"Mungkin apa, Pak?" Tanyaku tak sabar.
"Mungkin sengaja ditabung untuk masa depanmu. Bisa jadi, kan?" Pak Tar meringis setelahnya.
"Kamu ingat, dulu setiap kamu liburan semester saat ibumu masih hidup, bapak pasti kesini. Ya untuk itu, bagi hasil. Nah, waktu kamu udah sekolah itu, pas jaya-jayanya rumah makan kita, jadi lumayan banyak emas batangan yang diterima bapakmu. Gak mungkin habis buat makan kan, kalau katamu kalian gak pernah hidup mewah?". Aku membenarkan ucapan Pak War. Seperti tidak mungkin memang.
"Apa kamu ndak pernah diajak Bapakmu ke bank atau tempat apa gitu yang buat nabung-nabung emas?" Selidiknya lagi.
Pertanyaan Pak War kali ini membuatku mengerutkan kening mengingat-ingat kebersamaanku bersama Bapak. Benar, Beliau memang selalu datang dan mengajakku sekeluarga berlibur saat liburan sekolah tiba. Tapi mengenai tabungan emas, aku benar-benar tak tahu. Aku masih terlalu kecil saat itu. Apa mungkin Bapak ngojek itu cuma pura-pura? Atau hanya alasannya saja agar tidak ketahuan menabung emas ke bank? Jika iya, kenapa musti sembunyi-sembunyi? Ah, mana mungkin! Sepulang ngojek tak pernah absen kulihat gurat lelah di wajah bapak. Lagian, uang yang bapak berikan pada ibu selalu uang pecahan lusuh. Masa dari bank uang receh, lecek lagi.
Terus kupacu otak ini untuk mengingat-ingat masa itu. Nihil. Tak ada rekaman peristiwa seperti yang ditanyakan Pak War dalam otakku. Tapi kalau Ibu, sepertinya pernah bicara tentang koleksi-koleksi emas pada Bu Naji saat kami main ke rumahnya. Tapi, masa iya emas yang mereka bicarakan adalah emas yang dimaksud Pak War ini? Kan gak ada hubungannya sama sekali dengan Bu Naji.
"Apa Ibu saya juga tau mengenai kerja sama ini, Pak?" tanyaku, berharap menemukan satu jawaban dari beberapa pertanyaan dalam benak.
"Tentu," jawab Pak War mantap.
"Seingat saya, dulu Ibu pernah ngomong bisik-bisik sama Bu Naji tentang koleksi-koleksi emas gitu, Pak. Saya memang tidak terlalu paham. Ibu bilang ...."
"Kang War! Dicariin jelimet kok, malah ngapel di sini!"
Ucapanku terputus saat mendengar suara cempreng itu.
Kami mendongak bersamaan. Dari jalanan depan rumah, Bu Naji mendekat ke arah kami sambil mengapit baskom hijau di tangannya. Kulihat matanya melebar melihat benda berkilau di tanganku saat telah sampai di hadapan. Tapi hanya sebentar, detik berikutnya dia mulai menguasai diri.
"Ini Ra, sisa suguhan. Makasih udah bantu-bantu." ucapnya datar sambil mengangsurkan bawaannya tersebut kepadaku.
"Hussh! Orang bertiga gini dibilang ngapel, ngawur kamu!" sela Pak War.
"Mana ada?! Iya kali sama kutumu, Kang! Dah, ayo balik! Katanya mau bantuin, malah keluyuran gak jelas. Tuh, berkat di rumah belom pada diantar ke tetangga," ketus Bu Naji sambil berlalu.
"Iya, iya. Udah Nduk, kapan waktu disambung lagi," pamit Pak War, "assalamualaikum," lanjutnya.
"Iya Pak. Waalikumussalam. Makasih, Bu Naji!" teriakku karena mereka sudah agak jauh dari halaman rumah.
"Tumben Bu Naji gak kepo atau sekadar berkomentar mengenai benda ini, ya?" gumamku dalam kamar sambil meletakkan bingkisan dari Pak War ke dalam lemari.
