"Cantik banget, badjingan.""Loh? Bas, kenapa nggak langsung masuk aja?"Suara lembut menyapa rungu Nala, padahal sudah terlihat jelas dari raut wajahnya kalau perempuan itu terkejut, tapi kenapa nada bicaranya tidak ikutan naik?Dari penglihatan Nala, wanita itu pembawaannya anggun, berbeda dengan dirinya yang awur-awuran. Bahkan, dari cara berpakaiannya pun berbanding terbalik dengannya. Dress selutut dengan rambut panjang tergerai indah, senyumannya pun tampak manis saat Bastian menyodorkan makanan yang tadi di belinya."Makasih, ya, Bas. Tadi bingung banget, kenapa malah dibawain sup ayam, emangnya sejak kapan aku makan itu." Kekehan pelan diujung kalimatnya langsung ditutup dengan kepalan tangannya, seperti tak akan membiarkan mulutnya terbuka lebar. Pembawaannya terluhat sangat lembut, bahkan saat menyingkirkan sesuatu yang menempel di pundah Bastian.Eh! Kenapa malah terpesona dengan perempuan itu, sih. Tidak boleh! Nala langsung menggelengkan kepalanya, meskipun memang berbeda
Bastian langsung meraih lengan Nala dengan kasar. "Kamu kurang ajar banget, Nala! Nggak diajarin sopan santun sama orang tua kamu, hah!" bentak Bastian dengan raut wajah penuh api amarah.Netra cokelat Nala perlahan-lahan mulai mengabur, kerongkongannya tiba-tiba terasa tercekat, dadanya sakit, dan nafasnya mulai terasa berat. Pandangan matanya tak lepas dari sorot mata yang menampakkan kilatan amarah di sana."Ayo! Sekarang kita pulang!" Tanpa ba bi bu lagi, Bastian langsung menarik kasar lengan Nala tanpa menghiraukan rintihan pelan dari Nala.Beberapa kali Nala hampir terjatuh kala kakinya tersandung oleh kakinya yang lain, namun Bastian masih kekeh menarik tangannya, menahan tubuh Nala agar tidak tumbang."Sak-it, O-om." Nala berusaha melepaskan cengkeraman tangan pria itu dari lengannya, namun semuanya berakhir sia-sia. Laki-laki itu sama sekali tak berniat melepaskan tangannya begitu saja.Sakit. Nala merasakan tubuhnya sakit, hati dan fisiknya sempurna sakitnya. Selama hidup di
"Nal-Nala?"Tok ... tok ... tokBastian mengetuk pintu kamarnya dengan pelan dan berhati-hati, rungunya terpasang dengan baik untuk mendengarkan setiap suara yang berasal dari dalam kamar. Memang benar ini kamarnya, namun selama lima hari ini ia terusir dari tempat ternyamannya dan harus mengungsi ke ruang tengah untuk menghabiskan malam setiap hari. Tak apa, sungguh ia tak kesal sama sekali, ini pantas untuknya."Nala, udah siang, kamu belum sarapan, makan dulu, ya?"Selama lima hari ini pula Bastian membawa semua pekerjaannya ke rumah. Sengaja agar ia tak jauh dari Nala, meskipun perempuan itu lebih sering pulang malam sekedar untuk menghindarinya. Sekali lagi tak apa, setidaknya ia selalu menghidangkan makanan agar Nala tak perlu repot-repot memasak. Bukan hanya itu saja, mencuci pakaian, mengurus semua perkerjaan rumah juga sudah tugasnya."Maaf, Nala. Saya buka pintunya, ya?" Rasa cemas terus menjalar dipikiran Bastian. Hari ini Nala bolos kuliah dan tak keluar sejak semalam, apa
