"Cakra! Cakra!" ada panggilan melengking dari depan pintu kamar, membuat mereka berpandangan sejenak.
Cakra bergegas memakai baju dan membuka pintu, di luar Ibu mertua telah berdiri dengan berkacak pinggang dan mata melebar.
"Ngapain saja kamu jam segini baru bangun?" teriak sosok berwajah tak bersahabat itu. Lihatlah, baru saja satu hari pengantin itu melepas masa lajang. Bukan kesan terbaik yang diperlihatkan oleh Ibu mertua, melainkan sebaliknya.
Jika saja bukan Cakra, mungkin sudah memilih pergi sejak awal. Tak mau berada di satu atap yang sama dengan mertua super jahat. Namun, baginya tak ada pilihan lain, karena tak ada orang tua. Pun untuk mengontrak rumah sendiri, belum ada dana yang mencukupi.
"Iya, Buk. Maaf. saya akan segera beraktivitas," jawabnya sambil melenggang pergi, meninggalkan Ibu mertua dan istrinya yang saling berpandangan itu.
Cakra tiba di dapur, di sambut dengan beberapa pasang mata yang menatap angkuh padanya. Mereka duduk mengitari meja makan kosong, entah apa yang sedang dilakukan keluarga itu.
Cakra awalnya tak ingin peduli, ia berjalan melewati setelah membungkukkan badan tanda penghormatan.
"Cakra!" suara berat Pak Moko membuat langkahnya terhenti. Lalu menoleh, bersitatap dengan sosok sangar. Menatap tajam ke arahnya.
"Dari mana saja kamu?" tanya Pak Moko lagi, membuat Cakra menggeleng tak habis pikir. Apa semua orang di rumah ini tak suka dengan aktifitas pengantin baru?
"Dia itu mau enak-enakan di rumah ini, Pak. Mentang-mentang pengantin baru, seenaknya saja!" Bu Moko yang baru datang bersama Mega pun turut bersuara sebelum ia menempatkan dirinya di antara yang lain. Cakra bergeming, memilih untuk tak menanggapi.
"Kenapa malah diam di situ? Kamu tau, kan? meja makan ini kosong. Sudah waktunya kami semua sarapan pagi," celetuk Bu Moko lagi. Dan anehnya, tak ada pembelaan sama sekali dari Mega untuk suaminya. Layaknya istri-istri pada umumnya, yang akan selalu membela suami di depan orangtuanya.
"Iya, Buk. Saya akan masak sekarang," Cakra menjawab tenang, lalu kembali mengayunkan kaki menuju dapur yang hanya di sekat dengan kayu membentuk patang aring.
"Nasi sudah ada. Bikin nasi goreng saja biar cepet!" suara perintah lagi dari Bu Moko, terdengar lantang hingga menggema di seluruh ruangan itu.
"Iya, Buk," jawabnya. Lantas mengerjakan secepat mungkin yang ia bisa, karena hari ini ada jadwal mengajar pagi. Beruntung, ia punya pengalaman segudang dengan aktivitas di dapur seperti itu. Jadi jika hanya perintah seperti ini saja, ia akan dengan mudah mengerjakannya.
Hingga beberapa saat, tujuh piring nasi goreng telah siap. tanpa dibantu oleh siapapun, Cakra membawa piring-piring itu menuju meja makan. Layaknya pelayan restoran, ia harus dua kali berbolak-balik. Yang terakhir adalah piringnya sendiri, menyusul duduk di dekat sang istri yang telah lahap menikmati sarapannya.
"Cakra, memang kamu nggak kerja?" Ia menghentikan sendok, menatap sosok di depan yang berperawakan tinggi dan nampak masih muda. Ia lantas menyimpulkan bahwa Itulah menantu Pak Moko yang pertama. Yang katanya kaya raya itu.
"Kerja, Mas. Habis sarapan nanti saya berangkat," Cakra menyahut.
"Memang kamu kerja di mana? Kok dekil begitu?" lelaki itu menyindir dengan tersenyum miring.
"Saya ngajar di SMP, Mas," jawab Cakra santun. Yang bertanya tadi mengernyit, mungkin tak percaya bila orang yang hendak di hinakan itu seorang guru.
"Guru negeri?"