Kuletakkan bobot ini di kasur, mengistirahatkan sejenak pikiran yang agak kacau karena cerita Pak War dan Bu Naji di rumahya tadi. Memejamkan mata sambil mengingat-ingat kenangan indah kebersamaan keluargaku saat masih utuh, sebagai penawar rindu yang kian terasa berat.
***
"Maaf, Ra. Bukannya saya gak mau bantu tapi, stok sembako saya masih banyak, baru beli dua hari lalu. Kamu jual ke warung lain saja, ya. Atau kalau kamu butuh cepat, bisa langsung ke pasar. Di sana biasanya mau aja tapi harganya lebih rendah."Aku lemas mendengar perkataan Mpok Siti, pemilik warung ketiga di desa yang kudatangi. Semua menolak membeli sembakoku dengan berbagai alasan. Padahal aku butuh uang untuk menyambung hidup dan membayar hutang ke Bu Naji. Bukan hutang sih, Bu Naji bilang ikhlas membantu untuk pendanaan acara tahllilnya bapak kemaren, tapi tetap saja, aku gak enak kalau berpangku tangan kayak gitu. Bu Naji kan, juga janda, cari uang sendiri. Aku akan berusaha semampuku untuk mengganti uang itu.
"Yur sayuurr ... tet teett ...."
Aku merogoh saku, berpikir sejenak untuk membeli apa dengan uang lima ribu ini. Sudahlah, apa saja yang penting cukup untuk mengganjal perut sehari ini. Syukur kalau Kang Syurnya mau tak bayar pakai beras nanti.
Segera aku menghampiri Kang Sayur. Kulihat Bu Nia dan Bu Sita sudah mengelilingi gerobak bersama tiga ibu lain. Akan semakin sesak jika aku tak segera mengambil tempat di sana. Untuk urusan rumah dan dapur, aku memang sudah dididik mandiri oleh Bapak. Memasak, mencuci bahkan mengatur keuangan rumah pun aku sudah biasa. Hal penting yang belum aku kuasai ya, cuma itu, nyari uang.
"Ibu-ibu, permisi sebentar."
Aktifitas kami memilih sayuran langsung terhenti, seorang ibu-ibu mengenakan pakaian serba hitam dan bercadar mendesak masuk di antara kami. Dengan cekatan dia mengambil beberapa terong, tomat dan sekilo ayam lalu menyerahkan uang pas pada Kang Sayur dan langsung nyelonong meninggalkan kami tanpa permisi."Bu Darsih segitunya, ya. Sampai kayak teroris," bisik Bu Sita saat ibu berpakaian serba hitam tadi pergi. Oh, Bu Darsih toh ternyata, batinku.
"Namanya juga lagi iddah, Bu, ya harus gitu. Kalau Kang Sayurnya kecantol, kan berabe," sahut Bu Nia yang disambut gelak tawa ibu-ibu yang lain.
Aku meminta Kang sayur menghitung belaanjaku yang hanya dua jenis. Gak jadi mau belanja pakai beras, malu.
"Kalau baru kepaten jangan dulu masak sayur kelor, Neng," kata Kang Sayur.
"Kenapa, Kang?"
"E-eh, kenapa ya? Ndak tau juga, punten Neng. Cuma ajaran Nenek saya dulu. Pamali katanya."
Aku mengedar pandang pada ibu-ibu di sampingku, meminta penjelasan. Tapi mereka malah tak acuh dan kulihat, Bu Nia hanya mengedikkan bahu.
"Ya sudah, Kang. Saya nurut saja."
Kuletkkan kembali sayur kelor pada tempatnya, menukar dengan sayur bayam yang harganya sama dan segera berlalu pulang setelah membayar nominal yang disebutkan.
Aku menyipitkan mata melihat dua orang lelaki duduk di kursi teras Bu Naji. Siapa, ya? Kalau tamu Bu Naji, seharusnya kan Bu Naji yang menemui. Ini kok, Pak War?
Mereka terlihat akrab sekali seperti bapak dan anak. Ah, iya, aku ingat, ....Dia adalah Aryo, anaknya Bu Naji. Bagaimana aku bisa lupa, ya, pada kakak kelasku yang baik hati itu, dasar aku!"Hayo! Ngapain?!"Aku berjingkat kaget. Ternyata ada Bu RT dibelakangku, dia menenteng barang belanjaan, sepertinya terhalang jalannya olehku yang diam agak lama di sini. Hihi."Eh, itu, Bu, lihat Pak War," gugupku."Pak War yang muda apa yang tua? Haha," goda Bu RT sambil berjalan terbahak melewatiku menuju rumahnya yang bersebelahan dengan Bu Naji.Ih, beneran yang muda kok, Bu. Eh.Sebenarnya ingin ketemu Pak War sih, pengin tau lebih banyak hal. Tapi sekarang gak tepat, besok-besok saja jika aku luang.***Hari ini rencananya aku akan ke pasar menjual sembako lawatan untuk bertahan hidup. Setelah kupikir, lebih baik mengikuti saran Mpok Siti kemaren supaya lekas terjual, keburu ngapang (menjamur) juga sembakonya. Nanti sekalian mau cari lowongan kerja di toko pasar. Siapa tahu ada yang butuh tenagaku menjaga to
Nampak Bu Naji menenteng belanjaan dua kantong kresek merah besar baru mendudukkan diri di kursi kayu sampingku."Buk, saya bungkusin seperti biasa," ujarnya pada pemilik warung. Tanpa bertanya apapun, wanita yang baru saja berbincang denganku itu menuju bagian belakang warungnya. Sepertinya Bu Naji sudah langganan di sini."Bawa apa kamu itu, Ra?""Ini, mie kuning, Bu."Bu Naji terkekeh sebelum menjawab, "Lawatan? Mau jual buat makan, ya?" Ejeknya agak keras sambil mencomot gorengan yang tertata apik di hadapan.Aku malu pada pelanggan lain yang seolah menatapku prihatin. Kenapa ketemu di sini, sih! Nanyanya juga gak pakai kira-kira lagi. Tetanggaku yang satu ini memang ajaib, kadang seperti malaikat, membantu tanpa pamrih kadang juga kayak gini ini, pengin tak sleding, hih!Aku hanya menanggapi pertanyaan Bu Naji dengan anggukkan kepala yang kutundukkan dalam-dalam setelahnya untuk menutupi rasa maluku."Mangkannya, Ra, Ibu ny
"Ya Allah .... " gumamku dengan dada yang terasa sesak seperti ada ribuan benda yang menghimpit.Entah mengapa, ada rasa sesal dan kecewa yang sangat mendominasi di hatiku. Mengapa secepat ini? Bukankah banyak hal yang masih belum kutanyakan?.Segera kuletakkan kembali kotak-kotak ini dan mengunci pintu lemari Bapak. Biarlah baju-baju ini berserak dulu, aku akan ke rumah Bu Naji sebentar. Jika melayat tidak dibolehkan, ya sudah aku kesana tanpa membawa lawatan. Biasanya jika di hari pertama begini banyak orang yang masih menanyakan kronologi kematiannya. Aku juga ingin tahu kenapa mendadak seperti ini.Di luar kulihat Bu Nia dan Bu Sita berjalan beriringan menuju arah rumah Bu Naji. Santai sekali mereka, pikirku. Mereka berjalan sambil mengobrol dan sesekali tertawa lepas. Aku mempercepat langkah agar segera sampai."Kenapa di kubur sini ya Bu? Kan rumahnya di kota."Ku dengar Bu Sita bertanya pada Bu Nia. Terdengar jelas karena posisiku mengekor
