang-pegang yang mahram?” aku bertanya sambil menekankan nada bicaraku. Mataku dengan mata Zulfah saling melirik sinis. “Cih! Kau mantan lacur lebih baik sad
Mataku melebar mendengar ucapannya. “Kau bercanda, kan?” tanyaku, tidak percaya. “Untuk apa aku bercanda? Kita bisa melakukannya sekarang di hadapan tukang kebun jika kau mau,” jawabnya dengan ekspresi yang sangat meyakinkan.Secara refleks aku menampar pipinya. Tidak terlalu keras, tapi, bunyinya cukup nyaring. “Jangan gila, Buby!”aku sedikit menambah intonasi suaraku. Rasyid hanya diam sambil terus menatapku dengan senyumannya. Aneh memang, dia bahkan tidak menggubris tamparan kecil yang aku berikan tadi.Namun, di tatap seintens itu olehnya, membuat aku malu sendiri. “Sudah ah, Buby. Jangan menatapku seperti itu terus,” kataku dengan suara sedikit mendayu. Pipiku terasa panas. Entahlah, mungkin wajahku sudah berubah seperti tomat.Tiba-tiba saja Rasyid terkekeh. “Kamu itu lucu sekali, kamu sendiri yang mengatakan hal itu pada Zulfah, tapi, saat aku benar-benar memintanya, kau malah menyebut aku gila,” katanya. Aku langsung berdecak sebal. “Jika di hadapan Zulfah itu berbeda, Bu
Mataku melebar sempurna mendengarnya tuduhannya. Ternyata, selain pengecut, Zulfah merupakan perempuan munafik. Suamiku bergerak cepat menggendong Ummi Zulaikha dan meletakkannya di atas ranjang. Lalu, dengan telaten suamiku melakukan pertolongan pertama pada dahi mertuaku.Sejauh ini, Rasyid belum bereaksi apapun terhadap tuduhan yang di lontarkan Zulfah. Manik birunya terlihat mengedar menatap kamar yang berantakan.Entah kenapa, aku pun hanya diam. Aku malah ikut mengedarkan pandanganku, padahal, seharusnya aku memberikan pembelaan diri karena sudah di tuduh oleh Zulfah. Tidak. Sebenarnya, aku ingin melihat bagaimana reaksi Rasyid. Pandangannya sempat menatap aku dan Zulfah secara bergantian. Setelahnya, dia kembali menunjukkan fokusnya pada Ummi Zulaikha. Namun,tatapan yang di berikannya tadi, seolah menyelidik aku dan Zulfah. Keheningan terjadi di antara kami bertiga.Zulfah masih setia berdiri di ambang pintu, dan aku pun sama. Aku masih duduk di tepi kasur sambil memandan
“Buby, apa itu benar?” tanyaku. Aku terus menatapnya, dengan maksud menuntut suamiku agar segera memberikan jawaban. Rasyid menatapku sejenak, lalu, membuang pandangannya sambil menghela nafas berat. “Sudahlah, hentikan pembahasan ini!” kata Rasyid. Nada bicaranya sedikit ketus. Dia langsung pergi dari kamar menyisakan perasaan yang berkecamuk dalam diriku. Tiba-tiba saja Zulfah berteriak, “Kenapa kau meminta Rasyid untuk menjadikan aku istri keduanya?! Aku tidak mau, Ummi!” Wow, cukup mengejutkan. Sebelumnya, Zulfah terlihat ketakutan setengah mati, dan sekarang, dia sudah berani memakai Ummi Zulaikha. Harus aku akui, gadis ini sudah tidak waras.“Cih! Kau tidak ingin menjadi yang kedua tapi menyukai pria beristri. Dasar gadis gila! Di mana otakmu itu?” sarkasku sambil menatap tajam ke arah Zulfah.Zulfah sudah terlihat marah. Ia siap melontarkan segala perkataan kasarnya. Namun, Ummi Zulaikha langsung memelototi Zulfah. Aku paham dengan isyarat mata mertuaku itu. Dia memberi