Cakra menggeleng, "bukan, Mas. Masih sukuan," mendengar jawaban itu, sontak membuat lelaki tadi tergelak hingga kedua bahunya berguncang.
"Guru sukuan itu gajinya berapa, sih?" kini, gantian kakak pertama Mega yang ikut bicara. Seperti tak ada artinya guru sukuan bagi mereka. Karena yang terpenting adalah gaji, bukan lainnya. Seperti halnya menantu pertama di rumah itu, yang katanya bergaji besar.
"Kami, para guru sukuan memang tidak punya gaji besar, Mbak. karena kami bekerja dengan rasa ikhlas, dan gaji trbesar kami adalah rasa puas dan bangga ketika melihat anak didik memiliki prestasi bagus."
Dengan jawaban itu, sontak membuat seluruh orang di meja makan itu tertawa terbahak-bahak, kecuali Mega yang selalu diam saja. Sementara Cakra yang baru saja selesai bicara itu mengernyit, melihat mereka yang belum selesai dari gelak tawanya.
"Eh, memang kamu pikir hidup itu cukup dengan ikhlas dan puas? Memangnya anak istrimu nanti bisa kenyang, hanya dengan dua kata yang kamu bangga-banggakan itu, hah?" menantu pertama menegaskan, lalu kembali di susul dengan gelak tawa semakin riuh dari sebelumnya.
"Dasar menantu tidak berguna. Dia pasti bisanya cuma numpang hidup, dan merepotkan kita saja," Nyonya besar di rumah itu berkata pedas, membuat sebagian kepala Cakra terasa panas. Dan Mega, nampak memainkan sendoknya dengan pegangan erat, entah apa maksudnya.
"Maaf, Buk. Saya janji tidak akan selamanya tinggal di sini, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa memiliki rumah sendiri," Cakra menyahut penuh keyakinan, tetapi mereka semua saling menatap dan kembali tersenyum miring. Seperti tak percaya begitu saja dengan omongan tadi.
"Omong kosong macam apa, itu? Kamu yakin, bisa membuat rumah sendiri dengan gajimu yang di bawah lima ratus ratus ribu itu?" Ibu mertua bertanya sambil mencebik. Tak percaya begitu saja dengan yang diucapkan Cakra tadi.
Sedangkan dalam hati, Cakra ingin berucap 'bukankah menantu pertama yang katanya kaya raya itu masih tinggal bersama di rumah itu? Mengapa tidak dipermasalahkan? Apa karena gajinya besar?' namun hendak mengucapkannya, ia tidak sampai hati. Tak ingin di cap lancang sebagai orang baru di rumah besar itu.
"Mas Cakra. Yang penting, kamu tiap hari bisa ngantar aku ke kampus. Juga ngasih uang jajan, tiap hari. Itu adalah syarat pertama yang harus kamu lakukan sebagai kakak iparku!" anak bungsu di keluarga itu turut berbicara. Kalimatnya tidak sopan, sama sekali tak mencerminkan seseorang yang sedang menimba ilmu di perguruan tinggi.
Sebagai tiga bersaudara yang semuanya perempuan, anak Pak Moko memang sudah dibekali dengan pemikiran uang dan uang. Mereka menilai seseorang dari uang dipunya. Jika tak ada uang, maka mereka akan menganggapnya sebagai orang tak berguna. Layaknya pembantu yang bisa disuruh mengerjakan apapun.
"Lintang benar. Tugas pertamamu di rumah adalah mengantar jemput dia, serta ngasih uang jajan rutin," kata Pak Moko. Tegas, tak mau dibantah. Meski dalam hati Cakra masih bertanya, sebenarnya di rumah itu posisinya sebagai apa? Menantu atau pembantu?
"Satu lagi, Pak. Kalo suamiku lagi nggak ada di rumah, dia juga harus siap antar jemput aku!" anak pertama di rumah itu tak mau kalah. telah telah berapa lama mereka menikah, dan belum juga memiliki seorang anak.
"Iya. Itu juga tugasmu!" Pak Moko membenarkan. Tak ada jawaban dari yang lain, mereka semua sibuk dengan piring masing-masing. Hingga nasi goreng itu berpindah ke dalam perut mereka.
Cakra menumpuk piring dan gelas kotor yang berserakan di atas meja, membawanya ke dapur untuk dicuci sekarang juga. ia takut jika hari ini ada pelajaran tambahan bagi murid-muridnya nanti.