Dua orang yang sangat kukenal. Pria yang sangat kucintai, kuhormati dan kurindukan saat ini. Dan wanita itu, Ibu, kah? Sepertinya bukan. Lebih mirip Bu Naji. Bapak dan Bu Naji.Ada yang terasa perih saat melihat potret ini meski kutahu pasti, foto ini diambil ketika mereka masih lajang. Bukankah bapak pernah bilang kalau ibu dan Bu Naji itu bersahabat baik? Lantas apa maksudnya ini?Hei, tidak!Lihatlah, perut Bu Naji sedikit membuncit seperti ... orang hamil!Kuamati setiap inchi tubuh wanita tersebut. Benar! Ini Bu Naji yang tengah hamil."Sebelas sebelas delapan tujuh," gumamku mengeja angka di belakang foto ini. Itu berarti 6 tahun sebelum aku dilahirkan. Bukankah Ibu, yang asli orang sini? Setauku bapak adalah perantau dari pulau sebrang yang menetap di sini setelah menikahi Ibu. Sebelum itu beliau mengontrak di kota. Tapi kenapa bisa foto ini diambil sebelum bapak tinggal di sini? Apa mungkin ada kejadian lain yang di maksud oleh ta
"Kami tidak mungkin menjelaskan kasus dalam keramaian seperti ini. Baiknya saudari Ira langsung ikut kami ke kantor."Kami berempat akhirnya mengekori dua polisi ini menuju mobil ke kantor polisi. Bu Nia menolak untuk ikut, silakan dipanggil jika dibutuhkan saja, katanya.Hening. Tak ada percakapan sama sekali dalam perjalanan kami, hanya sesekali isakan Bu Naji terdengar."Mari Pak, Bu, silakan duduk," tutur salah satu polisi ketika kami sudah masuk salah satu ruangan.Pak RT memberi isyarat padaku untuk duduk di sebelahnya. Sedang istrinya berada di belakang kami bersama Bu Naji."Jadi, saya akan jelaskan keseluruhan kasus ini secara global terlebih dahulu. Nanti akan ada pengambilan keterangan dari setiap personal untuk mendapat keterangan detilnya, jadi mohon disimak dengan baik. Begini,"Ku lihat Pak polisi di depanku mengambil napas dalam-dalam dan memperbaiki posisi duduknya terlebih dahulu sebelum mulai menjelaskan. Dia membaca sekil
P.O.V Bu Naji"Boleh saya tahu akan dipertemukan dengan siapa, Pak?"Tanya yang diucapkan Ira sambil berjalan agak tergesa mengejar polisi yang lebih dulu keluar ruangan introgasi. Sayangnya kulihat sepertinya tak ada tanda polisi tersebut hendak menjawab pertanyaan Ira, dia tetap berjalan lurus menuju pintu keluar."Pak Hadi selaku pendakwa kasus ini. Beliau ingin menjelaskan langsung kepada anda bagaimana skema kasus ini terjadi, motif dan hal lain yang dapat membantu memulihkan kembali bisnis keluarga anda." Samar kudengar jawaban polisi tersebut dari arah luar setelah keduanya tak tampak.Tubuhku panas dingin setelahnya. Hatiku berdebar tak karuan mendengar jawaban tadi. Ira akan dipertemukan dengan orang itu, Hadi. Orang dari masa laluku yang licik lagi cerdik itu. Bagaimana ini, bukan hanya hidup Aryo di masa kini yang Ia ketahui, bahkan hidup Aryo sebelum dilahirkan pun dia hapal. Aku takut, belum siap jika masa laluku harus dibuka kembali. Ata
"Apa ada uang atau barang lain yang hendak anda ambil sebelum berangkat? Mengingat agenda kali ini tidaklah sebentar.""Ndak ada, Pak. Tapi jika boleh saya tahu, siapa yang akan dipertemukan dengan saya kali ini?""Pak Hadi. Beliau adalah pendakwa kasus penggelapan dana rumah makan ini. Beliau ingin menjelaskan langsung kepada anda bagaimana skema kasus ini terjadi menurutnya, motif dan hal lain yang dapat membantu memulihkan kembali bisnis keluarga anda."Dengan langkah penuh semangat aku memasuki mobil kepolisian ini. Merasa akan menjemput suatu keajaiban, pasti setelah ini teka-teki dalam otak ini akan terpecahkan karena telah menemukan jawabannya. Ah, tak sabar ingin segera menaruh beban berat yang selama ini menggelayuti pikiran.Mobil melaju setelah dua polisi wanita ikut serta. Tadinya kupikir akan bertemu Pak Hadi di suatu tempat, ternyata tidak. Mereka akan mengantarku ke kantor polisi di pusat kota supaya mereka bisa mencocokkan data
