Jaka membeliak. Ia menelan saliva dengan berat. Pria itu ingin menolak penekanan Sesil, akan tetapi wajah kandung adik Sabrina tampak memelas menatapnya."Iya kan, Mas? Jawab dong, Mas." Rupanya Sesil masih menunggu jawaban Jaka."Ah sudahlah, jangan dibahas. Aku akan pamit karena sudah sore." Jangan mengusap pucuk rambut Sesil dengan lembut. Pria itu merasa kasihan pada adik Sabrina seperti tak tega mengecewakan."Jak, sekali lagi makasi ya," ucap Sabrina yang nyatanya masih merasa tak enak hati."Iya, sama-sama. Aku pulang ya." Jaka mengukir senyum pada Sesil dan Sabrina secara bergantian. Setelah itu dia segera menuju kendaraan roda empatnya.Jaka merasa dalam dada semakin resah. Rencananya menyatakan cinta harus gagal lagi. Sekali lagi, rambut itu diacak-acaknya tampak frustasi."Aku sudah menunggu momen ini hampir lima belas tahun, Sabi. Apakah kamu tidak merasakan hal yang sama seperti aku?" Pria itu berbicara sendirian di dalam mobil yang dikemudikan. Jaka seperti merasakan luk
"Jelaslah aku tidak terima!" Pria itu membentak Sabrina."Apa maksud kamu, Mas? Yang harusnya tidak terima adalah aku!" Suara Sabrina membalas menyentak."Kamu lupa ya atas semua perselingkuhanmu dengan Miranda sehingga menciptakan Aksa. Kamu lupa? Kepala kamu rusak ya?!" sambung wanita berlesung pipi itu."Aku tidak berselingkuh. Aku hanya poligami karena mengharapkan anak, itu saja. Apa salah kalau aku seorang pria normal yang menginginkan momongan?" Hasbi berbicara seolah dirinya tidak pernah bersalah."Apa aku juga salah kalau tak mampu memenuhi keinginanmu? Aku bukan Tuhan, Mas," balas Sabrina."Tapi setidaknya, kamu harus mengikhlaskan poligami. Poligami kamu jadikan alasan berpisah, padahal berselingkuh dengan Jaka alasan yang sebenarnya." Hasbi masih dengan ocehannya."Halah cukup, Mas! Aku pikir percuma bicara denganmu. Pergi sekarang atau aku akan benar-benar teriak. Aku dan kamu sudah tidak ada ikatan apa pun. Pergi sekarang!" Sabrina kembali meluruskan tangannya mengusir s
"Kamu suka?" Suara bariton tiba-tiba menimpali dari belakang membuat Sabrina membeliak terkejut."Jaka!" Wanita itu terkejut tetiba Jaka sudah berdiri di belakangnya sambil memasang wajah berukir senyuman manis."Kamu suka dengan bungnya?" Jaka bertanya lagi. Pria maskulin itu tersenyum manis. Berdiri di dekat Sabrina dengan kedua telapak tangan dimasukan ke dalam saku celana."Ini dari kamu?" Sabrina nampak terharu. Jaka hanya menaikan kedua bahu dan alisnya secara bersamaan."Apa-apaan sih. Kamu ini ada-ada saja. Ini bunga terlalu banyak." Sabrina menggelengkan kepala. Ia mamang sering merasa aneh pada sahabatnya yang kadang-kadang membuat kepalanya menggeleng."Asalkan kamu suka dan bisa senyum lagi, lebih dari itu pun bisa aku lakukan," desis Jaka terdengar merdu padahal bukan lagu.Namun, Sabrina hanya menggelengkan kepala seraya menaikan kedua alis. Ia mengulum senyum sekedar menerka kalau yang Jaka lakukan semata-mata untuk mencari perhatian darinya agar merestui hubungan den