"Hah?""Mulai sekarang panggil gue Sayang, Om!""Eh--" Bastian menggelengkan kepalanya. "Nal--""Iya, Mas Bas?"Aduh. Mendadak tubuh Bastian bergeridik ngeri mendengar panggilan Nala barusan. Gimana, ya bilangnya. Panggilan Nala barusan tuh kayak 'Mas' nya mengalun kayak cewek manja, sedangkan pada 'Bas' belakangnya kayak ada desisan selama 2 detik, fasih sekali ngomong 'S'Sialnya, panggilan Nala barusan malah terus berputar di otak Bastian layaknya kaset yang berulang kali diputar. Terngiang-ngiang.Bastian tersentak kaget kala merasakan lengannya digoyang pelan. "Ya, Mas Bas." Susah payah Bastian menenggak ludahnya melihat ekspresi Nala yang dibuat manja-manja gemas. Lalu mengerucutkan bibirnya beberapa senti kala yang diajak bicara tak kunjung memberi jawaban. "yah! Berati nggak niat minta maaf. Padahal ini tuh syatat biar dimaafin." Dihempaskan lengan besar itu sebelum membuang pandangan ke arah lain."Eh--Iya, boleh." Bastian langsung menarik pelan pundak Nala agar menatap ke ar
"Boleh, ya?" Nala mengerjabkan matanya pelan, terlihat begitu polos. "kan udah janji."GlekSusah payah Bastian menelan ludahnya sendiri, bahkan setelah tertelan pun rasanya ludahnya masih tersangkut di kerongkongan. Ia salah dan ini adalah satu cara untuk menebus kesalahannya, sial! Ia tak bisa menolaknya. Susah payah Bastian menganggukkan kepalanya. "I-iya."Menang, lagi-lagi Nala meraih kemenangannya. Dengan heboh ia langsung menendang selimut yang menutup tubuhnya dan Bastian ke sembarang arah, menatap dengan lapar area selangkangan Bastian. Yang ditatap pun lekas meraih bantal, hendak digunakan untuk menutupi objek pandangan Nala. Belum sempat bantal itu sampai ke area bawahnya, tangan Nala terlebih dahulu menepisnya dengan kasar hingga benda itu tergeletak di lantai. "Ish! Apa sih, Mas?""T-tapi kamu jangan agresif dong, Sayang. Kan Mas jadi takut."Aduh, Nala ingin tertawa kencang melihat wajah memelas Bastian. Buru-buru ia berdehem untuk menetralkan diri. "Iya udah, Sok atuh.
"Masak udah loyo sih, Mas?""Ini kamu lagi nantangin? Yakin sanggup?" tanya Bastian memastikan sebelum sampai pada tahap dua, Nala mengangguk yakin. "kamu beneran belum pernah gituan?"Nala mengangguk yakin. "Beneran. Selama ini nggak pernah gituan. Baru pertama kali juga lihat itu secara langsung. Btw, Pewpew-nya gemuk banget, panjang lagi."Tak menghiraukannya, Bastian lantas kembali membuka suara. "Kamu maunya yang kayak gimana? Hm? Jangan langsung ke inti, ya? Kita lakuin itu kalau nanti udah sama-sama siap. Hati aku, hati kamu, kita sama-sama siap untuk itu." Nala lekas melingkarkan tangannya pada leher Bastian, menyatukan kening hingga hidung keduanya bertabrakan.Suasana di dalam kamar terasa begitu hening, wajar saja karena memang sudah larut. Hembusan angin malam yang masuk ke dalam kamar melalui jendela yang tak tertutup rapat membuat Nala semakin mengeratkan pelukannya, mencari kehangatan dalam dekap.Bastian sendiri tak masalah melakukan ini, memang seharusnya sudah dilaku
"Emhh." Diletakkannya pulpen yang sejak tadi diapit jari jempol dan telunjuknya, matanya sudah mulai pusing melihat banyaknya tulisan di laptop-nya. Sudah hampir satu jam Nala mengerjakan tuganya, namun sekarang otaknya sudah menyerah, tak lagi mampu diajak berpikir. "capek. Ngapain ya biar nggak gabut?"Alunan musik K-pop menjadi teman setia Nala, bibirnya bergerak mengikuti lirik lagu yang mengalun. Bibir yang tadinya mengerucut itu mulai mengendur, membentuk senyuman tipis kala menatap lockscreen ponselnya, gambar siapa lagi kalau bukan laki-laki yang diakuinya sebagai 'Cowok halu gue'Jari lentik itu menari-nari diatas layar ponselnya, menggulir media sosial untuk mencari hiburan. Sampai pada akhirnya panggilan masuk dari suaminya menghentikan aktivitas tersebut. "Ehemm." Nala berdehem terlebih dahulu untuk menetralkan diri sebelum mengangkat panggilan tersebut. "iya, Mas?""Kamu sudah pulang?"Refleks Nala pun menganggukkan kepalanya meskipun yang diajak bicara tak dapat melihatn