Bukan Bu Naji ataupun Aryo yang diarak warga, mereka adalah Pak RT dan Bu RT.Seberani itu warga pada pemimpinnya? Memang apa sebenarnya yang dilakukan mereka sampai membuat warga mengamuk seperti ini?.Kusambar jilbab instant yang tergeletak di kursi dan melangkah menuju kerumunan ibu-ibu yang menonton arakan di depan rumah Bu Nia."Kenapa itu, Bu?""Kamu ndak denger? Sibuk ngitung uang mulu, sih!" nyinyir Bu Mita. Haduh, tinggal jawab aja apa susahnya, ish!. Dirasa tak ada tanda-tanda mereka akan menjawab pertanyaanku, aku berlalu dari kerumunan ini. Ndak kepo aku. Huh.Aduh!"Noh, lihat!" Bu Mita melotot setelah mencubit pinggangku. Kepalanya menunjuk pada teras rumah Bu Nia.Mataku menyipit, membaca papan pengumuman yang berdiri di meja samping teras Bu Nia. Sejak kapan papan itu nangkring di sana? Bukankah seharusnya ada di balai desa?."Tikus harus dibasmi... Amanah kok, tapi gengsi lalu mencuri... Periode drama pew
"Tolong cari informasi mengenai orang ini. Untung-untung bisa tahu detail masa lalunya sebelum menikah," ujar Cahyo pada lelaki paruh baya di hadapannya.Lelaki tersebut tersenyum seraya membaca lembar kertas yang baru saja ia pungut. "Kualitas tergantung harga," jawabnya tersenyum miring. Melihat dari data pribadi ini, sepertinya agak rumit karena yang bersangkutan sedang dalam masa tahanan.Rendi menyuap siomai yang baru saja diantar oleh pramusaji. Warung tempat mereka janjian dengan penjual es cincau memang cocok. Meski ramai pengunjung, tetapi setiap meja satu dengan yang lain ada pembatasnya. Memungkinkan untuk berbicara hal yang bersifat privasi tanpa khawatir didengar oleh pengunjung lain."Baik. Berapapun, asal saya puas dengan kinerja Anda," putus Cahyo akhirnya. Sarto, penjual es cincau yang mengaku sebagai inteligen itu tersenyum puas. "Bisa diatur," ujarnya jumawa.Pagi itu, Cahyo sengaja mengajak adiknya menemui penjual es cincau di depan kant
Rumah terlihat sepi saat Rendi mengetuk pintunya. Heran, itulah yang dirasa. "Tadi saat di telepon terdengar heboh sekali, tapi sekarang kok sepi banget. Apa sudah tidur semua?" pikirnya. Rendi putuskan untuk lewat pintu belakang karena tak membawa kunci cadangan.Dengan mengendap, lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi ayah tersebut menyusuri rumahnya. Mengintip satu-satu ruangan untuk menemukan keberadaan mama dan kakak lelakinya."Ren ...." Rendi berjingkat saat tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Ternyata kakaknya. Dua tangan saudaranya itu mengisyaratkan sesuatu yang berlainan. Satu tertempel di bibir, dan satunya melambai pada dirinya."Mama udah tidur," tutur Cahyo, "pakai penenang," lanjutnya. Terlihat lawan bicaranya mendelik."Aman, kok. Dosisnya sesuai kebutuhan," lanjutnya lagi. "Tapi kan nggak bisa sembarangan gitu, kasih obat penenang. Apalagi mama udah nggak muda," protes Rendi. Kesal saja, hanya karena marah-marah langsung dikas
