PoV Rauf
Buru-buru aku meninggalkan RS Citra Medika dengan sepeda motor dan berniat untuk menjemput Lestari di minimarket. Kupacu kencang laju kendaraan agar bisa tiba di sana dalam waktu singkat. Urusanku sangat banyak hari ini. Satu per satu permasalahan harus segera diselesaikan. Bukan apa-apa, aku ingin rumah tanggaku bisa kembali normal. Risa pulang ke rumah dan melayani dengan semestinya, serta Lestari yang hanya gundik itu tak menuntuk banyak plus mengharap lebih dariku. Aku ingin hidupku kembali seperti biasa!
Sesampainya di parkiran minimarket, aku duduk menunggu di atas motor. Tak perlu menunggu waktu lama, Lestari keluar dengan membawa helm dan tas kerjanya. Wajah perempuan itu tampak lesu. Langkahnya pun gontai tak bersemangat. Dia pasti masih memikirkan kejadian tadi pagi.
&nb
PoV Rauf “Aku pulang! Kalau besok ternyata kamu tidak keguguran juga, aku akan cari jalan lain. Jangan pikir kalau aku bakal tanggung jawab, ya!” Aku mendorong kepala Lestari hingga perempuan itu terantuk cukup keras di dinding. Tangisnya masih kudengar histeris. Namun, aku tak ambil peduli. Bergegas aku pergi meninggalkan kontrakan milik selingkuhanku tersebut. Kupacu seger sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan, pikiranku kalut. Benar-benar pusing dengan himpitan hidup yang kian menyiksa. Kenapa Tuhan begitu tega memberikan cobaan? Salahku apa? Setahuku, aku sudah banyak berbuat baik di dunia ini. Menyekolahkan anak yatim, membantu keluarga miskin macam Lestari. Akan tetapi, mengapa malah dua begundal yang sudah kubantu itu kini berbali
Mobil dr. Vadi terus melaju, sementara dua insan yang sedang berada di dalamnya hanya dapat diam membisu tanpa sepatah kata pun. Aku benar-benar sedang dilanda kikuk. Sebagai perempuan normal, wajar bukan kalau sikapku begini setelah mendengarkan ucapan dr. Vadi yang rasa-rasanya membuat dada ini bagaikan diaduk-aduk? Tidak, aku sebenarnya tak ingin gede rasa. Namun, tak bisa ditampik bahwa aku ... ah, sulit untuk dijelaskan! Ya, sudahlah. Biarkan aku larut dalam anggapanku sendiri, begitu juga dengan dr. Vadi. Laju kendaraan dr. Vadi tiba-tiba melambat dan akhirnya berhenti tepat di depan tembok beton tinggi yang melindungi sebuah bangunan megah dengan kerlip lampu-lampu taman warna kuning. Aku tidak tahu ini rumah siapa dan mau ngapain kami berhenti di depan sini. 
Setelah saling diam di sepanjang perjalanan, kami akhirnya sampai juga di sebuah parkiran basement sebuah mal besar di kota ini. Dr. Vadi menghentikan mobilnya setelah memastikan mobil terparkir dengan presisi di tempatnya. “Ayo,” katanya sembari melepas seat belt dan mematikan mesin. Aku hanya mengangguk dan mengikuti geraknya. Keluar mobil dan berjalan beriringan dengan lelaki yang berpakaian bagai ingin main ke rumah tetangga tersebut. “Pelan-pelan, nanti aku jatuh,” kataku sembari sedikit mengejar dr. Vadi yang mempunyai langkah panjang tersebut. Dr. Vadi seketika menghentikan langkahnya. Menoleh dengan wajah datar sehingga membuatku sedikit tak enak hati.&
PoV Rauf “I-itu ....” Lidahku benar-benar kelu. Aku tak yakin alasan apa yang bisa membuat Mama percaya. “Kamu berselingkuh, Uf?” Mama membelalakkan kedua matanya. Spontan membuatku kalang kabut dan serasa kehilangan pijakkan. “Jawab, Uf!” Mama mencengkeram kerah jaketku. Aku tak menyangka bahwa dia akan semarah ini saat tahu bahwa aku main serong. “Ini karena Risa, Ma. Dia tidak melakukan kewajibannya sebagai istri dengan baik.” Akhirnya, bibirku lancar juga mengeluarkan sebuah statement. Mata Mama masih membeliak. Dia seakan masih tak percaya dengan ucapanku. &l
PoV Lestari “Uek! Uek!” Sesaat setelah kepergian Mas Rauf dari kontrakan, aku pun tak mau menunggu lama lagi buat memuntahkan semua isi perut. Jamu peluruh haid tadi harus keluar! Bagaimana pun caranya. “Tari! Tari, kamu nggak apa-apa?” Rizka menghambur padaku. Tangannya langsung cekatan mengurut tengkuk. “Uek!” Tak bisa berucap lagi, aku hanya bisa muntah. Terus mengeluarkan cairan jamu berwarna cokelat tersebut bercampur dengan sisa makanan yang belum tecerna. “Banyak sekali muntahmu, Ri. Ya Allah, kasihan kamu. Kita ke dokter kah?” Suara Rizka panik. Tangannya terus mengurut tengkukku, membuat lebih rileks dan nyaman. 