Aku sedang duduk di kursi taman belakang. Menghirup rakus udara yang ada di sana. Berusaha menetralkan hatiku yang tidak beraturan. Bulir-bulir air mataku terus menetes, mewakili berbagai kata yang tak sanggup terucap. Ucapan Rasyid sebelumnya bagai sebuah pisau yang menancap begitu dalam di hatiku. Cukup lama aku duduk di sini, dengan air mata yang terus mengalir. Mataku sudah terasa berat. Sepertinya, aku harus menghentikan tangisanku. Saat aku bangun dari dudukku, tiba-tiba saja kepalaku terasa berkunang. Semua pandangan menjadi kabur dan, perlahan, semuanya menjadi gelap bersamaan dengan jatuhnya keseimbangan kakiku. Samar-samar aku mendengar suara laki-laki yang memanggil namaku. Sepertinya itu Rasyid. Aku ingin membuka mataku, tapi, mataku ini terasa sangat berat. Entah sudah berapa lama mataku terpejam, tapi, saat aku membuka mata, aku sudah berada di kamar. Rasa pening kembali menyerang, namun, tidak senyeri sebelumnya. Pandanganku mengedar mengitari ruangan. Ada Rasyi
Sesuai apa yang di ucapkannya semalam, Rasyid sudah siap dengan mobilnya seusai sholat subuh. Sepertinya, dia masih sedikit marah padaku perihal ucapanku semalam. Memang, setelah sentakannya semalam, dia tidak mau mendengarkan perkataanku lagi dan meminta aku untuk segera tidur.“Berhati-hatilah di jalan, Rasyid,” ucap Tuan Abrahah sambil menepuk bahu suamiku. Sungguh sandiwara yang sempurna. Ingin sekali rasanya aku meneriaki semua niat busuknya di hadapan semua orang.Tapi, aku yakin tidak akan ada yang mempercayaiku. Yang ada aku hanya akan mendapatkan cibiran dari mertuaku dan amarah yang semakin besar dari suamiku. Setelah menutup bagasi mobilnya, Rasyid berjalan menghampiriku.Aku langsung mencium punggung tangannya saat dia menyodorkan tangannya padaku. Dia memelukku cukup lama, lalu berbisik, “Maafkan aku karena semalam telah membentakmu.”Kami mengendurkan pelukan kami. Aku menatapnya lalu mengangguk pelan. Saat dia tersenyum tipis, aku pun ikut tersenyum. Rasa kesal ya
Hari-hari berlalu, sangat terasa bagiku setiap detiknya saat Tuan Abrahah tinggal di sini bersamaku. Dia gila! Tuan Abrahah sangat gila! Dia berkali-kali berusaha mencelakai aku dan kandunganku.Tuan Abrahah seringkali membasahi lantai yang akan aku pijak dengan menggunakan minyak agar aku terpeleset dan jatuh, atau, sengaja mencampurkan bahan-bahan makanan yang dapat menggugurkan kandunganku.Untunglah aku memiliki suami yang sangat perhatian padaku. Semua siasat busuk Tuan Abrahah selalu di gagalkan oleh Rasyid. Saat aku hendak terjatuh karena memijak lantai yang licin, Rasyid dengan sigap menangkapku dan memarahi para asisten rumah tangga yang dia anggap kurang teliti dalam mengeringkan lantai.Begitupun saat Rasyid mengetahui jika ada bahan makanan yang membahayakan ibu hamil di makananku. Seluruh koki yang baru di sewa oleh Rasyid setelah mengetahui kehamilanku langsung di marahi habis-habisan bahkan di pecat. Padahal, ini bukan kesalahan mereka, tapi kesalahan dari kakaknya.