"Yah, ini kayaknya Dedeknya udah mau keluar deh. Kontraksinya udah sering banget." Ira melapor saat Rendi baru memasuki kamar mereka."Mamah masih kuat? Ayah salat dulu sebentar, ya.""Ren, sini." Cahyo memanggil Rendi dari dalam kamarnya saat Rendi menuju dapur. "Kenapa, Mas?""Lihat!" Dina menyodorkan sebuah album pada adik iparnya. Belum sempat membukanya, Rendi mengembalikan lagi. "Kapan-kapan aja, Mbak. Itu, aku mau bawa Ira ke bidan sekarang. Udah sering mulesnya.""Loh? Tadi nggak ada kontraksi sama sekali, kok udah mau berangkat aja," tanya Dina bingung. Namun yang ditanya sudah terbirit ke dapur."Nda, Syila mau bobo." Kaki yang semula hendak menengok Ira, kini berbalik lagi karena putri semata wayangnya memanggil."Nanti habis magrib aja tidurnya, Sayang. Kalau mau magrib gak boleh tidur," jelasnya. "Dingin." Dina mengernyit tak mengerti, pasalnya dirinya merasa gerah. "Ayo, Nda! Kasih selimut." Syila menarik bundanya ke ranjang, a
Pelataran rumah bidan Roudho, bidan terdekat dari rumah Rendi sesak dengan beberapa kendaraan roda dua dan empat. Sudah biasa, saat pagi dan malam hari memang seperti ini. Makanya Ira jarang periksa di sini, terlalu lama antre. Bidan ini memang terkenal dengan keramahan dan kemanjurannya. Banyak yang jodoh, kalau kata orang-orang."Bu, perut istri saya sudah mulas dari sebelum subuh tadi. Sepertinya mau melahirkan. Apa bisa didahulukan?" tutur Rendi pada asisten bidan yang bertugas melakukan tensi darah dan pendaftaran."Boleh saya lihat buku KIA-nya?" Rendi mengangsurkan buku berwarna merah muda. Kasihan sekali melihat wajah istrinya yang sudah memucat. Sedari tadi tangannya tak berhenti mengelus perut buncitnya. Tak tega jika meninggalkannya mengantre sendiri, jadi dia mengusahakan istrinya ditangani dulu, atau setidaknya berada dalam ruang bersalin agar ada yang memantau. Lepas itu, dia akan mencari sarapan."Sebentar, ya." Perawat itu masuk ke r
Pagi hari di rumah Rendi seperti biasa, semua orang sibuk menyiapkan aktifitas pagi mereka. Ira yang sudah beres menjemur baju yang dicuci Dina, kaget saat melihat meja makan masih kosong melompong. "Syila lihat Oma?" tanyanya pada balita yang bermain seorang diri di depan kamar. "Oma kan masak kalau pagi." Pertanyaan konyol. Ira menepuk jidat, menertawakan dirinya sendiri. Dia segera berlalu ke dapur."Ini nanti sopnya mau ditumis atau dikuah, Ma?" Mamanya tidak mengerjakan apapun, hanya diam menatap ke luar jendela. Tak ada jawaban. Ira mendekat pada mama mertuanya. Sudah jam enam kurang, namun sarapan belum matang separuhnya. Akhirnya Ira putuskan untuk mengambil alih mengolahnya."Ma, Mama sakit? Kalau masih pening, istirahat aja dulu. Biar Ira yang masak," ujar Ira sambil memotong wortel. Masih di posisi yang sama, Rumi--mama Rendi tak menyahut. Ira mengembuskan napas berat, beberapa hari ini mama mertuanya memang lebih sering melamun. Pekerjaan ru
Siang menjelang sore saat Rendi, Bu Naji dan Pak Hadi mengadakan pertemuan di salah satu kafe yang terletak di pinggiran kota. Bu Naji sangat tertarik dengan cerita Rendi tentang tamu yang menginap di rumahnya. Sementara Rendi pun demikian, ingin tahu bagaimana masa lalu mereka."Jadi malam itu, Bi Naji merasa ada orang di rumah Bu RT?" tanya Rendi memastikan dirinya tak salah tangkap. Bu Naji mengangguk. "Tapi saya nggak tau pasti juga, karena sehari itu ada di rumah kamu, bersih-bersih sama Bu Nia.""Anehnya, kompor di Rumah Bu RT seperti habis dipakai gitu, kita ngecek besoknya sih, saat saya sudah pulang," sambung Pak Hadi. Jiwa detektif Rendi meronta-ronta.Kali ini Rendi menceritakan detail kejadian malam hari saat mereka menginap di rumah Rendi."Sebentar. Album, kamu bilang? Mereka cari album?""Dari yang saya dengar begitu, entah juga kalau ternyata kata itu hanya penyebutan untuk hal lain yang disamarkan." Bu Naji diam. Te