Usai mencuci piring, ia bergegas kedalam kamar. Bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ia harus berangkat lebih awal, karena dari rumah itu, cukup jauh jarak tempuhnya menuju sekolah.
Cakra mematut diri di depan cermin, memakai kemeja berlengan panjang berwarna biru cerah, dengan bawahan celana kain berwarna gelap. Dipadu dengan sepatu pantofel yang sudah tak baru lagi, tetapi masih bisa dipakai.
Ia terkesiap, ketika tiba-tiba mega sudah berdiri di belakangnya. Cakra menoleh, mengulas senyum pada gadis berwajah dingin itu.
"Mega, hari ini aku mau berangkat ke sekolah, ya. kerjaku adalah sebagai pengajar sukuan di salah satu SMP. Memang gajinya nggak besar, tapi jika kita bersyukur, semua aman terkendali," Entah ada dorongan apa, ia mengatakan hal itu pada istrinya. Yang ia pun belum tau, sebenarnya Mega menerima atau tidak perjodohan itu?
"Mas Cakra! Mau nggak sih, ngantar aku?"
***
"Mega, hari ini aku mau berangkat ke sekolah, ya. kerjaku adalah sebagai pengajar sukuan di salah satu SMP. Memang gajinya nggak besar, tapi jika kita bersyukur, semua aman terkendali," Entah ada dorongan apa, ia mengatakan hal itu pada istrinya. Yang ia pun belum tau, sebenarnya mega menerima atau tidak perjodohan itu?"Mas Cakra! Mau nggak sih, ngantar aku?" Suara Lintang, berteriak memekakkan telinga di depan pintu kamar Mega. Mereka berdua yang masih berada di dalam kamar tersentak, sambil menggeleng tak habis pikir.Ketika Cakra membuka pintu, pemandangan yang dilihat adalah wajah galak tiruan Ibu mertua. Melotot lebar dengan raut muka penuh tuntutan."Ini sudah siang, Mas. Buruan, ayo berangkat!" Pekiknya lagi, tanpa ada sopan santun sedikitpun."Iya, bentar aku ambil tas dulu," Ucap Cakra santai. Ia kembali mendekati Mega untuk mengambil tas yang masih berada di dekat sofa sejak
"Pagi, Pak ganteng!" Salah satu orang berseragam itu menyapa dengan cengengesan. Sapaan yang tersemat padanya, semenjak Cakra bekerja di sekolahan itu.Ia hanya melempar senyum sekilas, lalu memajukan motor menuju tempat parkir. Menghentikan motor di samping mobil yang tak asing lagi baginya. Ia menyipitkan mata, ketika pemilik mobil itu menurunkan kaca jendelanya. Menampilkan wajah tersenyum menyeringai."Mas Bima?" Cakra bergumam lirih, tatapannya masih belum beralih dari sosok yang yang perlahan membuka pintu mobil dan keluar, membawa wajah dengan dagu terangkat. Sombong. Apalagi ketika bertemu pandang dengan Cakra, hanya menatap sambil menyedekapkan kedua tangan."Kamu kenapa? Melihatku seperti melihat hantu saja," Bima bersuara, sedikit membuat Cakra menelan saliva, bertanya dalam hati. Mengapa bisa bertemu dengan saudara ipar di sini?"Ah, tidak Mas. Mas ngapain disini?" Cak
"Oh, itu dia," Pak Hendra beranjak. Menyambut tamu yang ditunggu sejak tadi. Seperti tamu agung saja, pak kepala sekolah itu menyambut Bima dengan senyuman hangat."Mari, Pak. Silahkan duduk, kita bicara di sini saja nggak apa-apa, kan?""Baik," Jawab Bima tegas, lalu pandangannya beralih ke arah Cakra yang duduk tak jauh dari mereka, "Oh. Ada Pak Cakra juga, rupanya?"Sementara yang disapa hanya bergeming, Pak Hendra berdehem kecil. Membuat Bima terkesiap, kembali pada posisinya yang tadi."Benar, Pak Bima. Ini Pak Cakra, belum ada setahun beliau ikut mengajar di sini. Bapak kenal juga?" Terang Pak Hendra."Bukan hanya kenal, Pak Hendra. Kami sekarang tinggal satu atap," Bima menyahut tanpa peduli bagaimana reaksi wajah Cakra yang mulai berubah tak nyaman."Satu atap?" Suara Pak Hendra, tentu saja pria penuh wibawa itu penasaran. Karena yang ia tahu, selama ini Cakra tinggal di rumah pamannya yang