“Tidak! Rasyid!” aku berteriak. Ini memang sangat nekat. Tapi, lebih baik aku di marahi Rasyid dan menjadi bulan-bulanannya Ummi Zulaikha daripada harus melayani Tuan Abrahah. Tuan Abrahah panik seketika. Ia langsung membekap mulutku saat Rasyid mulai menggedor-gedor pintu. “Shanum? Kau kah itu yang berteriak? Tolong buka pintunya, Sayang.” kata Rasyid sambil terus menggedor pintu.Aku berusaha memberontak, tapi, tenaganya sangat kuat. “Dasar pelacur gila!” umpatnya padaku dengan suara berbisik sambil menyeret diriku bersembunyi di balik bak. Kamar mandi ini memang di sediakan untuk art di rumah ini. Itulah sebabnya tidak ada bathub di sini, melainkan sebuah bak yang terbuat dari semen dan di lapisi dengan keramik.Ukuran bak ini cukup untuk menyembunyikan aku dan Tuan Abrahah. Gedoran pintu terdengar semakin keras. “Shanum, jangan membuat aku cemas, cepat buka pintunya!” teriak Rasyid dari arah luar.Tuan Abrahah sedikit mengintip sambil terus memegangiku. Dari suara yang aku de
“Apa maksudmu, Bang?” tanya Rasyid pada Tuan Abrahah. Lelaki itu mengalir pandangannya dariku. Dia tersenyum pada Rasyid. “Ah, bukan apa-apa. Aku hanya bergurau,” jawabnya. Dia memang sedang berbicara dengan Rasyid, tapi, matanya selalu mengarah kepadaku.Di ruang tamu ini, ada beberapa orang yang wajahnya sangat asing bagiku, tapi, jika di perhatikan, Tuan Abrahah terlihat mirip dengan Rasyid. Ada dua orang perempuan seusiaku dan tiga orang perempuan seusia Ummi Zulaikha, juga ada tiga orang pria di sini, tiga pria itu terlihat sudah cukup berumur.Kami pun duduk di sofa yang sudah tersedia. Aku cukup terkejut saat melihat dua perempuan seusiaku itu duduk mengapit Tuan Abrahah, lalu, melingkarkan tangan mereka di kedua lengan lelaki itu.“Shanum, perkenalkan, mereka adalah kerabat almarhum Abi mertuamu yang baru sah warga negara Indonesia satu pekan yang lalu,” ucap Ummi Zulaikha padaku. Oh, shit! Jadi, Tuan Abrahah sudah menetap selama satu pekan di sini?Aku tersenyum singkat p
Kenapa orang itu bisa menghubungi Rasyid? Siapa dia? Apa hubungannya dengan Rasyid? Jika orang itu melihatku, itu bisa gawat! Pundakku tiba-tiba di tepuk. Aku yang masih ketakutan pun refleks berteriak keras. “Aaaa! To-tolong menjauh dariku!” teriakku yang refleks berjongkok memeluk lututku.“Hei, Shanum, ada apa? Ini aku,” suara Rasyid terdengar. Aku langsung mendongakkan kepalaku. Aku langsung bangkit dari dudukku sambil meraba tubuh Rasyid. Benar. Ini Rasyid. Tidak ada orang menakutkan itu di sini.“Ada apa?” tanya Rasyid lagi. Apakah aku harus memberitahunya? Tapi, bagaimana jika aku salah dengar? Tidak-tidak. Aku tidak salah dengar. Aku hapal betul bagaimana suaranya.“Shanum?” Rasyid memanggilku sambil mengusap pipiku. Aku yang semula memandang kosong kini beralih menatap manik birunya. Tatapannya yang teduh membuat hatiku sedikit tenang. “Ada apa, Sayang?”tanya Rasyid sekali lagi. “Ta-tadi ada yang menelfon,” jawabku sedikit terbata.Ekspresi Rasyid langsung menunjukkan b