"Apakah Tante atau anak Tante bisa menjelaskan, mengapa perhiasan Mama saya bisa berada dalam koper ini? Nggak mungkin salah ambil kan, secara ini lebih dari satu, lho." Mama Rendi seperti kehabisan oksigen, napasnya terasa sesak sekali. Tak percaya dengan apa yang ia lihat, dia memilih menutup mata berharap semua hanya mimpi."Astaga, Ibu! Jadi ini semua milik Tante ini? Kok ibu masukin koper, kan bukan milik Ibu. Wah, jangan-jangan penyakit pikun Ibu kambuh lagi ini," ucap Desi. Meski lancar, tetap saja masih terlihat gugup."Oh, jadi udah pikun, ya. Jangan bilang, kabur sampai bisa nginep di sini ini juga pikun loh, kan lucu banget kalau sampai setiap tindak pidananya dibilang karena pikun." Desi gelagapan, wajahnya nampak berpikir keras."Tak ingatin, jangan lupa pakai seragam ini sebelum masuk mes ya, nanti didenda loh kalau sampai pikun nggak dipake," tutur Rendi sambil melempar setelan, yang terdapat nomor di bagian belakangnya."Jelaskan maksud semu
Wanita yang ditatap Ira malah cengengesan. Meski sudah bertahun-tahun tak bertemu, tapi Ira masih ingat betul siapa wanita ini. "Iya, Mbak. Aku lapar. Kata Ibu suruh ambil di dapur karena Mbak udah datang." Ah, bukan itu jawaban yang ingin Ira dengar."Enggak gitu, kamu kok bisa ada di rumah ini?"Gadis berambut sebahu itu mengendikkan bahu. "Takdir. Aku cuma ikut Ibu ke rumah sahabatnya, kok," jawabnya sambil berlalu setelah mengambil seporsi makanan."Sahabat?" gumam Ira lirih. Kenapa semua orang tua punya sahabat sih? Apakah zaman dahulu itu setiap orang wajib memiliki sahabat? "Tunggu! Kalau dia ke sini sama ibunya, berarti ....""Mah, kok lama?" Rendi melongok dari pintu dapur. Memastikan, istrinya baik-baik saja.Segera Ira menggiring Rendi ke kamar. Ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan."Ayah tau, siapa tamu yang datang?" ucap Ira setelah mengunci pintu kamar. Rendi menepuk jidatnya. "Kan udah tak bilangin berapa kali, Ayah
Langit sudah menguning saat Bu Naji pulang dari rumah Ira. Pikiran yang sedikit kacau membuatnya seperti melayang, berjalan ke manapun kakinya mengarah. Sedikit tergesa dia menuju rumahnya karena mendekati waktu magrib seperti ini, desanya akan semakin sepi.Ceklek! Lampu teras rumah Bu Naji menyala saat kakinya baru saja melepas sandal. Dia sampai berjingkat saking kagetnya. Refleks pandangannya menoleh ke arah dua bangunan di samping rumahnya, klinik kosong dan rumah Pak RT."Hah?" Sekilas nampak seperti bayangan seseorang dalam rumah Pak RT. Tiba-tiba saja angin berembus, membuat Bu Naji semakin merinding. Dia segera memasuki rumah karena azan magrib berkumandang. Usai salat, hati dan pikirannya belum tenang. Debar jantungnya masih belum bisa ia netralkan. Meski sudah diminimalisir dengan membaca Al-Qur'an, tetap saja rasa was-was itu ada."Iya, Bu. Ada apa?" Suara dari sambungan telepon Bu Naji. Dia menelepon suaminya demi me