"Namanya Cakra. Dia pengajar di salah satu SMP negeri di kota ini," celoteh Bu Moko, benar-benar membuat Cakra tak habis pikir. Mengapa bisa mendadak berubah baik? Tanyanya dalam hati."Wah, seorang guru berarti?""Benar sekali, Pak.""Hebat sekali, ya. Guru itu pekerjaan mulia lho, Pak. Buk," komentar salah satu dari mereka, diiringi anggukan bangga oleh yang lain. Dengan suara itu, Bu Moko semakin tersenyum lebar. Ia pun menatap bangga pada menantu yang baru kemarin resmi menjadi suami Mega."Cakra, kebetulan tamu kita ini belum dibuatkan minuman. Ibu bisa minta tolong, kan?" Tanya Bu Moko pada Cakra yang masih berfikir. Ia lantas mengangguk saja menyetujui permintaan ibu mertua itu."Iya, bukan. Kalo begitu saya permisi ke belakang dulu,""Iya iya. Silahkan,"Cakra berjalan lebih dulu ke kamarnya, dengan perasaan penuh tanya. Hari ini aneh sekali, mertua yang sebelumnya bersikap kasar, kini telah berubah baik. i
L"Bagaimana pekerjaan kamu hari ini, Bima?" Tanya Pak Moko di sela-selanya mengunyah makanan."Bagus, Pak. Tadi aku juga sempat mampir ke beberapa sekolah yang ku bantu tiap bulan," Bima membanggakan dirinya."Bagus!""Aku juga baru tau, menantu baru di rumah ini, sebagian gajinya juga berasal dari bantuanku."Sontak semua orang berpandangan, fokus mereka terarah pada Cakra."Oh, iya? Berarti nggak salah Bapak memilih menantu sepertimu," pujian sang Bapak itu tentu saja membuat Bima melambung tinggi.Ia memamerkan senyum puas sambil mengangakat sebelah alisnya. Memandang cakra dengan tatapan meremehkan. Sementara yang dipandang itu memilih untuk tak mendengarnya hingga ke hati. Ia tetap sibuk dengan sendok dan garpu di tangan, seperti tak terjadi apapun."Emang siapa sih, istrinya? Aku gitu lho. Masa iya, kayak Mega itu, dapatnya laki-laki miskin. Punya kerjaan pun nggak ada keren-kerennya sama sekali," celetuk Mentari, anak p
"Memang posisimu apa? Sama seperti Mas Bima, kan?" Mega mencecar, entah apa maksudnya."Iya, tapi ada yang membedakan kami," Cakra menyahut dengan wajah penasaran. Apa gadis itu tidak tau alasan sesungguhnya mereka menikah? Ia hanya membatin."Karena pendapatan kalian berbeda?" Mega masih bertanya dengan tatapan menuntut. Sementara Cakra berhembus lirih, rupanya gadis itu belum tahu alasan sesungguhnya mereka menikah.Namun, ia tak sampai hati intuk menjelaskannya. Bagaimana jadinya bila Mega tahu semua itu, sementara dengan kondisi yang seperti itu? Cakra menggeleng cepat. Tak ingin mengatakannya sekarang. Gadis itu memang tidak boleh tau."Mungkin iya," Jawabnya. Lantas menunduk, Mega pun sama. Hingga beberapa saat mereka saling tertunduk tanpa kata. Sibuk mengeja perasaan masing-masing."Mega," Cakra bersuara. Memecah keheningan mereka malam itu. Di Tengah suasana sepi malam hari, semua orang di rumah
"Cakra!" Ia tersentak. Menoleh ke asal suara, di ambang pintu, rupanya Bu Moko telah berdiri di sana dengan wajahnya yang khas. Melorot tak bersahabat, apalagi dengan orang miskin seperti Cakra.Wanita itu berjalan mendekat, Lama-lama seperti monster yang siap menerkam mangsa. Bergidik Cakra melihatnya."Ngapain kamu tidur di sini? Bangun kesiangan, lagi!" Cetus suara wanita itu. Cakra yang belum usai rasa kagetnya pun harus bertambah, heran dengan pertanyaan itu."Maaf, bukan. Saya tadi malam ketiduran di sini," Jawab Cakra sekenanya, membuat mata Ibu mertuanya kian membulat."Kamu biarkan istrimu tidur sendirian di kamar sana?" Tanya Bu Moko dengan suara kencang."Katanya saya ini cuma pelayanan di rumah ini, Buk. Ya, saya merasa tidak pantas tidur satu kamar dengan Mbak Mega," Cakra masih menjawab enteng."Heh! Kamu itu sudah menjadi suaminya Mega.