Jaka nampak mengatur napasnya terlebih dahulu. Jatungnya terasa berdegup lebih kencang dari biasanya."Kamu tahu gak kenapa sampai di usia tiga puluh tahun ini aku masih saja sendiri," celetuk Jaka sebelum ia mengungkapkan.Mendengar pertanyaan sahabatnya itu, Sabrina langsung menggeleng. "Aku tidak begitu tahu. Sepertinya, kamu memang tipe pria pemilih," tanggapannya."Bukan," bantah Jaka. Raut wajahnya nampak serius.Sabrina kemudian memiringkan posisi duduknya lebih menghadap pada Jaka. "Lalu karena apa? Paras tidak terlalu buruk. Kamu ini tampan dan mapan. Sepertinya wanita mana yang tak suka jika kamu dekati," katanya."Tapi kenyataannya wanita yang aku dekati terasa sulit aku dapatkan," balas Jaka."Masa sih? Apa wanita yang kamu maksud adalah, Sesil?" Sabrina mengernyitkan dahi.Namun, dengan segera Jaka menggelengkan kepalanya. "Bukan," bantahnya lagi.Sabrina kali ini terkejut. Selama ini dia melihat gelagat Sesil menonjolkan kesukaannya terhadap Jaka. "Kalau bukan Sesil, lal
Setelah menyatakan perasaanya kepada Sabrina hari itu, nyatanya tak membuat isi dada Jaka lega. Malam ini pria itu resah sendirian di dalam kamarnya. Berkali-kali ia mengusap layar ponsel sekedar ingin memastikan barangkali ada pesan masuk dari Sabrina. Namun, lagi-lagi Jaka harus menelan kecewa tatkala deretan pesan yang masuk itu hanyalah dari teman dan rekan bisnisnya saja. Ia mengusap wajahnya dengan kasar kemudian mengacak-acak rambutnya. "Sabi, jangan marah. Aku tak akan sanggup kalau kamu sampai marah."Jaka berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Akhirnya dia menyerah dan menelepon Sabrina duluan.Percobaan pertama sampai ke empat kalinya gagal hingga akhirnya nomor Sabrina tidak aktip. Usaha Jaka tak berhenti di situ, ia berinisiatif memenelepon Sesil untuk menanyakan Sabrina."Hallo, Sil. Sedang apa?" Sekedar basa-basi Jaka bertanya lewat sambungan teleponnya."Sedang rebahan saja di kamar. Ada apa, Mas? Kangen ya?" Sesil berbalik tanya.Jaka memutar bola mata kesal. Ia t
Hari ini Sabrina berusaha menetralkan perasaannya walau setelah semalaman susah tidur. Ungkapan Jaka kemarin berhasil mengganggu tidurnya. Ia tak bisa tidur karena merasa bersalah pada Sesil. Ia juga merasa kalau perasaannya pada Jaka hanyalah sekedar sahabat tak lebih dari itu.Dengan kendaraan roda dua bekas Sesil, Sabrina berusaha melajukan sepeda motor berwarna merah itu menuju tempatnya mengajar. Alih-alih perjalanan akan terasa cepat, nyatanya Sabi harus menarik pedal rem dengan mendadak tatkala pajero berwarna putih tampak menghadang jalannya."Mau apa lagi sih? Wanita perebut suami orang ini nampaknya merasa berani," desis Sabrina kesal. Ia pikir yang mengemudikan pajero putih itu adalah Miranda, namun ternyata salah. Dari dalam mobil yang menghadang jalan Sabrina itu, keluarkan seorang pria dengan seragam dinasnya. Dia berjalan mendekati Sabrina sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Nampak sombong."Aku pikir setelah mendekati konglomerat, kamu akan lupa dengan
Sementara Sabrina saat ini sudah keluar dari mall itu. Tujuan awal yang ingin melepaskan kekalutan nyatanya sia-sia. Isi kepala terasa semakin berat saja. Ia kemudian pergi melajukan kendaraan roda duanya.Tiiittt! tiitttt!Terdengar suara bunyi klakson mobil dari belakang Sabrina. Wanita itu menepikan sepeda motornya, pun dengan mobil yang akhirnya bisa menyalip."Mobil siapa itu?" Kali ini Sabrina tak mengenal pemilik mobil yang menghentikan kendaraannya.Namun tak berapa lama, keluarlah seorang wanita paruh baya dari mobil itu, melebarkan senyuman pada Sabrina tatkala berjalan mendekatinya"Hai, Sabi!"Wanita paruh baya itu adalah Jeni, membuat Sabrina sedikit kaget."Tante!" "Kamu mau kemana, Sabi?" Jeni bertanya dengan ramah, padahal Sabrina nampak gugup."Mau pulang, Tante," jawab Sabrina sedikit mengulum senyum."Ikut Tante dulu yu. Ini Tante mau arisan, tapi gak ada temen. Mau 'kan nemenin? Sebentar saja kok. Please!" Jeni menautkan kedua telapak tangannya pada Sabrina."Tapi