Satu pekan telah berlalu. Selama itu, aku sadar bahwa hamil itu tidak enak. Setiap hari aku harus mengalami morning sicknees yang sangat menyiksa. Selama satu pekan itu, Rasyid pun menjadi tempat aku meluapkan emosiku. Aku sering memarahinya tanpa alasan, sering tiba-tiba merajuk. Dan Rasyid sendiri, dia selalu meladeni semua tingkahku dengan penuh kelembutan.Seperti sekarang ini, aku sedang marah pada Rasyid karena gagal membawakan aku bubur ayam langganan kami. Saat Rasyid kembali dengan tangan kosong, aku langsung menangis. Ya, aku akui semenjak hamil aku menjadi cengeng. Tangisanku bahkan belum berhenti sampai sekarang. “Berhenti menangis, Sayang. Aku bisa belikan di tempat lain, mau?” tawarnya. Aku menggeleng cepat. “Cuma mau yang di depan gang itu!” kesalku. “Di sana kan tutup, Sayang. Di tempat lain aja ya?” bujuknya lagi. “No! No! No!” ucapku sambil menggelengkan kepala dan menggerakkan jari telunjuk ke kanan dan ke kiri.“Mau bubur aja ribet! Banyak banget dramanya, h
Aku sedang duduk di kursi taman belakang. Menghirup rakus udara yang ada di sana. Berusaha menetralkan hatiku yang tidak beraturan. Bulir-bulir air mataku terus menetes, mewakili berbagai kata yang tak sanggup terucap. Ucapan Rasyid sebelumnya bagai sebuah pisau yang menancap begitu dalam di hatiku. Cukup lama aku duduk di sini, dengan air mata yang terus mengalir. Mataku sudah terasa berat. Sepertinya, aku harus menghentikan tangisanku. Saat aku bangun dari dudukku, tiba-tiba saja kepalaku terasa berkunang. Semua pandangan menjadi kabur dan, perlahan, semuanya menjadi gelap bersamaan dengan jatuhnya keseimbangan kakiku. Samar-samar aku mendengar suara laki-laki yang memanggil namaku. Sepertinya itu Rasyid. Aku ingin membuka mataku, tapi, mataku ini terasa sangat berat. Entah sudah berapa lama mataku terpejam, tapi, saat aku membuka mata, aku sudah berada di kamar. Rasa pening kembali menyerang, namun, tidak senyeri sebelumnya. Pandanganku mengedar mengitari ruangan. Ada Rasyi
“Buby, apa itu benar?” tanyaku. Aku terus menatapnya, dengan maksud menuntut suamiku agar segera memberikan jawaban. Rasyid menatapku sejenak, lalu, membuang pandangannya sambil menghela nafas berat. “Sudahlah, hentikan pembahasan ini!” kata Rasyid. Nada bicaranya sedikit ketus. Dia langsung pergi dari kamar menyisakan perasaan yang berkecamuk dalam diriku. Tiba-tiba saja Zulfah berteriak, “Kenapa kau meminta Rasyid untuk menjadikan aku istri keduanya?! Aku tidak mau, Ummi!” Wow, cukup mengejutkan. Sebelumnya, Zulfah terlihat ketakutan setengah mati, dan sekarang, dia sudah berani memakai Ummi Zulaikha. Harus aku akui, gadis ini sudah tidak waras.“Cih! Kau tidak ingin menjadi yang kedua tapi menyukai pria beristri. Dasar gadis gila! Di mana otakmu itu?” sarkasku sambil menatap tajam ke arah Zulfah.Zulfah sudah terlihat marah. Ia siap melontarkan segala perkataan kasarnya. Namun, Ummi Zulaikha langsung memelototi Zulfah. Aku paham dengan isyarat mata mertuaku itu. Dia memberi
Mataku melebar sempurna mendengarnya tuduhannya. Ternyata, selain pengecut, Zulfah merupakan perempuan munafik. Suamiku bergerak cepat menggendong Ummi Zulaikha dan meletakkannya di atas ranjang. Lalu, dengan telaten suamiku melakukan pertolongan pertama pada dahi mertuaku.Sejauh ini, Rasyid belum bereaksi apapun terhadap tuduhan yang di lontarkan Zulfah. Manik birunya terlihat mengedar menatap kamar yang berantakan.Entah kenapa, aku pun hanya diam. Aku malah ikut mengedarkan pandanganku, padahal, seharusnya aku memberikan pembelaan diri karena sudah di tuduh oleh Zulfah. Tidak. Sebenarnya, aku ingin melihat bagaimana reaksi Rasyid. Pandangannya sempat menatap aku dan Zulfah secara bergantian. Setelahnya, dia kembali menunjukkan fokusnya pada Ummi Zulaikha. Namun,tatapan yang di berikannya tadi, seolah menyelidik aku dan Zulfah. Keheningan terjadi di antara kami bertiga.Zulfah masih setia berdiri di ambang pintu, dan aku pun sama. Aku masih duduk di tepi kasur sambil memandan