Ceklek"Nal--" Langkah kaki dan gerakan bibir Bastian langsung terhenti kala netranya menangkap sosok Nala yang duduk di pinggiran ranjang menghadap ke arahnya. Senyumannya begitu lebar sampai-sampai Bastian sendiri ngeri melihatnya. "o-oh, kamu udah siap, ya?" Bastian menggaruk tengkuknya yang tak gatal, mendadak terasa canggung."Tumben dengerin musik rohani?" tanya Bastian. Tak salah pertanyaannya, karena selama tinggal seatap dengan Nala, ia tak pernah mendengarnya pula.Yang ditanya terkekeh pelan, sebelum tangannya terulur meraih ponsel dan mematikannya. "Biar berkah tau. Minta restu sama Tuhan."Ah, Bastian baru menyadari ada aroma yang begitu menenangkan menembus rongga hidungnya. Setelah ditelusuri sumbernya, ternyata dari tubuh sang puan. "Wangi banget kamu. Kayak mau ke mana aja.""Ya masak kudu bau apek, sih? Udah. Buruan mandi." Tanpa membalas lagi, Bastian pun bergegas menuju lemari dan mengeluarkan pakaian yang akan digunakannya nanti.Pandangan mata Nala tak pernah lep
Tiga tahun kemudian"Mas, gendongg." Rengek Saluna, bocah yang hampir menginjak usia pendidikan pertama itu merengek pada sang kakak, tangannya terbentang luas meminta agar segera digendong.Bastian dan Nala yang sama-sama menuruni anak tangga dan melihat tingkah putrinya itu hanya menggelengkan kepala. Kedekatan antara Adimas dan Saluna sudah bisa diibaratkan seperti lem, saling menempel, meskipun lebih tepatnya Saluna yang selalu ingin ikut dengan kakaknya.Merogoh ponselnya dalam saku celana, Nala pun mengambil potret buah hatinya itu. Dimana Saluna yang masih merentangkan tangannya, sementara Adimas sengaja menggoda adiknya. "Adek, kan udah gede. Berat kalau digendong, kasihan Mas-nya.""Aaaa. Adek mau digendong Mas." Tak terima ditegur begitu saja, bocah kecil ini melipat kedua tangannya di depan dada, persis seperti orang yang tengah merajuk. "Mas," panggil Saluna pada Adimas dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.Runtuh sudah pertahanan Adimas dalam misi mengganggu sang adi
Sesuai rencana, hari ini keluarga kecil Bastian dan Nala mengadakan liburan singkat. Dufan, adalah tempat yang dipilih keluarga kecil ini.Sepanjang perjalanan, Adimas kecil yang duduk di belakang lebih banyak diam, bahkan hanya sesekali saja menimpali pertanyaan yang Nala atau Bastian lontarkan, mungkin karena masih belum nyaman."Mas, nanti mau naik apa?" tanya Nala yang langsung menoleh ke belakang, terlihat antusias sekali mengajak bicara anak laki-lakinya ini.Si kecil yang tadinya fokus memandang ke arah luar jendela pun lekas menoleh ke arah Nala. "Terserah aja, Ma. Adek mau main apa?""Adek nanti naik yang puter-puter aja sama Mama. Nanti Mas main sama Papa, ya. Seneng-seneng, biasanya Mas kalau sama papa Garren naik apa?""Biasanya naik bumcars, Ma.""Oke. Nanti naik sama Papa." Sahut Bastian yang membuat percakapan ini berakhir.Sesampainya di lokasi tujuan, dengan sigap Bastian menggandeng tangan kecil Adimas disisi kanannya, sementara tangan kirinya dikenakan untuk menyang