"Tante sudah tahu kalau Hani adalah mantan mertua kamu," celetuk Jeni.Saat ini Sabrina dan Jeni sudah berada di restaurant yang berbeda dengan sebelumnya. Mereka berpindah tempat untuk makan sore bersama."Tahu dari mana, Tante?" tanya Sabrina. Sepertinya dia sudah bisa menebak. Dari mana lagi kalau bukan dari Jaka—anaknya Jeni."Jaka sudah bercerita semuanya. Termasuk tentang perasaannya selama ini sama kamu."Sabrina sedikit mendongak. "Perasaan Jaka? Maksudnya, Tante?" Jeni mengulum senyum. "Jaka adalah anak yang dekat dengan saya—mamanya. Apa pun proses yang dia lewati, selalu bercerita pada Tante. Termasuk semua hinaan dari keluarga mantan suami kamu selama ini. Jaka selalu bercerita karena dia tak mampu memendam rasa sedihnya sendirian saat melihat kamu terluka."Sabrina menelan saliva berat. Ia mematung sesaat. Tak menyangka kalau selama ini Jaka adalah sosok pria yang begitu dekat dengan mamanya."Sabi, ketahuilah. Selama ini Jaka bukan tak mampu mencari calon istri yang lai
Suatu hari Jaka memanggil Sabrina dan anak-anaknya di ruang keluarga. Di sana juga ada Jeni yang turut serta hadir. Jaka meminta pada Sabrina untuk bersiap-siap karena mereka akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian baru.Awalnya Sabrina terlihat ragu menerima tawaran suaminya, akan tetapi ia menyanggupi karena Jaka memaksa dan tak mau ditolak ajakannya.Hingga akhirnya dua kendaraan roda empat akan melaju menuju pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa pakaian baru. Dua mobil itu berisi Jaka, Sabrina, Jeni dan empat anak termasuk suster yang turut serta mendampingin. Mereka akan belanja bersama terutama untuk keperluan ulang tahun Aksa yang tinggal menghitung hari.Sabrina nampak berjalan seiringan dengan Jaka setelah sampai di pusat perbelanjaan. Jaka meminta Sabrina memilih apa pun yang diinginkan. Wanita mana yang tak bahagia dengan perlakuan suami seperti Jaka. Sabrina bagaikan satu-satunya wanita paling beruntung di dunia."Sayang, kamu pilih apa pun yang kamu but
"Kenapa, Ma?" Sabrina segera bertanya. Tentu ia masih terkajut dengan jawaban mertuanya."Tapi bohong. Mama setuju dong. Masa iya Mama gak setuju," ralat Jeni yang rupanya hanya bercanda saja.Seketika Sabrina dan Aksa menghela napas lega secara bersamaan."Ya ampun, Mama. Sungguh aku sampai kaget. Aku pikir Mama benar-benar gak setuju." Sabrina mengusap dadanya. Tak disangka kalau mertuanya senang bergurau."Omah, Aksa juga kaget," timpal Aksa masih memasang wajah terkejutnya.Gegas Jeni memeluk Aksa. "Maaf, Sayang. Omah bercanda. Omah 'kan sayang sama Aksa, masa iya gak setuju. Kita akan rayakan ulang tahun Aksa dengan meriah ya. Pokonya kita akan happy-happy," sambutnya. Jeni tampak menampilkan wajah bahagianya kali ini."Terima kasih, Omah. Aksa sayang sekali sama Omah," ucap Aksa yang kembali memeluk Jeni."Omah juga sayang sama, Aksa," balas Jeni.Melihat itu, Sabrina semakin melebarkan senyumannya. Ia semakin dibuat bahagia dengan keadaan di rumah mewah itu."Terima kasih ya, M