Langkah mereka berhenti di depan taman pinggir pantai yang dikunjungi banyak orang. Apalagi akhir pekan seperti ini, banyak sekali pasangan keluarga bergerombol di sana. Menunggu anak-anak mereka berebut membeli cilok dan siomay."Mega, Cakra? Ngapain kalian di sini?" Keduanya terkejut, melihat segerombolan orang menatap aneh kepadanya."Ibuk?" Mereka bergumam. Keduanya melihat dengan mata membulat, ketika bu moko muncul dari celah-celah gerombolan orang itu. Menatap mereka dengan tatapan tajam menyala, seperti tak suka sama sekali Mega dan Cakra berada di tempat itu."Itu anakmu?" Salah satu dari teman-teman Bu Moko itu bertanya. Yang lain memandang remeh pada sosok sederhana di sebelah Mega."Iya," Bu Moko menjawab singkat."Itu suaminya, kayaknya orang miskin, deh?" Celetuk yang lain. Diiringi dengan anggukan kepala dari yang lain. Ucapan lirih mereka sama, "iya, tuh," Katanya."Iya,
"Baik, bi. Kami akan segera ke depan." Keduanya tak sabar ingin segera bertemu dengan tamu yang telah duduk anteng di salah satu sofa tinggal dengan wajah menunduk melihat gawainya. "Selamat pagi, Anggara?" Pemuda itu sontak berdiri, ketika mendengar pemilik rumah menyapanya. Anggara, setelah sekian tahun tak pernah bertemu, pemuda itu semakin terlihat dewasa dan tampan saja. Cakra bisa mengakui ketampanan adik sepupunya itu. Keduanya bersalaman, sejenak melupakan kejadian beberapa tahun silam. Toh, Angga juga sedang tak mengungkitnya. "Silahkan duduk," Pinta cakra. "Lama nggak ada kabar, hidupmu sekarang sudah berubah total, Mas?" Komentar Angga, cakra hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Kamu sekarang jadi orang kaya?" Suara Angga lagi, wajahnya masih menyapu sekeliling tanpa kedip. "Kerjamu sekarang apa, Mas? Apa sudah nggak jadi guru lagi?" Tanya Angga lagi, kali ini menghentikan pandangan matanya tepat pada wajah sepupunya. "Aku masih jadi guru, ngga. Cuma, pindah d
"Maaf, pak. Karena saya masih libur panjang, kami bermaksud untuk berbulan madu selama beberapa hari saja,"Mendengar permintaan ijin dari cakra itu, pak moko mengangkat sebelah alis sambil tersenyum miring. "Memangnya tempat menginap seperti apa yang bisa kamu sewa?" Ejek pak moko dengan suara datar, tanpa melihat ke arah lawan bicara. "Yang jelas, dia itu pasti cuma bisa nyewa kamar hotel dengan tarif paling rendah. Hotel Lima puluh ribu semalam, di pinggir jalan itu kan banyak," Bu moko menambahkan dengan antusiasnya. Membuat yang lain mengangguk-angguk membenarkannya. "Jadi gimana, pak? Kami diijinkan untuk pergi beberapa hari?" Tanya cakra lagi. Kali ini ia tak ingin peduli lagi dengan suara-suara yang hanya akan meruntuhkan mentalnya."Sudahlah terserah saja. Aku berikan ijin atau tidak, kalian pasti akan tetap nekat, kan?" Sindirnya. Cakra memilih tak Menanggapinya kali ini. Khawatir, makan pagi pertama pada pernikahan keduanya ini jadi berkesan buruk. Kali ini cakra tak in