Bagian 24PoV Lestari “Ayo, cepat! Jangan cengeng, Tari! Hidup kita ini sudah susah, jangan ditambah susah lagi dengan laki-laki seperti pacarmu itu!” Rizka benar-benar menarik tanganku. Dia bahkan tidak mempedulikan tangisku yang semakin membanjir. Helm yang kukenakan bahkan dia yang melepaskannya. Sambil berurai air mata, langkahku terus dipimpin oleh Rizka masuk ke ruang IGD. Rasanya aku sangat malu. Terlebih ketika berpasang-pasang mata tertuju padaku. Di dalam ruangan yang berisi tiga buah bilik bersekat korden warna hijau yang tak ada pasiennya sama sekali, kami berjalan terus ke arah pojok kanan ruangan, tepatnya pada meja yang ditempati oleh tim medis maupun paramedis yang berjaga.&n
Bagian 25PoV dr. Vadi Dua tahun bekerja sama dengan seorang suster tua bernama Bu Maria, membuat karierku sebagai dokter umum yang melayani poli rawat jalan di sebuah RS swasta bernama Citra Medika ini, ya ... dapat dikatakan tanpa warna. Bagaimana tidak. Selain kaku dan terlalu formal, beliau juga cerewet. Tak bisa leluasa untuk kusuruh-suruh. Kadang aku merasa tertekan sendiri. Merasa kalau aku ini yang sebenarnya bawahan Bu Maria. “Dok, kalau periksa pasien itu jangan lama-lama! Buang waktu! Kan saya maunya kita pulang cepat.” “Dok, kalau ngomong sama pasien itu jangan bertele-tele. To the point!” “Besok saya izin ya, Dok. Anak saya mau tunangan. Pengg
Bagian 26PoV dr. Vadi Pagi-pagi sekali aku sampai di rumah sakit. Tepat pukul 06.30 kakiku sudah melangkah menuju ruang paling depan yang berfungsi sebagai loket plus ruang tunggu para pasien berobat jalan. Loket sudah dibuka, para petugas yang melayani pun standby di meja masing-masing. Antrean mulai panjang. Orang-orang dengan berbagai keluhan sudah duduk di bangku-bangku tunggu. Dr. Clara, seniorku di kampus yang kini menjabat sebagai kepala promosi kesehatan rumah sakit (PKRS), telah menanti kedatanganku. Perempuan berkulit gelap dengan wajah cantik khas Indonesia Timur tersebut tampak tengah meletakkan proyektor di atas meja yang berada tepat menghadap ke arah bangku-bangku para pasien dan pengantar yang menunggu. Aku mempercepat langkah. Mend
Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh
Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha
Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,
Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan
Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”
Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya
Bagian 9 “Bu, jangan murung terus. Kita keluar, yuk? Kita jalan-jalan,” kataku kepada Ibu tepat pada hari ke-7 kepergian Abah. Pagi itu Ibu tampak masih lemah. Terbaring di tempat tidurnya dengan mata yang sembab. “Risa, Ibu masih butuh sendiri,” ucapnya sambil menatap kosong. Wanita yang mengenakan daster batik hitam dengan rambut yang digelung ke atas tersebut kini tampak makin lesu. Tubunya kurus. Wajahnya tak lagi berseri cantik seperti dulu. Bahkan tampak lebih tua dari biasanya. Beginikah bila seorang wanita telah ditinggalkan oleh belahan jiwanya? Aku naik ke atas ranjang. Duduk di samping tubuh Ibu yang tepat menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya. Terasa lepek. Entah sudah berapa hari dia enggan keramas.&nb
Bagian 8 “Mas, gimana si Vida?” Aku buru-buru bertanya setelah hari berganti larut. Tahlilan sudah selesai. Berjalan dengan lancar, tapi tentu saja dengan drama dan segala keruwetannya pada beberapa jam sebelum acara. Biang keroknya? Siapa lagi kalau bukan Vida. “Dia minta harta.” Aku sudah menduga dari awal. Itu pasti masalahnya. Apalagi? “Berikan saja kalau begitu, Mas. Aku takut kalau dia datang lagi ke sini dan mengacaukan segalanya. Untung tadi Ibu memang tidak keluar kamar sampai acar baru dimulai. Kalau tidak, sudah pasti si Vida akan nekat.” Aku duduk di samping Mas Vadi. Bersandar di bahunya yang kekar. Lelaki yang masih mengenakan baju koko warna
Bagian 7 “Mohon maaf Dokter Vadi, Bu Risa. Kami sudah memaksimalkan usaha dan tindakan medis terbaik untuk Abah Haji. Namun, Allah berkehendak lain.” Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah kebanggaan rumah sakit kami, dr. Priyo, terlihat pucat pasi sekaligus gemetar taktakala menyampaikan kabar buruk itu. Aku seketika berteriak histeris di ruang IGD yang saat itu lumayan ramai dengan pasien. Ibu yang terus berada di ruang resusitasi tempat Abah ditangani pun terdengar meraung dari balik tirai sana. Tubuhku yang lunglai pun ditangkap oleh Mas Vadi. “Sudah, Ris. Ikhlaskan kepergian Abah.” Mas Vadi memelukku. Menenangkan badai air mata yang menyeruak tanpa bisa kuhentikan sama sekali. Kakiku benar-benar lemas. Dua kali aku mendapatkan kaba