Mendengar cerita Sabrina, seketika Jeni tercengang. "Lalu, apa yang Raisa sampaikan sama kamu, Sabi?" tanyanya penasaran."Raisa mengucapkan terima kasih padaku, Ma. Dia berterima kasih karena aku tela merawat dan menjaga Abang Yusuf dengan baik." Sabrina kembali menjelaskan.Isi dada Jeni terasa bergetar mendengar itu. "Pasti Raisa merasa tenang di alam sana. Kamu telah menjaga Yusuf dengan baik. Mama yakin Raisa bangga padamu, Sabi."Sabrina menurunkan tatapan. Ia masih ingat dengan jelas wajah Raisa kala itu. "Semoga saja ya, Ma. Aku tidak menganggap Abang Yusuf anak tiri kok. Meski pun dia tak lahir dari rahimku, aku menyayanginya bagai anak kandung sendiri," tuturnya."Karena kamu memang wanita baik, Sabi. Mama sungguh bangga bisa mendapatkan menantu seperti kamu. Jaka memang tak pernah salah mencintai kamu," balas Jeni. Sabrina hanya bisa menyodorkan senyuman saat sang mertua memujinya.Sampai saat ini dunia Sabrina memang terasa lebih berwarna dari biasanya. Anak-anaknya berpa
Satu bulan kemudian keluarga Dirgantara nampak disibukan dengan persiapan pernikahan Sesil yang tinggal menghitung hari.Adik Sabrina itu nampak disibukan dengan segala macam persiapan menjelang pernikahannya. Hingga Sabrina pun harus turun tangan dalam membantu adik kandungnya itu.Hingga tiba pada saat ijab kabul pernikahan terucap dengan lantangnya oleh pria yang Sesil cintai. Pernikahan telah sah dilangsungkan dan Sesil telah diperistri kekasihnya. Satu hari usai pernikahan, Sesil dan suaminya langsung terbang ke bali untuk bulan madu selama satu minggu. Tentu suasana saat ini semakin membuat Sabrina lega dan bahagia karena tugasnya menjaga Sesil kini telah berpindah pada suami Sesil.Sabrina kian merasa bahagia dengan keluarga saat ini. Ia juga bahagia dengan kesibukannya saat ini sebagai ibu rumah tangga untuk empat anak-anaknya.Pagi ini bahkan Sabrina nampak sibuk menyiapkan perlengkapan sekolah Aksa. Sabrina juga selalu menemani Aksa sarapan di ruang makan bersama Jaka yang j
Sabrina dan Jaka mengukir senyuman yang lebar tatkala melihat Sesil dan Jeni berpelukan. Keluarga yang nyaris sempurna setelah beberapa kali terpa ujian."Permisi, Nyonya. Makan malam sudah siap." Ijah melapor pada majikannya yang tengah bercengkerama."Oh iya. Terima kasih, Jah," ucap Jeni.Ijah tersenyum. "Sama-sama, Nyonya," balasnya kemudian berlalu setelah tugasnya selesai.Sementara Jeni segera mengajak keluarganya untuk segera makan malam, "Ayo kita makan malam bersama dulu yu."Serentak Sabrina, Aksa, Jaka dan Sesil mengangguk secara bersamaan sebagai pertanda mengiyakan ajakan Jeni barusan. Gegas mereka beranjak dari tempat duduk beralih menuju ruang makan.Di atas meja makan sudah tersaji aneka makanan yang lezat hasil dari masakan Ijah. Pembantu rumah tangga itu memang spesial memasak untuk malam ini. Melihat keluarga majikannya yang akur dan bahagia, ia merasa sangat senang.Ijah, Siti dan Iyem yang berada di ruangan sebelah ruang makan nampak tersenyum melihat kebersamaan
Sabrina akhirnya membiarkan Aksa tetap ikut bersama Sesil. Ia juga paham sebab tak ada yang menemani Sesil di rumahnya. Sabrina kembali masuk ke mobil suaminya.Sementara Aksa satu mobil bersama Sesil akan kembali ke rumahnya. Suasana hati Aksa sedikit membaik setelah ditenangkan oleh Sabrina tadi. Air matanya sudah surut namun ia memilih tetap diam dalam perjalanan pulang tanpa banyak bicara.Sesekali sebelah tangan Sesil mengusap rambut tebal Aksa. Sulit dijelaskan, tapi dia sudah menyayangi Aksa. Aksa memang terlahir dari orang tua yang tak lain adalah mantan suami Sabrina tapi Sesil tak lagi mempermasalahkan itu. Ia sudah menyayangi Aksa dengan sebenar-benarnya.'Ya Tuhan, anak kecil di dekatku sungguh malang. Dia tak menginginkan kesedihan ini terjadi. Izinkan hamba untuk selalu menjaga dan merawatnya sampai dewasa nanti,' harap Sesil dalam hati.Harapan yang sama yang tengah diucapkan Sabrina saat ini. Dalam perjalanan pulang bersama suaminya, Sabrina masih memikirkan perasaan A