"Apa? Kamu apa? Masih mau mengelak?" Cecar pak moko. Kali ini matanya semakin manatap tajam. "Cakra, cakra. Bisa-bisanya seorang guru, yang tiap hari kerjanya ngasih petuah bagus sama muridnya, ternyata seorang pencuri? Apa kamu nggak malu sama profesimu itu?" Kali ini Bima yang ikut bicara. Senyum sinisnya kian mengembang saja, seperti bersorak-sorai mendengar kabar bahwa adik iparnya seorang pencuri. Tentu saja Bima senang bukan kepalang, dengan begitu, posisinya sebagai menantu kesayangan tak akan pernah terganti. "Aku bukan pencuri!" Cakra menyahut geram. "Lalu apa?" Bima mengejar, cakra menahan nafas. Terlebih Mega, perempuan itu menggeleng tak habis pikir. Tiap kali cakra beraa di rumah itu, selalu saja jadi bahan pembicaraan. Jika saja jadi pembicaraan positif tak mengapa, ini justru hal negatif yang mereka bahas. "Aku bukan pencuri. Apa kalian pikir, aku ini bukan orang yang bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk?" Cakra masih membela diri. "Jaman sekarang ini, o
Pak moko memilih makan agak jauh dari yang lain, tetapi dua orang adiknya tadi tetap menyusul. "Iya, mas. Dari mana anak itu bisa beli mobil semahal ini?" Tanyanya lagi. Kali ini benar-benar membuat pak moko bernafas jengah. Bagaimana bisa memberikan jawaban yang ia sendiri saja tak tau asal muasalnya. "Aku juga nggak tau," Jawab pak moko cepat dan singkat. Membuat kedua adik perempuannya itu makin penasaran saja dibuatnya. "Nggak tau gimana sih, Mas? Kami tanya ini, aneh aja, kan? Dia cuma seorang guru negeri yang gajinya dibawah lima juta. Tapi, kenapa bisa ngasih kalian hadiah mahal begitu? Uang dari mana? Atau, Jangan-jangan dia nyolong?" Kalimat panjang dari sang adik itu, sontak membuat pak moko menoleh. Menghentikan kunyahan dan meletakkan sendoknya. "Kenapa kalian bisa bicara begitu?" Tanya pak moko membulatkan matanya. "Mas memangnya nggak merasa aneh? Kenapa cakra bisa membeli barang-barang mahal itu, sementara dia cuma orang miskin," Tanya salah satu adik pak moko den
Pesta pernikahan dengan mas kawin seperangkat perhiasan mewah itu, telah berlalu sekitar dua jam. Berdasarkan keinginan pak moko, pesta itu diadakan sederhana saja, mengingat pernikahan yang kedua kalinya bagi mereka. Padahal jika diijinkan, cakra bisa mengadakan pesta besar, yang belum pernah diadakan satupun oleh orang-orang di kota itu. Hanya saja ia tak ingin dipandang pamer atau cari perhatian. Akhirnya, cakra mengalah dan mengikuti aturan main Bapak mertuanya.Sore yang hampir petang itu, beberapa kerabat keluarga Sudarmoko masih berada di sana. Bercengkrama, adalah hal wajib bagi mereka. Kaum lelakinya membahas tentang bisnis, bagaimana agar bisa semakin berkembang pesat layaknya pembisnis legendaris yang hingga kini belum ada tandingannya. Tuan sanjaya. Sementara, kaum hawa membahas tentang fashion terbaru. Ponsel dan perhiasan mahal yang harus mereka beli, ketika yang lama sudah tak layak pakai. Sebagian besar, kerabat pak moko adalah pembisnis yang telah turun temurun sej
Plastik besar ia turunkan dari motor, ketika sudah tiba di depan pintu pagar. Ia membeliak, ketika melihat mobil pak moko berada di depannya. Wajahnya menoleh ke kanan kiri, tak ada siapapun. Tak ada tanda-tanda pemilik mobil itu berada di sekitar tempat itu. Cakra membawa motor memasuki pagar, rupanya pak moko dan anak perempuannya telah duduk di teras rumah. "Bapak?" Sapanya setengah tak percaya. Mengapa bisa orang kaya sombong itu datang ke rumah kos sempit seperti ini. Cakra mendekat, bergegas ia membuka kunci pintu dengan terlebih dahulu meletakkan plastiknya. "Mari, pak. Silahkan masuk," Ajak cakra pada kedua tamunya. Kedua orang yang duduk di lantai teras itu menyusul tanpa banyak tanya. Mereka mengikuti langkah cakra hingga ke ruang tamu sempit. Hingga cakra meletakkan bawaannya di atas meja, depan sofa tinggal di tengah-tengah ruang tamu itu. "Silahkan duduk. Maaf, tempat tinggal saya hanya seperti ini," Ucap cakra sambil melepas tas dan jaket kulit yang baru saja ia b
Sebenarnya, cakra tak kaget dengan nilai rumah itu. Yang hendak ia berikan justru lebih besar, sebuah mobil terbaru dengan harga dua milyar. Hanya saja saat ini barang mewah itu belum bisa datang. Ia hanya bisa menghela nafas berat. "Bagaimana, pak cakra yan terhormat?" Itu suara Prahara, memicing dengan senyuman menyeringai. Bersamaan dengan itu, ada sebuah mobil berhenti di depan rumah. Salah seorang keluar membawa beberapa Map dan memberikan pada cakra. Ia tersenyum lega. "Ini dari saya, pak." Ia mengulurkan sebuah struk pembelian. Pak moko menerimanya dengan ragu, netra setengah abad itu berkerut, mengamati tulisan nominal tak biasa di kertas itu. Bima yang ada di belakang mertuanya itu pun penasaran, ia ikut melongok, ingin melihat tulisan apa yang diberikan cakra tadi. Keduanya menoleh bersamaan, lantas Bima mengedikkan bahunya. Tak lama, pria yang lebih muda itu meraih kertas dari tangan sang mertua. Mungkin ingin memastikan kebenarannya. Mungkin ia mengira salah lihat, hi
[Dimana kamu? Mau menghindar, ya?] pesan yang membuat rasa kantuknya menghilang seketika. Berubah menjadi amarah luar biasa. Beberapa orang mungkin mengetahui perubahan itu, karena saling melihat ke arahnya dengan mata menyipit. [Aku masih ada rapat di sekolah] balasnya. Lalu mencari nomor pak Tejo, dan mengetik pesan untuknya. [Kirim mobilnya sekarang juga, Pak] tak lama, pesan terbalas. [Mas. Mobil yang mas cakra pesan baru saja meluncur dari pusat. Kemungkinan besok baru bisa sampai,] pesan dari pak Tejo, membuatnya membelalak seketika. Cakra menghembuskan nafas berat dan panjang, dengan tangan menyugar rambut. Kepalanya frustasi, tatapan matanya menyapu ke sembarang arah. Pada rekan-rekan guru yang mendadak menatap aneh ke arahnya. "Bagaimana, pak cakra?" Ia terhenyak mendengar suara pak waluyo barusan. Hampir saja tangannya menjatuhkan laptop menyala yang sejak tadi ada di depannya. Hanya saja berada di pinggir meja. "Eh, e, iya, pak?" Cakra tergagap, kembali mengundang tan
Ketika hendak keluar, betapa kagetnya cakra. Di kamar sebelah ada Bima, hampir saja berpapasan jika ia tak segera kembali masuk ke dalam. Ia berdiri di sana, menunggu Bima menyelesaikan aktivitasnya. Tok tok tok! "Siapa di dalam? Kayaknya tadi sudah keluar, kok masuk lagi?" Suara seseorang dari luar pintu membuat cakra kaget, haruskah ia keluar sekarang dan bertemu dengan Bima? "Siapa di dalam?" Suara itu terdengar lagi. Kali ini terpaksa ia membuka pintu perlahan-lahan. Memunculkan wajah dengan sangat pelan, benar-benar khawatir jika dirinya ketahuan saat ini juga. "Ada apa sih, Mas? Kayak habis ngelihat hantu aja," Celetuk seseorang membuat cakra terkejut. Kali ini tubuhnya telah berada di luar toilet. Ia bisa bernafas lega, karena toilet sebelah, pintunya telah terbuka lebar. Menandakan tak ada orang di dalam. Ia mengayunkan langkah dengan memasang mata awas, mengamati barisan kursi melingkar mengitari setiap meja. Banyak orang yang telah keluar, pak moko dan Bima pun juga