Hari beranjak malam. Kami sudah berada di Rumah Sakit. Naila juga belum sadar, belum melewati masa kritisnya. Untuk pertama kalinya ibu benar-benar mendekati Naila. Membelai rambut calon menantunya.“Naila, Cah Ayu, bangun nduk, ibu sudah ikhlas, bener-bener ikhlas Toni menikahimu, bangun Cah Ayu,” lirih ibu di dekat telinga Naila, tapi masih terdengar. Air mata kami semua yang menyaksikan berurai. Tak ada yang tak bersedih malam ini.Tak ada reaksi dari Naila. Ya, kami semua di sini, di rumah sakit ini, di ruangan ini juga, akan segera melangsungkan ijab qabul Toni dan Naila. Tak ada persiapan apapun. Semua tergesa-gesa yang penting sah secara agama. Untuk urusan negara akan menunggu Naila bangun. Itu permintaan Toni. “Kenapa kamu terburu-buru, Ton? Tidak menunggu Naila bangun?” tanyaku tadi waktu masih di rumah. Karena menurutku terlalu buru-buru.“Aku takut nyawa Naila pergi, aku takut Naila tak akan bangun lagi, aku takut nafas Naila akan berhenti, Mbak” jawab Toni tadi dengan su
“Cah Ayu, cucuku, bangun! Ya, Allah, ambil nyawaku saja yang sudah tua renta ini, jangan ambil nyawa cucuku, dia masih terlalu muda!” Ucapan Nenek Naila semakin membuat nyeri yang mendengarkannya. Semakin membuat hati yang sesak ini semakin sesak. Kulirik Mas Riko. Dia duduk di kursi yang tak jauh dari ranjang Naila bersama Yuda. Kami semua boleh masuk ke ruangan ini, karena memang ingin menyaksikan ijab qobul pernikahan Toni dan Naila. Kulihat Mas Riko beranjak dari kursinya. Mendekati papanya Naila. Mas Riko terlihat ragu ingin menepuk pundak papanya Naila. Tapi akhirnya tertepuk pelan juga.“Maaf, Pak, bisa kita mulai sekarang?” tanya Mas Riko pelan tapi masih terdengar. Papanya Naila mengangguk seraya mengusap air matanya.“Iya, bisa. Bisa kita mulai sekarang,” jawabnya terdengar mantap.Kami semua duduk di kursi yang sudah di siapkan. Di dekat tempat Naila berbaring, Toni dan papanya Naila berjabat tangan, mengikrarkan janji suci pernikahan. “Wahai Toni Maulana bin Hadi Kusumo
“Alhamdulillah kamu sadar juga, Dek,” ucap Mas Riko, saat mata ini mulai terbuka. Kumerasakan tangan ini ada yang menggenggam. Mas Riko dan Yuda yang menggenggam erat tanganku. Syukurlah, aku masih bisa melihat dua lelaki yang sangat aku cintai ini.“Aku kenapa, Mas?” tanyaku, masih dengan pandangan mata samar-samar.“Kamu tadi pingsan,” jawab Mas Riko pelan. “Gimana keadaan Naila, Mas?” tanyaku karena langsung mengingatnya.“Mas juga nggak tahu. Tapi, jangan pikirkan Naila dulu, ya, Naila sudah banyak yang jagain, pikirkan dulu kesehatanmu,” sahut Mas Riko. “Bentar, ya, Mas panggilkan dokter dulu, karena dokternya baru saja keluar,” ucap Mas Riko lagi. hanya aku jawab dengan anggukkan. Kepalaku benar-benar pusing. Mungkin darah rendah. Karena beberapa hari ini kurang istirahat.“Mama nggak apa-apa kan?” tanya Yuda polos. Dia masih memegangi tanganku. Walau kepala ini terasa berat, aku tetap memandangnya dengan senyum. Biar dia nggak cemas.“Nggak apa-apa, sayang,” jawabku. Dia sema
“Eh, bukan gitu, Mas seneng banget, cuma terkejut aja,” ucapnya gelagapan. Kulirik bu dokter itu tersenyum melihat tingkah kami.“Selamat, ya untuk kalian. Saya kasih resep, ya. Biar pusingnya bisa sedikit berkurang,” ucap dokter itu. Seraya menulis resep yang harus kami tebus.“Terimakasih, dok,” jawab Mas Riko dengan senyum-senyum nggak jelas. Mas Riko memang seperti itu. Dia memang nggak romantis dan juga nggak mau menunjukkannya di depan orang kayak gini, apa lagi di depan umum. Tapi aku tahu, dia pasti senang banget. Pasti akan memeluk dan menciumi kalau udah sampai rumah nanti.“Tapi saya ini masih belum selesai KB tiga bulannya, dok? Kok bisa saya hamil?” tanyaku masih penasaran. Dokter itu tersenyum seraya menutup, tutup bolpoinnya.“Tak ada yang tak mungkin jika Sang Maha Pemberi sudah berkehendak, Bu,” jawab dokter itu, masih dengan senyum termanisnya.“Jadi bisa di bilang kebobolan gitu ya, dok?” tanyaku. Jujur masih penasaran.“Banyak faktor, Bu. Bisa jadi bidannya salah m