Hari ini Bastian sudah kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Bastian sengaja memberi jeda untuk Adimas beradaptasi di rumah ini terlebih dahulu beberapa hari sebelum membiarkan anak kecil itu kembali beraktivitas di sekolah.Dibandingkan kemarin, hari ini Adimas lebih banyak makan. Mungkin lebih merasa nyaman berada di sini perlahan-lahan, meskipun tak jarang juga bocah kecil ini ragu-ragu bersuara atau lebih memilih memendam diri.Seperti saat ini, saat Nala tengah sibuk mengecek Saluna. Adimas kecil yang berada di samping tampak seperti ingin mrnawarkan bantuan, tapi tak berani bersuara."Mas Dimas, boleh minta tolong, nggak?""Boleh." Langsung saja anak kecil itu membalasnya dengan penuh semangat.Tak dapat Nala menyembunyikan senyuman tipisnya, terlebih dahulu ia mengusap sayang puncak kepala anak laki-lakinya. "Tolong ambilin pempers adek di sana, Mas." Nala menunjuk pada pojok ruangan. Dengan cepat Adimas langsung beranjak dari posisi duduknya dan setengah berlari menuju area
"Ren, lo pasti bisa, Ren. Percaya sama gue." Bastian mencengkeram pelan punggung tangan Garren. Mayakinkan laki-laki itu jika semuanya akan baik-baik saja.""Huwaaa. Pa, Papa ayo besok main, Pa. Pengen main bola." Suara isakan tangis terselip dalam rengekan anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu. Matanya memerah dengan air mata yang terus membasahi pipi tembamnya, ingusnya bahkan sudah meleber ke area pipi. "ayo, Pa, bangun. Kita pulang, nggak suka di sini." Tangan kecil itu terus berusaha mengguncang tubuh besar yang tengah berbaring di depannya ini.Bangunan rumah sakit menjadi tempat di mana do'a tulus sering dilangitkan dengan sepenuh hati, bahkan lebih tulus dan dalam dari pada di rumah ibadah sekalipun.Nala sendiri tak dapat menahan bendungan air matanya melihat anak kecil bernama Adimas itu terus merengek. Menarik tangan papanya, seakan ingin cepat membawa laki-laki itu pergi dari tempat ini.Melihat bagaimana reaksi anak semata wayangnya membuat Garren tertawa pelan, t
Sentuhan terakhir, Nala menambahkan bando manis untuk putri kecilnya. Disambut dengan gelak tawa dan tubuh mungil itu yang meronta-ronta, terlihat senang sekali."Nah, anak Mama udah cantik banget." Tak rela jika harus melewatkannya begitu saja, Nala langsung mencium wajah putrinya bertubi-tubi, gemas sekali rasanya. Tangannya langsung terulur untuk meraih kasar ponselnya di atas nakas, setiap momen harus diabadikan. Nala mengambil beberapa gambar mengemaskan Saluna, sebelum membawa gadis itu dalam gendongannya, mengajak foto bersama.Puas dengan banyak gambar yang berhasil diambilnya, Nala pun langsung meraih tas dan membawa putrinya pergi. Baru saja Dewa mengatakan sudah hampir sampai, Dina tak bisa menjemputnya karena berangkat bersama Argi. Terlalu mutar jauh jika menjemputnya terlebih dahulu.Timingnya pas sekali. Baru saja Nala selesai dengan menutup pintu, mobil putih itu berhenti tepat di depan rumahnya. Dengan senyuman lebar, Nala yang menggendong Saluna menghadap depan itupu
"Mbrrr hik hik hik.""Loh! Kok nyembur." Nala pura-pura kaget, melihat putri kecilnya yang menyemburkan air susu dimulutnya. Bukannya takut, gadis mungil ini justru tertawa lebar menunjukkan gusi lucunya sembari bertepuk tangan. Mamanya terlihat menggemaskan di matanya."Abmrrrr."Nala meletkkan putri kecilnya di atas ranjang, tak lupa memberikan mainan gigit-gigitan padanya. Langsung saja Saluna memainkannya, menggigit-gigitnya. Tak terasa gadis kecil ini akan segera memasuki fase pertumbuhan gigi.Tak berselang lama Bastian pun datang dengan handuk kecil di kepalanya, menggosok-gosoknya agar rambut basahnya lekas mengering.Melihat buah hatinya berbaring riang di atas ranjang membuat Bastian langsung melompat menyusul putrinya, melemparkan asal handuk kecil yang tadi dikenakannya. Tanpa permisi laki-laki beranak satu itupun langsung mencium wajah putri kecilnya bertubi-tubi. "Ih anak papa lagi apa, emesnya. Emesnya anak Papa. Mwah mwah mwah.""Hek hek." Bibir Saluna langsung mengeru
"Akhhh. Mas!" Pekik Nala yang merasakan sakit teramat, tangannya dengan ringan langsung menjambak surai tebal Bastian.Sakit, tapi Bastian sadar yang dirasakannya saat ini tak lebih sakit dari yang tengah dirasakan sang istri dalam memperjuangkan kelahiran buah hati yang diprediksi berjenis kelamin perempuan ini."Sayang, kamu pasti kuat. Sebentar lagi Adek bayi lahir, Sayang. Kita bisa lihat dia yang selama ini nendang-nendang terus." Berbagai kata penyemangat selalu Bastian lontarkan. Tangannya pun tak pernah lepas menggenggam tangan kecil istrinya."Oekkk ... oekkk ... Oekkk."Setelah penantian panjang mulai dari kontraksi, pembukaan, hingga proses lahiran yang begitu menyakitkan untuk Nala. Akhirnya suara tangisan menggelengar buah hatinya pun terdengar. Baik Bastian maupun Nala sendiri pada akhirnya bisa bernafas lega. Bukan hanya Nala saja yang bermandikan peluh, melainkan Bastian juga. Laki-laki ini tak kalah takutnya, dalam hatinya pun tak henti-hentinya merapalkan do'a untuk
Kurang lebih dua tahun ini Bastian benar-benar berada di samping Nala selalu, ia tak lagi mengambil project, hanya mengandalkan hasil dari studio miliknya. Tak terlalu banyak memang, tapi masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama ini.Entah berapa banyak Bastian menahan diri dan sesak selama ini, kala Nala sama sekali tak memberinya kepastian. Bahkan beberapa kali Nala berniat mengakhiri hidup, itulah titik paling menyakitkan dihidup Bastian. Sehancur itulah mental Nala. Beruntung, sedikit demi sedikit mental Nala mulai kembali pulih, meskipun masih belum menjadi Nala sepenuhnya."Hati-hati, Sayang." Bastian menyodorkan secangkir cokelat hangat yang langsung diterima oleh Nala.Mendudukkan bokongnya di samping sang puan, keduanya sama-sama menikmati suasana malam hari ini. Angin berhembus cukup kuat hingga membuat rambut keduanya tergerak-gerak, mengikuti arah pandang Nala, Bastian menyandarkan tubuhny pada sandaran kursi."Bagus banget ya bintangnya, banyak. Kesukaan
"Sayang." Bastian menatap nanar perempuan yang kini tengah duduk di kursi panjang dengan pandangan kosong, tak tau apa yang tengah menjadi objek penglihatannya.Sakit? Tentu saja hati Bastian terasa dicabik-cabik melihat kondisi istrinya yang seperti itu. Saat ini Nala lebih terlihat seperti raga tanpa jiwa, entah kemana menghilangnya jiwa itu.Tepukan pelan pada bahunya langsung membuat Bastian menoleh ke samping, terkejut melihat seseorang di sampingnya, buru-buru tangannya tergerak untuk menghapus bulir air matanya. Kemudian terkekeh pelan, tak ingin suasana menjadi canggung."Nggak apa, masih banyak waktu. Mbak Nala pasti bisa sembuh, perlahan-lahan.""Apa istriku masih bisa sembuh?" tanyanya mengingat hingga saat ini Nala masih sering bungkam, enggan mengatakan aapapun. Bahkan, beberapa kali perempuan itu juga menangis dalam diam, memukul-mukul kepalanya sendiri. Terlalu berisik, katanya.Dengan mantap laki-laki disamping itupun menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Lagi pula ini