"Aku dan Aksa akan melayat, Mba. Aku akan mengantar Aksa. Kasihan kan," balas Sesil.Sabrina kembali dibuat dilema. Bagaimana mungkin ia akan tega membiarkan Aksa bersedih sendirian. Anak itu telah kehilangan segalanya. Orang tua satu-satunya Aksa kini turut berpulang ke sisi Tuhan karena penyakit komplikasi yang diidap. Sabrina tak pernah menyangka dengan kehidupan mantan suaminya yang memilukan."Sil, aku juga ingin ikut melayat. Aku kasihan pada Aksa. Tapi aku akan minta izin Mas Jaka terlebih dahulu ya," kata Sabrina. Ia masih menempelkan benda pipih itu pada telinganya."Kita ketemu di rumah tahanan saja ya, Mba. Kasihan Aksa tak bisa menunggu lagi." Sesil kembali bicara."Iya, aku ingin bicara dengan Aksa terlebih dahulu " pinta Sabrina."Boleh, Mba." Dalam detik yang sama, sepertinya Sesil langsung memberikan ponsel pintarnya pada Aksa."Iya, Ibu." Suara Aksa terdengar bergetar berat."Aksa, dengarkan Ibu ya. Tetap tenang. Semuanya akan baik-baik saja. Aksa dan Kak Sesil pergi
Sabrina sudah berdiri di depan rumah. Ia segera bertanya pada security di depan rumahnya."Mas, itu ambulance kemana?" tanya Sabrina pada pria berseragam layaknya security di rumahnya itu. Degup jantungnya masih sama, sebab suara sirine ambulance semakian mendekati arah rumahnya."Itu ada tetangga rumah sebelah yang meninggal, Non," jawab Security Sabrina.Seketika Sabrina menghela napas lega. "Saya pikir siapa. Kaget banget," desisnya. Akhirnya napas yang sempat tersengal kini mulai terasa lancar."Hanya tetangga, Non. Kabarnya meninggal karena kecelakaan," jelas security itu lagi."Ya sudah saya masuk lagi ya. Kabari saya kalau Mas Jaka pulang," pinta Sabrina."Siap, Non." Pria itu dengan tegasnya.Sabrina kemudian segera masuk kembali ke rumahnya. Ia masih belum juga tenang sebab belum mendapatkan kabar dari suaminya. Ia tak bisa menelepon Jaka lagi, sebab anak kembarnya minta ASI. Seperti biasa, Sabrina menyusui anak kembarnya secara bergantian. Ia selalu melakukan kewajibannya se
"Klinik yang di dekat toko, Mba. Duh kasihan sekali Aksa. Aku sampai gak tega melihatnya. Sedari tadi Aksa mengigau nama papanya terus," kata Sesil lagi."Ya Tuhan, kasihan sekali Aksa. Memangnya kamu gak pernah bawa Aksa nengokin papanya di penjara?" Sabrina bertanya lagi."Sudah, Mba. Ceritanya dua hari yang lalu Aksa ingin bertemu papanya di penjara, aku mengabulkan keinginan Aksa. Ternyata Mas Hasbi sakit Mba. Semenjak saat itu Aksa terus saja memikirkan papanya." Sesil menjelaskan."Mas Hasbi sakit apa memangnya?" Lagi-lagi Sabrina bertanya. Ia masih menempelkan ponsel pintar pada telinganya."Katanya komplikasi, Mba. Sakit paru-paru dan lambung kronis. Aksa sampai sedih melihat papanya. Saat ini ada di klinik tahanan tengah dirawat oleh perawat di sana," kata Sesil."Ya Tuhan, sungguh aku kasihan pada Aksa. Anak sekecil Aksa sudah memiliki banyak sekali beban. Sebenarnya aku ingin menemui Aksa sekarang, tapi keadaannya tidak memungkinkan, Sil," terang Sabrina pada adiknya."Kena