Setelah aku mengabarkan kehamilanku kepada Ibu, aku memutuskan untuk masuk ke ruangan Naila. Mas Riko tidak ikut masuk, dia memilih menunggu di luar bersama Yuda dan Ibu. Setelah pintu ruangan Naila ku buka, mata ini melihat Toni tertidur di tepi ranjang Naila. Papa dan mamanya Naila juga belum tidur. Ada di kursi ruangan ini. Wajah mereka sebenarnya terlihat sangat lelah. Cuma aku tak melihat nenek. Mungkin nenek pulang. Dengan pelan aku mendekati mereka. “Mbak,” ucap Toni, seraya mendongakkan kepala, mungkin menyadari kalau ada yang masuk dan mendekat.“Kirain, Mbak, kamu udah tidur, Ton,” jawabku. Toni hanya menggeleng. Matanya terlihat cekung menghitam. Banyak mengeluarkan air mata dan kurang tidur.“Nggak bisa tidur, Mbak. Aku takut kalau aku tertidur Naila bangun aku nggak tahu,” balas Toni. Sungguh luar biasa cintanya kepada Naila. Cinta masalalu yang akhirnya bisa bersatu kembali.“Tapi kamu juga harus tidur, Ton. Kamu juga harus menjaga kesehatanmu,” ucapku. Toni terdiam. K
Plaaakkk plaaakkk plaakkkk Tiba-tiba Papa menamparku berkali-kali. Aku yang masih rebahan di ranjang jelas kaget dan tak siap untuk mengelak. Pipi ini terasa sangat panas.“Dasar kamu, bisanya cuma bikin malu!” Bentak Papa. Jelas aku bingung. Apa salahku? Aku nggak ngerti kenapa Papa marah-marah. Pipiku terasa semakin sangat panas karena tamparan papa. Di tambah juga panasnya hati. “Papa ini kenapa? Lika salah apa hingga Papa menampar Lika kayak gini?” tanyaku dengan air mata yang sudah berjatuhan. Sakit hati dan sakit bekas tamparan Papa rasanya menyatu.“Salah apa? kamu masih menanyakan salahmu apa? Dasar anak nggak tahu diri?” sungut Papa, hendak menamparku lagi, tapi Papa urungkan. Akhirnya Papa melampiaskan pada lemari baju.Jujur aku bingung letak kesalahanku dimana? Apa Papa sudah tahu semuanya? Tentang kehamilan palsuku ini? ah, tapi kayaknya nggak mungkin? Apa tadi Papa bener-bener ke rumah ibu? Pasti ini ulah Mbak Rasti. Dasar perempuan gendut, jelek, ngeselin. Dia suka se
“Lika! Sudahlah! Minta maaf sama Papa, biar masalah ini cepat kelar! Jangan ngejawab terus” sahut Mama. Hah? Mama memang seperti itu kalau di depan Papa. Mama selalu menampakkan sikap manisnya di depan Papa. “Ma, Papa ini membela Mbak Rasti, bukan membela anaknya sendiri,” jawabku. “Papa tidak membela Rasti, Lika! Papa membela kebenaran! Kamu selalu membuat kebohongan baru untuk menutupi kebohongan lamamu, Papa benar-benar nggak nyangka kamu selicik itu,” Papa membentakku lagi.Rasanya tak terima dengan bentakkan dan tamparan Papa. Aku ingin Mbak Rasti juga merasakan, yang aku rasakan saat ini. Aku benar-benar nggak rela, melihat Mbak Rasti bahagia. Bukan hanya Mbak Rasti, Mas Toni juga, aku juga nggak mau melihat dia bahagia dengan Naila. Semoga saja Naila tak akan bangun dari komanya. Mati sekalian, biar Mas Toni bisa kembali lagi denganku.“Lika, Papa benar-benar kecewa sama kamu, Papa nggak nyangka kamu bisa melakukan perbuatan sekeji itu,” sungut Papa lagi. “Pa ...,” “Cukup,
Di rumah ini aku merasa sendirian. Gimana tidak? Papa dan Mama mendiamkanku. Aku seperti tak ada di rumah ini. Memang mungkin di anggap nggak ada. Aku juga masih berusaha mendekati Mama. Responnya hanya bikin sakit hati saja. Apa lagi Papa. Rumah ini sudah seperti di neraka. Sudah tak aku rasakan kenyamanan lagi.“Ma, Masak apa?” tanyaku pada Mama, mencoba basa basi ingin mendekati. “Goreng tempe,” sahut Mama ketos dan simple. Terus tak ada lagi balik tanya. “Ma, Lika laper ni,” aku masih berusaha mendekati Mama.“Makan,” jawab Mama sangat simple. Jujur sungguh membuatku sakit hati sebenarnya di perlakukan seperti ini.Biasanya Mama selalu banyak menjawabnya. Aku bertanya sedikit, Mama menjawabnya bisa kemana-kemana. Kalau lagi nggak marah, pasti jawabnya gini, ‘Makan, itu lauknya banyak, kesukaanmu. Mama ambilinya! Kamu harus banyak makannya. Biar nggak sakit. Mau lauk apa sayang? Ada tempe goreng, sambal ikan teri ada gulai daun ubi,’ ah, aku merindukan itu. Nggak enak di diamin k
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu